57. Paksalah Diri Berbuat Taat


📚 Buku Manajemen Qolbu



Mahasuci Allah, Zat yang memiliki segalanya. Mahacermat dan Mahasempurna Allah sehingga sama sekali Ia tidak membutuhkan apapun dari hamba-hamba-Nya. Tidak ada kepentingan dan manfaat yang bisa kita berikan, karena Allah secara total dan Mahasempurna telah mencukupi dirinya sendiri. Ribuan malaikat yang gemuruh bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiap detik, tiap waktu, tiap kesempatan memuji Allah, itupun hanya menunjukkan keagungan dan kebesaran-Nya.

Jika Allah menciptakan makhluk jin dan manusia kemudian diperintahkan untuk taat, bukan karena Allah membutuhkan ketaatan makhluk-Nya. Sungguh, semua perintah dari Allah adalah karunia agar kita menjadi terhormat, mulia, dan bisa kembali ke tempat asal mula kita yaitu surga. Jadi kalau kita masuk neraka, na'udzubillah, sama sekali bukan karena kurangnya karunia Allah, tapi karena saking gigihnya kita ingin jadi ahli neraka, yaitu dengan banyaknya maksiat yang kita lakukan.

Allah Mahatahu bahwa kita memiliki kecenderungan lebih ringan kepada hawa nafsu dan lebih berat kepada taat. Oleh karena itu, jika kita mendapat perintah dari Allah, dalam bentuk apapun, si nafsu ada kecenderungan berat melakukannya, bahkan tak segan-segan untuk menolaknya. Misalnya ibadah sholat cenderung inginnya dilambatkan. Urusan shaf saja, tidak banyak orang berebutan menempati shaf pertama. Amati saja justru shaf belakang cenderung lebih banyak diminati. Perintah sholat memang banyak yang melakukan, tetapi belum tentu semua melakukannya tepat waktu. Begitu juga dengan tepat waktu, belum tentu juga bersungguh-sungguh khusyu'. Bahkan ada -mungkin salah satunya kita- yang justru menikmati sholat dengan pikiran yang melantur, melayang-layang tak karuan, sehingga tak jarang banyak program atau urusan duniawi lainnya yang kita selesaikan dalam sholat. Dan yang lebih parah lagi, kita tidak merasa bersalah karenanya.

Saat menafkahkan rezeki untuk sedekah, maka si nafsu akan membuat seakan-akan sedekah itu akan mengurangi rezeki kita, bahkan pada lintasan berikutnya sedekah ini akan dianggap membuat kita tifdak punya apa-apa. Padahal, sungguh sedekah tidak akan mengurangi rezeki, bahkan akan menambah rezeki kita. Namun, karena nafsu tidak suka kepada sedekah, maka jajan justru lebih disukai.

Sungguh, kita telah diperdaya dengan rasa malas ini. Bahkan saat malas beribadah, otak kita pun dengan kreatif akan segera berputar untuk mencari dalih ataupun alasan yang dipandang logis dan rasional. Sehingga apa-apa yang kita lakukan karena malas, seolah-olah mendapat legitimasi karena alasan kita yang logis dan rasional itu, bukan semata-mata karena malas. Ah, betapa hawa nafsu begitu pintar mengelabui kita. Lalu, bagaimana cara kita mengatasi semua kecenderungan negatif diri kita ini?

Cara yang paling baik yang harus kita lakukan adalah kegigihan kita melawan kemalasan diri. Kecenderungan malas itu kalau mau diikuti terus menerus akan tidak ada ujungnya, bahkan akan terus membelit kita menjadi seorang pemalas kelas berat, na'udzubillah. Berangkat ke mesjid, maunya dilambat-lambat, maka harusnya lawan! Berangkat saja. Ketika terlintas, nanti saja wudu'nya di mesjid, lawan! Di mesjid banyak orang, segera lakukan wudu' di rumah saja! Itu sunnah. Sungguh, orang yang wudu' di rumah lalu bergegas melangkahkan kakinya ke mesjid untuk sholat, maka setiap langkahnya adalah penggugur dosa dan pengangkat derajat.

Sampai di mesjid, paling nikmat duduk di tempat yang memudahkan dia keluar dari mesjid, bahkan kadangkala tak sungkan untuk menghalangi orang lewat. Lebih-lebih lagi bila memakai sandal bagus, ia akan berusaha sedekat mungkin dengan sandalnya, dengan alasan takut dicuri orang. Begitulah nafsu. Bagi orang yang menginginkan kebaikan, dia akan berusaha agar duduknya tidak menjadi penghalang bagi orang lain. Maka akan dicarinyalah shaf yang paling depan, shaf yang paling utama.

Sesudah sholat, ketika mau dzikir, kadang terlintas urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka bagi yang tekadnya kurang kuat ia akan segera ngeloyor pergi, padahal dzikir tidak lebih dari sepuluh menit, ngobrol saja lima belas menit masih dianggap ringan. Atau ada juga yang sampai pada tahap dzikir, diucapnya berulang-ulang, Subhanallah, Subhanallah, tapi pikiran melayang kemana saja. Anehnya lagi kalau memikirkan dia si jantung hati konsentrasinya sungguh luar biasa. Kenapa, misalnya, mengucap Subhanallah tiga puluh tiga kali, yang sadar mengucapkannya cuma satu kali? Atau ingatlah saat kita akan berdo'a. Walaupun dilakukan, akan dengan seringkas mungkin. Padahal demi Allah, dzikir-dzikir yang kita ucapkan akan kembali pada diri kita juga.

Oleh karena itu, bila muncul rasa malas untuk beribadah, itu berarti hawa nafsu berupa malas sedang merasuk menguasai hati. Segeralah lawan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dengan cara segera melakukan ibadah yang dimalaskan tersebut. Sekali lagi, bangun dan lawan! Insya Allah itu akan lebih dekat kepada ketaatan. Janganlah karena kemalasan beribadah yang kita lakukan, menjadikan kita tergolong orang-orang munafik, na'udzubillah.

Firman Allah, "Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk sholat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan sholat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali." (QS. An-Nisa': 142)

Ingatlah bahwa kalau kita tergoda oleh bisikan hawa nafsu berupa kemalasan dalam beribadah, maka kita ini sebenarnya sedang menyusahkan diri sendiri, karena semua perintah itu adalah karunia Allah buat kemaslahatan diri kita juga. Coba, Allah menyuruh kita berzikir, siapa yang dapat pahala? Kita. Allah menyuruh kita berdo'a, lalu do'a itu diijabah. Buat siapa? Buat kita. Allah sedikit pun tidak ada kepentingan manfaat atau mudharat terhadap apa-apa yang kita lakukan. Tepatlah ungkapan Ibnu Atho'illah dalam kitabnya, Al-Hikam, "Allah mewajibkan kepadamu berbuat taat, padahal yang sebenarnya hanya mewajibkan kepadamu masuk ke dalam surga-Nya (dan tidak mewajibkan apa-apa kepadamu hanya semata-mata supaya masuk ke dalam surga-Nya)". Maka Abul Hasan Asy-Syadzilly menasehatkan bahwa, "Hendaknya engkau mempunyai satu wirid, yang tidak engkau lupakan selamanya, yaitu mengalahkan hawa nafsu dengan lebih mencintai Allah".

Maka kalau kita sengsara, kita susah, kita menderita, itu bukan karena siapa-siapa, itu semua kita yang buat. Padahal sungguh, setiap desah nafas yang kita hembuskan adalah amanah dari Allah, dan sebagai titipan wadah yang harus kita isi dengan amal-amal kebaikan. Sedangkan hak ke-Tuhanan tetap berlaku pada tiap detik yang dilalui oleh seorang hamba. Abul Hasan lebih lanjut mengatakan, "Pada tiap waktu ada bagian yang mewajibkan kepadamu terhadap Allah (yaitu beribadah)".

Jadi, sungguh sangat aneh jika kita bercita-cita ingin bahagia, ingin dimudahkan urusan, ingin dimuliakan, tapi justru amal-amal yang kita lakukan ternyata menyiapkan diri kita untuk hidup susah. Seperti orang yang bercita-cita masuk surga tapi amalan-amalan yang dipilih amalan-amalan ahli maksiat. Maka sederhanakanlah hidup kita, paksakan diri untuk taat kepada perintah Allah kalau belum bisa ikhlas dan ringan dalam beribadah. Mudah-mudahan Allah yang melihat kegigihan diri kita memaksa diri ini, nanti dibuat jadi tidak terpaksa karena Dia-lah yang Maha Menguasai diri ini. Insya Allah.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam