Badai Pasti Berlalu



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Ikhlaskanlah semua musibah yang menimpa diri kita karena badai pasti berlalu dan berganti pelangi yang indah.”

Seorang lelaki muda menunduk menatap bayangan tubuhnya di bawah sinar mentari yang terik. Lelaki itu sedang mengalami musibah beruntun. Usahanya bangkrut dan ia terlilit utang yang cukup besar. Untuk membayar utangnya, ia menjual semua yang dimilikinya, rumah, mobil, dan semua benda berharga. Untuk tempat tinggal diri dan keluarganya, lelaki itu mengontrak sebuah rumah kecil dan sederhana.

Namun, belakangan istrinya pun pergi meninggalkannya. Ia memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Istrinya tidak kuat menjalani kehidupan secara prihatin dan serba kekurangan. Anak semata wayangnya pun dibawa serta oleh istrinya. Kini, tinggallah lelaki muda itu sendirian menjalani kehidupannya yang pahit getir.

Lelaki muda itu terisak, menangis, dan menjerit ketika teringat serentetan musibah yang dialaminya. Langkah kakinya membawa tubuhnya tak tentu arah. Akhirnya, ia sampai di sebuah gubuk dan singgah di sana. Di dalam gubuk itu ada seorang kakek tua yang sedang menempa sebatang besi. Merasa kedatangan tamu, si kakek menunda pekerjaannya dan mempersilakan lelaki muda itu masuk.

Lelaki muda itu masuk dengan enggan. Di dalam gubuk itu, si lelaki muda hanya diam.

“Ada masalah apa, Anak Muda? Kakek perhatikan dari tadi kamu hanya diam,” selidik si kakek.

“Saya sedang mendapat musibah beruntun, Kek,” terang lelaki muda itu. Lelaki muda itu menceritakan musibah demi musibah yang dialaminya.

Kemudian, si kakek mengajak lelaki muda itu ke tungku api tempat dia menempa sebatang besi yang tadi ditinggalkan.

“Anak muda, untuk menjadi sebilah keris yang tajam dan elok, besi ini harus rela mengalami berbagai musibah yang sangat berat. Ia harus rela dibakar dan menahan panasnya api hingga seluruh batangnya memerah. Besi ini juga harus menahan sakitnya dipukul dengan palu bertubi-tubi. Besi ini harus mengalami pembakaran dan pemukulan secara berulang-ulang. Setelah melalui serangkaian penempaan itu, besi ini berubah menjadi sebilah keris yang tajam dan elok,” papar si kakek. “Kamu mengerti maksud Kakek?”

“Ya, saya mengerti maksud Kakek. Saya tidak akan pernah lari dari musibah dan berputus asa. Saya akan menghadapi setiap musibah yang datang dalam kehidupan saya dengan sikap terbaik. Itu semua merupakan proses penempaan diri saya agar menjadi semakin berkualitas, sama halnya dengan besi ini yang harus melalui serangkaian penempaan untuk menjadi sebilah keris yang tajam dan elok,” sahut lelaki muda itu.

*****

Sahabat, dalam menjalani kehidupan di dunia, sudah pasti kita akan menemui berbagai macam musibah. Musibah itu merupakan ujian keimanan kita kepada-Nya. Kita harus menyadari bahwa setiap musibah yang kita alami menandakan Allah sayang kepada kita. Allah menghendaki kebaikan bagi diri kita, karena itu Dia menguji kita dengan memberikan berbagai musibah.

Suatu keniscayaan jika dalam menjalani kehidupan di dunia kita menemui berbagai masalah, menghadapi bermacam cobaan, serta harus melewati berbagai tantangan dan hambatan. Jalan kehidupan tidak selamanya lurus dan rata. Adakalanya kita harus menyusuri jalan kehidupan yang penuh dengan onak dan duri. Ada saatnya kita harus menapaki jalan kehidupan yang berliku, terjal, dan mendaki. Semua itu merupa kan sunatullah.

Jika kita menghadapi suatu musibah atau kesulitan, ambillah sikap mental positif. Katakanlah pada diri sendiri, “Bagus.” Ketika kita mengambil sikap mental positif, pikiran bawah sadar kita akan terus bekerja menganalisis inti masalahnya, menguraikan bagian yang kusut, dan mencari jalan keluarnya.

Tanamkan keyakinan yang kuat di dalam hati bahwa dengan pertolongan Allah kita bisa mengatasi setiap musibah dan kesulitan. Selama keyakinan kita untuk mengatasi setiap musibah itu tertanam kuat, jangan pernah khawatir dan takut dengan musibah, apalagi lari dari musibah. Bukankah dengan semakin sering menghadapi musibah dan mampu menyelesaikannya dengan baik, berarti kita akan semakin “besar” dan bijak?

Kita harus memahami bahwa kehidupan ibarat sebuah sekolah. Di sekolah kita biasa mendapat PR (pekerjaan rumah) dari bapak atau ibu guru. Demikian pula dalam kehidupan. Kehidupan menyimpan berbagai PR. Setiap cobaan, rintangan, dan tantangan yang kita hadapi merupakan PR yang harus kita sikapi dan selesaikan dengan baik.

Sebagaimana dalam sekolah ada ujian kenaikan kelas, begitu juga dalam sekolah kehidupan. Ketika ada cobaan, rintangan, dan tantangan yang jauh lebih berat daripada biasanya, itu berarti akan ada kenaikan kelas.

Implikasinya hanya dua; naik kelas atau tinggal kelas. Kitalah yang menentukan. Apakah kita akan membulatkan tekad untuk menghadapi dan menyelesaikan cobaan, rintangan, dan tantangan tersebut dengan baik, dan itu berarti kita berpeluang untuk naik kelas dalam kehidupan. Ataukah kita larut dalam kesedihan dan menyeret diri kita lari dari cobaan, rintangan, dan tantangan tersebut, dan itu berarti kita tidak akan pernah naik kelas dalam kehidupan.

Setiap kali Allah akan mengangkat derajat seorang hamba, niscaya Dia akan mengujinya terlebih dahulu. Apakah ia ikhlas dan bersabar atas ujian tersebut, dan itu berarti ia berpeluang naik derajat? Ataukah ia tidak ikhlas dan mengeluh atas ujian tersebut, dan itu berarti derajatnya di sisi Allah tidak akan pernah naik?

Ingat kisah Nabi Ayyub as.? Kurang takwa bagaimana Nabi Ayyub as.? Kurang saleh bagaimana Nabi Ayyub as.? Tapi, toh beliau tetap diuji juga oleh Allah, bahkan dengan musibah yang sangat berat. Semua harta kekayaannya ludes, anak-anaknya meninggal dunia, tubuhnya digerogoti penyakit hingga hanya menyisakan kulit membungkus tulang. Tapi ternyata Nabi Ayyub as., tetap taat kepada Allah. Kualitas dan kuantitas ibadahnya tidak berkurang sedikit pun. Kesabarannya sangat luar biasa!

Ada kebaikan dan ladang amal saleh dalam setiap musibah. Bukankah Rasulullah saw., mengajarkan kepada kita agar memandang setiap musibah yang datang hanya dari dua segi? Pertama, boleh jadi dengan musibah itu Allah hendak mengikis dosa-dosa kita. Kedua, boleh jadi dengan musibah itu Allah hendak mengangkat derajat kita. Bukankah ini merupakan kebaikan bagi kita? Tinggal bagaimana kita memetik hikmah di balik setiap musibah. Jadi, ikhlaskanlah dan bersabarlah atas setiap musibah yang datang.

Salah satu ciri khas orang yang memiliki kekuatan iman adalah tangguh dalam menghadapi musibah. Kemampuan seorang nakhoda yang tangguh akan terlihat ketika kapalnya terombang-ambing oleh badai gelombang dahsyat. Demikianlah, setiap musibah yang disikapi dengan baik akan membuat kita menjadi lebih baik lagi. Semakin berat musibah, semakin luar biasa pula ganjaran yang akan diterima.

Kita harus menyadari bahwa musibah adalah episode yang harus dijalani. Kita harus berani menghadapinya, tidak ada kamus mundur atau menghindar. Kita juga harus yakin bahwa setiap musibah pasti sudah diukur oleh Allah sehingga takarannya pasti sesuai dengan kapasitas kita.

Setiap musibah pasti ada akhirnya. Hujan deras yang di selingi halilintar dahsyat pasti akan reda. Setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Habis gelap pasti terbit terang. Bukankah pekatnya malam pertanda akan datangnya siang?

Jika kita memahami ujian pasti ada untuk menguji dan membuktikan keimanan kita kepada Allah, maka rasa sakit itu tidak akan ada saat kita menerimanya. Kita yakin bahwa ujian itu untuk pemuliaan diri kita.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan Dia pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29]: 2–3).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam