10. Bagaimana Memulai Perkenalan
📚 Terjemah Kitab At-thariq Ilal Quluub (Perjalanan Ke Hati)
Suatu hari di tahun 1951 M. saya berada di pejabat cabang Ikhwanul
Muslimin di Jalan Iskandarani, Iskandaria. Lalu ada dua orang datang,
yang sudah mempunyai janji dengan salah seorang teman. Saya sambut
kedatangan mereka dengan menyebut nama-nama mereka. Tatkala teman yang
mereka tunggu itu datang, mereka berkata kepadanya, "Kami tidak
mengenalnya sebelum ini, tetapi bagaimana ia mengenal nama kami?"
Kemudian saya diajak duduk bersama. Lalu saya berkata kepada keduanya, "Bukankah
kalian berdua setiap pagi naik tren dari stesen Rashafah?" Keduanya
menjawab, "Ya." Saya berkata, "Saya setiap pagi juga naik tren yang sama."
Mereka berkata, "Akan tetapi kami tidak melihat anda bersama kami." Saya
berkata, "Kerana saya memakai seragam militer." Keduanya teringat dan
tersenyum lalu berkata, "Bagaimana Anda mengetahui nama kami?" Saya
berkata, "Saya mendengar salah seorang di antara kalian berkata, 'Selamat
pagi, Muhammad,' lalu yang satunya menjawab, 'Selamat pagi, Ahmad.'"
Keduanya berkata, "Untuk apa Anda menghafal nama kami?" Saya menjawab, "Jawabannya
adalah yang terjadi saat ini."
Tabiat dakwah kita adalah saling mengenal, dan saya yakin bahawa pada
suatu saat dakwah kita akan dapat menghimpun orang-orang yang berjiwa
baik dan berkepribadian mulia. Kejadian di atas sangat membekas di hati
keduanya. Imam Hasan Al-Banna adalah da'i yang sangat gemar menghafal
nama. Ketika Dewan Tinggi Militer mengumumkan pemindahan beliau ke kota
Qina di wilayah Sha'id (Mesir) pada tahun 1941 M., pada waktu itu
diadakan penyambutan kedatangan beliau oleh pemuda-pemuda yang bergabung
dalam gerakan pramuka, yang baru pertama kali itu mereka melihat beliau.
Ustadz Hasan Al-Banna berjabat tangan dengan pemuda-pemuda itu dan
menyebut beberapa nama mereka. Tatkala beliau ditanya tentang bagaimana
beliau dapat mengenal nama-nama tersebut, beliau menjawab, "Ketika saya
menandatangani kad anggota pramuka, saya menghafal nama yang tertera dan
raut wajahnya."
Pada tahun 1951 M. ada seorang tamu yang berkunjung ke pejabat cabang di
Rashafah. Ketika saya sambut kedatangannya dan saya tanyakan namanya, ia
menjawab, "Muhammad Syakir Gharbawi." Saya bertanya, "Dari Ismailia?" Ia
menjawab, "Ya. Anda tahu?" Saya berkata, "Sebentar." Lalu saya
mengeluarkan buku catatan dari laci meja, di situ tercatat bahawa pada
tahun 1936 M. ada seorang pemuda utusan Ustadz Hasan Al-Banna yang
bernama Muhammad Syakir Gharbawi datang ke Rasyid dalam rangka
mengumpulkan dana untuk kaum mujahidin Palestina. Tatkala target yang
telah dicanangkan tidak terpenuhi, pemuda itu menangis. Ketika Muhammad
Gharbawi mengetahui isi catatan itu, ia langsung menangis dan berkata, "Demi
Allah, saya tidak menyangka kalau kejadian itu boleh terkenang setelah
waktu berlalu begitu lama."
Waktu itu saya sedang naik bas, tiba-tiba ada seorang pemuda berjanggut
yang berusia tidak lebih dari tujuh belas tahun naik dan duduk di
sebelah saya. Pada waktu itu janggut merupakan pemandangan yang sangat
jarang ditemui. Hati saya mengatakan, "Ini adalah kesempatan yang baik
untuk berkenalan dengannya." Lalu dengan senyum tipis saya bertanya
kepadanya, "Maaf, kalau boleh saya tahu Saudara ini memanjangkan janggut
kerana tradisi atau kerana ibadah?" Kelihatannya ia tidak faham dengan
pertanyaan saya, lalu saya ulangi, "Kerana sunnah atau kerana yang
lain?" Ia menjawab, "Kerana sunnah Rasulullah saw." Lalu saya berkata
dengan gembira, "Masya Allah, Allahu Akbar!" Kemudian saya cepat-cepat
mengulurkan tangan dan memperkenalkan din, "Saya saudaramu seaqidah dari
Rasyid. Saya seorang pedagang." Ia pun lalu memperkenalkan diri, "Saya
saudaramu seaqidah juga. Saya siswa sekolah menengah atas di Al-Abbasiyah."
Kemudian saya hafal nama dan alamatnya pada waktu itu juga.
Saya sengaja memulai dengan memperkenalkan nama saya, kerana jika
menanyakan namanya terlebih dahulu mungkin ia akan curiga, lebih-lebih
situasi waktu itu sangat rawan.
Setelah melewati beberapa terminal, ia turun dan saya merasa gembira
kerana dapat berkenalan dengannya. Setelah kejadian itu, saya pun sering
menghubunginya. Di setiap perjalanan, saya biasa membawa mushaf, quran,
atau majalah. Biasanya, tatkala Anda membaca quran, orang yang duduk di
sebelah Anda akan melirik dan ikut membaca. Di saat inilah Anda dapat
meminjamkan quran pada orang tersebut. Setelah selesai membaca, ia akan
mengembalikan quran itu dengan mengucapkan terima kasih. Di saat itulah
Anda dapat berkenalan dengan memulai pembicaraan tentang topik yang
dibahas dalam quran tersebut dan bagaimana tanggapan Anda tentang topik
tersebut.
Jika memang tidak memungkinkan, sebuah perkenalan tidak harus diakhiri
dengan mengetahui nama masing-masing, tetapi yang perlu diperhatikan
adalah hendaknya pembicaraan yang berlangsung itu berkisar sekitar
dakwah islamiah, kerana tugas kita adalah menyebarkan fikrah yang lslami.
Mudah-mudahan Anda dapat bertemu dengannya pada kesempatan yang lain dan
dapat berkenalan lebih jauh lagi. Kadang-kadang duduk di sebelah saya
seseorang yang belum saya kenal, dan saya berfikir bagaimana cara
memulai pembicaraan. Jika saya lihat orang itu berkulit putih, saya
bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang kedengarannya bodoh, "Apakah
Saudara dari Sudan?" Lalu ia melihat kepada saya dengan pandangan
kehairanan dan seakan-akan ingin berkata, "Apakah Anda buta?" Akan
tetapi saya mendahului berkata, "Saudara jangan marah, kerana saya
pernah melihat orang Sudan yang berkulit putih. Kalau begitu, Saudara
ini dari mana?" Dengan begitu saya telah membuka tirai kebisuan di
antara kami, dan setelah itu kami dapat melanjutkan pembicaraan. Jika
orang itu berkulit coklat maka saya bertanya, "Apakah Saudara dari
Qubrus?" Begitulah seterusnya. Inilah cara yang kadang-kadang saya pakai
untuk membuka pembicaraan.
Suatu saat saya diundang untuk memberikan ceramah di pejabat cabang
Ikhwanul Muslimin di Matras, terletak di pinggiran kota Iskandaria.
Pejabat cabang itu terletak jauh dari jalan raya, kira-kira satu
kilometer. Tatkala saya turun dari bas, ada beberapa pemuda yang juga
turun. Meskipun saya sudah mengetahui letak pejabat cabang itu, tetapi
saya minta mereka agar mahu menunjukkan tempat pejabat tersebut. Di
tengah perjalanan kami berbincang-bincang tentang dakwah islamiah, dan
tak lupa saya singgung juga acara yang diadakan di pejabat cabang
Ikhwanul Muslimin itu. Setelah sampai di tempat tujuan, beberapa dari
pemuda tersebut ikut bersama saya, dan di pejabat itulah kami lebih
mengenal satu sama lain.
Suatu ketika kami dalam perjalanan dari Iskandaria ke Asyuth ibukota
Sha'id. Perjalanan itu membutuhkan waktu yang lama, sehingga kami
membawa banyak makanan ringan. Waktu itu kereta api macet di tengah
jalan lebih dari dua jam.
Didorong oleh hadits,
"Barang-siapa mempunyai
kelebihan bekal, hendaklah memberikannya kepada orang yang tidak
mempunyai bekal,"
(HR. Muslim)
maka salah seorang di antara kami berdiri dan membahagi-bahagikan
makanan kepada para penumpang. Dengan demikian kami sudah membuka pintu
untuk saling mengenal, dan kejadian itu meninggalkan kesan yang baik di
hati mereka.
Dulu, sebelum mengenal cara-cara yang islami dalam berdakwah, saya
sering menggunakan cara-cara hasil ijtihad saya sendiri untuk memulai
perkenalan. Suatu waktu saya pernah dengan sengaja menginjak kaki orang
yang berdiri di sebelah saya sewaktu naik
tren.
Orang itu lalu berteriak marah, "Apakah Anda buta?" Saya menjawab dengan
tenang, "Jangan terburu marah, wahai saudaraku. Memang saya ini seperti
orang buta, kerana penglihatan saya yang sudah melemah." Lalu orang
tersebut meminta maaf. Dengan demikian saya dapat mulai berkenalan.
Bagikan ini :
Comments
Post a Comment
Silakan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan