Bagian (3). Kisah-Kisah Rasulullah Saw Bersama Para Sahabat



๐Ÿ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



๐Ÿ“š 34. Selamat Datang, Anakku
Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada seorang kepala suku yang bernama Habib. Ketika Habib, yang dikenal sebagai tiran yang kejam, membaca surat itu, ia memperlakukan utusan Nabi Saw. dengan kasar, bahkan membunuhnya.

“Singkirkan surat ini dari hadapanku!” teriaknya penuh kemarahan.

Para pembantunya segera menyingkirkan surat itu dan menyatukannya dengan surat-surat lain dalam sebuah kotak, lalu disimpan di ruang penyimpanan istana. Surat yang dikirimkan Nabi Saw. itu tidak pernah disentuh lagi.

Kepala suku itu memiliki seorang anak laki-laki yang tampan bernama Khabbab. Suatu hari Khabbab memasuki ruang penyimpanan istana untuk melihat- lihat beberapa dokumen. Ketika ia memeriksa kotak surat, ia melihat surat dari Nabi Saw. Surat itu menarik perhatiannya sehingga ia membuka dan membacanya. Ketika itulah, api keimanan menyala-nyala dalam hatinya.

Cahaya Islam membara dalam dadanya dan menyebar ke seluruh anggota tubuhnya.

Khabbab membaca surat itu berkali-kali. Sejak hari itu, ia kerap terlihat merenung dan berpikir khusyuk. Ia tidak makan, tidak minum, tidak pula tidur. Ia terus merenung seraya bertanya dalam hati, “Siapakah Muhammad yang telah menulis surat ini?”

Akhirnya, suatu hari Khabbab memberanikan diri berbicara kepada ayahnya tentang surat itu. Namun, sang ayah memarahinya, “Ya, aku menerima surat itu, tetapi aku tidak menyukai isinya. Surat itu bilang, agama dan keyakinan kita, serta patung-patung sesembahan kita adalah palsu. Penulis surat itu seorang penyihir yang ingin menaburkan benih perpecahan di antara bangsa Arab dengan menciptakan agama dan kepercayaan baru. Ia bilang, Islam adalah satu-satunya agama dan kepercayaan sejati. Ia tidak membedakan orang kaya dan miskin. Ia memandang sama antara budak dan orang merdeka. Berhati-hatilah Anakku, jangan sampai kau terpengaruh!”

Khabbab, yang hatinya telah disinari cahaya Ilahi dan kecintaan kepada Muhammad, sangat terkejut mendengar ucapan ayahnya.

“Ayah sungguh memalukan!” ujar Khabbab keras, “bagaimana bisa Ayah berkata seperti itu? Ayah telah membunuh utusan yang membawa pesan kebenaran.”

Sekalipun sang ayah menentangnya, keinginan Khabbab untuk memeluk Islam makin keras. Di malam dan siang hari, diam-diam ia berdoa kepada Tuhan,

“Wahai Tuhan Yang Maha Melindungiku, Engkau Maha Mengetahui isi hatiku. Aku mencintai Rasul-Mu, meskipun aku belum melihat wajahnya. Aku ingin mempersiapkan diriku sehingga tak ada lagi keraguan. Jika saatnya tiba, jumpakan aku dengan kekasih-Mu. Tunjukkan kepadaku keindahannya, sekali saja. Setelah itu, biarkan aku mati. Aku tidak lagi memikirkan mahkota atau kekuasaan.”

Lalu Khabbab pergi ke tempat-tempat sepi, menangis tersedu. Ia tidak pernah berhenti menyebut nama Rasulullah. Ia tidak tidur, tidak bersenang-senang, dan tidak berkumpul dengan orang-orang. Ia menjauhi manusia.

Ayahnya murka ketika mengetahui tingkah aneh putranya itu. Suatu hari, ayahnya berkata, “Lihatlah Anakku, kau telah menghinakan dirimu dan membawa kesialan bagi kita semua. Kami benar-benar kecewa! Kuberikan penawaran terakhir sebelum kuserahkan dirimu kepada algojo. Kembalilah kepada agama dan kepercayaanmu. Jadilah kau raja sebagai penggantiku!”

Namun, Khabbab menjawab, “Ayah, apa yang Ayah katakan? Aku tidak akan menukar emas untuk kaleng rombeng. Aku adalah hamba Allah; Dia adalah Tuhan Yang Maha Melindungi seluruh alam. Aku adalah pencinta kekasih-Nya. Hatiku dipenuhi cinta kepadanya. Tak jadi masalah bagiku, bagaimana kau akan menghukumku, bahkan jika kau memberi hukuman seribu kali lebih berat dari hukuman yang sekarang kuterima, atau jika kau memenggal semua anggota tubuhku, aku tidak akan pernah meninggalkan Islam.”

Khabbab terdiam sejenak lalu melanjutkan,

“Hukuman apa pun yang telah kausiapkan, lakukanlah! Inilah kepala, punggung, dan badanku. Aku di sini, di hadapanmu. Ayo teruskan! Hukumanmu tak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Cinta kasih telah menyelimuti diriku. Aku telah menyerahkan jiwa dan ragaku kepada jalannya. Api cinta telah menjadi sahabatku. Mereka yang mengikuti Muhammad, menyerahkan segala yang mereka punya demi ia. Ayah! Hancurkan keangkuhanmu, jangan merasa malu di hadapan rakyatmu. Kalau Ayah cerdas, peluklah Islam. Ayah telah menyeruku pada kekafiran dengan tangisan, sementara aku menyerumu menuju kebenaran dengan kata-kata manis.”

Ayahnya sadar, tidak ada harapan lagi untuk mengembalikan anaknya. Ia tahu, Khabbab tidak akan pernah berada di sisinya lagi. Maka, ia pun memanggil para algojo dan berkata, “Siksa ia selama tiga hari, lalu bunuh di hari keempat!”

Tiga hari tiga malam mereka menyiksa Khabbab dengan berbagai siksaan. Kaki dan tangannya diikat dengan rantai besar. Saat mendekati waktu eksekusi, algojo yang sedang bertugas diliputi rasa kantuk tak terhingga hingga ia jatuh tertidur.

Ketika Khabbab menimba air dari sumur, dengan tangan dan kaki dirantai, ia bermunajat, “Ya Tuhan Yang Maha Melindungi, Engkau Mahakuasa dan Engkau Maha Esa. Engkau melihat keadaanku sekarang. Engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan hamba yang berada dalam tekanan. Engkau pun telah mengetahui cinta kasihku. Bukakan bagiku jalan lurus menuju kekasih-Mu, Muhammad. Tunjukkan kepadaku keindahan wajahnya yang diberkahi. Aku memuji-Mu dalam rasa sakit dan aniaya yang kualami demi agama dan kepercayaanku.

Apabila aku mati tanpa sempat bertemu Muhammad dan memandangnya dengan kedua mataku, sungguh aku akan tersiksa menunggu datangnya Hari Kebangkitan. Sedetik saja terpisah darinya, kurasakan bagai ratusan tahun. Ya Allah, yang menuntaskan segala persoalan, aku memohon, biarkan aku bertemu dengannya.” Selesai berdoa, ia menarik napas panjang.

Usai Khabbab bermunajat, Allah memberikan apa yang Dia kehendaki, tentu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah berkata kepada Jibril, “Khabbab telah menghadapi ujian yang pedih sebagai seorang pencinta. Pergilah dan lepaskan ikatannya. Aku akan menyebarkan cerita tentang cinta kasihnya terhadap kekasih-Ku, juga derita yang ditanggungnya demi Aku dan ia. Khabbab adalah teladan bagi seluruh hamba-Ku yang mengaku mencintai kekasih-Ku. Waktu perjumpaan telah tiba. Biarkan pencinta bersua dengan yang dicinta.” Serta merta, belenggu yang mengikat tangan dan kakinya lepas.

Kemudian, Khabbab pergi dari tempat itu. Ia tidak mengetahui jalan mana yang harus ditempuh. Namun, jiwanya terus terbang bagaikan burung elang, meratap menyeru kekasihnya, “Duhai Pembimbingku, Nabiku, Kekasihku!” Dengan kuasa Allah, ia melewati jarak 80 hari perjalanan hanya dalam satu malam. Ia menunggang “kuda cinta” hingga akhirnya memasuki Madinah Al- Munawwarah. Ia telah berada di tempat cahaya yang tidak pernah redup.

Tiba di Madinah, salah seorang sahabat Nabi, Amr, bertemu dengannya. Ia melihat seorang pemuda yang terus menangis dengan wajah memancarkan kerinduan. Ia merangkulnya dan menanyakan sebab tangisannya, “Hai Anak Muda, apakah kau lapar atau haus? Mari, aku akan memberimu roti dan air. Anakku, aku melihat tanda-tanda keimanan dalam dirimu.”

Khabbab menjawab, “Aku tidak ingin makan dan minum. Aku telah lama melupakannya, cinta telah mencukupiku.”

Amr sadar, pemuda ini seorang pencinta. “Kepada siapakah cintamu tertuju? Katakanlah kepadaku, Anakku .…”

Saat itu, Khabbab tidak tahu, di mana ia berada. Ia berusaha menjaga rahasianya, karena takut menyebabkan derita baginya. Amr memahami kondisi pemuda itu sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, aku seorang Muslim.

Jika kau percaya kepadaku, demi Muhammad, aku tidak akan memberitahukan rahasiamu kepada siapa pun.”

Khabbab merasa tiba-tiba hatinya diliputi berkah dan kebahagiaan tak terkira saat mendengar nama kekasihnya. Seketika ia larut dalam kerinduan cinta yang dalam.

Sementara, di saat yang sama, Jibril turun menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku sampaikan salam kepadamu. Engkau harus keluar bersama sahabat-sahabatmu menyambut pencinta yang datang dari jauh untuk menemuimu. Ia begitu mencintaimu. Tampilan luarnya kumal, tetapi hatinya adalah istana megah. Ia telah banyak menderita, demi Islam. Allah berfirman: Aku telah menganugerahkan kepada Khabbab kesabaran Ayyub a.s. Biarkan kekasih- Ku menyambutnya dan membawanya menuju berkahnya. Aku cinta kepadanya karena cintanya kepada kekasih- Ku.”

Maka, Rasulullah Saw. dan para sahabat bergegas pergi menemui Khabbab. Beliau merangkulnya dan berkata, “Selamat datang duhai pencinta yang beriman, selamat datang Anakku ....”

Ketika Khabbab ingin mengusap wajahnya dari debu dengan kaki Baginda Nabi, beliau berkata ramah, “Anakku, apa yang telah engkau tanggungkan demi Islam?”

Maka, Khabbab menceritakan perjalanannya mencari Sang Kekasih. Mendengar penuturan Khabbab, Baginda Nabi dan semua sahabat mencucurkan air mata.

Itulah akhir perjalanan sang pencinta. Mereka berujung pada kebahagiaan luar biasa. Khabbab membuktikan cinta kasihnya, bertemu Rasulullah Saw. di dunia ini, dan akan bersamanya di akhirat nanti. Seorang pencinta Rasulullah Saw. akan mereguk kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dan selamanya.


๐Ÿ“š 35. Menyambung Tangan yang Terputus
Suatu hari Rasulullah Saw. pergi keluar Madinah. Di tengah perjalanan, beliau melihat seorang laki-laki sedang menimba air untuk memberi minum untanya. Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah kau ingin mengupah seseorang untuk membantumu menimba air?”

“Ya benar, aku akan memberi tiga butir kurma untuk satu ember air.”

Rasulullah Saw. setuju dan mulai menimba air untuk mendapatkan beberapa butir kurma. Setelah menimba beberapa ember air, tali timba terputus dan jatuh ke sumur. Lelaki itu marah dan melontarkan sumpah serapah kepada beliau. Bahkan ia menampar wajah Baginda yang mulia, lalu memberikan 24 butir kurma sebagai upah. Laki-laki itu menampar wajah yang mulia, padahal beliau telah berusaha keras mengambil kembali ember dan tali timba itu dari dalam sumur. Beliau telah melakukan berbagai upaya untuk mengambilnya.

Setelah Rasulullah Saw. pergi, laki-laki itu teringat pada keburukan yang telah dilakukannya. Ia telah menyakiti seseorang yang sama sekali tidak bersalah. Ia menampar wajah orang itu, padahal ia sendiri melihat kesungguhan dan kesabaran orang itu saat berusaha mengambil ember yang terjatuh ke dalam sumur. Ia sadar, ia telah melakukan kejahatan dengan menampar wajah yang mulia. Ia sadar, orang yang diupahnya itu sama sekali tidak bersalah. Dirinyalah yang bersalah karena telah berbuat aniaya kepadanya. Maka, ia menghunus pedangnya sendiri dan menebaskannya pada tangan yang telah menampar wajah yang mulia itu. Seketika tangannya terputus. Darah mengucur deras, dan ia pun jatuh pingsan.

Tidak lama berselang datang melintas satu rombongan kafilah. Mereka melihat seorang laki-laki terkapar di tanah dengan tangan yang terputus. Mereka membalut dan berusaha menghentikan aliran darah laki-laki itu. Kemudian, mereka memercikkan air pada wajahnya sehingga ia siuman dari pingsannya.

Setelah laki-laki bangun, mereka bertanya, “Apa yang terjadi padamu?”

“Tadi aku menampar wajah seseorang yang ciri- cirinya anu dan anu. Namun, orang itu sama sekali tidak marah atau membalas perbuatanku. Sekarang aku takut akan mendapatkan siksa dan balasan sehingga kupotong sendiri tanganku.”

“Tahukah kau, siapa orang yang tadi kautampar itu?” tanya mereka.

“Tidak.”

“Ialah Muhammad, Nabi dan Rasul terakhir yang diutus Allah.”

Mendengar keterangan kafilah itu, kontan saja ia terhenyak! Ia pun menanyakan keberadaan Rasulullah Saw.

Kemudian, ia mengambil potongan tangannya dan bergegas pergi menuju Madinah untuk menemui Rasulullah Saw. Tiba di Madinah, ia melihat para sahabat duduk bersama di suatu tempat.

Para sahabat bertanya, “Apa keperluanmu?”

“Aku ingin bertemu Muhammad. Aku ada suatu keperluan dengannya.”

Salman Al-Farisi mengantar lelaki itu kepada Rasulullah Saw. Saat duduk berhadapan, ia mengungkapkan penyesalannya yang besar karena telah menampar wajah beliau.

“Mengapa kaupotong tanganmu?” tanya Rasulullah. “Aku tidak menginginkan tangan yang telah kupakai untuk menampar wajahmu yang mulia,” jelasnya.

“Masuklah agama Islam,” ajak Rasulullah Saw.

“Jika kau benar-benar dalam kebenaran, sambungkanlah tanganku yang terputus ini.”

Rasulullah Saw. mengucapkan “Bismillรขhir-rahmรขnirrahรฎm” sambil menyambungkan potongan tangan lelaki itu. Dan, tangan yang terputus itu menyatu kembali seperti tak pernah mendapatkan sedikit pun luka sebelumnya. Maka, laki-laki itu pun langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.


๐Ÿ“š 36. Burung yang Berzikir dan Unta yang Menangis
Sahabat Anas ibn Malik r.a. menuturkan bahwa ia pergi ke gurun bersama Rasulullah Saw. Di sana, mereka menyaksikan seekor burung yang sedang berkicau. Beliau bertanya kepada Anas, “Apakah kau tahu, apa yang dikatakan burung ini?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

“Burung itu mengatakan, ‘Ya Allah, Engkau telah menghilangkan penglihatanku dan Engkau menciptakanku dalam keadaan buta. Maka, berilah rezeki kepadaku, karena aku lapar.”

Tiba-tiba, Rasulullah Saw. dan Anas r.a. melihat burung lain datang membawa belalang di mulutnya dan memasukkannya ke mulut burung yang buta itu. Setelah makan, burung itu kembali berkicau.

“Apakah kau tahu apa yang dikatakan burung ini barusan?” tanya Rasulullah Saw. lagi.

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

“Burung ini mengatakan, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak melupakan siapa pun yang mengingat-Nya,’” jelas beliau.

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa burung itu berkata, “Barangsiapa yang tawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya.”

Kisah yang nyaris serupa dialami sahabat Abdullah ibn Ja‘far. Ia menuturkan bahwa suatu hari ia menemani Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan. Di tengah perjalanan, Rasulullah Saw. ingin buang hajat. Biasanya, beliau suka dinding yang tinggi atau rerimbunan pohon kurma yang berdekatan sebagai tirainya. Maka, beliau pergi ke balik sebuah dinding (bangunan) milik orang Anshar. Ternyata, di dalamnya ada seekor unta jantan. Ketika Rasulullah Saw. melihatnya, unta itu merintih seraya meneteskan air mata.

Melihat keadaannya, Rasulullah Saw. mendekatinya dan menghapus air matanya. Unta itu pun diam, tak lagi merintih.

Rasulullah Saw. bertanya, “Siapakah pemilik unta ini?” Datang seorang pemuda Anshar dan berkata, “Ia milikku, wahai Rasulullah.”

“Apakah kamu tidak takut kepada Allah yang telah mengaruniakan unta ini kepadamu? Sungguh, unta ini mengadu kepadaku bahwa kau membuatnya lapar dan susah.”


๐Ÿ“š 37. Seorang Budak yang Mulia
Dikisahkan bahwa ada seorang budak yang hendak dijual di pasar. Para pembeli berdatangan menawarnya. Ketika para pembeli mengerumuninya, tiba-tiba budak itu berteriak lantang, “Barangsiapa ingin membeliku, aku mengajukan syarat, yaitu jika waktu shalat tiba, aku minta dibebaskan mengerjakan shalat berjamaah di belakang Rasulullah Saw. Siapa pun yang bersedia menerima syaratku ini, ia berhak membeliku.”

Akhirnya, seseorang bersedia memenuhi syaratnya dan membeli budak itu. Sejak saat itu, ia dibebaskan mengerjakan shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Ia selalu mendirikan shalat secara berjamaah dan tidak pernah ketinggalan.

Suatu hari, Rasulullah Saw. tidak melihatnya di barisan jamaah kaum Muslim. Beliau menanyakan keberadaannya dan para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, budak itu sedang sakit.”

“Aku ingin menjenguknya,” ujar Rasulullah Saw.

Meskipun ia seorang budak, Rasulullah melihat bahwa ia adalah kekasih Allah. Beliau bergegas pergi ke rumah majikan budak itu, menjenguknya, dan duduk di sampingnya. Setelah itu, beliau beranjak pergi meninggalkannya. Kemudian Rasulullah berpesan kepada para sahabat, “Kabarkan kepadaku keadaannya tiga hari ke depan.”

Tiga hari kemudian, para sahabat menyampaikan kabar, “Wahai Rasulullah, budak itu dalam keadaan sekarat!”

“Mari kita pergi menjenguknya,” ajak Rasulullah kepada para sahabat.

Rasulullah Saw. bergegas pergi menjenguknya. Namun, tidak lama budak itu bersua dengan Rasulullah, karena Allah telah memanggilnya. Rasulullah sendiri yang memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkannya.

Banyak sahabat yang merasa iri melihat perlakuan istimewa Rasulullah Saw. kepada budak berkulit hitam itu.

Menanggapi hal itu, Rasulullah Saw. membacakan ayat 13 Surah Al-Hujurรขt [49]: Hai manusia, sesungguh- nya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.


๐Ÿ“š 38. Kata-Kata yang Diperebutkan Malaikat
Ketika Rasulullah Saw. beserta para sahabat menunaikan shalat berjamaah, tiba-tiba seorang pria berjalan cepat memasuki masjid. Ia bergabung dalam barisan shalat dengan napas masih tersengal-sengal, karena ia hampir berlari agar bisa shalat berjamaah. Lalu ia mengucapkan, “Al-hamdu lillรขhi hamdan katsรฎran thayyiban mubรขrakan fรฎh (Segala puji bagi Allah dengan puji tak terhingga, yang baik, dan penuh berkah).”

Selepas shalat, Rasulullah Saw. menghadap ke arah jamaah dan bertanya, “Manakah orang yang tadi mengucapkan sesuatu saat aku shalat?”

Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan Rasulullah Saw. karena mereka tidak memahami maksudnya. Karena tak seorang pun menjawab, beliau bertanya lagi, “Manakah orang yang mengucapkan sesuatu ketika aku shalat tadi? Sesungguhnya ia tidak mengucapkan kata-kata yang buruk.”

Laki-laki yang memasuki shalat dengan napas tersengal-sengal itu sadar, ialah yang beliau maksudkan.

“Aku, wahai Rasulullah,” jawabnya dengan suara lirih sambil menundukkan kepala karena malu. Ia melanjutkan,

“Aku datang ke masjid nyaris berlari. Akibatnya, napasku tersengal-sengal dan kemudian kuucapkan kata-kata tadi.”

“Sungguh, aku melihat dua belas malaikat berebut untuk menyampaikan kata-kata itu kepada Allah Swt.,” ujar Rasulullah Saw. dengan wajah berbinar-binar.

Dalam riwayat Bukhari dari Rifa‘ah diceritakan bahwa suatu hari para sahabat mendirikan shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Ketika bangun dari rukuk, beliau mengucapkan, “Sami‘allรขhu liman hamidahu (Allah mendengar orang yang memuji-Nya).” Tiba-tiba, seorang sahabat berucap, “Rabbanรข laka al-hamd hamdan katsรฎran thayyiban mubรขrakan fรฎh (Wahai Tuhan kami, segala puji bagi-Mu dengan puji tak terhingga, yang baik, dan penuh berkah).”

Usai shalat, Rasulullah Saw. menghadap kepada jamaah dan bertanya, “Siapakah orang yang tadi mengucapkan sesuatu ketika aku bangun dari rukuk?” “Aku, wahai Rasulullah,” jawab sahabat itu.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh, aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama menuliskan kata-kata itu.”


๐Ÿ“š 39. Meminta Doa kepada Rasulullah Saw
Rasulullah Saw. tak pernah malu dan bosan mendoakan para sahabat. Beliau juga tidak sungkan ketika diminta mendoakan mereka. Berikut ini beberapa kisah seputar doa beliau untuk para sahabat. Dikisahkan bahwa seorang laki-laki buta menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!”

Rasulullah Saw. bersabda, “Jika engkau mau, aku akan mendoakanmu, dan jika engkau mau juga, engkau bisa bersabar.”

Lelaki itu bersikukuh, “Doakanlah aku, wahai Rasulullah.”

Maka, Rasulullah Saw. menyuruhnya berwudhu dengan baik dan kemudian berdoa dengan kalimat: Allรขhumma innรฎ as’aluka wa atawajjahu ilayka binabiyyika, Muhammadin Nabiy al-rahmah. Ya Muhammadu, innรฎ atawajjahu bika fรฎ hรขjjati hรขdzihรฎ, fataqdhi wa tasyfa‘ani fรฎhรฎ wa tasyaffi’hu fรฎyya

(Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang pengasih. Wahai Muhammad, aku menghadap denganmu dalam kebutuhanku ini. Ya Allah, berikan izin kepadanya untuk memberikan syafaat kepadaku).

Ia membacakan doa itu berulang-ulang. Di saat pulang ke rumahnya, matanya sudah bisa melihat lagi. Suatu hari Rasulullah Saw. melihat Abu Umamah dengan raut muka yang menampakkan kesusahan. Beliau bertanya, “Apa yang terjadi kepadamu?”

Abu Umamah menjawab, “Aku sedang menghadapi kesulitan dan utang yang harus kubayar.”

“Maukah kuajarkan kepadamu kata-kata yang bila kauucapkan, niscaya Allah akan menghilangkan kesusahan darimu dan melunasi utangmu?”

“Tentu saja, wahai Rasulullah.”

“Ucapkanlah doa ini di pagi dan sore hari:

‘Allรขhumma innรฎ a‘รปdzu bika min al-hammi wa al- hazan, wa a‘รปdzu bika min al-‘ajzi wa al-kasal, wa a‘รปdzu bika min al-jubni wa al-bukhl, wa a‘รปdzu bika min ghalabah al-dayn wa qahr al-rijรขl (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kedukaan, aku berlindung kepada-Mu dari lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari takut dan kikir, dan aku berlindung kepada-Mu dari kuasa utang dan paksaan orang-orang)’”.

Abu Umamah menuturkan, “Maka, aku mengamalkan doa itu setiap pagi dan sore. Terbukti, Allah menghilangkan kesusahanku dan melunasi utangku.”

Lain lagi dengan Qubaishah ibn Al-Makhariq. Ia datang menemui Rasulullah Saw. dan memberi salam. Beliau membalas salamnya dan menyambutnya.

“Apa yang membuatmu datang menemuiku, hai Qubaishah?” tanya Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, aku makin tua, kulitku telah menipis, tubuhku melemah, dan aku menjadi lunak di hadapan istriku, serta tidak sanggup lagi mengerjakan sesuatu yang dulu bisa kukerjakan. Maka, ajarkanlah kepadaku beberapa kata yang mudah-mudahan dijadikan Allah berguna bagiku, dan ringkaskanlah.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Hai Qubaishah, ucapkan sebanyak tiga kali tiap usai mendirikan shalat shubuh: ‘Subhรขnallรขh wa bihamdih, subhรขnallรขh al-‘azhรฎm wa bihamdih, wa lรข hawla wa lรข quwwata illรข billรขh al-‘aliyy al-‘adzhรฎm (Mahasuci Allah dengan puji-Nya, Mahasuci Allah Yang Mahaagung dengan puji-Nya, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan kehendak Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung).’”

“Jika kau mendawamkan doa ini,” kata Rasulullah Saw., “atas izin Allah kau akan aman dari kebutaan, penyakit kusta, dan lepra. Selain itu, ucapkan juga: ‘Allรขhumma ihdinรฎ min ‘indik, wa afidh ‘alayya min fadhlik, wansyur ‘alayya min rahmatik, wa anzil ‘alayya min barakatik (Ya Allah, tunjukilah aku dengan petunjukMu, curahkanlah karunia-Mu kepadaku, sebarkanlah rahmat-Mu kepadaku, dan turunkan berkah-Mu kepadaku.’”


๐Ÿ“š 40. Membeli Unta dengan Harga Lebih
Jabir ibn Abdullah pernah bersama Rasulullah Saw. dalam suatu perjalanan. Unta yang ditunggangi Jabir tampak keletihan. Maka, ia membawa untanya menghadap Rasulullah Saw. dan beliau mendoakannya, kemudian berkata, “Tunggangilah kembali untamu!”

Jabir kembali menunggangi untanya, yang ternyata telah kembali bugar sehingga bisa mendahului rombongan yang lain. Saat beristirahat, Rasulullah Saw. bertanya kepada Jabir, “Bagaimana untamu sekarang?”

“Berkat Tuan, wahai Rasulullah, sekarang untaku kembali bugar.”

“Apakah kau akan menjual untamu?” tanya Rasulullah Saw.

Tentu saja Jabir merasa malu menolaknya sehingga ia menjawab, “Ya.”

Akhirnya, disepakati harganya sebesar satu kati emas. Setelah itu, Rasulullah Saw. berkata, “Kau boleh menungganginya sampai tiba di Madinah.”

Sesampainya di Madinah, Rasulullah Saw. berkata kepada Bilal, “Berikan harga untanya, dan lebihi dari harganya, lalu kembalikan unta itu kepadanya!”

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa ketika Rasulullah Saw. berkumpul dengan para sahabat di Masjid Nabawi, tiba-tiba muncul seorang pria yang langsung menemui beliau. Saat berada di dekat Nabi Saw., dengan kata- kata yang kasar ia langsung meminta beliau melunasi utangnya berupa seekor unta.

Tentu saja para sahabat jengkel melihat tingkah laki-laki yang tak tahu adat itu. Mereka hampir saja melabraknya jika tidak dicegah Rasulullah Saw. Kemudian beliau berkata kepada mereka, “Tentu saja pemberi utang berhak menagih utangnya!”

Rasulullah Saw. diam sejenak, lalu me lanjutkan, “Beli lah seekor unta untuk orang ini, lalu serahkan kepadanya!”

Para sahabat segera meninggalkan mas jid untuk membeli unta seharga unta milik orang itu, tetapi mereka tidak men dapatkan unta yang cocok. Mereka men dapatkan unta yang lebih bagus dan lebih tinggi harganya. Maka, mereka menemui Rasulullah Saw. dan melapor, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendapatkan unta seperti yang engkau inginkan. Kami mendapatkan unta yang lebih bagus dan lebih mahal harganya.”

“Belilah unta itu, lalu serahkan kepada orang ini. Perlu kalian ketahui, yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik dalam melunasi utangnya,” jawab Rasulullah Saw.


๐Ÿ“š 41. Rezeki dari Allah
Rombongan kabilah Asyari yang terdiri atas Abu Musa, Abu Malik, dan Abu Amir menempuh perjalanan untuk menemui Rasulullah Saw. Namun di tengah perjalanan, mereka kehabisan bekal sehingga mengutus salah seorang di antara mereka pergi lebih dulu untuk meminta bekal kepada Rasulullah Saw.

Ketika tiba di tempat Rasulullah Saw., orang itu mendengar beliau membacakan firman Allah: Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi yang tidak diberi rezeki oleh Allah … (QS Hรปd [11]: 6).

Mendengar ayat Al-Quran itu dibacakan, orang itu berkata dalam hati, “Kaum Asyari telah durhaka kepada Allah.”

Ia bergegas kembali menemui kaumnya, tidak melanjutkan tugasnya untuk meminta bantuan bekal kepada Rasulullah Saw. Saat bertemu dengan rombongannya, ia berkata, “Bergembiralah, pertolongan Allah telah tiba.” Orang itu sengaja tidak menceritakan kejadian sebenarnya yang ia alami di tempat Rasulullah.

Teman-temannya menyangka, ia benar-benar telah memberitahukan keadaan mereka dan meminta bekal kepada Rasulullah Saw. Lalu, beberapa saat kemudian, datang dua orang membawa kantong besar berisi roti dan daging sehingga mereka bisa makan sampai kenyang. Salah seorang dari mereka berkata, “Masih tersisa banyak makanan sehingga kita harus mengembalikannya kepada Rasulullah!”

Lalu rombongan Asyari ini menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah merasakan makanan yang lebih baik dan lebih lezat daripada makanan yang engkau berikan kepada kami.”

Tentu saja Rasulullah Saw. kaget dan berkata, “Aku tidak pernah mengirimkan makanan kepada kalian.”

Mereka pun kaget mendengar tuturan Rasulullah, lalu menceritakan apa yang telah mereka alami.

Maka, Rasulullah Saw. menanyai si utusan itu, “Apa yang telah kaulakukan?”

Ia menjawab, “Itu adalah rezeki yang telah dikirimkan Allah kepada kami sehingga kami dapat makan dan minum sampai puas.”

Pada tahun delapan Hijriah, Rasulullah Saw. memberangkatkan ekspedisi yang dipimpin Abu Ubaidah ibn Al-Jarah membawa pasukan berjumlah 300 orang. Beliau membekali mereka dengan sekarung kurma. Ekspedisi ini berangkat menuju ke sebuah pantai.

Di tengah perjalanan, Abu Ubaidah membagi pasukannya masing-masing satu buah kurma. Banyak di antara anggota pasukan itu yang mengeluh karena hanya diberi sebutir kurma. Namun, mereka baru akhirnya sadar bahwa bekal yang mereka bawa sangat sedikit sehingga setiap butir kurma sangatlah berharga.

Setelah bekal kurma itu habis tak tersisa, mereka makin ketat menahan lapar. Untuk mengganjal perut sepanjang perjalanan mereka kumpulkan dedaunan, lalu dibasahi, dan dijadikan makanan. Mereka bertahan seperti itu selama beberapa hari. Saat tiba di pantai, mereka menemukan seekor ikan paus yang terdampar.

Mereka pun makan dagingnya yang mencukupi mereka selama setengah bulan. Bahkan, daging paus itu masih tersisa saat ekspedisi mereka di tempat itu berakhir. Maka, mereka membawa sisa daging itu sebagai bekal perjalanan pulang ke Madinah.

Saat Abu Ubaidah dan pasukannya tiba ke Madinah, mereka segera menghadap Rasulullah dan melaporkan ekspedisi serta pengalaman mereka. Beliau manggut- manggut lalu berkata, “Itu adalah rezeki dari Allah untuk kalian. Masih adakah sisa daging paus itu untuk kami makan?” Maka, mereka mengirim sisa daging paus itu kepada Rasulullah Saw., dan beliau pun memakannya.


๐Ÿ“š 42. Allah sebagai Penyelamat
Suatu hari, dalam sebuah perjalanan menuju Ghatafan, Rasulullah Saw. dan pasukan Muslim menghentikan perjalanan karena hujan turun dengan sangat lebat. Beliau berlindung di bawah sebatang pohon, sementara anggota pasukan lain berpencar, masing-masing mencari tempat bernaung dan beristirahat.

Namun, rupanya musuh yang bersembunyi di ketinggian bukit melihat Rasulullah dan pasukannya yang tengah berlindung dari hujan deras. Mereka juga melihat saat itu Rasulullah bernaung hanya seorang diri tanpa seorang sahabat pun melindunginya. Mereka melihat kesempatan emas untuk membunuh Muhammad.

Maka, mereka mengutus seorang lelaki yang paling berani dalam peperangan, yaitu Du’tsur ibn Al-Harits. Ia menyelinap, berjalan mengendap-endap mendekati tempat Rasulullah Saw. beristirahat. Setelah dekat, ia mengawasi sekelilingnya, memastikan bahwa tak ada seorang sahabat pun yang mengawal Muhammad.

Dengan sikap yang waspada, ia berjalan perlahan dan saat jaraknya sangat dekat, ia cabut pedangnya dan mengacungkannya kepada Muhammad.

Tentu saja Rasulullah Saw. terkejut, tetapi tetap bersikap tenang. Sambil menghunus pedang yang mengilap, Du’tsur membentak, “Siapakah yang dapat menyelamatkanmu sekarang?!”

Rasulullah Saw. menjawab dengan tenang,

“Allah!” Anehnya, mendengar jawaban beliau, tubuh Du’tsur bergetar hingga pedang di tangannya terjatuh. Dengan sigap, Rasulullah Saw. mengambil pedangnya lalu balik bertanya, “Sekarang, siapakah yang dapat menyelamatkanmu?”

Ia menjawab, “Tak ada seorang pun.”

“Mengapa kau tidak katakan saja Allah?!” ujar Rasulullah Saw.

Kegaduhan itu didengar para sahabat sehingga mereka langsung mengepung Du’tsur. Mereka meminta kepada Rasulullah Saw. agar diperbolehkan membunuh orang itu. Du’tsur merengek dan mengiba meminta ampunan kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau mengampuni dan membebaskannya.

Lalu, ia berlari ke markas pasukannya sendiri dan menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Ia mengatakan bahwa Muhammad adalah orang yang sangat pemurah dan baik hati. Ia ceritakan berbagai keutamaan Rasulullah sehingga mereka semua tertarik dan menyatakan masuk Islam.

Allah Swt. senantiasa menjaga dan memelihara Rasul-Nya dari makar dan reka-perdaya musuh-musuhnya, termasuk dari kejahatan kaum Yahudi. Ada banyak kisah tentang upaya Yahudi untuk menyakiti dan membunuh Rasulullah.

Usai Perang Uhud yang menorehkan duka mendalam di hati Rasulullah Saw. dan kaum Muslimin, Yahudi Bani Nadir berkonspirasi untuk membunuh Rasulullah Saw. Kesempatan itu mereka dapatkan ketika beliau mendatangi perkampungan Yahudi itu untuk merundingkan sesuatu. Saat itu, beliau duduk di rumah salah seorang pemuka Yahudi Bani Nadhir ditemani beberapa orang sahabat.

Mereka melihatnya sebagai peluang emas untuk membunuh Muhammad. Maka, mereka memerintahkan salah seorang Yahudi untuk naik ke dinding rumah sambil membawa sebongkah batu besar untuk kemudian ditimpakan ke atas kepala Muhammad.

Namun, sesaat sebelum niat jahat orang Yahudi itu terlaksana, Rasulullah Saw. bangun dari tempat duduknya, kemudian langsung pergi meninggalkan perkampungan itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Jibril telah mengabarkan niat jahat mereka dan menyelamatkan Rasulullah Saw.

Setelah peristiwa itu, Rasulullah Saw. mengumpulkan para sahabat dan bersepakat untuk mengusir orang Yahudi Bani Nadhir dari Madinah. Rasulullah Saw. mengirim utusan yang membawa surat ultimatum:

“Keluarlah kalian dari Madinah, karena kalian telah berkhianat. Aku memberi kalian tempo sepuluh hari. Siapa pun yang masih tinggal di kampung itu setelah waktu yang ditentukan, ia akan dibunuh.”

Namun, setelah waktu yang ditetapkan berakhir, mereka mengabaikan peringatan itu dan tetap bertahan di perkampungan itu. Maka, Rasulullah segera menghimpun pasukan Muslim untuk mengepung dan mengusir mereka dari Madinah. Mereka bersikukuh bertahan di balik benteng Bani Nadhir. Namun, setelah dua puluh hari pengepungan, mereka menyerah dan memohon ampunan kepada Rasulullah. Mereka meminta dibolehkan pergi meninggalkan perkampungan itu dengan membawa harta dan keluarga mereka.

Rasulullah Saw. mengizinkan mereka pergi dari Madinah. Akhirnya, Yahudi Bani Nadhir pergi dari Madinah meninggalkan bahan makanan, tanah pertanian, 50 baju besi, dan 340 bilah pedang.


๐Ÿ“š 43. Cinta kepada Rasulullah
Suatu hari seorang Arab Badui datang menghadap Rasulullah Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan Kiamat tiba?” Rasulullah Saw. tidak segera menjawabnya, karena waktu shalat telah tiba. Beliau segera mendirikan shalat bersama para sahabat.

Usai shalat, beliau berpaling kepada para jamaah dan bertanya, “Mana tadi orang yang bertanya tentang Hari Kiamat?”

“Aku, wahai Rasulullah,” jawab Arab Badui itu.

“Apa yang telah kau persiapkan untuk menghadapinya?”

“Demi Allah, aku tidak mempersiapkan amal shalat atau puasa yang banyak. Aku hanya mencintai Allah dan Rasul-Nya.”

“Kau akan dikumpulkan dengan orang yang kau cintai.”

Anas ibn Malik yang meriwayatkan hadis ini berkomentar, “Aku belum pernah melihat orang Islam begitu bahagia setelah masuk Islam, seperti saat kami mendengar pernyataan Nabi bahwa siapa pun yang mencintai Nabi maka ia akan digabungkan bersama beliau pada Hari Kiamat.”

Diriwayatkan dari Abu Abdillah bahwa di Madinah ada seorang penjual minyak wangi. Ia dikenal sangat mencintai Rasulullah Saw. Setiap kali punya keperluan, ia tidak akan pergi sebelum memandang wajah beliau. Di kalangan sahabat, ia terkenal sebagai orang yang suka menatap Rasulullah Saw. Setiap kali bersua, ia akan memandang wajah Rasulullah dengan pandangan yang lama dan dalam.

Suatu hari ia menemui Rasulullah Saw., berlama- lama duduk bersama beliau hingga ia merasa puas memandang wajah beliau. Setelah itu, ia beranjak pergi.

Namun, tidak lama berselang, ia datang lagi menemui Rasulullah Saw., yang kemudian memberi isyarat dengan tangannya agar ia duduk. Maka, orang itu pun duduk di hadapan beliau.

Rasulullah bertanya, “Mengapa kau melakukan itu, padahal sebelumnya kau tidak bertingkah seperti itu?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, demi yang mengutusmu dengan membawa kebenaran sebagai Nabi, ketika tadi aku meninggalkanmu, hatiku dipenuhi ingatan kepadamu. Karenanya, aku tidak bisa bekerja karena selalu teringat kepadamu. Karena itulah, aku buru-buru kembali menemuimu.”

Kemudian, ia meminta izin Rasulullah Saw. untuk memandang wajahnya lagi. Beliau mendoakan kebaikan untuknya. Lama setelah kejadian itu Rasulullah Saw. tidak melihatnya.

Suatu hari, Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Ke mana orang itu?”

“Wahai Rasulullah, kami pun tidak melihatnya berhari-hari,” ujar para sahabat.

Rasulullah Saw. mengambil sandalnya dan beranjak pergi ke pasar diikuti para sahabat, karena ia berjualan minyak wangi di sana. Namun, tiba di tokonya, si penjual minyak wangi itu tidak ada sehingga Rasulullah Saw. bertanya kepada orang-orang di sekitarnya.

Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, pedagang minyak wangi itu telah meninggal dunia.” Orang-orang berkomentar tentang ia, “Wahai Rasulullah, kami mengenalnya sebagai pedagang yang jujur, tepercaya, dan amanah. Namun, ada satu kelemahannya.”

“Apa itu?” tanya Rasulullah Saw.

“Ia senang perempuan (bukan melakukan maksiat).”

Rasulullah Saw. berujar, “Sungguh, ia sangat mencintaiku. Jika ia sedikit tidak jujur dalam berdagang, Tuhan akan mengampuninya karena kecintaannya kepadaku.”


๐Ÿ“š 44. Berebut Berkah Rasulullah Saw
Para sahabat teramat mencintai Rasulullah Saw. Mereka bersedia mengorbankan apa pun demi junjungan tercinta, termasuk harta, waktu, bahkan nyawa. Tidak hanya itu, mereka meyakini, apa pun yang berasal dari Rasulullah Saw. adalah kebaikan, penuh berkah. Karena itulah, banyak di antara sahabat yang berebut berkahnya. Nabi sendiri tidak melarang mereka melakukan itu. Beberapa hadis sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan juga Ahmad menuturkan betapa para sahabat selalu mengharapkan berkah beliau. Misalnya, dikisahkan bahwa ketika Rasulullah Saw. berwudhu, para sahabat akan memperebutkan air bekas wudhu beliau. Bahkan, mereka nyaris berkelahi.

Ketika ada sahabat yang tidak kebagian air bekas wudhu beliau, ia akan menggesekkan tangannya ke tangan sahabat lain yang mendapatkan air bekas wudhu beliau. Mereka lakukan semua itu karena yakin, apa pun yang disentuh Rasulullah Saw. pasti mendatangkan berkah dan kebaikan.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. berwudhu kemudian memanggil dua orang sahabatnya, Amr ibn Al-Ash dan Bilal ibn Rabah. Selesai berwudhu, Rasulullah Saw. memercikkan ludahnya pada air bekas wudhunya, lalu menyuruh dua sahabat itu meminumnya. “Ada berkah di situ,” ujar Rasulullah Saw. Tanpa ragu lagi, Amr ibn Al-Ash dan Bilal meminum air itu (HR Bukhari).

Suatu hari Rasulullah Saw. tidur siang di sebuah taman. Keringat beliau mengucur dari dahinya. Seorang sahabat perempuan yang melihat keringat menetes dari dahi Rasulullah Saw. bergegas mengambil wadah dan dengan hati-hati menadahinya. Tak lama kemudian Rasulullah Saw. terbangun dan bertanya, “Apa yang kaulakukan?” Perempuan itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku mengharapkan berkah dari keringat Tuan.”

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sepeninggal Nabi Saw., wadah tempat menghimpun tetesan keringat beliau itu sering dipinjam para sahabat. Kalau ada orang yang sakit, wadah itu dipinjam untuk diisi air lau diminumkan kepada si sakit. Banyak orang yang sembuh karena berkah air yang dimasukkan ke wadah yang pernah menjadi wadah keringat Rasulullah Saw. (HR Muslim dan Ahmad).

Usai menyembelih kurban dalam peristiwa haji wadak, Rasulullah Saw. memanggil tukang pangkas. Dalam satu riwayat tukang pangkas itu bernama Ma‘mar ibn Nadhlah. Rambut beliau dipangkas habis mulai dari bagian kanan kepala beliau. Setelah itu, Rasulullah Saw. membagi-bagikan rambutnya kepada orang-orang secara bergiliran. Menurut sebagian pendapat, beliau memberi satu atau dua lembar untuk setiap orang. Kemudian, beliau meminta si tukang pangkas untuk mencukur bagian kiri kepala beliau.

Semua orang berkumpul di sekitar beliau agar bisa memperoleh helai-helai rambut yang mulia. Mereka tidak membiarkan sehelai rambut pun jatuh ke tanah. Selain jalur Imam Muslim, ada banyak jalur periwayatan lain mengenai peristiwa pembagian rambut ini.

Ketika Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah, seorang ibu datang membawa anak kecil dan berkata, “Wahai Rasulullah, ini anakku. Izinkan ia berkhidmat menjadi pelayanmu.” Kelak anak kecil ini menjadi salah seorang perawi hadis terkenal, yaitu Anas ibn Malik r.a.

Suatu hari Anas mengundang Rasulullah Saw. untuk makan di rumah orangtuanya. Beliau bertanya, “Di mana tempat shalatmu? Tunjukkan kepadaku!” Anas mengantarkan beliau menuju tempat shalat dan beliau mendirikan shalat di sana. Usai shalat, beliau minta bejana berisi air, lalu mencelupkan tangannya yang mulia ke dalam bejana itu dan memercikkannya ke sudut rumah.

Kelak setelah Rasulullah meninggal dunia, banyak sahabat dan juga tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah mendatangi rumah Anas r.a. hanya untuk mendirikan shalat di tempat beliau dulu mendirikan shalat. Mereka yakin, shalat di tempat itu memiliki keutamaan tersendiri karena tempat itu mendatangkan berkah.


๐Ÿ“š 45. Mencintai Surah Al-Ikhlash
Rasulullah Saw. mengutus seseorang untuk memimpin satu pasukan kecil. Ketika menjadi imam shalat, setelah membaca Surah Al-Fรขtihah ia membaca Surah Al-Ikhlรขsh. Tidak hanya sekali. Pada setiap shalat yang bacaannya dijaharkan, ia selalu membaca Surah Al- Ikhlรขsh setelah surah Surah Al-Fรขtihah, dan tidak hanya pada rakaat pertama, atau kedua, tetapi pada setiap rakaat.

Kebiasaannya itu menimbulkan tanda tanya dalam benak sebagian pasukan, sehingga mereka menyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. saat mereka pulang ke Madinah. Mendengar laporan mereka, Rasulullah bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa ia berbuat seperti itu?”

Ketika ditanya, ia menjawab, “Karena surah ini mengandung sifat Allah Yang Maha Penyayang dan aku sangat suka membacanya.”

Ketika mengetahui alasan orang itu, Rasulullah Saw. berkomentar, “Sampaikan kepadanya bahwa Allah Swt. mencintainya.”

Dikisahkan bahwa seorang sahabat Anshar menjadi imam di Masjid Quba’. Setiap kali usai membaca Surah Al-Fรขtihah, ia membaca Surah Al-Ikhlรขsh, lalu dilanjutkan dengan surah yang lain. Itu ia lakukan pada setiap rakaat. Tentu saja sebagian sahabat heran dengan kebiasaannya ini. Sebagian mereka meminta sang imam agar ia membaca surah yang berbeda, bukan hanya Surah Al-Ikhlรขsh. Namun, tetap saja ia bersikukuh dengan kebiasaannya itu. Maka, ketika suatu hari Rasulullah Saw. datang di daerah itu, para sahabat menceritakan kebiasaan imam masjid itu. Rasulullah Saw. pun memanggilnya dan bertanya, “Hai Fulan, mengapa kau tidak mengindahkan permintaan kawan-kawanmu. Apa yang membuatmu selalu ingin membaca Surah Al- Ikhlรขsh?”

Laki-laki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, aku sangat mencintai surah ini.” “Sungguh, dengan mencintainya, pasti Allah memasukkanmu ke surga.”


๐Ÿ“š 46. Alangkah Jauh Jarak di Antara Mereka
Al-Mubasysyirรขt adalah bagian yang tersisa dari kenabian hingga akhir zaman, biasanya berupa mimpi-mimpi baik yang dialami seseorang. Sahabat Anas r.a. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya risalah (Tuhan) telah berakhir. Maka, tidak ada lagi seorang rasul atau nabi setelahku, kecuali Al-Mubasysyirรขt’. Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah Al-Mubasysyirรขt itu?’ Beliau menjawab, ‘Al- Mubasysyirรขt adalah mimpi seorang Muslim yang saleh dan itu bagian Nubuwat (kenabian)’” (HR Ahmad dan Al-Turmudzi). Kisah berikut ini adalah contoh Al-Mubasysyirรขt.

Dikisahkan, ada dua orang dari Baliyyin menghadap Rasulullah Saw. Keduanya menyatakan masuk Islam dan salah seorangnya lebih rajin berjihad sehingga ia gugur sebagai syahid dalam sebuah pertempuran. Sementara, orang kedua meninggal setahun kemudian.

Thalhah ibn Ubaidillah r.a. menuturkan, “Aku mimpi berada di halaman salah satu surga dan aku melihat dengan kedua orang Baliyyin itu. Lalu, dari arah surga terlihat seseorang berjalan keluar lalu menjemput orang yang terakhir meninggal untuk masuk surga dan ia mengantarnya ke dalam. Lalu orang itu kembali lagi mendekati orang yang mati syahid dalam pertempuran, dan berkata, ‘Kembalilah, karena kamu belum saatnya menjadi penghuni tempat ini!’”

Suatu hari Thalhah menceritakan mimpinya itu kepada para sahabat lain sehingga mereka keheranan mendengar mimpi Thalhah itu. Lalu, Thalhah dan beberapa kawannya menuturkan keheranan mereka kepada Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. bertanya, “Apa yang membuat kalian merasa heran?”

“Wahai Rasulullah, laki-laki yang disebutkan pertama itu lebih rajin berjihad hingga ia gugur sebagai syahid.

Namun, mengapa orang kedua yang lebih dulu masuk surga?”

“Bukankah ia masih hidup selama setahun setelah kawannya itu meninggal?”

“Benar, ya Rasulullah.”

“Dengan sisa umurnya itu ia masih berjumpa dengan bulan Ramadhan dan ia berpuasa. Ia juga mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya.”

“Benar, ya Rasulullah.”

Rasulullah Saw. berkata, “Alangkah jauh jarak di antara mereka berdua, seperti jarak antara langit dan bumi” (HR Ahmad).


๐Ÿ“š 47. Rasulullah Keluar karena Lapar
Suatu hari Abu Bakar r.a. keluar dari rumahnya menuju masjid. Di tengah jalan, Umar r.a. melihatnya dan bertanya, “Hai Abu Bakar, mengapa kau keluar rumah di saat seperti ini?”

“Aku keluar rumah karena merasa sangat lapar.”

“Demi Allah, aku juga merasa lapar,” timpal Umar.

Lalu, tidak lama berselang muncul Rasulullah Saw. menghampiri mereka. “Apa yang membuat kalian berdua keluar rumah di saat seperti ini?”

“Demi Allah, kami berdua keluar rumah karena merasa sangat lapar,” jawab Abu Bakar dan Umar.

“Demi Dia yang jiwaku berada dalam genggamanNya, aku pun merasa lapar seperti kalian. Ayo ikutlah bersamaku,” ajak Rasulullah Saw.

Kemudian mereka bertiga berjalan menuju rumah Abu Ayyub Al-Anshari r.a. Nabi Saw. pergi ke rumah Abu Ayyub karena biasanya ia mengantarkan makanan untuk beliau setiap hari.

Dari kejauhan Ummu Ayyub r.a. melihat kedatangan mereka dan bergegas menyambutnya, “Marhaban (Selamat datang), wahai Nabi Allah, dan orang yang bersamanya.”

“Di manakah Abu Ayyub?” tanya Rasulullah Saw. Ketika itu Abu Ayyub sedang bekerja di kebun kurmanya, tak jauh dari rumahnya. Mendengar suara Rasulullah Saw., buru-buru ia tinggalkan pekerjaannya dan menghampiri beliau.

“Marhaban, wahai Rasulullah, dan orang yang bersamanya. Ya Rasul, engkau datang bukan pada waktu yang biasanya.”

“Engkau benar,” ujar Rasulullah.

Tanpa bertanya lagi, Abu Ayyub bergegas pergi menuju kebun kurmanya, lalu memotong setangkai kurma. Pada tangkai kurma itu ada kurma yang sudah matang dan pula yang masih muda. Lalu, ia cepat-cepat menghidangkannya kepada Rasulullah.

“Mestinya kau tidak perlu memotong setangkai seperti ini. Cukup kauambil beberapa butir kurma yang telah matang untuk kami,” ujar Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, aku lebih suka engkau makan kurma yang sudah matang dan yang masih muda. Aku juga akan menyembelih seekor kambing untukmu,” kata Abu Ayyub.

“Jika kau ingin menyembelih kambing, janganlah yang banyak air susunya.”

Lalu, Abu Ayyub menyembelih seekor kambing dan menyerahkan dagingnya kepada Ummu Ayyub, “Masaklah daging ini, dan buatlah roti diolesi mentega. Lalu, hidangkan kepada kami.”

Sebagian daging itu direbus, dan sebagian lainnya dibakar. Setelah matang, Ummu Ayyub segera menghidangkan masakannya ke hadapan Rasulullah Saw., Abu Bakar, dan Umar. Sebelum makan, Nabi Saw. mengambil sepotong daging dan menaruhnya di atas roti, dan berkata, “Hai Abu Ayyub, kirimkanlah daging ini kepada Fatimah. Ia belum makan selama beberapa hari.”

Lalu, Rasulullah Saw. dan kedua sahabatnya makan hingga kenyang. Usai makan, beliau berkata, “Roti … daging … dan kurma.” Kedua matanya tampak berkaca- kaca. “Demi Dia yang jiwaku berada dalam genggamanNya, sungguh ini adalah nikmat yang akan ditanya kelak pada Hari Kiamat. Jika kalian dapatkan makanan seperti ini, ucapkanlah ‘bismillรขh’. Setelah makan, ucapkanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan dan memberi kami nikmat’. Itulah yang paling utama.”

Keesokan harinya Rasulullah Saw. memberi seorang budak perempuan yang masih kecil kepada Abu Ayyub. Beliau berpesan agar budak itu diperlakukan dengan baik. Setelah berunding dengan istrinya, Abu Ayyub memerdekakannya.


๐Ÿ“š 48. Rasulullah pun Bercanda
Anas ibn Malik r.a., sahabat yang tinggal di rumah Rasulullah Saw. sejak kecil, menuturkan, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. kerap bergaul dan main bersama kami (anak-anak kecil). Suatu hari beliau menyapa saudaraku yang masih kecil, ‘Hai Abu Umair, apa yang telah dilakukan nughair?” Nughair adalah burung kecil miliknya yang biasa diajak bermain, tetapi burung itu telah mati.

Anas r.a. juga bercerita bahwa seseorang dari dusun terpencil yang bernama Zahir ibn Haram. Rasulullah Saw. menjulukinya “orang dusun”. Ketika beliau mempersiapkan segala sesuatu untuk suatu perjalanan, beliau berkata, “Sesungguhnya Zahir adalah anak dusun kami.”

Rasulullah Saw. menyukai Zahir, padahal rupanya tidak bagus sama sekali. Suatu hari beliau mendatanginya ketika ia menjual perhiasannya. Tanpa diketahui Zahir, Rasulullah Saw. mendekapnya dari belakang.

Zahir kaget dan berkata, “Lepaskan aku!” Lalu, ia menoleh ke belakang dan terkejut ketika melihat ternyata orang yang mendekapnya adalah Rasulullah Saw. Alih- alih melepaskan diri, Zahir melekatkan punggungnya pada dada Rasulullah Saw.

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada orang banyak, “Siapa yang mau membeli budak ini?”

Namun, tak seorang pun menyahut. Maka, Zahir berkata, “Sepertinya, aku tidak laku, wahai Rasulullah.”

Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Di sisi Allah kau berharga mahal, wahai Zahir.”

Abu Hurairah r.a. menuturkan bahwa para sahabat berkata, “Hai Rasulullah, engkau mencandai kami.” Beliau tersenyum dan berkata, “Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar.”

Hampir sama dengan kisah di atas, seorang wanita tua datang menemui Rasulullah Saw. lalu berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke surga.”

Rasulullah Saw. tersenyum seraya menjawab, “Nek, sesungguhnya surga itu tidak akan dimasuki oleh wanita tua!” Kontan saja wanita tua ini menangis sambil beranjak pergi.

Melihat wanita itu pergi sambil menangis, Rasulullah Saw. berkata kepada para sahabat, “Katakan kepadanya bahwa ia tidak akan masuk surga dalam keadaan tua renta (tetapi dijadikan muda lagi). Bukankah Allah telah berfirman, Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung. Lalu kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya” (QS Al-Wรขqi‘ah [52]: 35-37)?


๐Ÿ“š 49. Setan Tak Pernah Jera
Rasulullah Saw. menugaskan Abu Hurairah untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan. Suatu hari seseorang datang dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan zakat. Abu Hurairah merebutnya kembali dan berkata, “Sungguh, aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah!”

Orang itu menjawab, “Tapi, aku sangat membutuhkannya! Aku punya tanggungan keluarga.” Karena kasihan, Abu Hurairah membiarkan orang itu mengambil makanan tersebut.

Keesokan harinya Rasulullah Saw. bertanya, “Hai Abu Hurairah, apa yang engkau lakukan kepada orang yang datang tadi malam?”

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, orang itu mengeluhkan kebutuhan dan tanggungan keluarganya. Aku merasa kasihan sehingga membiarkannya mengambil makanan dan pergi begitu saja.”

“Ketahuilah! Ia berdusta dan akan kembali lagi,” ujar Rasulullah Saw.

Mendengar penuturan Rasulullah Saw., Abu Hurairah yakin bahwa orang itu akan kembali. Maka, ia pun siaga berjaga.

Benar saja. Malam harinya orang itu datang lagi dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan zakat. Abu Hurairah langsung menegurnya dan berkata, “Sungguh, aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah!” Orang itu menjawab, “Biarkan aku mengambil makanan ini. Sungguh, aku sangat membutuhkannya. Aku punya tanggungan keluarga. Setelah malam ini, aku tidak akan kembali lagi.”

Untuk kedua kalinya, Abu Hurairah membiarkan orang itu pergi karena merasa kasihan. Esok harinya, Rasulullah Saw. bertanya kembali, “Hai Abu Hurairah, apa yang kaulakukan kepada orang yang datang tadi malam?”

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, orang itu datang lagi. Ia mengeluhkan kebutuhan dan tanggungan keluarganya. Aku merasa kasihan sehingga membiarkannya mengambil makanan dan pergi begitu saja.”

Rasulullah Saw. berkata mengingatkan Abu Hurairah, “Sesungguhnya, ia telah berdusta dan akan kembali lagi.”

Pada malam ketiga, Abu Hurairah berjaga lagi. Ternyata benar, orang itu datang kembali dan mengambil makanan dari tempat penyimpanan zakat. Kali ini Abu Hurairah memperingatkannya dengan keras, “Sungguh, aku akan melaporkanmu kepada Rasulullah! Ini peringatan terakhir! Kau bilang tidak akan kembali lagi, tetapi ternyata kau datang lagi!”

Ia menjawab, “Biarkan aku memberitahukan kepadamu beberapa kata yang dengannya Allah akan memberimu manfaat. Jika kau akan tidur, bacalah ayat kursi. Maka, Allah akan memeliharamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”

Untuk ketiga kalinya, Abu Hurairah membiarkan orang itu pergi.

Ketika Abu Hurairah menyampaikan kejadian itu kepada Rasulullah Saw., beliau berkata, “Ketahuilah, ucapan orang itu benar, tetapi ia sendiri berdusta. Tahukah engkau siapa yang berbicara kepadamu sejak tiga malam yang lalu, hai Abu Hurairah?”

Abu Hurairah menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

“Ia adalah setan.”


๐Ÿ“š 50. Berbagi Peran dengan Sahabat
Suatu hari Rasulullah Saw. pergi bersama para sahabat. Ketika berhenti di suatu tempat, beliau memerintahkan untuk menyembelih seekor domba dan menghidangkannya untuk makan siang.

Seorang sahabat berkata, “Aku yang akan menyembelih domba itu.”

Sahabat lainnya berkata, “Aku yang akan menguliti domba itu.”

Dan yang lainnya berkata, “Aku yang akan memasaknya.” Melihat semangat mereka, Rasulullah menimpali, “Aku yang akan mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apinya.”

Sontak para sahabat berkata, “Biar kami saja yang melakukannya, wahai Rasulullah. Kami akan mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api. Kami tak mau menyusahkanmu.” Para sahabat tidak ingin melihat Rasulullah Saw. bersusah payah dan kelelahan.

Namun, dengan lembut beliau berujar, “Aku tahu. Namun, aku tidak ingin melebihkan diriku atas kalian dan bergantung kepada orang lain. Sesungguhnya Allah tidak suka hamba-Nya bergantung kepada orang lain.”

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Rasulullah Saw. dan Hudzaifah Al-Yaman pergi ke luar Madinah. Di tengah perjalanan keduanya beristirahat.

Ketika Rasulullah ingin mandi, Hudzaifah mengambil sepotong kain dan menjadikannya sebagai tabir. Usai mandi, beliau mengambil kain itu lalu berdiri menabiri Hudzaifah hingga ia selesai mandi.

Setelah mandi, Hudzaifah berterima kasih kepada Rasulullah Saw. atas kebaikan dan kerendahan hati beliau.

Kemudian ia meminta maaf dan berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah, janganlah engkau menyusahkan dirimu dengan melayaniku.”

Namun, Rasulullah Saw. bersikukuh memberikan pelayanan kepada Hudzaifah, teman seperjalanannya, dan berkata, “Jika kedua teman saling mencintai satu sama lain maka yang paling dicintai oleh Allah di antara keduanya adalah yang paling mencintai temannya.”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam