Bagian (4). Kisah-Kisah Tentang Akhlak Yang Terpuji



πŸ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



πŸ“š 51. Dipelihara sejak Kanak-Kanak
Kondisi masyarakat Makkah sebelum Muhammad mendapatkan risalah sangatlah kacau. Masyarakatnya gemar berperang, berzina, berjudi, mabuk- mabukan hingga mengubur anak perempuan hidup-hidup. Kendati demikian, Allah selalu memelihara Muhammad dari semua keburukan itu sejak kanak-kanak. Beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang menyimpang. Tak pernah terbetik dalam hatinya keinginan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kemanusiaan yang biasa dilakukan orang jahiliah, kecuali dalam dua kesempatan. Namun, kemudian Allah menurunkan sekat dan memalingkan beliau dari keinginan itu.

Kesempatan yang pertama adalah di malam ketika beliau beristirahat dari menggembala kambing. Saat itu beliau berkata kepada temannya sesama penggembala, “Tolong jaga kambing-kambing gembalaanku, karena aku ingin pergi ke kota dan bercengkerama di malam hari seperti yang dilakukan para pemuda lain.”

“Baiklah, aku akan menjaganya.”

Kemudian Muhammad beranjak pergi. Saat tiba di pinggiran kota, di samping sebuah rumah yang pertama dijumpainya, beliau mendengar tetabuhan rebana dan seruling. Beliau bertanya kepada seseorang,

“Keramaian apakah itu?”

“Pesta pernikahan Fulan dengan Fulanah,” ujar orang itu.

Kemudian beliau duduk mendengarkan alunan musik itu. Namun, Allah menutup telinga beliau dan membuatnya mengantuk, lalu terjatuh tidur hingga matahari terbit. Beliau terbangun dan bergegas kembali ke tempat penggembalaan. Tiba di sana, temannya bertanya, “Apa yang engkau lakukan semalam?”

“Aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Rasulullah, lalu menceritakan apa yang dialaminya tadi malam. Pada kesempatan kedua, Rasulullah kembali meminta temannya untuk menjaga kambing gembalaannya, dan kawannya itu menjawab, “Baiklah, aku akan menjaganya.”

Kemudian beliau beranjak pergi menuju Kota Makkah dengan tujuan yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Beliau kembali mendengar alunan musik seperti di malam itu. Lalu beliau duduk mendengarkannya dan kembali jatuh tertidur, sama seperti di malam itu. Beliau baru bangun ketika cahaya matahari menyengat. Lalu, beliau bergegas kembali kepada temannya dan menceritakan peristiwa yang dialaminya semalam.

Setelah dua kejadian itu, beliau tak pernah punya keinginan lagi untuk melakukan perbuatan buruk hingga Allah Swt. memuliakan beliau dengan risalah-Nya.


πŸ“š 52. Cinta Rasulullah kepada Umatnya
Setelah pamannya Abu Thalib dan istrinya Khadijah meninggal dunia, dan setelah boikot kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim yang berlangsung selama tiga tahun berakhir, tidak ada orang yang bisa dijadikan pelindung oleh Rasulullah Saw. Setelah kematian dua orang pelindungnya itu, kaum kafir Quraisy makin leluasa berbuat jahat dan menyakiti beliau. Mereka melakukan berbagai hal untuk mengusik dan menyakiti Muhammad.

Misalnya, berkali-kali mereka menimpakan kotoran atau tanah ke atas kepala Rasulullah yang mulia ketika beliau shalat di dekat Ka‘bah. Setiap kali Rasulullah mendapat perlakuan buruk seperti itu, Fatimah datang kemudian membersihkan kotoran itu sambil menangis.

Hari demi hari perlakuan buruk kaum kafir Quraisy kepada Rasulullah Saw. makin menjadi-jadi. Nyaris setiap hari mereka menyakiti beliau. Para sahabat juga mendapat perlakuan serupa. Kaum Quraisy makin leluasa menekan dan menindas kaum Muslim. Maka, suatu hari, Rasulullah memutuskan untuk pergi ke Thaif berharap para pemuka Bani Tsaqif mau menolongnya dan memberinya perlindungan. Namun, tiba di kota itu, mereka justru memperlakukan Rasulullah dengan sangat buruk. Mereka mengolok-olok, mengejar, bahkan melempari beliau dengan batu hingga kaki beliau terluka dan berdarah. Kemudian Rasulullah Saw. berlindung di kebun milik Utbah ibn Rabiah, seorang tokoh Quraisy.

Menurut tradisi Arab, orang yang masuk pekarangan orang lain dianggap telah memperoleh perlindungan dari si pemilik rumah.

Sambil mengusap keringat dan menyeka darahnya, Rasulullah Saw. berdoa kepada Allah, “Ya Allah, hanya kepada-Mu kuadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku, dan hinanya pandangan orang kepadaku. Wahai Yang Maha Penyantun, Engkaulah Tuhanku dan Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada siapa Engkau akan serahkan aku? Kepada orang asing yang memperlakukanku dengan jahat, ataukah kepada saudara jauh yang mengusirku?”

Tak lama, Malaikat Jibril turun dan berkata, “Hai Muhammad, Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu. Dan malaikat yang mengurus gunung-gunung telah diperintahkan oleh Allah untuk mematuhi semua perintahmu. Ia tidak akan melakukan apa pun, kecuali atas perintahmu.”

Malaikat yang menjaga gunung berkata, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk berkhidmat kepadamu. Jika kau mau, biar kujatuhkan gunung itu kepada mereka. Jika engkau mau, akan kulempari mereka dengan bebatuan. Dan jika engkau mau, akan kuguncangkan bumi di bawah kaki mereka.”

Namun, apa jawaban Rasulullah Saw.? Beliau berkata, “Hai Malaikat Gunung, aku datang kepada mereka karena berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka orang yang mengucapkan ‘lΓ’ ilΓ’ha illallΓ’h (tiada tuhan selain Allah).”

Kemudian Malaikat Gunung berkata, “Engkau seperti disebutkan oleh Tuhanmu: sangat penyantun dan penyayang.”

SubhΓ’nallΓ’h, lihatlah Rasulullah Saw.! Beliau tidak mengizinkan malaikat penjaga gunung untuk menyiksa Bani Tsaqif yang telah mengusir dan menyakitinya. Beliau berharap, meskipun mereka tidak mau beriman, keturunan mereka nanti akan beriman. Semua itu menunjukkan betapa Rasulullah Saw. sangat mencintai umatnya.

Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw. pernah selama tiga hari berturut-turut hanya makan sedikit. Ketika istrinya, Aisyah, menanyakan sebabnya, beliau menjawab, “Selama masih ada ahli shuffah (orang miskin yang tinggal di serambi masjid), aku tidak akan makan hingga kenyang.” Ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Rasulullah Saw. kepada kaum fakir.

Tidak hanya itu, Rasulullah Saw. juga memikirkan umatnya di kemudian hari. Beliau khawatir sebagian umatnya makan kekenyangan, sedangkan sebagian lainnya kelaparan karena tidak mendapatkan makanan. Karena itulah Rasulullah Saw. berpesan, “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan.”


πŸ“š 53. Kezuhudan Rasulullah Saw
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah Saw. sedang bersama Jibril di atas Bukit Shafa. Rasulullah Saw. berkata, “Hai Jibril, demi Dia yang mengutusmu dengan benar, keluarga Muhammad belum pernah makan berkecukupan, baik dengan tepung (yang buruk) maupun tepung (yang bagus).”

Segera setelah Rasulullah Saw. berkata begitu, terdengar suara gemuruh dari langit. Beliau bertanya kepada Jibril, “Apakah Allah telah memerintahkan tibanya Hari Kiamat?”

“Tidak,” jawab Jibril, “Allah memerintahkan Israfil a.s. untuk turun kepadamu ketika mendengar ucapanmu.”

Israfil pun datang dan berkata, “Allah mendengar apa yang engkau katakan. Aku diutus untuk membukakan pintu-pintu (kekayaan) bumi, dan memerintahkan kepadaku untuk memberimu pilihan, apakah Gunung Tihamah yang penuh dengan permata, berlian, emas, dan perak; ataukah kau menjadi seorang raja dan nabi; ataukah kau menjadi seorang hamba biasa dan nabi?” Jibril memberikan isyarat kepada Rasulullah Saw. agar bersikap tawadhu.

Rasulullah Saw. menjawab, “Aku ingin menjadi seorang hamba biasa dan nabi.” Beliau mengucapkannya tiga kali.

Suatu hari Ukaidir ibn Abdul Malik, seorang pemuda dari Dumatul Jandal, menghadiahkan pakaian sutra kepada Rasulullah Saw. Beliau memakainya—sebelum pakaian sutra diharamkan—lalu mendirikan shalat.

Selang beberapa waktu, beliau tanggalkan baju sutra itu dengan kasar, seolah-olah membencinya. Beliau kemudian berkata, “Baju ini tidak pantas untuk orang- orang bertakwa.”

Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa setelah menempuh suatu perjalanan Rasulullah Saw. hendak singgah di rumah putrinya, Fatimah. Namun, beliau mengurungkan niatnya saat melihat tirai yang menghiasi pintu rumah dan juga dua gelang perak yang melingkar di lengan putrinya. Tentu saja Fatimah berduka saat mengetahui bahwa Rasulullah enggan singgah di rumahnya.

Abu Rafi yang melihat kejadian itu merasa iba lalu menghampiri Fatimah dan menanyakan yang terjadi. Sambil tetap menangis, Fatimah menceritakan peristiwa yang baru saja dialaminya. Ia masih belum mengerti, mengapa Rasulullah Saw. enggan singgah ke rumahnya? Abu Rafi mengetahui penyebabnya dan berkata, “Itu karena tirai dan dua gelang yang melingkar di lenganmu!”

Fatimah pun sadar dan memahami mengapa ayahandanya urung singgah di rumahnya. Maka, ia langsung menanggalkan tirai dan juga gelang di tangannya. Kemudian ia memerintahkan Bilal untuk menyerahkan barang-barang itu kepada Rasulullah sambil berpesan, “Sampaikan kepada Rasulullah bahwa aku sudah bersedekah, dan ini hanya sisanya.”

Saat Bilal menghadap Rasulullah, beliau berkata, “Pergi dan juallah barang itu, sedekahkan hasilnya kepada ahlu shuffah (kaum fakir yang tinggal di serambi Masjid Madinah).”

Lalu, Bilal menjual dua gelang perak milik Fatimah tersebut seharga dua setengah dirham. Setelah itu, ia menyedekahkannya kepada ahli shuffah. Tak lama kemudian, Rasulullah Saw. masuk ke rumah Fatimah dan berkata, “Demi ayahku, engkau telah berbuat baik.”


πŸ“š 54. Rasulullah Seorang Pekerja Keras
Sejak kecil hingga beranjak dewasa Rasulullah Saw. bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan kambing milik orang Makkah. Beliau pergi menggembala bersama saudara sesusuannya. Beliau juga pernah menggembalakan domba milik Bani Asad. Selanjutnya, beliau bekerja kepada penduduk Makkah dengan gaji tetap. Rasulullah Saw. kerap menggembalakan kambing- kambing itu hingga jauh di luar Kota Makkah.

Tentang pekerjaannya ini Rasulullah pernah berujar, “Tak seorang pun di antara para nabi yang tidak menggembalakan domba.”

Seorang sahabat bertanya, “Dan engkau juga, wahai Rasulullah?”

“Ya, aku juga.”

Ketika usia Rasulullah Saw. beranjak dewasa, beliau mencari nafkah dengan berdagang, atau mengelola barang dagangan orang lain. Karena keahliannya itulah beliau dipercaya oleh salah satu saudagar Makkah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid, untuk mengelola perdagangannya. Khadijah adalah saudagar kaya yang disegani, yang sering mempekerjakan para pemuda Makkah untuk mengelola usahanya. Saat mendengar keuletan, kejujuran, dan keluhuran akhlak Rasulullah, Khadijah memanggilnya, dan menyuruhnya untuk membawa barang dagangannya ke Negeri Syam (Suriah).

Khadijah memercayakan barang dagangan dalam jumlah yang banyak kepada pemuda Muhammad. Untuk menemani Muhammad dalam perjalanan niaga itu Khadijah memerintahkan salah seorang budaknya yang bernama Maisarah. Keduanya berangkat menuju Syam untuk berdagang. Muhammad menjalankan kepercayaan itu dengan sungguh-sungguh. Ia kerahkan segala kecakapannya berdagang disertai perilakunya yang jujur dan ramah. Maka, tidak mengherankan jika dalam perjalanan dagangnya itu Muhammad dan Maisarah mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat lebih besar dibanding modal yang dipercayakan Khadijah.

Dikisahkan bahwa ketika kaum Quraisy, yang bersekutu dengan kaum Yahudi, dan beberapa kabilah Arab lain berangkat untuk menyerang Madinah, Rasulullah Saw. menyuruh para sahabat untuk menggali parit, atas usul Salman Al-Farisi. Semua kaum Muslim bekerja keras menggali parit sebagai strategi pertahanan menghadapi serangan kaum Quraisy dan sekutunya. Tidak ada seorang pun yang santai dan berleha-leha. Semua orang turun tangan menggali, termasuk Rasulullah sendiri. Beliau tidak hanya memerintah dan mengawasi. Beliau juga turun langsung ikut menggali bersama kaum Muslim. Beliau mengangkut tanah juga bebatuan sambil menyembunyikan rasa laparnya. Beliau menyenandung- kan syair berikut ini:

Tiada daya jika bukan karena-Mu Kami takkan mendapatkan petunjuk Takkan bersedekah dan takkan shalat Berikan ketenangan dalam hati kami Kukuhkan kaki kami saat hadapi mereka Kaum musyrik telah berbuat melampaui batas Jika mereka meniupkan fitnah, kami menepisnya.

Rasulullah Saw. sejak kecil dikenal sebagai pekerja yang tekun dan jujur, sehingga orang-orang Makkah menyukai dan memercayainya. Beliau juga tidak segan membantu dan berkorban demi orang lain. Bahkan, setelah diangkat sebagai Rasulullah dan menjadi pemimpin Madinah, beliau tidak segan atau malu bekerja keras dengan tangannya sendiri untuk membantu orang lain. Misalnya, beliau pernah bekerja mengumpulkan harta untuk membantu penebusan seorang budak dari majikannya.

Budak itu adalah Salman Al-Farisi, salah seorang sahabat besar yang dikenal dengan kecerdikan dan kegigihannya berjuang menegakkan kebenaran. Ia berasal dari tanah Persia. Didorong keinginan untuk mencari jalan yang benar dan lurus, ia tinggalkan tanah kelahiran hingga tiba di tanah Arab sebagai budak.

Salman menceritakan perjumpaannya dengan Rasulullah yang kemudian menyuruhnya untuk berusaha membebaskan diri dari majikannya yang beragama Yahudi. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Tebuslah dirimu, hai Salman!”

Salman berusaha menebus kemerdekaannya dengan mengumpulkan upahnya dari mengurus kebun kurma. Ia bisa mengumpulkan 300 butir kurma yang disimpan dalam beberapa wadah berukiran indah, ditambah uang sebanyak 40 uqiyah. Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Pergilah, dan tebuslah kebebasanmu!”

Maka, Salman menemui majikannya dan menyampaikan maksudnya. Ia memberikan semua wadah berisi kurma itu kepadanya, dan majikannya menyimpan wadah itu. Dari urusan makanan pokok, utang Salman sudah lunas. Namun, uang sejumlah 40 uqiyah itu belum bisa menebus kemerdekaannya. Salman menemui Rasulullah dan mengadukan masalahnya.

Kemudian Rasulullah Saw. memberikan emas berbentuk telur dan menyerahkannya kepada Salman, “Ambil ini, dan lunasi tebusanmu!” perintah Rasulullah. Salman menerima benda itu dan menimbangnya kepada seorang tukang emas yang mengatakan bahwa emas itu berharga 40 uqiyah. Jumlah itu cukup untuk menebus kemerdekaannya. Maka, Salman bergegas menemui majikannya dan menyerahkan semua uang itu sebagai harga penebusan dirinya. Akhirnya, Salman, seorang Muslim asal Persia, keluar dari rumah orang Yahudi itu sebagai manusia yang merdeka. Ia sangat senang bisa mendampingi Rasulullah setiap saat. Ia bahagia bisa berperang di sisi Rasulullah dan kaum Muslim. Ia senang ketika usulannya untuk menggali parit di sekitar Madinah sebagai bentuk pertahanan dari serangan musuh diterima oleh Rasulullah dan kaum Muslim. Ia bahagia karena menjadi Muslim yang merdeka.


πŸ“š 55. Muliakanlah Orang Lain
Suatu hari seseorang menemui Rasulullah Saw. dan wajahnya menampakkan bekas-bekas perjalanan jauh. Setelah beristirahat sejenak, ia mengutarakan keinginannya, “Wahai Rasulullah, saat ini aku ditimpa kesusahan. Aku sungguh merasa lapar!”

Tanpa bertanya lagi, Rasulullah Saw. langsung menemui istri-istrinya dan bertanya, “Adakah makanan untuk orang ini?” Sayang, semua istri beliau saat itu tidak memiliki apa-apa untuk dimakan. Mereka menjawab, “Kami tidak punya makanan. Demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, kami tidak punya apa-apa selain air (minum).”

Kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Apakah ada salah seorang di antara kalian yang mau menjamu orang ini sebagai tamu? Jika ada, semoga Allah merahmatinya.”

Abu Thalhah Al-Anshari bangkit dan berkata, “Aku, wahai Rasulullah.”

Kemudian, ia bergegas membawa tamunya ke rumah. Ia temui istrinya dan menanyakan makanan untuk disuguhkan kepada tamu Rasulullah itu. Namun, istrinya menjawab bahwa mereka tidak memiliki persediaan makanan sedikit pun kecuali cadangan makan malam untuk anak-anaknya.

Abu Thalhah berpikir keras, lalu berkata kepada istrinya, “Wahai Istriku, bila makan malam tiba, tidurkanlah anak-anak, sediakan makanan untuk tamu kita, dan jangan lupa matikan lenteranya, agar ia mengira kita (juga ikut) makan.”

Istri Abu Thalhah mengerjakan pesan suaminya. Ia menidur kan anak-anaknya lebih dini, kemudian mereka duduk bersama tamunya, berpura-pura ikut makan. Mereka hanya membuat bunyi-bunyi seperti orang yang sedang makan. Jika tamu mereka makan hingga kenyang, Abu Thalhah dan keluarganya melewati malam dalam keadaan lapar.

Allah Swt. memberitahukan apa yang terjadi kepada Rasulullah Saw., dan beliau merasa sangat bahagia, lalu memberitahukan kepada Abu Thalhah bahwa Allah meridhainya.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa keesokan harinya Rasulullah Saw. berkata kepada Abu Thalhah, “Hai Abu Thalhah, Allah amat takjub atas apa yang kalian berdua lakukan terhadap tamu kalian.”

Lain lagi dengan Abdullah Al-Bajali. Suatu ketika ia mendatangi majelis Rasulullah Saw., tetapi karena datang terlambat, ia tak kebagian tempat. Ia mondar-mandir mencari tempat duduk. Lalu, para sahabat terkejut ketika Rasulullah Saw. yang mulia bangkit dan membuka gamisnya. Dengan tangannya sendiri beliau melipat gamisnya lalu mengantarkannya kepada Abdullah dan berkata, “Jadikanlah ini untuk tempat dudukmu.”

Namun, Abdullah enggan mendudukinya. Alih-alih, ia ciumi gamis Rasulullah Saw. dengan air mata berlinang, “Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu sebagaimana Tuan memuliakanku.”

Dengan tersenyum beliau berujar, “Bila datang kepada kalian orang mulia dari suatu kaum, muliakanlah ia.”


πŸ“š 56. Berbaktilah kepada Kedua Orangtuamu
Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasul, kepada siapakah aku harus berbakti?”

“Ibumu,” jawab Rasulullah.

“Setelah itu, kepada siapa lagi?”

“Ibumu.”

“Lalu, siapa lagi?”

“Ibumu.”

Sahabat ini masih penasaran dan bertanya lagi, “Lalu, setelah itu?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Lalu, kepada ayahmu.”

Dalam kesempatan yang lain seorang sahabat datang menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan berbaiat kepadamu untuk hijrah. Aku tinggalkan kedua orangtuaku disertai tangisan duka.”

Namun, bagaimanakah jawaban Rasulullah Saw.? Beliau berujar, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu. Buatlah mereka tertawa sebagaimana kau telah membuat keduanya menangis.”

Selaras dengan kedua kisah di atas, Rasulullah menghimpun barisan kaum Muslim untuk berperang, seorang sahabat menghadap beliau meminta izin untuk ikut berjihad.

“Apakah kau masih punya ibu-bapak?” tanya Rasulullah Saw.

“Ya, masih ada,” jawab sahabat itu.

“Berjihadlah untuk mereka,” titah Rasulullah Saw.

Peristiwa serupa dialami Muawiyah ibn Jahimah Al-Sulami. Ia menuturkan bahwa ia menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku telah berniat untuk ikut berjihad bersamamu, wahai Rasulullah. Aku hanya mengharapkan ridha Allah dan pahala akhirat.”

Namun, Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?”

“Ya, ia masih hidup.”

“Pulanglah, dan berbaktilah kepadanya!”

Muawiyah beberapa kali datang memohon agar diizinkan ikut berjihad, tetapi Rasulullah selalu menyuruhnya berbakti kepada ibunya seraya berkata, “Hai Muawiyah, jagalah ibumu. Sebab, surga berada di bawah telapak kakinya.”


πŸ“š 57. Janganlah Berbuat Kasar
Rasulullah Saw. benar-benar merupakan pemimpin ideal yang dikenal dengan kejujuran dan keadilannya. Beliau juga tidak pernah mempersulit suatu persoalan. Bagi Rasulullah, apa yang bisa dipermudah, jangan dipersulit. Dalam segala urusan beliau juga menyukai yang pertengahan, atau yang sedang-sedang.

Setiap kali mengutus sahabat ke suatu daerah, beliau berpesan, “Mudahkanlah dan jangan mempersulit. Sampaikan kabar gembira dan jangan memicu kebencian. Ambillah jalan pertengahan, dan lakukanlah apa pun sesempurna mungkin sesuai dengan kemampuanmu!”

Rasulullah Saw. tidak pernah menyerang atau menyakiti orang lain untuk membela dirinya. Setiap kali diminta untuk memilih antara dua pilihan, beliau selalu memilih yang paling ringan, aman, dan bebas dari dosa.

Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. hendak mendirikan shalat bersama para sahabat. Tiba- tiba seorang Arab Badui kebelet kencing, lalu begitu saja ia kencing di sudut masjid bagian belakang. Tentu saja para sahabat jengkel melihatnya dan hendak memukul orang itu. Namun, Rasulullah Saw. menahan mereka,

“Biarkan ia tuntaskan hajatnya dulu!” Setelah orang Arab Badui itu menyelesaikan hajatnya, Rasulullah Saw. memanggilnya, “Agar kau tahu, tak sepantasnya kencing atau buang kotoran di masjid. Sebab, masjid itu tempat untuk berzikir kepada Allah, shalat, dan membaca Al- Quran.”

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada para sahabat, “Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan mempersulit. Guyurlah air kencingnya dengan satu ember air!”

Mendengar ujaran Rasulullah, orang Arab Badui itu berdoa, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan Engkau rahmati selain kami seorang pun!”

Mendengar doa yang diucapkan orang itu, Rasulullah berpaling kepadanya dan berkata, “Sungguh kau telah mempersempit perkara yang luas (rahmat Allah).”

Dikisahkan pula bahwa suatu hari ketika Rasulullah Saw. berkumpul dengan para sahabat, seorang Arab Badui datang menghampiri beliau meminta sesuatu, dan beliau pun memberinya. Ketika si Badui ditanya, “Apakah kau puas dan merasa diberi anugerah?” Ia menjawab, “Aku belum merasa bahwa Tuan sudah berbuat baik.”

Tentu saja para sahabat yang mendengar ucapannya merasa jengkel dan seseorang hendak memukulnya. Namun, Rasulullah Saw. menahan mereka. Lalu, beliau membawa orang itu ke rumahnya, dan di sana beliau menambah lagi pemberiannya. Barulah setelah itu ia berkata, “Semoga Allah membalas Tuan dengan sebaik- baik pemberian.”

Rasulullah Saw. berujar, “Lain kali, bila kau ada bersama sahabat-sahabatku, katakanlah seperti itu di hadapan mereka. Sebab, mereka agak tersinggung oleh ucapanmu tadi.”

Keesokan harinya, orang Badui itu berbuat seperti yang dianjurkan Rasulullah Saw. sehingga para sahabat merasa senang. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Perumpamaanku dan orang Badui ini adalah seperti seseorang dan untanya yang mengamuk. Ketika beberapa orang berusaha menjinakkannya, ia makin beringas. Maka, pemiliknya berkata, ‘Biarkan aku sendiri yang menjinakkannya!’ Dan dengan cara-cara seperti yang biasa ia lakukan, amukan unta itu mereda, lalu diam sehingga bisa dimuati barang-barang untuk diangkut.”


πŸ“š 58. Tahanlah Amarah!
Suatu ketika Rasulullah Saw. sedang duduk bersama Abu Bakar r.a. Tiba-tiba, muncul seseorang yang mencela Abu Bakar. Menyaksikan tingkah orang itu, Rasulullah Saw. hanya diam dan tersenyum. Namun, Abu Bakar merasa jengkel dan kesal mendengar celaan orang itu sehingga ia pun balas mencelanya. Namun, Rasulullah tidak menyukai kelakuan Abu Bakar. Beliau bangkit berdiri dan merengkuh pundak Abu Bakar dengan raut muka yang menampakkan kemarahan.

Tentu saja Abu Bakar merasa heran dan bertanya, “Ya Rasul, ketika orang itu mencelaku kau tetap duduk dan diam. Namun, ketika aku membantah celaannya, engkau tampak marah dan berdiri?!”

Rasulullah Saw. menjelaskan, “Ketika kau diam tidak membalas, ada malaikat yang menyertaimu dan ialah yang membantah celaan orang itu. Namun ketika kau mulai membantahnya, malaikat itu pergi dan yang datang adalah setan.”

Abu Bakar terdiam mendengar penjelasan Rasulullah Saw. kemudian beliau melanjutkan, “Hai Abu Bakar, ada tiga hal yang semuanya benar. Pertama, ketika seorang hamba dizalimi, kemudian ia memaafkannya karena Allah, niscaya Allah akan memuliakannya dengan pertolonganNya. Kedua, ketika seorang hamba memberi sedekah dan menginginkan kebaikan, Allah akan menambah banyak hartanya. Ketiga, ketika seorang hamba meminta harta kepada manusia untuk memperbanyak hartanya, niscaya Allah tambahkan kepadanya kekurangan.”

Dalam kesempatan lain, beliau bersabda, “Jika engkau marah, diamlah. Jika engkau marah, diamlah. Jika engkau marah, diamlah.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Amr ibn Abi Qurrah bahwa ketika tinggal di Madain, Hudzaifah menceritakan berbagai hal yang disampaikan Rasulullah Saw. ketika beliau dalam keadaan marah. Tentu saja orang-orang merasa gentar, takut, dan kemudian mereka meninggalkannya seorang diri. Lalu, mereka datang menemui Salman Al-Farisi menceritakan segala yang dikatakan Hudzaifah dan bagaimana sikapnya ketika bercerita. Mereka menanyakan pendapat Salman tentang hal itu, dan ia menjawab, “Hudzaifah lebih tahu apa yang ia katakan.”

Salman tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan segala yang dikatakan Hudzaifah. Maka, orang-orang itu kembali menemui Hudzaifah dan berkata,

“Kami telah menemui Salman dan menceritakan apa yang engkau katakan. Namun, ia tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkan.”

Maka, Hudzaifah bergegas menemui Salman yang sedang berada di kebunnya dan berkata, “Hai Salman, mengapa kau tidak membenarkan apa yang aku dengar dari Rasulullah?”

Salman menjawab, “Jika Rasulullah marah, beliau akan berkata kepada kaumnya dengan marah. Di saat senang, beliau akan berkata kepada kaumnya dengan hati yang senang. Jangan lagi berkata seperti itu hingga kau bisa menyampaikan kepada orang lain apa yang membuat mereka senang, dan tidak membuat mereka marah atau ketakutan. Atau memang kau menghendaki perbedaan dan perpecahan?”

Hudzaifah terdiam, dan Salman melanjutkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah, ‘Siapa pun dari umatku yang pernah aku maki atau atau kukecam ketika aku marah, maka (maklumilah karena) aku adalah anak Adam yang bisa marah seperti mereka.

Pada hakikatnya, aku diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Semoga Allah menjadikan (makian dan kecamanku) sebagai rahmat bagi mereka di Hari Kiamat.’ Hai Hudzaifah, berhentilah melakukan tindakan seperti itu. Jika tidak, aku akan melaporkanmu kepada Umar!”


πŸ“š 59. Berbuat Baik pada Hewan
Dikisahkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. dan para sahabat menempuh suatu perjalanan. Di tengah perjalanan, Rasulullah memisahkan diri sebentar dari rombongan untuk suatu keperluan. Para sahabat melihat dua ekor anak burung hammarah (burung merah), lalu mengambilnya. Tidak lama kemudian, induknya datang dan tampak gelisah karena tidak menemukan kedua anaknya.

Ketika Rasulullah Saw. datang dan melihat induk burung itu, beliau bertanya, “Siapakah yang telah menyusahkan burung ini? Segera kembalikan anak-anaknya!”

Di lain kesempatan, ketika melihat sarang burung yang dibakar, beliau bertanya, “Siapakah yang telah membakar sarang ini?”

Para sahabat menjawab, “Kami.”

“Hanya Rabb Al-NΓ’r (Sang Pemilik Api, yakni Allah) yang pantas mengazab dengan api.”

Suatu saat Rasulullah Saw. melihat seseorang menginjak perut seekor kambing, menajamkan pisaunya, dan memperlihatkan pisau itu di depan mata si kambing. Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kau ingin membunuhnya dengan dua kematian? Asahlah pisaumu itu sebelum kau merebahkannya!”

Di lain kesempatan, beliau berpesan kepada para sahabat, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kebaikan atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, perbaguslah caranya. Dan jika menyembelih, perbaguslah caranya. Tajamkanlah pisau kalian dan senangkanlah sembelihan kalian!” (HR Muslim).

Imam Al-Thabrani meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing agar ia bisa minum air darinya, kemudian beliau berwudhu dengan sisa air dari bejana itu.

Suatu saat Rasulullah Saw. bercerita kepada para sahabat bahwa dulu ada seorang pelacur yang merasa sangat kehausan sehingga ia bergegas mendekati sumur untuk mendapatkan air. Namun, di dekat sumur, pelacur itu melihat seekor anjing berjalan lemah mengitari sumur. Sepertinya, anjing itu pun kehausan. Ia ingin minum air dari sumur itu tetapi tidak bisa mengambilnya. Akhirnya, ia hanya bisa menjulur-julurkan lidahnya. Pelacur itu merasa iba sehingga ia segera membuka sepatunya, mengikat sepatu itu dengan selendangnya, lalu menurunkannya ke dalam sumur. Ujung lain selendang itu ia ikatkan pada tubuhnya. Setelah sepatunya terisi air, ia menariknya, lalu minum air dari sepatu itu dan kemudian memberi minum anjing itu hingga kenyang.

Karena kebaikannya itulah Allah mengampuni dosa-dosanya sebagai pelacur. Amal salehnya (bersedekah pada anjing) telah menghapus dosa-dosa yang ia lakukan di masa silam (HR Muslim).

Kisah serupa juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, tetapi yang melakukannya adalah seorang laki-laki. Rasulullah Saw. bercerita bahwa ada seorang laki-laki yang berjalan di bawah terik matahari. Setelah lama berjalan, ia merasa sangat kehausan. Namun, bekal airnya telah habis dan sepanjang perjalanan ia tak menemukan sumber air. Maka, ia terus melanjutkan perjalanan dengan pikiran dipenuhi keinginan agar segera menemukan sumur untuk memuaskan dahaganya.

Ia sangat senang ketika dari kejauhan melihat sebuah oase di tengah gurun pasir yang terbentang luas. Tetapi, alangkah kecewanya saat menemukan ternyata oase itu hanya fatamorgana.

Ia kembali melanjutkan perjalanan hingga akhirnya ia menemukan sebuah perigi atau sumur. Para kafilah biasa berhenti dan beristirahat, lalu mengambil air untuk bekal perjalanan mereka di sekitar sumur ini.

Betapa senangnya sang musafir ketika melihat ke dalam sumur dan masih banyak air di sana. Namun, ia bingung, bagaimana cara mengambil air itu? Tidak ada ember dan tali timba di sana! Pinjam? Ia tak melihat seorang pun melintas di tempat itu. Hanya ia seorang di sana.

Akhirnya, ia putuskan untuk merangkak turun ke dasar sumur itu. Dengan susah payah ia jejakkan kedua kakinya ke dinding sumur hingga akhirnya ia tiba di dasar sumur dan minum hingga puas. Setelah merasa cukup, ia pun merangkak naik. Namun, ia terkejut ketika keluar dari sumur dan melihat seekor anjing di bibir sumur menjulur-julurkan lidahnya saking kehausan.

“Anjing ini benar-benar kehausan seperti aku tadi. Jika tidak segera minum, ia pasti mati, sepertiku,” pikirnya dalam hati.

Tanpa pikir panjang, ia kembali menuruni sumur itu, membuka sepatunya dan mengisinya dengan air hingga penuh. Lalu, ia gigit kuat-kuat sepatunya itu dan perlahan merangkak naik. Akhirnya, ia sampai di luar sumur dan cepat-cepat meminumkan air itu pada anjing yang langsung mereguknya dengan rakus.

“Maka,” kata Rasulullah Saw. di ujung ceritanya, “Allah berterima kasih kepadanya, karena ia telah menolong salah satu makhluk-Nya. Allah juga mengampuni dosa-dosanya sebagai balasan atas kebaikannya itu.”


πŸ“š 60. Mengambil Pelajaran dari Orang Lain
Suatu hari seorang laki-laki tua menemui Rasulullah Saw. dan mengadukan perilaku anaknya yang kaya raya tetapi kerap mengabaikannya. Ia menuturkan, “Wahai Rasulullah, anakku berbuat baik kepada semua orang dan mau membantu mereka, tetapi ia tidak mau membantuku sebagai orangtuanya. Bahkan, ia mengusirku dari rumahnya.”

Mendengar laporan orangtua itu, Rasulullah Saw. segera mengutus seorang sahabat untuk menemui anak itu dan menasihatinya agar mau menerima dan mengurus ayahnya. Namun, pemuda itu berbohong kepada Rasulullah Saw. dengan mengatakan, “Aku tidak punya cukup harta untuk mengurusi ayahku.”

Rasulullah Saw. berkata, “Aku tahu, kau punya gudang gandum dan kurma. Kau juga memiliki simpanan uang yang sangat banyak.”

Pemuda itu tetap mengelak, “Wahai Rasulullah, siapa pun yang mengatakan hal itu kepadamu pasti telah berdusta!”

Rasulullah Saw. melihat bahwa semua nasihatnya tak dapat memengaruhi hati pemuda yang lebih keras dari batu itu. Maka, beliau bersabda, “Berdiri dan pergilah dari hadapanku. Ingatlah! Tak lama lagi kau akan menyesal dan di saat itu datang, penyesalanmu itu tak lagi berguna.”

Kemudian Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk menyediakan tempat tinggal dan kebutuhan hidup orangtua itu dari baitulmal agar ia tak lagi merasa kesusahan.

Sementara, si pemuda itu merasa senang setelah pergi dari hadapan Rasulullah Saw. karena sekarang ia telah lepas dari keharusan mengurusi ayahnya.

Beberapa waktu kemudian, ketika datang saat yang tepat untuk menjual kurma, pemuda itu membuka gudang tempat penyimpanan kurmanya. Namun, ia terkesiap saat mendapati semua kurma di dalam gudangnya telah habis dimakan ulat. Tak ada yang tersisa sedikit pun kecuali biji-biji kurma yang tidak akan laku dijual.

Kemudian, ia bergegas pergi menuju gudang tempat penyimpanan gandumnya. Lagi-lagi ia tersentak, kaget, dan marah saat melihat gandum di dalam gudangnya diserang serangga. Hewan kecil itu memakan gandum di gudang itu hingga yang tersisa hanya batangnya. Ia melihat ada sebagian gandum yang belum diserang serangga. Namun, ternyata gandum-gandum itu pun telah rusak dan bau karena ditempeli banyak ulat. Tentu saja ia mengalami kerugian yang besar.

Ia telah mengeluarkan modal yang sangat besar untuk mengolah kurma dan gandum itu kemudian menyimpannya di gudang. Tak ada yang bisa ia lakukan kecuali membuang biji-biji kurma dan batang gandum yang tersisa.

Sayang, semua musibah itu tidak membuatnya sadar dan jera untuk kemudian meminta maaf kepada ayahnya. Sedikit pun ia tidak menyadari bahwa semua itu merupakan peringatan baginya. Ia pun tak ingat peringatan Rasulullah yang begitu keras. Ia tetap tidak mau menemui ayahnya dan meminta maaf. Akhirnya, beberapa hari setelah musibah itu, ia jatuh sakit. Dan ketika ia hendak mengambil uang yang selama ini disimpannya untuk berobat, lagi-lagi ia terkesiap karena semua uangnya telah berubah menjadi lempengan tembikar tak berharga.

Hari demi hari penyakitnya kian parah. Semua kawannya menjauhinya karena tahu bahwa kemiskinan dan penyakitnya itu akibat ia durhaka kepada ayahnya.

Dua tahun kemudian, tinggal kulit dan tulang yang tersisa pada tubuhnya. Ia berjalan sambil bertumpu pada tongkat dan meminta pertolongan kepada semua orang.

Suatu hari Rasulullah Saw. berjalan bersama beberapa sahabat. Beliau melihat pemuda itu duduk di pinggir gang dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Beliau menoleh kepada sahabatnya dan berkata, “Hai orang-orang yang durhaka kepada ayah dan ibunya, ambillah pelajaran dari orang ini. Alih-alih mendapatkan kedudukan mulia di surga, itulah yang ia dapatkan. Ia merasa mampu membeli surga dengan harta dan kedudukannya. Ketahuilah! Sebentar lagi pemuda ini akan meninggal dunia dan masuk Neraka Jahanam.”


πŸ“š 61. Rasulullah Tak Pernah Menolak Permintaan
Rasulullah Saw. adalah sosok yang paling dermawan. Tak ada sedikit pun rasa takut menjadi fakir sehingga beliau sangat suka bersedekah. Kebahagiaannya ketika memberi jauh lebih besar daripada rasa senangnya ketika menerima pemberian dari orang lain. Tidak ada seorang pun sahabat yang dapat menandingi kedermawanannya. Rasulullah Saw. adalah orang yang paling pemurah, paling pengasih, dan paling dermawan.

Sahabat Anas r.a. menuturkan, “Setiap kali Rasulullah diminta sesuatu, beliau pasti memberikannya. Suatu ketika, datang seorang peminta-minta dan beliau memberinya kambing yang berada di antara dua bukit. Kemudian, orang itu kembali kepada kaumnya .…”

Dalam kesempatan lain, seorang perempuan menemui Rasulullah Saw. sambil membawa kain tenun.

“Wahai Rasulullah, kain ini kutenun sendiri. Aku ingin memberikannya kepadamu,” ujar perempuan itu.

Rasulullah Saw. pun menerimanya, karena beliau memang membutuhkannya. Tidak lama setelah kedatangan perempuan itu, Rasulullah Saw. keluar rumah mengenakan sarung tenun itu. Namun, saat beliau berjalan, seseorang menyapanya dan berkata, “Alangkah bagusnya kain itu, wahai Rasulullah, seandainya saja aku bisa memilikinya.”

“Baiklah,” jawab Rasulullah Saw., sambil berbalik pulang, melipat kain itu, lalu mengirimkannya kepada orang itu.

Para sahabat yang mendengar kejadian itu menegur orang itu, “Jangan bertingkah seperti itu. Kain itu sedang dikenakan Rasulullah. Beliau membutuhkannya. Kau malah memintanya. Kau sendiri ‘kan tahu, Rasulullah tidak pernah menolak permintaan siapa pun.”

“Demi Allah, aku meminta kain ini bukan untuk kupakai, melainkan untuk kain kafanku kelak,” jawab lelaki itu.

Sahal yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Ternyata benar. Kain itu, dipakai sebagai kafannya ketika ia meninggal dunia.”


πŸ“š 62. Rasulullah dan Ahlu Shuffah
Suatu saat ketika sedang berjalan-jalan, Rasulullah Saw. melihat Abu Hurairah r.a. duduk di pinggir jalan dengan tubuh yang tampak lunglai. Beliau tahu, sahabatnya itu sedang kelaparan. Beliau tersenyum seraya memanggil, “Hai Aba Hirr (panggilan Abu Hurairah r.a.)!”

“Labbaika, yΓ’ RasΓ»lullah.”

“Ikutilah aku,” titahnya.

Maka, Abu Hurairah mengikuti Rasulullah Saw. yang berjalan ke rumahnya. Setelah diberi izin, Abu Hurairah masuk di belakang Rasulullah. Di dalam rumah, Rasulullah Saw. melihat satu wadah dipenuhi susu dan beliau bertanya kepada istrinya, “Dari mana susu ini?”

“Seseorang mengirimkannya untukmu sebagai hadiah,” jawab istrinya.

Rasulullah Saw. memanggil Abu Hurairah, “Hai, Aba Hirr!”

“Labbaika, yΓ’ RasΓ»lullah.”

“Panggillah ahlu shuffah (kaum fakir yang menetap di serambi masjid Nabi)!”

Seperti itulah kebiasaan Rasulullah Saw. Setiap kali mendapatkan sedekah, beliau langsung mengirimkannya kepada ahlu shuffah. Beliau tidak mengambil sedikit pun. Sementara jika mendapatkan hadiah, beliau akan memakan sebagian dan memberikan sebagian lainnya kepada para sahabat, terutama ahlu shuffah.

Ketika diperintahkan untuk memanggil ahlu shuffah, Abu Hurairah r.a. berkata dalam hati, “Aku berhak mendapat seteguk lebih dulu untuk mengembalikan tenagaku. Toh nanti, kalau ahlu shuffah datang, tentu aku yang akan disuruh melayani mereka. Pasti nanti aku akan mendapatkan sisanya.” Tetapi, ia tidak berani memintanya kepada Rasulullah Saw.

Abu Hurairah r.a. bergegas pergi memanggil ahlu shuffah. Saat tiba di rumah Rasulullah Saw., mereka langsung menempati tempat duduk masing-masing. “Hai, Aba Hirr!”

“Labbaika, yΓ’ RasΓ»lullah.”

“Terima ini dan bagikan kepada mereka!” perintah Rasulullah Saw.

Abu Hurairah pun menerima wadah susu itu. Lalu, ia memberikan kepada orang pertama untuk diminum sampai puas. Lalu, orang kedua, ketiga, keempat, sampai semuanya kebagian. Setelah itu, wadah dikembalikan kepadanya, dan ia langsung memberikannya kepada Rasulullah Saw. Beliau menerimanya sambil tersenyum.

“Hai, Aba Hirr!”

“Labbaika, yΓ’ RasΓ»lullah.”

“Kini, tinggal aku dan engkau.”

“Benar, ya Rasulullah.”

“Duduklah dan minumlah,” pinta beliau. Ia pun duduk dan minum susu itu. Rasulullah Saw. beberapa kali menyuruhnya: “Minumlah!” sehingga Abu Hurairah terus-terusan minum sampai kekenyangan.

“Demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran, aku sudah kenyang,” ujar Abu Hurairah.

“Kalau begitu, berikan kepadaku!”

Abu Hurairah pun memberikan wadah itu. Rasulullah Saw. memuji Allah, membaca basmallah, lalu meminum susu itu.


πŸ“š 63. Kebaikan untuk Orangtua
Suatu hari Rasulullah Saw. berkumpul bersama para sahabat, termasuk di dalamnya ada Buraidah ibn Al-Hushaib Al-Aslami. Saat beliau asyik menyampaikan tuntunan, tiba-tiba muncul seorang perempuan.

Setelah mengucapkan salam dan saling menyapa sejenak dengan Rasulullah Saw., ia bertutur dengan suara lirih, “Wahai Rasulullah, beberapa waktu lalu aku memberikan seorang budak perempuan kepada ibuku, tetapi sekarang ibuku telah meninggal.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Kau pasti mendapatkan pahala dan budak itu kini menjadi milikmu kembali sebagai warisan.”

“Wahai Rasulullah,” ucap perempuan itu melanjutkan, “Ibuku punya utang puasa sebulan, bolehkah aku berpuasa atas nama ibuku?”

“Berpuasalah atas namanya.”

“Wahai Rasulullah, ibuku juga belum pernah menunaikan ibadah haji. Bolehkah aku berhaji atas nama ibuku?”

“Berhajilah atas namanya.”

Pada kesempatan yang lain seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, ibuku mendadak meninggal dunia. Aku menduga seandainya ia sempat bicara sebelum meninggal, tentu ia akan bersedekah. Jadi, apakah ia dapatkan pahala sedekah apabila aku bersedekah atas namanya?”

Rasulullah Saw. menjawab singkat, “Ya, dapat.”

Hampir senada dengan kisah di atas, seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, bapakku sudah meninggal. Ia meninggalkan harta tetapi tidak memberi wasiat berkaitan dengan harta peninggalannya. Dapatkah harta-harta itu menghapus dosa-dosanya jika kusedekahkan atas namanya?”

“Ya, dapat,” jawab Rasulullah Saw. singkat.

Sementara, berkaitan dengan nazar seseorang yang telah meninggal, diriwayatkan bahwa Sa‘d ibn Ubadah pernah meminta fatwa kepada Rasulullah Saw. tentang nazar ibunya yang telah meninggal, tetapi belum sempat ditunaikan.

Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Tunaikan olehmu atas namanya!”


πŸ“š 64. Keutamaan Bagian Kanan
Ummu Sulaim adalah perempuan Anshar dari Bani Najjar yang menikah dengan Malik ibn Nadhr. Dari pernikahannya itu ia dikaruniai seorang putra bernama Anas ibn Malik, yang kemudian menjadi pelayan Rasulullah Saw. dan kelak menjadi salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis beliau. Namun, suatu hari, karena bertengkar dengan istrinya, Malik pergi merantau ke Syiria dan akhirnya meninggal dunia di sana. Setelah itu, perempuan yang terkenal cerdas dan memiliki dua bola mata yang sangat indah itu menikah dengan Abu Thalhah, seorang Anshar yang terkenal dermawan.

Hari ini, perempuan yang terkenal tabah dan berhati mulia itu merasa sangat senang karena kedatangan tamu- tamu istimewa tanpa diduga. Mereka adalah Rasulullah Saw. disertai beberapa sahabat, termasuk Abu Bakar, Umar, dan seorang Arab Badui. Tentu saja, Ummu Sulaim dan keluarga senang bukan kepalang. Ia menyilakan

tamu-tamu istimewa itu masuk ke dalam rumah. Ketika Rasulullah Saw. duduk, orang Arab Badui itu duduk di sebelah kanan beliau, sedangkan Abu Bakar dan Umar duduk di sebelah kiri beliau.

Kemudian, Ummu Sulaim segera menghidangkan kepada Rasulullah Saw. dan para sahabat susu kambing yang diperah oleh Anas ibn Malik. Beliau pun dengan suka cita menerima hidangan itu dan meminumnya. Setelah menikmati hidangan, Rasulullah Saw. menyerahkan wadah berisi susu itu kepada orang Arab Badui yang berada di sisi kanan beliau. Rupanya Umar ibn Khaththab kurang suka dan berujar, “Wahai Rasulullah, serahkanlah wadah itu kepada Abu Bakar lebih dulu ....”

Namun, Rasulullah Saw. tetap menyerahkan wadah susu itu kepada orang Arab Badui, bukan kepada Abu Bakar. Sesudah orang Arab Badui itu menerima wadah itu, beliau berkata kepada semua, “Dahulukanlah orang yang di sebelah kanan! Dahulukanlah orang yang di sebelah kanan! Dahulukanlah orang yang di sebelah kanan!”

Tidak hanya itu, dalam berbagai aktivitas sehari-hari Rasulullah Saw. menyuruh kita untuk mendahulukan yang kanan atau memulai sesuatu dengan tangan kanan, termasuk makan, minum dan sebagainya, kecuali ketika memasuki kamar mandi atau WC. Maksudnya, agar kita tidak meniru setan yang selalu melakukan sesuatu dengan tangan kirinya.

Suatu ketika Rasulullah Saw. siap menyantap hidangan bersama anak tirinya, Umar ibn Abi Salamah. Anak itu kelihatan tak sabar untuk segera menikmati hidangan itu. Rasulullah berkata kepadanya, “Duduklah, wahai Anakku. Sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang dekat denganmu.”

Setelah dewasa, Umar ibn Salamah berkata, “Demi Allah, sejak saat itu, aku senantiasa makan dengan cara seperti itu.”


πŸ“š 65. Memberi Kelonggaran kepada Tawanan
Rasulullah Saw. pernah mengirim pasukan berkuda ke wilayah Najd, lalu mereka menangkap seorang laki-laki Bani Hanifah yang bernama Tsumamah ibn Utsal, pemuka orang Yamamah. Mereka membawanya ke Madinah kemudian mengikatkannya pada salah satu tiang masjid. Beberapa saat kemudian Rasulullah Saw. menemuinya dan bertanya, “Apa yang kaumiliki, hai Tsumamah?”

Ia menjawab, “Hai Muhammad, aku memiliki kebaikan. Jika kau membunuhku, berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika kau membebaskanku, berarti kau membebaskan orang yang akan membalas budi. Jika kau menghendaki harta sebagai tebusan, mintalah sesukamu, pasti engkau akan diberi.”

Rasulullah Saw. tidak meresponsnya dan beranjak pergi meninggalkan Tsumamah. Keesokan harinya Rasulullah Saw. kembali menemuinya dan bertanya, “Apa yang kaumiliki, hai Tsumamah?”

“Aku memiliki apa yang telah kukatakan kepadamu. Jika kau membebaskanku, berarti kau membebaskan orang yang akan membalas budi. Jika kau membunuhku, berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, mintalah sekehendakmu, pasti engkau akan diberi.”

Seperti hari sebelumnya, Rasulullah Saw. tidak menjawab dan beranjak pergi meninggalkan Tsumamah. Esoknya, Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Apa yang kaumiliki, hai Tsumamah?”

“Aku memiliki apa yang telah kukatakan kepadamu. Jika kau membebaskanku, berarti kau membebaskan orang yang akan membalas budi. Jika kau membunuhku, berarti kau membunuh orang yang terhormat. Jika kau menginginkan harta sebagai tebusan, mintalah sekehendakmu, pasti engkau akan diberi.” Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Bebaskanlah Tsumamah!”

Setelah dibebaskan, Tsumamah pergi ke pohon kurma dekat masjid, lalu mandi, kemudian memasuki masjid, menghadap Rasulullah, dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Hai Muhammad, demi Allah, semula di atas bumi ini tidak ada wajah yang lebih kubenci daripada wajahmu, tetapi sekarang wajahmulah yang paling aku cintai. Demi Allah, di atas bumi ini tadinya tidak ada agama yang paling kubenci daripada agamamu, tetapi sekarang agamamulah yang paling kusukai. Demi Allah, semula tidak ada negeri yang lebih kubenci daripada negerimu, tetapi sekarang negerimulah yang paling kucintai. Ketahuilah, wahai Muhammad, pasukan berkudamu menangkapku ketika aku hendak menunaikan umrah. Bagaimanakah pendapatmu?” Maka, Rasulullah Saw. menghiburnya dan menyuruhnya kembali menunaikan umrah. Setelah tiba di Makkah, seseorang bertanya, “Apakah kau pindah agama?”

Tsumamah menjawab, “Tidak, tetapi aku masuk Islam menyertai Rasulullah. Demi Allah, Yamamah tidak akan mengirim sebutir gandum pun kepada kalian kecuali setelah diizinkan Rasulullah.”


πŸ“š 66. Berkah Uang Delapan Dirham
Suatu hari Rasulullah Saw. hendak belanja. Dengan bekal uang delapan dirham, beliau ingin membeli pakaian dan peralatan rumah tangga. Belum juga sampai di pasar, beliau melihat seorang wanita sedang menangis.

“Mengapa kau menangis? Apakah kau sedang ditimpa musibah?” tanya Rasulullah Saw.

Wanita itu mengatakan bahwa ia adalah seorang budak. Ia menangis karena kehilangan uang dua dirham dan takut akan dipukuli majikannya. Maka, Rasulullah Saw. mengeluarkan dua dirham dan diberikan kepada budak wanita itu. Kini, uang beliau tinggal enam dirham lagi.

Rasulullah Saw. bergegas membeli gamis, pakaian kesukaannya. Namun, saat mau beranjak pulang, seorang laki-laki tua berteriak, “Barangsiapa memberiku pakaian, Allah akan mendandaninya kelak.” Rasulullah Saw. memperhatikan orang itu. Ternyata benar, pakaiannya compang-camping, tak pantas lagi dipakai. Maka, beliau memberikan gamis yang baru dibelinya itu dengan suka rela kepadanya.

Rasulullah Saw. pun meneruskan langkahnya hendak pulang. Namun, lagi-lagi beliau harus bersabar. Kali ini, budak wanita tadi mendatanginya dan mengeluh bahwa ia takut pulang. Ia khawatir akan dihukum majikannya karena terlambat pulang. Memang, di masa itu, seorang budak, apalagi wanita, tak ubahnya binatang. Hukuman fisik sudah lazim diterima. Dan Rasulullah Saw. diutus salah satunya untuk membela kaum tertindas. Akhirnya, beliau dengan senang hati mengantarkan budak wanita itu ke rumah majikannya.

Sampai di rumah orang itu, Rasulullah Saw. mengucapkan salam, tetapi tidak ada yang menjawab. Beliau kembali mengucapkan salam. Baru pada kali ketiga, penghuni rumah menjawabnya. Tampaknya, semua penghuni rumah adalah perempuan.

“Kenapa salam pertama dan keduaku tidak kalian jawab?” tanya Rasulullah.

“Kami sengaja diam karena ingin didoakan olehmu, wahai Rasulullah, dengan tiga kali salam.”

Kemudian beliau menyerahkan budak wanita itu kepada pemiliknya dan menjelaskan persoalannya seraya berpesan, “Jika budak wanita ini salah dan perlu dihukum, biarlah aku yang menerima hukumannya.”

Mendengar penuturan Rasulullah Saw. yang begitu tulus dan ikhlas, penghuni rumah terkesima dan terharu. Ia berkata, “Budak ini sekarang bebas karena Allah.” Tentu saja Rasulullah Saw. sangat senang mendengarnya. Beliau bersyukur sambil berkata, “Tidak ada delapan dirham yang begitu besar berkahnya daripada delapan dirham ini. Dengannya Allah telah memberi rasa aman kepada orang yang ketakutan, memberi pakaian orang yang telanjang, dan membebaskan seorang budak.”


πŸ“š 67. Adab Memelihara Masjid
Para sahabat sangat memahami adab di masjid, selalu mempelajarinya, dan kukuh menjalankannya. Mereka sangat tekun dan berlomba-lomba memelihara kebersihan masjid. Itu mereka lakukan setelah suatu hari melihat Rasulullah Saw. membersihkan dahak di masjid dengan ujung ranting, lalu beliau meminta minyak wangi kepada yang hadir. Lalu seorang pemuda memberikan parfum jenis “khaluq”, dan beliau langsung memercikkannya ke bekas dahak tadi.

Setelah kejadian itu, beliau berbicara di depan hadirin mengajarkan bagaimana mengatasi masalah mulut.

“Siapa di antara kalian yang ingin dibelakangi Allah?” tanya Rasulullah Saw.

Para sahabat diam, terkejut mendengar pertanyaan beliau.

Namun, setelah beliau mengulangi pertanyaannya, mereka menjawab, “Tidak ada, wahai Rasulullah!”

“Ingatlah,” lanjut beliau, “ketika kalian berdiri shalat, Allah Swt. ada di hadapan kalian. Maka, jangan meludah ke depan dan ke kanan. Jika mendesak ingin meludah, usaplah dengan pakaianmu, seperti ini ….” Rasulullah Saw. lalu melipat pakaian satu di atas yang lain.

Kemudian beliau juga memerintahkan agar masjid diberi harum-haruman dan dupa bakar, “Harumkanlah masjid kalian dengan asap dupa!”

Kemudian beliau berpesan agar masjid dibersihkan dari kotoran seraya bersabda, “Dipampangkan kepadaku seluruh pahala umatku, sampai pahala orang yang membuang kotoran dari masjid.”

Dikisahkan bahwa suatu ketika seorang wanita berkulit hitam tinggal di salah satu pojok masjid. Ia mendirikan sebuah kemah kecil di sana. Ia adalah seorang budak milik seorang penduduk Makkah. Suatu hari, sang majikan kehilangan barang, dan mereka menuduh budak itu sebagai pencurinya. Ia diperiksa dan ditelanjangi lalu dihina sejadi-jadinya. Setelah diketahui bahwa ia bukan pelakunya, budak wanita ini mereka tinggalkan sehingga akhirnya ia pergi ke Madinah.

Wanita ini sangat rajin menyapu dan membersihkan masjid. Rasulullah Saw. menyukai pekerjaan wanita itu hingga ketika suatu hari beliau tidak melihatnya, beliau bertanya kepada para sahabat. “Ia sudah meninggal, wahai Rasulullah,” jawab para sahabat.

Rasulullah Saw. menegur keras mereka karena dianggap memandang remeh masalah ini. “Apakah (dengan tidak peduli terhadap wanita itu) kalian merasa tidak menyakitiku? Tunjukkan kepadaku, mana kuburannya?!” tanya beliau keras.

Para sahabat mengantarkan Rasulullah Saw. ke kuburan wanita itu, kemudian beliau mendirikan shalat di dekat kuburan wanita itu dan berdoa untuknya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam