Bagian (5). Kisah-Kisah Tentang Amar Ma‘ruf Nahyi Munkar



πŸ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



πŸ“š 68. Keutamaan Sedekah
Suatu hari kabilah Mudhar datang menemui Rasulullah Saw. Mereka datang membawa pedang, tetapi berpakaian compang-camping terbuat dari kain kasar. Tubuh mereka nyaris tidak tertutup kecuali bagian aurat.

Rasulullah Saw. sedih melihat keadaan mereka. Wajah beliau berubah dan marah karena masyarakat melupakan mereka yang fakir. Namun, akhirnya beliau tahu bahwa mereka fakir bukan karena tidak punya apa-apa, melainkan karena mereka tidak mau memberi dan tidak mau meminta-minta kepada manusia. Mereka merasa cukup dengan keadaan mereka. Kalaulah bukan karena kumal dan rasa lapar yang tergambar pada wajah mereka, tentu tidak ada seorang pun yang mengetahui keadaan mereka.

Rasulullah Saw. memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan zhuhur. Usai shalat, beliau berkhutbah membaca Surah Al-NisΓ’’ ayat pertama dan Surah Al-Hasyr ayat 18. Kemudian beliau menyuruh para sahabat untuk bersedekah dengan harta, baju, gandum, atau kurma. Beliau berkata, “Bersedekahlah, meskipun dengan sebiji kurma!”

Para sahabat menjawab seruan Rasulullah Saw. Mereka langsung pulang ke rumah dan kembali lagi membawa sedekah masing-masing. Ada yang membawa makanan, ada juga yang membawa pakaian. Wajah Rasulullah Saw. kembali bersinar karena senang lalu bersabda:

“Siapa yang menghidupkan suatu Sunnah yang baik dalam Islam, baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya setelah ia, tanpa dikurangi sedikit pun. Dan barangsiapa menghidupkan Sunnah yang jelek, baginya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya setelah ia, tanpa dikurangi sedikit pun.”

Dalam riwayat Ahmad dan Thabrani diceritakan bahwa Rasulullah Saw. kedatangan 400 orang yang meminta makanan, sedangkan para sahabat yang ada di sana saat itu hanya berjumlah 40 orang. Saat mereka datang, Rasulullah Saw. berkata kepada para sahabat, “Berdirilah dan berilah mereka makanan!”

Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak punya makanan kecuali untuk bayi dan anak-anak.”

Namun, beliau tetap berkata, “Berdirilah dan berilah mereka makanan!”

Umar ibn Khaththab, yang juga hadir saat itu berkata, “Wahai Rasulullah, kami mendengar dan kami taat.”

Lalu, Umar dan para sahabat lainnya pergi ke tempat penyimpanan makanan. Umar mengambil kunci dan membuka pintunya. Ternyata, di dalamnya ada tumpukan kurma. Para sahabat berkata kepada para tamu, “Ambillah sesuka kalian!” Akhirnya, masing- masing lelaki mengambil sesuai dengan kebutuhannya. Ternyata, kurma itu tidak berkurang sedikit pun, meski telah diambil oleh 400 orang.


πŸ“š 69. Janganlah Menipu!
Suatu hari Rasulullah Saw. melewati sebuah pasar bersama beberapa sahabat. Beliau ingin memastikan, tidak ada kecurangan dalam transaksi di pasar. Tiba- tiba, pandangan beliau tertuju pada tumpukan gandum milik salah seorang pedagang. Beliau mendekatinya dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan gandum itu.

Ternyata, jari-jari beliau menyentuh bagian gandum yang basah dan hampir busuk di bagian bawah. Si penjual meletakkan gandum yang bagus di atas gandum yang sudah jelek sehingga tak seorang pun yang melihatnya. Dengan begitu, ia telah menipu manusia.

“Apa ini, hai Pemilik Gandum?” tanya Rasulullah Saw.

“Ini bagian yang terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawab si pemilik gandum.

“Mengapa tidak kausimpan di bagian atas agar bisa dilihat para pembeli. Apakah kau sengaja menempatkan gandum yang basah ini di bawah gandum yang bagus agar tidak ada orang yang melihatnya?”

Pedagang itu diam saja. Rasulullah kembali berujar, “Barangsiapa menipu kami maka ia tidak termasuk golongan kami.”

Dalam riwayat lain dikatakan, “Barangsiapa membunuh saudaranya sesama Muslim maka ia bukan termasuk golongan kami. Dan barangsiapa menipu kami, ia bukan golongan kami.”

Suatu hari seorang laki-laki menemui Rasulullah Saw. dan menuturkan bahwa ia tertipu dalam sebuah transaksi. Setelah mendengar pengaduannya, beliau bersabda, “Saat bertransaksi dengan siapa pun, katakan: ‘Jangan menipu!’”

Sejak saat itu, ia selalu mengatakan “jangan menipu!” setiap kali hendak bertransaksi.


πŸ“š 70. Tentang Barang Temuan
Suatu hari seorang sahabat bernama Ayyub ibn Ka‘b menemukan sebuah bungkusan di jalan, yang setelah dibuka ternyata berisi uang sebanyak 100 dinar. Maka, Ayyub bergegas menghadap Rasulullah Saw. dan menceritakan pengalamannya.

Setelah mendengar penuturannya, beliau bersabda, “Umumkan kepada orang-orang!”

Ayyub segera menjalankan perintah Rasulullah Saw. Ia berkeliling Madinah sambil berteriak, “Siapa yang merasa kehilangan kantong berisi uang 100 dinar ini, ambillah sekarang juga!” teriaknya sambil mengacung- acungkan kantong tersebut. Namun, tak seorang pun yang datang dan mengakui benda itu.

Maka, Ayyub kembali menghadap Rasulullah Saw. dan beliau sekali lagi menyuruhnya untuk mengumumkan kepada orang-orang.

Untuk kali keduanya Ayyub berkeliling Kota Madinah dan mengumumkan temuannya. Tetap saja tidak ada seorang pun yang datang dan mengklaim kantong itu. Sekali lagi Ayyub melapor kepada Rasulullah Saw. dan beliau bersabda, “Jagalah keutuhan dan jumlah barang itu. Apabila pemiliknya datang, berikan kepadanya. Tetapi jika tidak, kau boleh memanfaatkannya untukmu.”

Zaid ibn Khalid Al-Juhani r.a. menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang luqathah (barang temuan) berupa emas atau perak. Beliau menjawab, “Kenalilah ikatan dan kantongnya (ciri-cirinya), lalu umumkan selama setahun. Jika tidak ada pemilik yang datang mengambilnya, pergunakanlah, tetapi statusnya sebagai barang titipan. Jika sewaktu-waktu pemiliknya datang mencarinya, berikanlah kepadanya.”

Lalu seseorang bertanya tentang penemuan unta. Beliau berkata, “Mengapa kau peduli dengan unta itu? Biarkan saja, karena unta itu punya kaki dan kantong air. Ia bisa mendatangi air dan makan pepohonan hingga si pemilik menemukannya.”

Lalu, seorang bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang penemuan kambing. Beliau menjawab, “Kambing itu untukmu (jika tidak diketahui siapa pemiliknya setelah diumumkan setahun) atau untuk saudaramu yang kekurangan, atau untuk serigala (jika tidak kauambil).”

Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa saja yang menyembunyikan barang temuan milik orang lain maka ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.”


πŸ“š 71. Jangan Sakiti yang Mati!
Beberapa waktu setelah Futuh Makkah, Rasulullah Saw. berangkat menuju Thaif ditemani Abu Bakar beserta putra-putri Said ibn Al-‘Ash. Ketika mereka melewati kuburan Said ibn Al-‘Ash, Abu Bakar bertanya, “Kuburan siapakah ini?”

“Kuburan Said ibn Al-‘Ash,” jawab yang lain.

“Semoga Allah melaknat penghuni kubur ini,” hardiknya, “sungguh ia telah memerangi Allah dan utusan-Nya.”

Mendengar ucapannya, Amr ibn Said naik pitam dan berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, ini adalah kuburan orang yang lebih banyak bersedekah dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan Abu Quhafah.”

Abu Bakar menukas, “Apakah kau rela ia berkata seperti itu kepadaku, wahai Rasulullah?” “Bertuturlah yang sopan kepada Abu Bakar, hai Amr.”

Karena merasa jengkel, Amr ibn Said memisahkan diri dari rombongan Rasulullah Saw. sehingga beliau memperingatkan Abu Bakar dengan berkata, “Wahai Abu Bakar, jika kau hendak menyebut orang kafir, sebutlah secara umum. Karena jika kau menyebut orang tertentu, itu akan menyakiti perasaan keturunannya.”

Sejak peristiwa itu, kaum Muslim tidak pernah menyebut lagi kejelekan orang kafir yang telah mati secara perorangan.

Rasulullah Saw. juga melarang kaum Muslim mencaci orang musyrik yang terbunuh dalam Perang Badar. Beliau berkata, “Jangan menghina mereka, karena mereka tidak akan pernah menyukai apa yang kalian katakan. Kalian pun hanya akan menyakiti keluarganya yang masih hidup. Sesungguhnya hinaan adalah perkataan yang keji.”

Sejak kembali dari Perang Uhud, para sahabat terus mendesak Rasulullah Saw. agar mengutuk kaum kafir Quraisy. Namun, dengan bijak beliau mengatakan, “Sesungguhnya aku diutus dengan penuh rahmat, bukan untuk melaknat.”

Padahal, jika mau, beliau bisa saja memohon kepada Allah untuk membinasakan kafir Quraisy yang sangat memusuhinya.


πŸ“š 72. Bekerjalah!
Suatu hari seorang sahabat datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta sedekah. Beliau bertanya, “Adakah sesuatu di rumahmu?” “Ada,” jawabnya, “Kain yang sesekali dipakai dan sesekali dijadikan alas, dan sebuah cangkir untuk minum.”

“Bawalah kepadaku!” pinta Rasulullah Saw. Orang itu kemudian pulang ke rumahnya dan tak lama kemudian ia datang lagi membawa barang- barangnya.

“Siapa yang mau membeli barang-barangnya ini?” tanya Rasulullah Saw. kepada para sahabat lain.

“Aku akan membelinya seharga satu dirham,” jawab seorang sahabat.

“Adakah yang mau membeli dengan harga yang lebih tinggi?” pancing Rasulullah Saw.

“Aku akan membayarnya seharga dua dirham,” kata yang lain.

Rasulullah Saw. memberikan kain serta cangkir itu kepada sahabat yang mengajukan penawaran tertinggi, mengambil uang darinya, kemudian memberikannya kepada orang pertama seraya berkata, “Ini uangmu. Satu dirham untuk membeli makanan untukmu dan keluargamu. Sisanya untuk membeli kapak. Carilah kayu bakar, kemudian juallah. Aku tidak ingin melihatmu lagi selama lima belas hari.”

Orang itu menjalankan nasihat Rasulullah Saw. Lima belas hari kemudian, ia datang lagi dan telah memiliki sepuluh dirham. Lima dirham ia belanjakan untuk membeli pakaian dan selebihnya untuk makanan bagi keluarganya.

“Ini lebih baik bagimu daripada kelak di Hari Kiamat kau bangkit dengan noda di wajahmu. Sesungguhnya noda itu hanya menempel pada wajah orang fakir yang hina. Mereka termasuk golongan orang yang sangat merugi,” kata Rasulullah Saw.

Lebih lanjut beliau bersabda, “Sungguh, jika salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu maka itu lebih baik daripada meminta- minta kepada orang lain, baik orang itu memberinya atau tidak.”


πŸ“š 73. Cinta karena Allah
Ketika seseorang mencintai orang lain, hendaklah ia menyampaikannya kepada orang yang dicintainya. Dan hendaklah keduanya membangun hubungan cinta semata-mata karena Allah Swt. Tentang hal ini Rasulullah Saw. bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya, hendaklah ia ungkapkan cintanya itu.”

Saat itu, ada seorang laki-laki yang duduk di sisi Rasulullah Saw. Lalu, seorang sahabat lewat dan orang yang duduk berujar, “Wahai Rasulullah, aku mencintai ia.”

Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah sudah kaukatakan kepadanya cintamu itu?”

“Belum.”

“Sampaikanlah.”

Orang itu bangkit dan mendekati orang kedua lalu berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Ia menjawab, “Semoga Allah mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku demi ridha-Nya.”

Senada dengan kisah di atas, suatu hari Rasulullah Saw. bersabda, “Seseorang pergi untuk menemui saudaranya di desa lain. Kemudian, Allah Swt. mengutus malaikat dalam rupa manusia untuk menghadangnya. Ketika bertemu orang itu, malaikat bertanya, “Mau ke mana kau?”

Ia menjawab, “Aku akan mengunjungi saudaraku yang tinggal di desa itu.”

“Apakah kau mengunjunginya karena suatu kebutuhan darinya?”

“Tidak, aku mengunjunginya sebab aku mencintainya karena Allah.”

Malaikat lalu berkata, “Sesungguhnya, aku adalah utusan Allah untuk menjumpaimu dan sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana kau mencintai saudaramu karena Allah.”


πŸ“š 74. Adab Bertetangga
Rasulullah Saw. memerintahkan umatnya agar senantiasa menghormati dan memuliakan tetangga. Beliau berpesan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia memuliakan tetangganya” (HR Muslim). Dalam redaksi lain, “… janganlah menyakiti tetangganya” (HR Bukhari-Muslim). Pada kesempatan yang lain beliau bersabda, “Jibril mewasiatkan kepadaku (agar menghormati) tetangga sampai-sampai aku mengira bahwa tetangga akan mendapat warisan” (HR Bukhari- Muslim).

Suatu hari seorang laki-laki mendatangi Rasulullah Saw. mengadukan tetangganya yang sering mengganggunya. Rasulullah Saw. berkata, “Pergilah dan bersabarlah!”

Laki-laki itu pun beranjak pergi. Namun, keesokan harinya ia datang lagi menemui Rasulullah Saw. mengadukan hal yang sama. Kali ini Rasulullah Saw. berkata, “Keluarkan barang-barangmu, lalu letakkan di jalan!”

Laki-laki itu pulang ke rumahnya dan melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah Saw. Ia mengeluarkan semua barang di rumahnya dan meletakkannya di tengah jalan. Tentu saja banyak orang yang berkumpul ingin mengetahui apa yang terjadi.

Mereka bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?” Ia menjawab, “Aku memiliki seorang tetangga yang selalu menggangguku.”

Maka, orang-orang melaknati si tetangga usil itu: “Ya Allah, laknatilah ia!”

Ketika si tetangga itu mengetahui apa yang terjadi, ia segera menemui laki-laki yang kerap ia sakiti dan berkata, “Pulanglah ke rumahmu! Demi Allah, aku tidak akan mengganggumu lagi!”

Nasihat Rasulullah Saw. itu benar-benar efektif, sehingga membuat si tetangga yang usil menyadari kesalahannya dan meminta maaf.


πŸ“š 75. Allah Itu Indah, Menyukai Keindahan
“Wahai Rasulullah, aku ingin memiliki rumah yang bagus dan memakai pakaian yang indah. Apakah itu termasuk kesombongan?” tanya seorang sahabat.

“Tidak,” jawab Rasulullah, “sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Takabur (kesombongan) adalah menolak kebenaran dan menganggap rendah orang lain.”

Suatu hari Rasulullah Saw. melihat Auf ibn Malik mengenakan baju yang lusuh dan kumal. Beliau bertanya, “Apakah kau memiliki harta?”

“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku banyak harta, berupa unta dan kambing,” jawab Auf.

“Gantilah bajumu!” pinta Rasulullah, “Allah itu indah dan menyukai keindahan, dermawan dan menyukai kedermawanan, bersih dan menyukai kebersihan.”

Aisyah r.a. pernah bercerita bahwa pada hari Jumat kaum Muslimin pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat. Sebagian mereka harus menempuh jarak yang cukup jauh sehingga tubuh mereka mengucurkan keringat dan terkena debu. Akibatya, tubuh mereka mengeluarkan bau tak sedap. Ketika salah seorang di antara mereka menemui Rasulullah, beliau berujar, “Sebaiknya, bersihkan badanmu hari ini.”

Khusus untuk hari Jumat, Rasulullah Saw. berpesan kepada para sahabat, “Mandilah pada hari Jumat dan berkeramaslah walaupun kalian tidak junub. Lalu, pakailah wangi-wangian” (HR Bukhari).


πŸ“š 76. Rasulullah Menyukai Wewangian dan Gosok Gigi
Rasulullah Saw. yang mulia menyukai wangi-wangian dan menjaga diri dari bau tak sedap. Beliau punya sikkah yang digunakan sebagai parfum. Beliau juga suka menerima hadiah berupa parfum. Beliau tidak pernah menolak jika seseorang menghadiahkan parfum.

Rasulullah Saw. memakai wangi-wangian ketika berihram dan membolehkannya hingga sebelum tawaf di Al-Bait. Tentang hal ini, Aisyah r.a. bertutur, “Aku mengusap Rasulullah dengan parfum terbaik yang kudapatkan. Aku melihat beliau lebih tampan dari sebelumnya. Minyak menjadikan rambut dan janggutnya mengilat, dan saat itu beliau sedang berihram.”

Rasulullah Saw. memiliki serban tebal yang diolesi za‘faran. Hanya beliau satu-satunya yang memakai serban jenis itu di antara sekian banyak jamaah yang mendirikan shalat bersamanya. Jadi, Rasulullah Saw. sangat memperhatikan penampilan dan kebersihan dirinya.

“Aku tidak pernah mencium wangi yang lebih harum daripada wewangian yang dipakai Nabi,” komentar Anas ibn Malik r.a.

Rasulullah Saw. juga suka menyisir rambut dan janggutnya serta meminyaki rambutnya. Pada waktu- waktu tertentu beliau menggunakan hinnah (pewarna rambut) pada kepala beliau. Adapun baju yang beliau miliki kebanyakan berwarna putih, karena beliau sangat menyukai warna putih.

Ketika bangun malam, Rasulullah Saw. serta-merta membersihkan mulutnya dengan siwak. Beliau selalu menjaga kebersihan gigi dan mulutnya dengan bersiwak. Karena itulah suatu ketika beliau bersabda, “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.”

Sudah sepatutnya kita mengikuti jejaknya ini.


πŸ“š 77. Jangan Dekati Dukun!
Ketika Rasulullah Saw. memimpin shalat jamaah di masjid, tiba-tiba seorang makmum bersin dan Muawiyah ibn Al-Hakam yang berada persis di sebelahnya menjawab, “YarhamukallΓ’h (Semoga Allah merahmatimu).”

Tentu saja orang-orang yang sedang shalat berpaling kepadanya dengan pandangan menyalahkannya. Muawiyah berkata, “Kenapa kalian melihatku seperti itu?”

Orang-orang memukulkan tangan mereka ke paha sebagai isyarat agar Muawiyah tak bicara. Maka, ia pun diam hingga shalat usai.

Setelah shalat, Rasulullah Saw. menghadap kepada jamaah dan berkata, “Ketika shalat, jangan sampai keluar satu ucapan pun. Dalam shalat hanya ada tasbih, takbir, dan bacaan Al-Quran.”

Muawiyah yang merasa bersalah berkata, “Wahai Rasulullah, aku baru saja lepas dari keadaan jahiliah dan memasuki Islam. Dan sesungguhnya, banyak di antara kami yang biasa mendatangi dukun yang mengaku memiliki ilmu gaib.”

“Jangan datangi mereka!”

“Di antara kami juga ada orang suka ber-tathayyur (menganggap sial dengan sesuatu, seperti dengan suara burung, dll.),” tambah Muawiyah.

“Itu adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam dada mereka. Jangan sampai semua itu menghalangi dari tujuan mereka, karena semua itu tidak berpengaruh, tidak mendatangkan manfaat maupun mudarat.”

Suatu hari orang Yahudi mendatangi Rasulullah Saw. yang sedang bersama istrinya, Aisyah. Mereka berkata, “Assamu ‘alaikum! (Kebinasaan bagimu).”

Rasulullah Saw. menjawab, “Wa ‘alaikum (Dan atasmu juga)!” Aisyah r.a. juga menjawab, “Assamu ‘alaikum wa la‘anakumullah wa ghadiba ‘alaikum (Kebinasaan bagi kalian, laknat, dan murka Allah atas kalian).”

“Tahan ucapanmu, hai Aisyah. Kau seharusnya berlemah lembut. Berhati-hatilah dari sikap keras dan keji!” tegur Rasulullah Saw.

“Apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”

“Apakah kau juga tidak mendengar apa yang kuucapkan? Aku telah membalas mereka. Ucapanku dikabulkan, sedangkan ucapan mereka tidak akan.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Janganlah kau (Aisyah) menjadi orang yang berbuat keji, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai perkataan yang keji dan kotor.”


πŸ“š 78.Tobat yang Diterima
Ma’iz adalah sahabat Rasulullah Saw. yang masih muda dan menikah di Madinah. Suatu hari, setan menggodanya sehingga ia jatuh hati pada tetangganya, istri seorang Anshar. Mereka kerap berdua-duaan tanpa seorang pun mengetahuinya. Lalu, hadirlah setan di antara mereka. Setan terus membujuk mereka hingga terjadilah perbuatan haram. Setan berhasil menggoda mereka dan setelah itu ia pergi meninggalkan mereka.

Ma’iz menangis saat menyadari keburukannya. Ia membayangkan dosa yang telah dilakukannya. Ia sangat takut terhadap azab Allah. Hidupnya menjadi sangat sempit dan sulit. Rasa berdosa terus membakar hatinya. Namun, ia tidak berputus asa. Ia segera mendatangi sang pengobat hati, berdiri di hadapan beliau, dan berkata lirih, “Wahai Rasulullah, orang hina ini telah melakukan zina, sucikanlah aku!”

Di luar dugaan, Rasulullah Saw. pergi menghindar sehingga Ma’iz mengejar beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina. Sucikanlah aku!”

Rasulullah Saw. berkata, “Hus, pulanglah kamu, mohon ampun kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya!”

Ma’iz pun pulang. Namun, belum jauh melangkah, ia kembali mendatangi Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sucikanlah aku!”

“Hus, pulanglah, mohonlah ampunan kepada Allah, dan bertobatlah kepada-Nya!”

Belum jauh melangkah, ia kembali lagi dan mengatakan perkataan yang sama.

Maka, Rasulullah Saw. berseru, “Sudahlah! Apakah kau tahu apa itu zina?”

Kemudian, beliau menyuruhnya keluar sehingga ia pun keluar. Ia kembali datang menemui Rasulullah Saw. lebih dari empat kali, sampai-sampai beliau bertanya kepada para sahabat, “Apakah ia sakit jiwa?”

Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, setahu kami, ia baik-baik saja.”

“Apakah ia minum arak?” tanya Rasulullah Saw. lagi. Seorang lelaki berdiri dan mengendus mulut Ma’iz. Ternyata, tidak tercium bau arak.

Rasulullah Saw. bertanya, “Tahukah kamu, apa zina itu?”

Ma’iz menjawab, “Ya. Aku mendatangi perempuan yang haram untukku seperti aku mendatangi istriku sendiri.”

“Lantas, apa maumu dengan terus mengatakan yang kaukatakan?”

“Aku ingin engkau menyucikan diriku.”

“Baiklah,” ujar Rasulullah Saw., kemudian memerintahkan para sahabat untuk merajam Ma’iz hingga ia meninggal.

Usai dishalatkan dan dikubur, Rasulullah Saw. beserta sebagian sahabat berjalan melewati tempat perajaman. Beliau mendengar salah seorang dari mereka berbicara kepada temannya, “Lihatlah ini! Allah telah menutupi kehormatan orang ini, tetapi nafsunya tidak mau hingga ia dirajam seperti anjing.”

Rasulullah Saw. terdiam, lalu berjalan lagi sampai melewati bangkai keledai yang telah terbakar matahari, tubuhnya menggelembung dan kedua kakinya copot. Melihat bangkai itu, beliau bertanya, “Mana si fulan dan si fulan?”

Mereka berdua menyahut, “Kami, wahai Rasulullah.”

“Turunlah, lalu makan bangkai keledai ini!” suruh Rasulullah Saw.

Keduanya berkata, “Wahai Nabiyullah, semoga Allah mengampuni engkau. Siapa yang mau memakan bangkai ini!”

Rasulullah Saw. bersabda, “Apa yang kalian katakan tadi lebih buruk daripada makan bangkai ini. Saudara kalian itu telah mendapat karunia tobat yang besar, yang kalau dibagi-bagikan ke seluruh manusia, pasti masih bersisa. Demi Allah, saat ini ia sudah berada di sungai surga. Berbahagialah Ma’iz ibn Malik. Benar, ia telah melakukan zina dan mengoyak tirai antara dirinya dan Tuhan. Namun, ia telah mendapat karunia tobat yang besar, yang kalau dibagi-bagikan ke seluruh umat manusia, pasti masih bersisa.”

Pada kesempatan yang lain, seorang perempuan dari daerah Ghamid menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah berzina. Maka, sucikanlah diriku.” Rasulullah Saw. menyuruhnya pulang.

Keesokan harinya ia datang lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa Tuan menolak pengakuanku? Mungkin engkau akan menolak pengakuanku sebagaimana engkau menolak pengakuan Ma’iz? Demi Allah, aku hamil!”

Rasulullah Saw. menjawab, “Mungkin saja kau tidak hamil. Pergilah sampai kau melahirkan!”

Perempuan itu pun pulang. Setelah melahirkan, ia datang lagi kepada Rasulullah Saw. seraya membawa anaknya yang digendong dengan kain sehelai selendang. Ia berkata, “Inilah anak yang kulahirkan.”

Rasulullah Saw. menjawab, “Pergilah dan susuilah anak itu hingga kau menyapihnya!” Perempuan itu pun pulang membawa anaknya.

Setelah disusui hingga disapih, ia datang lagi kepada Rasulullah Saw. dengan membawa anak itu yang memegang potongan roti. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, inilah anakku. Aku telah menyapihnya dan ia sudah bisa makan.”

Maka, Rasulullah Saw. menyerahkan anak itu kepada salah seorang Muslim, lalu beliau memerintahkan untuk menghukum perempuan itu. Maka, digalilah lubang sedalam dada perempuan tersebut dan beliau memerintahkan orang-orang untuk merajam sehingga mereka pun merajamnya.

Khalid ibn Walid datang membawa batu, lalu melempar kepala perempuan itu hingga darahnya memerciki wajah Khalid. Kemudian Khalid mencerca wanita itu, tetapi Rasulullah Saw. yang mendengar cercaannya berkata, “Jangan begitu, Khalid! Demi Allah yang diriku berada dalam kuasa-Nya, sungguh perempuan itu telah bertobat yang seandainya tobat ini dilakukan pemungut harta yang zalim, tentu ia akan diampuni.” Kemudian, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk merawat jenazah perempuan itu dan beliau menyalatinya. Setelah itu, jenazahnya dimakamkan seperti biasa.


πŸ“š 79. Menyisir dan Menyemir Uban
Jabir ibn Abdullah bercerita, “Rasulullah Saw. mengunjungi tempat tinggal kami dan beliau melihat seseorang dengan rambut yang acak-acakan. Beliau bertanya, ‘Apakah orang ini tidak punya sisir untuk merapikan rambutnya?’”

Lalu, ketika melihat seseorang mengenakan pakaian yang kotor, Rasulullah Saw. berkata, “Dan orang itu, apakah ia mendapatkan air untuk membersihkan pakaiannya?”

Dalam hadis lain, Jabir meriwayatkan bahwa Abu Quhafah (ayahanda Abu Bakar) didatangkan pada hari Futuh Makkah dengan jenggot dan rambut yang telah memutih semua.

Rasulullah Saw. mengomentarinya, “Ubahlah ini (warna rambutnya) dengan sesuatu, dan jauhi warna hitam!”

Suatu ketika lewat di hadapan Rasulullah Saw. seseorang yang rambutnya diwarnai dengan hina’ (daun pacar). Melihat laki-laki itu, beliau berujar, “Alangkah bagusnya.” Tidak lama kemudian lewat seseorang yang mewarnai rambutnya dengan hina’ dan al-katm (sejenis tumbuhan untuk mewarnai rambut). Beliau berkata, “Ini lebih baik dari yang tadi.”

Setelah itu, lewat lagi seseorang yang menyemir rambutnya dengan warna kuning. Beliau berkomentar, “Ini lebih baik dari dua sebelumnya.”

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Saw. menyuruh para sahabat untuk menyemir rambut putih (uban) seperti yang beliau lakukan kepada orang-orang tua dari kalangan Anshar yang janggutnya telah memutih. Beliau bersabda, “Hai sekalian orang Anshar, ubahlah dengan warna merah atau warna kuning, dan bedakanlah dirimu dari ahli kitab” (HR Ahmad).


πŸ“š 80. Kewajiban di Tepi Jalan
Selepas shalat berjamaah di masjid, Rasulullah Saw. menggelar pertemuan dengan para sahabat, termasuk di antaranya Abu Hurairah. Pada pertemuan itu, Rasulullah Saw. menasihati mereka agar jangan suka berkerumun di tepi jalan serta mengobrol atau ngerumpi tanpa arah. Beliau berbicara tentang hal itu karena melihat banyak di antara mereka yang sering melakukannya. “Hindarilah duduk di tepi jalan,” pesan Rasulullah Saw. kepada mereka.

Para sahabat terdiam mendengar pesan itu, terutama mereka yang tinggal di kawasan padat dengan lorong- lorong yang sempit. Maka, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami terpaksa duduk di tepi jalan dan mengobrol di situ?”

“Kalau kalian tidak mendapatkan tempat lain dan terpaksa duduk di tepi jalan maka penuhilah kewajiban kalian di tepi jalan!”

“Kewajiban apakah itu, wahai Rasulullah?”

Rasulullah Saw. melanjutkan, “Kewajiban kalian adalah menundukkan pandangan, menghindarkan terjadinya gangguan, menjawab salam, mengajak berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.”

Menundukkan pandangan di jalan merupakan keharusan agar kita terhindar dari fitnah dan godaan setan. Allah Swt. menjanjikan balasan kebaikan bagi orang yang menundukkan pandangan dan menggolongkan perilaku itu sebagai ibadah. Orang yang melakukannya akan merasakan manisnya keimanan dalam hati (HR Ahmad).

Dikisahkan bahwa Fadhl ibn Abbas r.a. pernah membonceng Rasulullah Saw. pada hari penyembelihan (di musin haji) dari Muzdalifah menuju Mina. Lalu, lewatlah beberapa wanita yang berada dalam sekedup unta. Saat mereka melintas, kontan Fadhl memandang ke arah mereka, tetapi cepat-cepat Rasulullah Saw. memalingkan kepala Fadhl ke arah lain.

Itulah beberapa adab di tepi jalan dan di dalam perjalanan. Sepatutnya kita selalu menundukkan pandangan ketika melihat atau berpapasan dengan lawan jenis yang bukan mahram, bahkan sekalipun orang itu adalah orang buta.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Ummu Salamah dan Maimunah sedang bersama Rasulullah Saw., lalu datanglah Abdullah ibn Ummi Maktum. Saat itu, telah turun perintah berhijab untuk kaum perempuan. Maka, Rasulullah Saw. berkata kepada keduanya, “Tutuplah (hijabilah) diri kalian darinya!”

Kedua istri Rasulullah Saw. berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta? Ia tidak dapat melihat dan mengenali kami?”

“Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian dapat melihatnya?” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ada tiga mata yang tidak akan melihat neraka: mata yang berjaga di jalan Allah Swt., mata yang menangis karena takut kepada Allah Swt., dan mata yang terjaga dari segala hal yang dilarang Allah Swt.”


πŸ“š 81. Jauhilah Semua Penyeru Menuju Neraka!
Sejak memeluk Islam bersama ayah dan saudaranya, Hudzaifah ibn Al-Yaman menjadi sahabat yang sangat dekat kepada Rasulullah Saw. Ia menjadi Muslim yang benar-benar taat dan tunduk kepada Allah dan RasulNya. Ia terus mempelajari dan menghayati setiap ajaran dan perintah junjungannya, Rasulullah Saw. Ia tidak hanya menaati dan mengamalkan segala perintah Allah dan Rasul-Nya dari sisi lahiriah, tetapi juga benar-benar menghayati makna dan hakikat setiap ibadah yang dilakukannya. Karena itulah, ia dikenal sebagai sahabat yang memiliki pengetahuan khusus tentang rahasia batin dan berbagai hal tersembunyi dalam diri manusia.

Hudzaifah mampu membedakan antara orang yang beriman dan munafik. Bahkan, sahabat Umar ibn Al- Khaththab tidak akan ikut menyalatkan seseorang yang mati jika Hudzaifah tidak ikut menyalatkannya. Hanya Hudzaifah yang diberi kabar oleh Rasulullah Saw. tentang

siapa saja orang yang benar-benar beriman dan siapa saja orang munafik. Setelah diberi tahu, ia berjanji tidak akan membocorkannya kepada siapa pun sepeninggal Rasulullah Saw.

Dalam majelis-majelis Rasulullah Saw., ia kerap bertanya tentang keburukan dengan maksud agar tidak tertimpa keburukan itu. Misalnya, ia pernah bertanya kepada Rasulullah Saw., ia bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, dulu kami hidup dalam kebodohan dan keburukan. Kemudian Allah Swt. melimpahkan kebaikan (Islam) kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”

“Ya, ada, hai Hudzaifah,” jawab Rasulullah Saw.

“Ya Rasulullah, apakah setelah keburukan itu ada kebaikan lagi?”

“Ya, ada, hai Hudzaifah! Tapi, kebaikan itu akan disertai keburukan.”

“Ya Rasulullah, apa keburukannya?” desak Hudzaifah.

Rasulullah Saw. diam sejenak. Pandangan beliau ke depan seakan-akan menerawang berbagai peristiwa yang akan menjelang, lalu berkata, “Yaitu orang yang mengikuti ajaran selain ajaranku dan memberikan petunjuk selain petunjukku. Mereka berbuat kebaikan, tetapi sesungguhnya melakukan keburukan.”

“Ya Rasulullah, apakah setelah kebaikan akan ada keburukan lagi?” tanya Hudzaifah penasaran.

“Ya, ada, yaitu orang yang mengajak ke pintu neraka. Barangsiapa mengikuti ajaran itu, mereka akan terseret ke neraka,” jelas Rasulullah Saw.

“Bagaimana ciri-ciri mereka, ya Rasulullah?”

“Mereka berasal dari kalangan kita juga dan berkata- kata dengan bahasa kita,” tegas Rasulullah Saw.

Mendengar jawaban beliau, Hudzaifah ibn Al-Yaman tercenung. Setelah diam beberapa saat, ia bertanya lagi dengan penuh rasa ingin tahu, “Wahai Rasulullah, apakah yang harus kulakukan jika hidup di masa seperti itu?”

“Tetaplah bergabung dengan kelompok Muslim dan pemimpin mereka!”

“Tetapi bagaimana jika mereka tidak punya pemimpin?”

“Hindarilah seluruh kelompok itu, bahkan meskipun kau harus menggigit pangkal pohon sampai kau mati dalam keadan demikian,” ujar Rasulullah Saw. mengakhiri majelis hari itu.


πŸ“š 82. Evaluasi Diri
Suatu hari seorang wanita menemui Rasulullah Saw. dan mengadukan suaminya, “Wahai Rasulullah, suamiku, Shafwan, menghardik dan memukulku bila aku shalat, memaksaku berbuka bila aku berpuasa (sunnah), dan ia tidak shalat shubuh kecuali setelah matahari terbit.”

Setelah mendengar tuturannya, Rasulullah Saw. berpaling dengan seluruh badannya—begitulah cara beliau menoleh—kepada suami wanita itu sambil bertanya, “Benarkah itu, hai Shafwan?”

“Benar, ya Rasulullah,” jawab Shafwan tenang, “tetapi aku menghardik dan memukulnya karena ia membaca dua surah (selain Al-FΓ’tihah) pada setiap rakaatnya. Aku telah berkali-kali menegurnya, tetapi tetap saja ia melakukannya. Aku juga menyuruhnya berbuka saat ia berpuasa sunnah, karena aku seorang pemuda sehat yang sering kali tak mampu menahan berahi. Juga benar bahwa aku tidak shalat shubuh kecuali setelah matahari terbit, karena keluargaku terbiasa bangun kesiangan. Sungguh sulit bagiku bangun di waktu fajar.”

Rasulullah Saw. membenarkan sikap Shafwan, lalu berpesan, “Shalat shubuhlah segera setelah kau bangun!” Kemudian beliau menoleh kepada istri Shafwan dan berkata, “Persingkat shalatmu dan jangan berpuasa sunnah kecuali atas izin suamimu!”

Senada dengan kisah di atas, suatu ketika Abu Rafi mengeluarkan hadats (kentut) dalam shalatnya tetapi ia tetap melanjutkannya. Salma, istrinya yang mengetahui hal itu menyuruhnya berwudhu lagi. Namun, di luar dugaan, Abu Rafi justru memukulnya, karena ia merasa tersinggung. Ia merasa tersakiti dengan teguran istrinya itu.

Tentu saja, sang istri, tidak bisa menerima perlakuan suaminya itu dan mengadu kepada Aisyah r.a., yang kemudian menyuruhnya melaporkan kepada Rasulullah Saw.

Setelah menerima pengaduan tersebut, Rasulullah Saw. memanggil suami istri itu, lalu beliau bertanya kepada Abu Rafi, “Apa yang terjadi dengan istrimu, hai Abu Rafi?”

“Istriku telah melukaiku, wahai Rasulullah,” jawab Abu Rafi.

“Dengan apa kau melukainya, hai Salma?” tanya Rasulullah Saw.

Salma menjawab, “Aku tidak melukainya dengan apa pun. Saat itu, ia kentut dalam shalat sehingga kukatakan kepadanya, ‘Hai Abu Rafi, sesungguhnya Rasulullah telah memerintahkan orang Muslim apabila salah seorang di antara mereka kentut lalu hendak shalat, ia harus berwudhu.’ Akan tetapi, ia kemudian berdiri dan memukulku.”

Mendengar penuturan Salma, Rasulullah Saw. pun tersenyum dan berkata, “Wahai Abu Rafi, ia tidak menyuruhmu selain suatu kebaikan!”


πŸ“š 83. Keutamaan Memaafkan
Hari itu, Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya sedang berkumpul di Masjid Nabawi. Ketika semuanya sedang asyik tenggelam dalam majelis ilmu, tiba-tiba mereka dikagetkan dengan kemunculan seorang pria yang menyeret pria lainnya yang diikat tali. Setelah mengucapkan salam, pria di depan berkata marah, “Wahai Rasulullah, orang ini telah membunuh saudaraku!”

Rasulullah Saw. diam sejenak dan beberapa saat kemudian beliau berkata dengan nada yang lembut kepada orang yang diikat, “Benarkah kau telah membunuh saudaranya?”

“Kalau ia tidak mengaku, aku punya saksi, wahai Rasulullah!” sergah orang pertama menyela jawaban orang yang diikat. Kemudian, ia serahkan tali pengikatnya kepada Rasulullah Saw.

“Benar, wahai Rasulullah, aku telah membunuh saudaranya,” jawab orang yang diikat itu dengan suara lirih seraya menundukkan kepala menyesali perbuatannya.

“Bagaimana kau membunuhnya?” tanya Rasulullah Saw. tetap dengan nada yang lembut.

“Begini ceritanya, wahai Rasulullah Saw.,” tutur si pembunuh, “ketika aku dan saudaranya itu memetik dedaunan dari sebatang pohon, ia mencaci maki dan menghinaku. Aku tidak tahan mendengar caciannya. Aku marah dan kupukul kepalanya dengan kapak hingga ia terbunuh.”

Mendengar jawabannya yang jujur, Rasulullah Saw. diam sejenak, lalu beberapa saat kemudian berujar, “Apakah kau punya keluarga yang mungkin bisa membayar tebusan untuk membebaskanmu?”

“Wahai Rasulullah, di mata keluargaku, aku lebih hina daripada kapak itu,” jawab si pembunuh.

Rasulullah Saw. menarik napas dalam-dalam. Setelah itu, beliau menyerahkan kembali tali itu kepada keluarga si korban seraya berkata, “Terserah kalian, apa yang akan kalian lakukan terhadap temanmu yang telah membunuh saudaramu ini.”

Setelah menerima tali pengikat tersebut, keluarga si korban lalu mohon diri seraya menyeret si pembunuh. Baru saja beberapa langkah ia berlalu dari hadapan Rasulullah Saw., beliau berkata kepada para sahabat yang hadir kala itu, “Jika ia membunuh si pembunuh itu maka ia sama dengannya.”

Ternyata orang yang sedang menyeret si pembunuh itu mendengar ucapan Rasulullah Saw. itu sehingga ia menghentikan langkahnya, berbalik mendekati Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, barusan aku mendengar ucapanmu: ‘Jika ia membunuh si pembunuh itu maka ia sama dengannya.’ Kini, aku serahkan sepenuhnya persoalan ini kepadamu, ya Rasulullah.”

Mendengar ucapannya, Rasulullah Saw. diam dan termenung. Beberapa saat kemudian beliau berkata kepada saudara si korban, “Maukah kau jika pembunuh ini memikul dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh?”

Laki-laki itu termenung mendapat pertanyaan yang tak terduga itu. Ia diam beberapa lama, sepertinya tak rela bila si pembunuh dibiarkan hidup. Namun, akhirnya ia menjawab, “Tentu saja aku mau, wahai Rasulullah!” “Jika kau membebaskannya maka ia akan memikul dosamu dan dosa saudaramu yang terbunuh!”

Setelah mendengar penuturan Rasulullah Saw., laki- laki itu pun melepaskan tali yang mengikat si pembunuh dan membebaskannya pergi.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam