Bagian (7). Kisah-kisah Tentang Keimanan dan Ketakwaan



๐Ÿ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



๐Ÿ“š 100. Pelajaran dari Jibril
Suatu hari Rasulullah Saw. duduk bersama Umar ibn Al-Khaththab dan beberapa orang sahabat lainnya. Tiba-tiba, muncul seorang laki-laki dengan pakaian yang sangat putih, rambut yang sangat hitam, dan wajahnya tidak menampakkan jejak-jejak perjalanan. Tidak ada seorang sahabat pun yang mengenalinya. Laki-laki itu duduk di hadapan Rasulullah Saw. Ia sandarkan kedua lututnya pada kedua lutut Rasulullah Saw., dan meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua paha beliau. Selanjutnya, laki-laki ini berkata, “Hai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”

Rasulullah Saw. menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, serta mengerjakan haji ke Baitullah bila engkau mampu.”

Laki-laki itu berkomentar, “Engkau benar, hai Muhammad!”

Komentar laki-laki itu membuat para sahabat heran, karena ia yang bertanya, tetapi ia juga yang membenarkannya.

Laki-laki ini bertanya lagi, “Terangkanlah kepadaku tentang iman!”

Rasulullah Saw. menjawab, “Iman adalah kau beriman (percaya) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan kau percaya pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”

“Engkau benar, hai Muhammad,” komentar laki- laki itu. Lalu ia bertanya lagi, “Terangkanlah kepadaku tentang ihsan!”

Rasulullah Saw. menjawab, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”

Lagi-lagi laki-laki ini berkomentar, “Engkau benar, hai Muhammad!” Lalu ia bertanya lagi kepada Rasulullah Saw., “Beritahukan kepadaku tentang (kapan tibanya) Hari Kiamat!”

Kali ini Rasulullah Saw. menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.”

“Kalau begitu, ceritakanlah kepadaku tanda-tanda (datangnya) Hari Kiamat itu!” pinta laki-laki tersebut.

Rasulullah Saw. berkata, “Apabila seorang budak perempuan melahirkan majikannya, apabila orang telanjang dan tidak beralas kaki menjadi pemimpin manusia, dan apabila para penggembala telah bermewah- mewahan dengan gedung-gedung yang megah. Itulah di antara tanda-tanda Kiamat. Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”

Kemudian Rasulullah Saw. membaca firman Allah: Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang Kiamat, Dialah yang menurunkan hujan, Dia mengetahui apa yang ada di dalam rahim, tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Luqmรขn [31]: 34).

Lalu, laki-laki itu meninggalkan majelis. Rasulullah Saw. berpaling kepada para sahabat, “Bawalah kembali laki-laki itu kepadaku!” Maka, para sahabat berusaha mengejarnya, tetapi mereka tak mendapati jejak-jejak kepergiannya.

Rasulullah Saw. bertanya kepada Umar, “Wahai Umar, tahukah engkau siapakah yang bertanya tadi?” Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

“Ia adalah Jibril yang datang mengajarkan agama kepada manusia.”


๐Ÿ“š 101. Nasihat Rasulullah kepada Muaz dan Abu Dzarr 
Muaz ibn Jabal pernah duduk berboncengan dengan Rasulullah Saw. sehingga jarak antara keduanya hanya seujung pelana. Ketika itu Rasulullah Saw. berkata,

“Hai Muaz ibn Jabal.”

“Labbaika, yรข Rasรปlullรขh,” jawab Muaz.

Kemudian Rasulullah Saw. berjalan sesaat dan memanggil lagi, “Hai Muaz ibn Jabal.”

“Labbaika, yรข Rasรปlullรขh,” jawab Muaz lagi.

Beliau berjalan sesaat, kemudian berkata lagi, “Hai Muaz ibn Jabal.”

Muaz pun menjawab, “Labbaika, yรข Rasรปlullรขh.”

“Apakah kau mengetahui kewajiban manusia terhadap Allah?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

“Sesungguhnya kewajiban manusia terhadap Allah adalah menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

Beliau berjalan sesaat, lalu kembali menyeru, “Hai Muaz ibn Jabal.”

Muaz menjawab, “Labbaika, yรข Rasรปlullรขh.”

“Apakah kamu tahu apa hak yang pasti dipenuhi oleh Allah terhadap manusia apabila mereka telah melakukan kewajibannya?”

“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tidak menyiksa mereka.”

Suatu saat Abu Dzarr bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?”

“Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya,” jawab Rasulullah Saw.

Abu Dzarr bertanya lagi, “Budak apa yang paling utama dimerdekakan?”

Beliau menjawab, “Budak yang paling bernilai menurut pemiliknya dan paling tinggi harganya.”

“Seandainya aku tidak bisa melakukan itu?”

“Kau bantu kaum buruh atau kau menolong orang bodoh.”

Abu Dzarr masih bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurut Tuan jika aku tidak mampu dalam beberapa amal perbuatan itu?”

Rasulullah Saw. bersabda, “Cegahlah dirimu dari berbuat buruk kepada orang lain. Itu adalah sedekahmu terhadap dirimu sendiri.”


๐Ÿ“š 102. Takdir Baik dan Buruk
Ali ibn Abi Thalib r.a. menuturkan bahwa suatu hari ia dan para sahabat lain pernah melayat jenazah di Baqi Gharqad. Tidak lama kemudian datang Rasulullah Saw., yang kemudian duduk bersama para sahabat. Saat itu beliau memegang sebatang ranting, lalu menggaris- gariskan dan memukul-mukulkannya di tanah. Kemudian beliau berkata, “Tidaklah seseorang diciptakan kecuali Allah telah menentukan tempatnya di surga atau di neraka, serta telah ditentukan pula celaka atau bahagia.”

Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu, kami berdiam diri saja tanpa berbuat apa-apa!”

“Barangsiapa tergolong bahagia (beruntung) maka ia akan beruntung, dan barangsiapa tergolong celaka maka ia akan mengerjakan amal orang celaka.”

Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Berbuatlah! Masing-masing dimudahkan (untuk berbuat sesuai dengan ketentuan celaka dan bahagianya). Orang yang tergolong bahagia akan dimudahkan untuk mengerjakan amal orang yang bahagia (beruntung), dan orang yang tergolong celaka akan dimudahkan untuk mengerjakan amal orang yang celaka.”

Setelah itu, Rasulullah Saw. membaca ayat: Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Adapun orang yang pelit dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik maka Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar (QS Al-Lail [92]: 5-10).


๐Ÿ“š 103. Membuat Perhitungan dengan Allah
Suatu hari ketika Rasulullah Saw. khusyuk bertawaf di Ka‘bah, beliau mendengar seorang Arab Badui di hadapannya berzikir, “Yรข Karรฎm … yรข Karรฎm ….” Rasulullah Saw. meniru bacaan orang Badui itu: “Yรข Karรฎm … yรข Karรฎm ….” Kemudian, orang itu berhenti di salah satu sudut Ka‘bah dan kembali melafalkan Asma Allah itu. Rasulullah Saw. yang mengikuti di belakangnya ikut berhenti dan melafalkan: “Yรข Karรฎm … yรข Karรฎm ….” Merasa seperti dipermainkan, orang itu menoleh ke belakang dan ia melihat seorang laki-laki yang gagah dan tampan, tetapi ia tidak mengenalinya.

Orang Arab Badui itu berkata, “Hai orang tampan! Apakah kau sengaja mengolok-olokku karena aku orang Badui? Seandainya bukan karena ketampanan dan kegagahanmu, pasti sudah kuadukan kelakuanmu kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah.”

Mendengar perkataan orang Badui itu, Rasulullah Saw. tersenyum lalu bertanya, “Apakah engkau mengenali nabimu, hai orang Arab?”

“Belum.”

“Jadi, bagaimana kau beriman kepadanya?”

“Aku percaya sepenuhnya terhadap kenabian dan kerasulannya meskipun aku belum pernah melihatnya sekali pun. Aku membenarkan setiap ketetapannya meskipun aku belum pernah bertemu dengannya,” ujar orang Badui itu.

Maka, Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Hai orang Badui! Ketahuilah, akulah nabimu di dunia dan penolongmu kelak di akhirat!”

Laki-laki itu terkesiap, takjub. Pandangannya tak lepas dari wajah Rasulullah Saw. Akhirnya, ia yakin, laki-laki di hadapannya adalah Rasulullah.

Ia bertanya dengan suara bergetar, “Tuan ini benar Nabi Muhammad?!”

“Ya,” jawab Rasulullah Saw.

Ia langsung merunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah Saw. Namun, secepat kilat Rasulullah Saw. menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya,

“Hai orang Arab! Jangan berbuat seperti itu! Perbuatan seperti itu hanya dilakukan seorang budak kepada majikannya. Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi orang yang takabur, yang meminta dihormati atau diagungkan, melainkan untuk menyampaikan kabar gembira bagi orang yang beriman dan membawa peringatan bagi yang mengingkari-Nya.”

Ketika itulah Malaikat Jibril turun dan berkata, “Ya Muhammad, Rabb Al- Salรขm menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Katakanlah kepada orang Badui itu, agar tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah, Allah akan menghisabnya (menghitung amal perbuatannya) di akhirat nanti, akan menimbang semua amalnya, baik yang kecil maupun yang besar!’”

Setelah menyampaikan berita tersebut, Jibril pun pergi. Orang Badui kemudian berkata, “Demi keagungan serta kemuliaan Allah, jika Allah akan membuat perhitungan atas amalanku maka aku pun akan membuat perhitungan dengan-Nya!”

“Apa yang akan kamu perhitungkan dengan Allah?”

tanya Rasulullah Saw.

“Jika Allah akan memperhitungkan dosa-dosaku maka aku akan memperhitungkan betapa besar ampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kemaksiatanku maka aku akan memperhitungkan betapa luas pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiranku maka aku akan memperhitungkan pula betapa agung kedermawananNya!”

Mendengar ucapan orang Badui itu, Rasulullah Saw. menangis mengingat betapa benarnya ucapan orang Badui itu. Air mata beliau meleleh membasahi janggutnya.

Lantaran itu, Malaikat Jibril turun lagi menemui Rasulullah Saw. seraya berkata, “Ya Muhammad, Rabb Al-Salรขm menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Hentikan tangisanmu! Sungguh karena tangisanmu, penjaga Arasy lupa akan bacaan tasbih dan tahmidnya, hingga Arasy berguncang. Katakanlah kepada temanmu itu bahwa Allah tak akan menghisab dirinya, juga tak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah telah mengampuni semua kesalahannya dan ia akan menjadi temanmu di surga nanti!’”

Betapa bahagia orang Badui itu. Ia pun lalu menangis karena tidak kuat menahan haru.


๐Ÿ“š 104. Keberanian Qais
Suatu hari datang rombongan utusan menemui Rasulullah Saw. dipimpin Qais ibn Harsyah. Setelah berhadapan, Qais ibn Harsyah berkata, “Ya Rasulullah, aku membaiatmu atas apa-apa yang diturunkan Allah kepadamu dan bahwa aku tidak akan berkata kecuali yang benar.”

Rasulullah Saw. menimpali, “Suatu ketika, setelah lewat beberapa masa sepeninggalku, kau akan diuji Allah dengan satu penguasa yang kau tidak mampu mengatakan yang benar kepadanya.”

Qais menjawab, “Demi Allah, saat aku membaiatmu dengan suatu janji, pasti aku akan menepatinya.”

“Kalau begitu,” ujar Rasulullah Saw., “Kau tidak akan dapat dicelakakan oleh manusia.”

Sepeninggal Rasulullah Saw., Qais selalu mengkritik penguasa di negerinya, yaitu Ziyad dan putranya yang kerap bertindak sewenang-wenang dan menyimpang dari agama. Perilakunya itu didengar oleh Ubaidillah ibn Ziyad sehingga ia memerintahkan bawahannya untuk menangkap Qais.

Setelah keduanya berhadapan, Ubaidillah bertanya, “Engkaukah yang telah berbuat dusta terhadap Allah dan Rasul-Nya?”

Qais menjawab, “Tidak, tetapi jika kau ingin tahu, akan kukatakan siapa sebenarnya yang telah berbuat kebohongan terhadap Allah dan Rasul-Nya!” “Katakanlah, siapakah orang itu?”

“Orang itu adalah engkau, ayahmu, dan orang-orang yang kalian jadikan gubernur,” jawab Qais tegas.

“Aku mendengar bahwa kau menganggap dirimu tidak dapat dicelakakan oleh manusia. Benarkah itu?” “Benar.”

Maka, Ubaidillah berkata, “Sekarang kau akan tahu bahwa kau sebenarnya pendusta,” ujar Ubaidillah, lalu berpaling kepada pengawalnya: “Panggil algojo!”

Ketika pengawalnya pergi untuk memanggil algojo, Qais berkata, “Demi Allah, tidak ada jalan bagimu untuk mencelakakanku.”

Belum lama pengawal itu berlalu, tubuh Qais, sahabat Rasulullah Saw. yang jujur dan tegas itu, jatuh tersungkur ke lantai. Ketika para pengawal memeriksa dan menggoyang- goyangkan tubuhnya, ternyata ia telah meninggal.

Semoga Allah menyayangi dan mengampuninya. Sungguh benarlah apa yang telah dikatakan Rasulullah Saw.: tak ada manusia yang bisa mencelakainya.


๐Ÿ“š 105. Jangan Bohong!
Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw. untuk menyatakan keislamannya. Setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, ia berkata, “Wahai Rasulullah, sebenarnya aku orang yang selalu berbuat dosa dan merasa sangat susah meninggalkannya.”

Rasulullah Saw. berujar, “Maukah kau berjanji kepadaku untuk meninggalkan dusta?”

“Ya, aku berjanji,” jawab lelaki itu, “apakah hanya itu yang harus kulakukan?!”

“Ya, benar,” jawab Rasulullah Saw.

“Kalau hanya meninggalkan dusta, itu mudah sekali. Aku bisa melakukannya,” pikir lelaki itu ketika beranjak pergi meninggalkan Rasulullah Saw. dan pulang ke rumahnya.

Memang, riwayat menuturkan bahwa sebelum memeluk Islam ia dikenal sebagai orang jahat. Kegemarannya adalah mencuri, berjudi, dan mabuk. Maka, setelah memeluk Islam, ia berupaya meninggalkan segala keburukan itu. Karena itulah, ia menemui Rasulullah Saw. dan meminta nasihat beliau.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, laki-laki ini berpikir, “Rasanya berat juga meninggalkan kebiasaan berbohong seperti yang dikehendaki Rasulullah itu.”

Benar saja, setiap kali muncul dorongan untuk melakukan kejahatan, hatinya berbisik, “Jika kau berani berbuat jahat lagi, apa yang akan kaukatakan ketika Rasulullah bertanya kepadamu? Apakah kau akan berbohong kepadanya?”

Setiap kali hendak berbuat jahat, ia ingat pesan Rasulullah Saw. dan hati kecilnya berbisik, “Kalau aku berbohong kepada Rasulullah, berarti aku telah mengkhianati janjiku. Sebaliknya, jika jujur, berarti aku akan menerima hukuman karena aku telah menjadi Muslim. Oh Tuhan … sungguh dalam pesan Rasulullah itu terkandung hikmah yang sangat agung.”

Setelah sekian lama berjuang melawan dorongan nafsunya, akhirnya ia bisa meninggalkan kebiasaan jahatnya.

Sejak ia mendapat nasihat Rasulullah itu, ia telah memulai babak baru dalam kehidupannya. Ya, ia telah berhijrah dari kejahatan menuju kemuliaan hidup seperti yang digariskan Rasulullah Saw. hingga ia benar-benar berubah menjadi Muslim yang saleh dan mulia.

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. berpesan kepada para sahabatnya, “Hendaklah kalian selalu jujur. Kejujuran akan menunjukkan seseorang kepada kebaikan dan kebaikan akan menuntun pelakunya menuju surga. Sebaliknya, jauhilah perkataan bohong. Sebab, kebohongan akan menunjukkan seseorang pada kejahatan, dan kejahatan akan menuntun pelakunya menuju neraka.”

Dalam redaksi lain dikatakan, “Sesungguhnya jujur itu akan membawa pelakunya menuju kebaikan, dan kebaikan akan membawanya menuju surga. Sungguh, seseorang yang berlaku jujur akan ditetapkan di sisi Allah sebagai “shiddรฎq” (orang jujur). Sesungguhnya kebohongan itu akan membawa pelakunya menuju kejahatan, dan kejahatan akan membawanya menuju neraka. Sungguh, seseorang yang suka bohong akan ditetapkan di sisi Allah sebagai “kadzdรขb” (pembohong)” (HR Muslim).


๐Ÿ“š 106. Keimanan yang Kukuh
Suatu ketika Abu Thalib, paman Rasulullah Saw. yang menjadi pelindung dan pembela beliau, didatangi para pemuka Quraisy. Mereka mengancam dan memperingatkan Abu Thalib. Dengan lantang mereka berkata, “Hai Abu Thalib! Kau sudah tua dan memiliki kedudukan terhormat. Kami menghormatimu dan kami segan kepadamu. Kami telah memintamu untuk memperingatkan keponakanmu agar menghentikan dakwahnya, tetapi kau membiarkannya. Kami tak bisa bersabar dan menahan diri lagi menghadapi tingkahnya mencaci-maki Tuhan kami, merendahkan akal kami, dan mengecam leluhur kami. Seharusnya kau melarangnya melakukan semua itu. Jika tidak, kami akan memeranginya dan juga dirimu hingga salah satu dari dua golongan kita binasa!”

Lalu mereka pergi meninggalkan Abu Thalib. Sepertinya Abu Thalib merasa berat juga jika harus bertentangan dengan para pemuka Quraisy, sukunya sendiri sehingga akhirnya ia menemui keponakannya, Muhammad, dan berkata, “Tadi para pemuka Quraisy mendatangiku, meminta agar kau tidak lagi meneruskan dakwakmu. Jika kau bersikukuh, mereka akan memerangimu dan juga keluarga kita. Cobalah kau perhatikan peringatan mereka, Anakku. Aku mohon, janganlah engkau membebaniku lebih dari kemampuanku.”

Rasulullah Saw. tertegun sejenak merenungkan ucapan dan keadaan pamannya yang sudah tua itu. Roda dakwah seakan-akan terhenti sejenak menantikan keputusan apa yang akan diambil Rasulullah Saw. Akhirnya, dengan mata berlinang, Rasulullah Saw. menjawab:

“Paman, seandainya mereka (mampu) meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini, aku tidak akan pernah meninggalkannya hingga aku menang atau aku mati mempertahankannya.”

Ya, seperti itulah besarnya kekuatan iman! Abu Thalib gemetar mendengar jawaban keponakannya. Ia diam tertegun cukup lama. Akhirnya, ia sadar, ia tengah berhadapan dengan kekuatan suci serta kehendak yang sangat agung dan mulia. Keteguhan sosok di hadapannya melebihi segala tenaga hidup yang ada.

Rasulullah Saw. kemudian beranjak pergi meninggalkan pamannya dengan hati iba. Melihat keteguhan iman Rasulullah Saw., akhirnya Abu Thalib mengalah. Ini adalah kali kedua Abu Thalib mengalah kepada keponakannya setelah melihat linangan air matanya. Dulu, ia juga mengalah ketika keponakannya yang masih belia ingin ikut bersamanya berdagang ke Negeri Syam ….

Setelah merenung cukup lama, Abu Thalib pun bangkit dan melangkah cepat menyusul keponakannya, Muhammad Saw. lalu berkata, “Anakku, teruskanlah! Lanjutkan perjuangan dakwahmu, dan berkatalah sesuka hatimu. Demi Allah, aku takkan menyerahkanmu kepada mereka selama aku masih hidup.”

Dengan demikian, usaha kaum Quraisy untuk membujuk Abu Thalib agar keponakannya itu meng- hentikan dakwah, gagal total.


๐Ÿ“š 107. Keimanan yang Menakjubkan
Pada suatu penghujung malam, menjelang shubuh, Rasulullah Saw. hendak berwudhu. Beliau bertanya kepada para sahabatnya, “Apakah masih ada air untuk berwudhu?” Ternyata, tidak ada seorang sahabat pun yang memiliki air. Namun, mereka mendapatkan satu kantong yang masih menyisakan sedikit tetesan air, dan mereka membawanya kepada Rasulullah Saw. Kemudian, beliau memasukkan jari-jemarinya ke dalam kantong air itu. Saat beliau mengeluarkan tangannya, terpancarlah air dari sela-sela jarinya dengan deras. Para sahabat berbaris untuk berwudhu dengan air tersebut. Bahkan, Abdullah ibn Mas‘ud tidak hanya berwudhu, tetapi juga minum darinya. Setelah semua berwudhu, Rasulullah Saw. dan para sahabat mendirikan shalat shubuh berjamaah.

Sesudah shalat, Rasulullah Saw. duduk menghadap ke arah para sahabat, lalu bertanya, “Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?”

“Para malaikat,” jawab para sahabat.

“Bagaimana mungkin mereka tidak, sedangkan mereka adalah pelaksana perintah Allah? Mereka terus- terusan menjalankan perintah Allah dan menunaikan amanah-Nya,” ujar Rasulullah Saw.

“Kalau begitu, para nabi,” tebak para sahabat.

“Bagaimana mungkin para nabi tidak beriman, sedangkan mereka menerima wahyu dari Allah Swt.?!”

Para sahabat terdiam sejenak, lalu berkata, “Kalau begitu, kami, para sahabatmu.”

Rasulullah Saw. berkomentar, “Bagaimana mungkin kalian tidak beriman, sementara, baru saja kalian menyaksikan sendiri apa yang baru saja terjadi.”

(Maksudnya, para sahabat menyaksikan sendiri mukjizat yang ditampakkan Rasulullah Saw.).

“Kalau begitu, siapakah manusia yang paling menakjubkan imannya itu, wahai Rasulullah?” tanya para sahabat makin penasaran.

Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku, tidak pernah melihatku. Namun, ketika menemukan Al-Quran terbuka di hadapan mereka, mereka lalu mencintaiku. Mereka mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menyerahkan seluruhnya.”

Mudah-mudahan kita termasuk kelompok ini, kelompok yang tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah Saw. dan tidak pernah hidup sezaman, tetapi sangat mencintainya. Kita mengenalnya dari Al-Quran yang terbuka di depan kita. Kita mengetahuinya dari para ulama yang menyampaikan isi Al-Quran itu kepada kita.


๐Ÿ“š 108. Jika Jujur, Ia Pasti Masuk Surga
Suatu ketika para sahabat menghadiri majelis Rasulullah Saw. dan tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang laki-laki Badui. Ia datang dan langsung menghadap Rasulullah Saw. kemudian terjadilah dialog di antara keduanya.

Orang Badui itu berkata, “Wahai Muhammad, utusanmu telah datang kepada kami. Ia menyampaikan ucapanmu bahwa ‘Sesungguhnya Allah telah mengutusmu’. Benarkah seperti itu?”

“Ia benar,” jawab Rasulullah Saw.

“Jadi, siapakah yang menciptakan langit?”

“Allah.”

“Siapakah yang meninggikan gunung-gunung dan menjadikan apa yang ada di dalamnya?”

“Allah.”

“Demi Allah yang telah menciptakan langit dan meninggikan gunung-gunung, apakah Allah telah mengutusmu?”

“Ya,” jawab Rasulullah Saw. singkat.

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam. Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkan ini kepadamu?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib membayar zakat atas harta kami. Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkannya?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan. Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

“Demi Allah yang telah mengutusmu, apakah Allah memerintahkannya?”

“Ya.”

“Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib berhaji bagi orang yang mampu. Benarkah begitu?”

“Ia benar.”

Kemudian orang itu berkata, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar, aku tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi semua itu.”

Setelah orang itu pergi, Rasulullah Saw. berpaling kepada para sahabat dan bersabda, “Sungguh, jika ia jujur, ia pasti masuk surga.”


๐Ÿ“š 109. Rasulullah Senang Bercerita
Berbagai sirah Nabawiyah menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pun suka bercerita. Biasanya, beliau bercerita kepada umatnya tentang kisah umat-umat terdahulu, umat para nabi sebelum beliau. Tentu saja Rasulullah Saw. mengetahui semua kisah itu melalui wahyu dari Allah Swt.

Suatu hari Rasulullah Saw. dikelilingi para sahabat. Tak lama kemudian beliau bercerita, “Ada seorang laki- laki sebelum kalian yang menderita sakit. Karena tidak sabar menahan penyakitnya, ia memotong urat nadinya hingga mengalirlah darahnya tanpa henti. Akhirnya, laki-laki itu mati.

Kemudian Allah berfirman, ‘Hambaku ini mempercepat kematiannya (bunuh diri) sehingga haram baginya surga.’”

Di lain waktu Rasulullah Saw. bercerita lagi, “Ada seorang laki-laki yang berlebih-lebihan memperlakukan dirinya sendiri. Ketika ia merasa bahwa kematiannya telah dekat, ia berpesan kepada anak-anaknya: ‘Nanti, jika aku telah mati meninggalkan kalian, bakarlah tubuhku hingga menjadi abu. Lalu biarkan angin menerbangkan abu jasadku itu. Demi Allah, sekiranya Allah berkenan menyiksaku, tentu aku akan disiksa dengan siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada selainku.’”

Rasulullah Saw. melanjutkan, “Setelah ia mati, anak- anaknya benar-benar melaksanakan wasiatnya. Kemudian Allah Swt. memerintahkan bumi agar mengumpulkan seluruh abu jasadnya yang telah berhamburan di muka bumi. Lalu, bumi menjalankan perintah-Nya, dan tiba- tiba tubuh laki-laki itu berdiri tegak.

Allah Swt. bertanya kepadanya, ‘Apa yang menyebabkanmu melakukan itu?’

Laki-laki itu menjawab, ‘Karena rasa takutku kepadaMu, wahai Tuhanku.’”

Akhirnya, apa yang terjadi dengan laki-laki tersebut? Rasulullah Saw. mengakhiri ceritanya, “Kemudian Allah mengampuni dosa orang itu (karena rasa takutnya kepada Allah)” (HR Bukhari-Muslim).


๐Ÿ“š 110. Kesucian Kalimat La Ilaha Illallah
Seorang sahabat, bernama Al-Miqdad ibn Al-Aswad r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw., “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat Tuan jika aku bertemu dengan orang kafir lalu ia menentangku, lalu ia menebas satu tanganku dengan pedang hingga putus, kemudian ia berlindung dari seranganku di balik sebatang pohon seraya berkata,

‘Aslamtu (aku berislam)’. Apakah boleh aku membunuhnya, setelah ia mengucapkan kata-kata tersebut?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Jangan membunuhnya.”

Al-Miqdad melanjutkan, “Ya Rasulullah, namun ia telah menebas salah satu tanganku, lalu mengucapkan kata-kata masuk Islam. Bolehkah aku membunuhnya?”

“Jangan membunuhnya! Jika kau membunuhnya maka ia berada dalam kedudukanmu sebelum kau membunuhnya. Dan kau berada dalam kedudukannya sebelum ia mengucapkan kata-kata masuk Islam,” ujar Rasulullah Saw.

Seorang sahabat lainnya, yaitu Usamah ibn Zaid, mengalami hal serupa. Hanya saja, Usamah telah membunuhnya. Kejadian itu bermula ketika Usamah dikirim oleh Rasulullah Saw. menuju suatu peperangan. Pasukan Muslim tiba di Al-Huruqat, daerah Juhainah, di saat shubuh. Dalam situasi perang, Usamah berhadapan dengan seorang laki-laki yang kemudian mengucapkan kalimat Lรข ilรขha illallรขh, tetapi Usamah tetap menyerangnya hingga ia terbunuh.

Kejadian ini tak bisa lepas dari ingatan Usamah. Akhirnya, saat tiba di Madinah, ia melaporkan kepada Rasulullah apa yang telah ia lakukan terhadap laki- laki itu. Setelah mendengar penuturan Usamah, beliau bertanya, “Orang itu telah mengucapkan Lรข ilรขha illallรขh dan kau tetap membunuhnya?”

“Benar, wahai Rasulullah, tetapi ia mengucapkan Lรข ilรขha illallรขh hanya karena takut pedangku,” ujar Usamah membela diri.

Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Mengapa tidak kau belah hati orang itu sehingga kau tahu apakah hatinya mengucapkan Lรข ilรขha illallรขh atau tidak?” Beliau terus mengulang-ulang pertanyaannya itu kepada Usamah sehingga sepanjang hari itu Usamah diliputi penyesalan mendalam dan berharap ia belum menjadi seorang Muslim dan ingin masuk Islam.

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah Saw. bertanya kepada Usamah, “Apakah kau membunuhnya?”

“Ya,” jawab Usamah.

Lalu beliau bertanya lagi, “Bagaimana kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu kepada orang yang telah mengucapkan Lรข ilรขha illallรขh apabila Hari Kiamat tiba?”

“Ya Rasulullah, mohonkan ampunan untukku,” suara Usamah bergetar.

Rasulullah Saw. mengulang-ulang pertanyaan di atas tanpa menghiraukan permintaan Usamah ibn Zaid.


๐Ÿ“š 111. Keadilan Tak Pandang Bulu
Dikisahkan ada seorang wanita dari keluarga terhormat dan disegani yang berasal dari Bani Makhzum telah mencuri. Maka, ia harus dihukum sesuai dengan perbuatannya: tangannya harus dipotong.

Namun, kaum dan keluarga wanita itu merasa keberatan karena hukuman itu akan menjadi pukulan berat. Mereka akan merasa terhina. Karena itulah, mereka melakukan berbagai upaya agar Rasulullah memaafkan wanita itu dan membatalkan hukuman potong tangan.

Mereka mencari orang yang bisa dimintai tolong untuk menyampaikan keinginan mereka dan membujuk Rasulullah. Mereka bertanya satu sama lain, “Siapakah yang akan berbicara kepada Rasulullah?”

Sebagian mereka menjawab, “Tidak ada yang bisa dipercaya selain Usamah ibn Zaid, kekasih Rasulullah!” Mereka tahu, Usamah adalah putra Zaid, sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah.

Akhirnya, mereka menemui Usamah dan memohon kepadanya untuk menghadap Rasulullah Saw. dan menyampaikan maksud mereka.

Maka, Usamah beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita itu. Mendengar permintaannya, Rasulullah terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang telah ditetapkan Allah?” Kemudian, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum Muslim hingga sampai pada sabdanya:

“Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya, jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”

Tidak ada yang berubah pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya, dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Wanita dari keluarga yang terhormat itu tetap harus menjalani hukuman: tangannya dipotong. Aisyah r.a. menuturkan, “Wanita itu kemudian bertobat, memperbagus tobatnya, dan menikah. Ia pernah datang dan menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah.”

Keadilan Rasulullah Saw. juga terlihat jelas dalam peristiwa Perang Badar. Dalam peperangan yang dimenangi kaum Muslim ini, banyak sekali orang Quraisy yang ditawan. Mereka semua diikat dengan tali agar tidak bisa melarikan diri. Di antara para tawanan itu terdapat Al-Abbas, paman Rasulullah Saw.

Dalam peperangan itu, Al-Abbas belum menjadi Muslim dan ia bergabung dengan pasukan Quraisy hingga akhirnya tertangkap dan tangannya dibelenggu. Tali yang mengikat tangan para tawanan begitu kuat sehingga mereka mengerang kesakitan. Mereka dikumpulkan di dekat masjid, dekat rumah Rasulullah Saw. sehingga beliau mendengar suara erangan para tawanan itu, termasuk suara pamannya. Erangan Al-Abbas itu membuat beliau tidak bisa tidur. Rupanya para sahabat menyadari perasaan Rasulullah Saw. sehingga mereka melonggarkan ikatan pada tangan Al-Abbas.

Setelah itu, tak terdengar lagi erangan kesakitan dari mulutnya.

Tentu saja Rasulullah Saw. heran. Maka, beliau menyuruh seseorang untuk pergi memeriksa mengapa suara pamannya tak terdengar lagi. Si utusan menyampaikan bahwa Al-Abbas tidak lagi mengerang kesakitan karena ikatan di tangannya telah dilonggarkan.

Mengetahui hal itu, beliau langsung berkata kepada para sahabat, “Semua tawanan harus diperlakukan sama. Longgarkan ikatan semua tawanan. Jangan membeda-bedakan antara yang satu dan yang lain. Atau, ketatkan lagi ikatan pada tangan Al-Abbas agar semuanya mendapat perlakuan yang sama.”

Akhirnya, ikatan pada tangan semua tawanan itu dilonggarkan.


๐Ÿ“š 112. Keseimbangan dalam Memenuhi Hak
Sahabat Anas r.a. menuturkan bahwa ada tiga orang yang datang bertamu ke rumah istri-istri Rasulullah Saw. untuk bertanya tentang ibadah beliau.

Ketika diberi tahu tentang bagaimana ibadah beliau, ketiganya sadar, ibadah mereka sungguh tidak ada apa- apanya dibanding Rasulullah Saw. Setelah keluar dari rumah Rasulullah, mereka berkata, “Di manakah kita jika dibandingkan dengan ibadah Rasulullah? Padahal, beliau adalah hamba yang telah dijamin mendapatkan ampunan dari seluruh dosa, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.”

Lalu salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan terus mendirikan shalat malam sepanjang hidupku.”

Orang kedua berkata, “Aku akan terus berpuasa setiap hari sepanjang tahun tanpa berhenti, meski satu hari.”

Tidak mau kalah, orang ketiga berkata, “Aku akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah sepanjang hidupku.”

Rupanya, Rasulullah Saw. mendengar kabar tentang ketiga orang itu sehingga suatu hari beliau menemui mereka dan berkata, “Hai kalian yang mengatakan begini dan begitu! Demi Allah, bukankah aku orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah dan paling takwa kepada-Nya? Meski demikian, aku berpuasa dan aku juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita! Barangsiapa tidak menyukai Sunnahku maka ia bukanlah golonganku!”

Kisah hampir sama dialami Salman Al-Farisi dan Abu Darda. Kedua sahabat ini dipersaudarakan oleh Rasulullah Saw. Suatu hari, Salman mengunjungi Abu Darda dan melihat istri Abu Darda mengenakan pakaian yang sangat sederhana tanpa hiasan sedikit pun. Karena terharu, Salman bertanya, “Mengapa keadaanmu seperti ini?” Sang istri menjawab, “Saudaramu itu, Abu Darda, sama sekali tidak punya hasrat terhadap kenikmatan dunia.”

Tidak lama kemudian, datang Abu Darda untuk membuatkan makanan. Setelah itu ia berkata kepada Salman, “Makanlah, hari ini aku sedang berpuasa.”

Salman menjawab, “Aku tidak akan makan kecuali kau makan bersamaku!”

Ketika malam tiba, sebelum Abu Darda pergi untuk shalat, ia berkata kepada Salman, “Tidurlah!” Salman pun tidur. Namun, tidak lama kemudian ia bangun lagi dan berkata kepada Abu Darda, “Tidurlah!” Pada akhir malam, Salman bangun, kemudian membangunkan Abu Darda, “Bangunlah sekarang!” Lalu, mereka berdua shalat bersama.

Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya, Rabb-mu memiliki hak atas dirimu. Namun, dirimu juga memiliki hak atas dirimu, begitu juga, keluargamu. Mereka punya hak atas dirimu. Maka, berikanlah hak itu kepada setiap yang mempunyai hak.”

Keesokan harinya Abu Darda menemui Rasulullah Saw. dan menceritakan apa yang dikatakan Salman. Beliau menjawab singkat, “Salman benar.”

Hal di atas berlaku juga untuk wanita sebagaimana terungkap dalam kisah berikut. Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah Saw. memasuki masjid untuk mengimami shalat. Namun, di dalam masjid beliau melihat seutas tali terbentang dari satu tiang ke tiang lainnya. Beliau pun bertanya kepada para sahabat, “Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, tali ini milik Jainab. Apabila ia lelah dan mengantuk saat melaksanakan shalat malam, ia bergelayut dan bersandar pada tali ini agar tetap bisa mendirikan shalat.”

Rasulullah Saw. berkomentar, “Tingkah seperti itu tidaklah baik. Jika ia lelah dan mengantuk, tidur dan beristirahatlah. Jangan dipaksakan!”


๐Ÿ“š 113. Bersama Penghuni Surga
Suatu hari Rasulullah Saw. duduk-duduk bersama para sahabat, kemudian beliau berkata, “Sebentar lagi akan muncul di hadapan kalian seorang laki-laki ahli surga.” Tiba-tiba, muncul seorang sahabat Anshar yang janggutnya masih basah oleh air wudhu. Ia mengapit kedua sandalnya dengan tangan kirinya.

Keesokan harinya Rasulullah Saw. berkata seperti kemarin, “Sebentar lagi akan datang seorang laki-laki penghuni surga.” Lalu muncullah laki-laki yang sama.

Begitu juga ada hari ketiga. Rasulullah Saw. mengulangi ucapan seperti di hari sebelumnya, dan tidak lama kemudian para sahabat melihat laki-laki yang sama. Ketika majelis Rasulullah Saw. usai, Abdullah ibn Amr ibn Al-‘Ash r.a. mengikuti laki-laki itu untuk mengetahui keadaannya. Saat tiba di depan rumah laki-laki itu, Abdullah mendekatinya dan berkata, “Aku sedang bertengkar dengan ayahku. Aku berjanji kepada ayah tidak akan menemuinya selama tiga hari. Bolehkah jika aku menginap di rumahmu selama tiga hari?”

“Oh ya, silakan. Aku tidak keberatan,” orang Anshar itu menerimanya dengan ramah. Abdullah pun mengikutinya memasuki rumah itu dan menginap di sana selama tiga malam. Selama itu Abdullah terus mencari tahu, ibadah apa gerangan yang dilakukan orang itu sehingga Rasulullah Saw. menyebutnya sebagai ahli surga. Namun, selama tiga hari itu Abdullah tidak melihatnya melakukan suatu ibadah yang istimewa.

“Selama tiga hari ini aku tidak melihatnya melakukan amalan yang istimewa, sampai-sampai aku hampir saja meremehkan amalannya,” kata Abdullah dalam hati.

Akhirnya, Abdullah merasa penasaran dan berkata terus terang kepada orang itu, “Hai hamba Allah, sebenarnya, aku tidak bertengkar dengan ayahku. Aku juga tidak menjauhinya. Aku mengikutimu karena mendengar Rasulullah Saw. berkata tentang dirimu sampai tiga kali, ‘Akan datang seorang laki-laki penghuni surga.’ Dan yang kemudian datang adalah engkau. Aku ingin melihat amalanmu agar aku bisa menirunya. Mudah-mudahan, dengan amalan yang sama, aku bisa mencapai kedudukanmu.”

Laki-laki Anshar itu menjawab, “Engkau sendiri telah melihat apa yang kulakukan selama ini, tidak kurang tidak lebih.”

Ketika Abdullah ibn Amr hendak pulang, laki-laki itu memanggilnya, dan berkata, “Demi Allah, amalanku tidak lebih dari apa yang telah kaulihat. Hanya saja, aku tidak pernah menyimpan niat buruk terhadap kaum muslim. Aku tidak pernah menyimpan rasa dengki kepada mereka atas kebaikan yang diberikan Allah kepada mereka.” “Ah, hatimu bersih dari perasaan buruk dan rasa dengki terhadap kaum Muslim. Itulah rupanya yang membuatmu mencapai kedudukan yang terpuji itu. Sikap seperti itulah yang justru tidak kami miliki,” kata Abdullah pada akhirnya.


๐Ÿ“š 114. Berkat Rahmat Allah Semata
Suatu ketika Rasulullah Saw. keluar menemui para sahabatnya. Setelah berada di tengah-tengah mereka, beliau menyampaikan suatu berita:

“Baru saja yang kukasihi, Malaikat Jibril, beranjak pergi dari hadapanku. Ia memberitahuku, ‘Hai Muhammad, demi Allah yang mengutusmu dengan kebenaran. Sesungguhnya Allah memiliki seorang hamba, di antara sekian banyak hamba-Nya, yang beribadah kepada-Nya selama 500 tahun. Ia hidup di puncak gunung yang ada di tengah laut. Lebarnya 30 hasta dan panjangnya 30 hasta juga. Sementara, jarak lautan itu dari masing-masing arah mata angin sepanjang 4.000 farsakh.

Allah mengalirkan mata air di puncak gunung itu hanya seukuran jari. Airnya sangat segar, mengalir sedikit demi sedikit, hingga menggenang di bawah kaki gunung.

Allah juga menumbuhkan pohon delima. Setiap malam, ada delima yang matang untuk dimakan di siang hari.

Ketika hari menjelang petang, hamba itu turun ke bawah untuk berwudhu, lalu memetik buah delima untuk dimakan. Setelah itu, ia mendirikan shalat.

Setiap hari ia berdoa kepada Allah Swt. agar diwafatkan dalam keadaan bersujud. Ia juga memohon agar jasadnya jangan sampai rusak dimakan tanah dan binatang. Ia juga ingin agar kelak dibangkitkan dalam keadaan bersujud.’”

Rasulullah Saw. menghentikan ceritanya sejenak. Para sahabat bertanya, “Selanjutnya bagaimana, wahai Rasulullah?”

“’Ketika hamba itu dibangkitkan pada Hari Kiamat, ia dihadapkan kepada Allah Swt., yang berfirman kepada malaikat, “Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku.”

Namun, hamba Allah ini membantah, “Ya Rabbi, aku masuk surga karena ibadah yang kulakukan sepanjang hidupku.”

“Masukkanlah hamba-Ku ini ke dalam surga karena rahmat-Ku,” firman Allah Swt. lagi.

“Ya Rabbi, masukkanlah aku ke surga karena amalku,” lagi-lagi ia membantah.

“Cobalah kalian timbang, lebih berat mana antara nikmat yang Aku berikan kepadanya dan amal kebaikannya!” perintah Allah Swt. kepada para malaikat.

Ternyata, setelah ditimbang, nikmat penglihatan yang diberikan Allah kepada hamba itu lebih berat dibandingkan ibadahnya selama 500 tahun. Belum lagi nikmat anggota tubuh yang lainnya.

“Sekarang, masukkan hamba-Ku ini ke dalam neraka!” perintah Allah Swt.

Maka, ia pun diseret untuk dimasukkan ke dalam neraka. Kontan saja ia merengek, memelas, memohon agar tidak dimasukkan ke neraka: “Ya Rabbi, Engkau benar. Aku masuk surga hanya karena rahmat-Mu. Masukkanlah aku ke dalam surga-Mu!”

“Kembalikanlah ia!” perintah Allah Swt.

Ia pun dihadapkan lagi kepada Allah: “Hai hamba-Ku, siapa yang menciptakanmu ketika kamu belum menjadi apa-apa?”

“Engkau, wahai Tuhanku.”

“Itu karena keinginanmu sendiri atau karena rahmat- Ku?”

“Semata-mata karena rahmat-Mu.”

“Siapa yang memberi kekuatan kepadamu sehingga bisa mengerjakan ibadah selama lima ratus tahun?”

“Engkau, ya Rabbi.”

“Siapa yang menempatkanmu di gunung yang dikelilingi lautan? Kemudian, siapa yang mengalirkan air segar untukmu di tengah laut yang airnya asin? Lalu, siapa yang setiap malam memberimu buah delima yang seharusnya berbuah hanya satu tahun sekali? Di samping itu semua, kamu memohon agar Aku mencabut nyawamu ketika bersujud dan Aku telah memenuhi permintaanmu! Siapa yang melakukan semua itu?”

“Engkau, ya Rabbi.”

“Itu semua karena rahmat-Ku. Dan hanya dengan rahmat-Ku pula Aku memasukkanmu ke surga. Sekarang, masukkanlah hamba-Ku ini ke surga! Hamba-Ku yang paling banyak memperoleh kenikmatan adalah kau, wahai hamba-Ku!”

Allah Swt. menyuruh malaikat untuk memasukkannya ke surga.’

Jibril menuntaskan ceritanya, kemudian berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya segala sesuatu itu terjadi hanya karena rahmat Allah Swt.’”

Dalam kesempatan yang berbeda, Rasulullah menuturkan kisah heroik tentang keimanan dan ketakwaan seorang pemuda yang berpengaruh besar terhadap suatu kaum.

Para mufasir menceritakan kisah tentang pemuda ini ketika menafsirkan firman Allah: Binasalah orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman). Yang berapi (yang punya) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang mukmin. Dan mereka menyiksa orang mukmin itu hanya karena (mereka) beriman kepada Allah yang Mahaperkasa dan Maha Terpuji. (QS Al-Burรปj [85]: 4-8)

Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang mempunyai seorang penyihir. Ketika usia si penyihir itu beranjak makin tua, ia berkata kepada raja, “Paduka, usiaku makin renta. Untuk menyiapkan penggantiku, datangkan padaku seorang anak muda yang akan kuajari dan kulatih berbagai ilmu sihir.” Raja mengabulkan permintaannya, kemudian ia memilih seorang anak muda yang dianggap paling berbakat untuk diajari ilmu sihir.

Keesokan harinya mulailah pemuda itu belajar sihir di rumah si penyihir itu. Setiap pagi anak muda itu berangkat dari rumahnya menuju rumah si penyihir. Namun, dalam perjalanannya menuju rumah si penyihir, ia melewati tempat seorang pendeta yang sedang berceramah. Ia merasa tertarik pada si pendeta itu sehingga ia berhenti dan mendengarkan ceramahnya.

Begitulah hari-hari yang dilalui anak muda itu. Setiap pagi ia pergi dari rumahnya, berjalan, berhenti dan mendengarkan ceramah si pendeta, lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah ahli sihir untuk mempelajari sihir. Karena sering terlambat datang, si penyihir memukul anak muda ini. Keesokan harinya, anak muda itu mengadukan kepada pendeta apa yang dialaminya kemarin. Si pendeta menasihatinya: “Jika kau takut kepada si tukang sihir, katakanlah kepadanya: ‘Aku ditahan keluargaku sehingga terlambat datang.’ Dan jika kamu merasa takut kepada keluargamu, katakanlah, ‘Aku ditahan oleh si tukang sihir.’”

Suatu hari, anak muda itu melihat binatang besar yang menghalangi jalan orang-orang. Maka, ia berkata, “Ini kesempatan bagiku untuk mengetahui, mana yang lebih baik, ilmu yang diajarkan sang penyihir ataukah ajaran sang pendeta?”

Lalu ia mengambil batu dan berdoa, “Ya Allah, jika si pendeta itu lebih Engkau sukai daripada si tukang sihir, bunuhlah binatang ini agar orang-orang bisa lewat.”

Kemudian, ia lemparkan batu di tangannya kepada binatang itu dan binatang itu mati. Maka, orang-orang bisa melewati jalanan itu dengan aman dan leluasa.

Keesokan harinya si anak muda menceritakan kejadian tersebut kepada si pendeta. Sang pendeta berkata, “Anakku, kini kau lebih baik dibanding aku. Menurutku, kelak kau akan mendapat cobaan. Jika kau mendapat cobaan, jangan sebutkan namaku kepada siapa pun!”

Allah menganugerahkan karunia yang besar kepada anak muda itu sehingga ia memiliki kemampuan mengobati yang luar biasa. Dengan izin Allah, ia bisa menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan penyakit-penyakit lain.

Suatu hari salah seorang teman raja yang tidak bisa melihat mendengar kabar tentang keahlian anak muda itu. Maka, ia bergegas pergi menemui anak muda itu sambil membawa berbagai hadiah yang berharga. Setelah bertemu, ia berkata, “Jika kau dapat menyembuhkanku, kuberikan semua hadiah ini kepadamu!”

Anak muda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan siapa-siapa. Sesungguhnya hanya Allah yang menyembuhkan. Jika Tuan mau beriman kepada Allah, aku akan mendoakan kesembuhan untukmu.”

Akhirnya, teman raja itu menyatakan keimanannya kepada Allah. Lalu, anak muda itu mendoakan kesembuhannya dan Allah mengabulkan doanya sehingga teman sang raja itu bisa melihat kembali.

Setelah pandangannya pulih seperti semula, ia datang menemui raja sebagaimana biasanya. Tentu saja sang raja heran melihat temannya yang kini telah sembuh dan bisa melihat kembali. Sang raja bertanya,

“Siapa yang telah berhasil memulihkan penglihatanmu?”

Temannya itu menjawab, “Tuhanku.”

Raja kembali bertanya, “Apakah kau punya tuhan selain diriku?”

“Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu,” tegasnya.

Tentu saja sang raja murka sehingga ia menyiksa temannya itu seraya menekannya agar berterus terang, siapa yang telah memengaruhi dan membuatnya beriman kepada Tuhan selain dirinya. Akibat tekanan dan siksaan sang raja serta para pengawalnya, ia bercerita tentang ajaran yang diterimanya dari si anak muda murid sang penyihir. Mendengar penuturan temannya itu, sang raja langsung memerintahkan para pengawal untuk menangkap si anak muda dan menyeretnya ke istana.

Ketika anak muda itu tiba di istana, sang raja bertanya, “Anakku, kemampuan sihirmu sungguh hebat. Kau telah mampu menyembuhkan kebutaan, penyakit kusta, dan penyakit lainnya.”

Anak muda itu menjawab, “Aku tidak bisa menyembuhkan penyakit apa pun. Satu-satunya yang bisa menyembuhkan adalah Allah.”

Raja murka mendengar ucapan anak muda itu sehingga ia disiksa dengan siksaan yang sangat keras. Ia dipaksa menyebutkan orang yang telah memengaruhinya dan membuatnya beriman kepada Tuhan selain sang raja. Setelah mendapat berbagai macam siksaan, akhirnya anak muda itu bercerita tentang pendeta yang mengajarinya keimanan.

Maka, raja memerintahkan para pengawal untuk menyeret sang pendeta ke hadapannya. Setelah pendeta itu tiba, sang raja langsung menekannya dengan perintah yang tegas: “Keluarlah dari agamamu!”

Namun, sang pendeta bergeming. Dengan tegas ia menolak perintah sang raja. Maka, raja memerintahkan para pengawalnya untuk menggergaji kepala si pendeta itu hingga terbelah dua. Setelah si pendeta mati, raja berpaling kepada temannya yang telah sembuh dari kebutaan. Ia pun diperintahkan untuk meninggalkan agama Tuhan. Namun, sebagaimana si pendeta, ia pun menolak perintah sang raja sehingga sebagai akibatnya, ia mendapat nasib yang sama dengan si pendeta.

Lalu, didatangkanlah si anak muda yang telah belajar sihir. Raja menyuruhnya kembali kepada agama leluhurnya. Namun, anak muda itu pun menolak perintah sang raja. Maka, raja memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret anak muda itu ke atas bukit: “Bawalah ia ke atas bukit. Sampai di puncak bukit, tawarkan lagi kepadanya untuk kembali pada agama leluhur. Jika ia menolak, lemparkan ia dari puncak bukit!”

Mereka pun menyeret anak muda itu ke atas bukit.

Dalam perjalanan, anak muda ini berdoa, “Ya Allah, binasakanlah mereka dengan kehendak-Mu!”

Mendadak seketika itu juga bukit tersebut berguncang dan para pengawal itu berjatuhan satu demi satu. Lalu, anak muda yang telah bebas itu berjalan menuruni bukit dan kembali menemui raja.

Tentu saja sang raja heran dan bertanya, “Apa yang terjadi dengan para pengawalku yang tadi menyeretmu?”

“Allah telah membinasakan mereka semua,” jawab anak muda itu.

Mendengar ucapannya, raja menyuruh para pengawalnya yang lain untuk membawa anak muda itu ke tengah laut dengan sebuah perahu kecil.

Raja berpesan: “Jika kalian tiba di tengah samudra, tawarkan kepadanya untuk kembali ke agama lamanya. Jika ia menolak, lemparkan ke laut!”

Para pengawal membawa anak muda itu ke tengah samudra. Dalam perjalanan, anak muda kembali berdoa, “Ya Allah, binasakanlah mereka dengan kehendak-Mu!”

Usai berdoa, perahu yang ditumpangi mereka terbalik hingga semua pengawal itu mati tenggelam, sedangkan si anak muda dapat menyelamatkan diri dan kembali menemui raja.

Tentu saja sang raja terkesiap heran, lalu bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi dengan para pengawalku yang membawamu ke tengah samudra?”

Pemuda itu menjawab, “Mereka telah dibinasakan Allah.” Kemudian ia berkata lagi, “Kau tidak akan bisa membunuhku, kecuali jika kau memenuhi keinginanku.”

“Apa yang kau inginkan?” tanya raja.

Pemuda itu menjawab, “Kumpulkanlah manusia di sebuah bukit. Lalu, saliblah tubuhku pada sebatang pohon kurma. Lalu, ambillah anak panah dan letakkan di tengah-tengah busurnya. Sebelum kaulontarkan anak panah itu, katakanlah: ‘Dengan menyebut nama Allah, Tuhan si anak muda.’ Jika kau melakukannya, kau pasti bisa membunuhku.”

Akhirnya, raja tersebut mengumpulkan orang-orang di sebuah bukit. Setelah mereka berkumpul, raja memerintahkan pasukannya untuk menyalib pemuda itu pada sebatang kurma. Kemudian raja mengambil busur dan sebuah anak panah dari sarungnya, meletakkannya di tengah-tengah busur, lalu berkata: “Dengan nama Allah, Tuhan anak muda ini.”

Dan, anak panah di tangan sang raja terlontar dengan sangat cepat menuju sasarannya. Anak panah itu tepat menembus jantung pemuda itu hingga ia terkulai mati.

Menyaksikan kejadian tersebut, semua orang yang berkumpul di bukit berkata: “Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini. Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini. Kami beriman kepada Tuhan anak muda ini.”

Tentu saja peristiwa itu mengejutkan sang raja dan membuatnya murka. Ia perintahkan semua prajuritnya untuk menggali sebuah parit yang sangat besar dan dalam. Setelah parit itu siap, raja memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan kayu bakar dan meletakkannya di dasar parit. Setelah itu, ia memerintahkan mereka untuk membuat api dari tumpukan kayu bakar itu sehingga parit yang besar itu menjadi lubang api yang sangat panas. Setelah itu, raja berpaling kepada semua orang dan berkata, “Siapa pun di antara kalian yang tidak mau kembali kepada agama lamanya, terjunlah ke dalam parit itu!”

Ternyata tidak ada seorang pun yang mau kembali pada agama lamanya. Alih-alih kufur dari agama Allah, mereka melangkah mantap menceburkan dirinya ke dalam parit api yang berkobar-kobar hebat. Orang yang terakhir berjalan menuju parit api adalah seorang ibu yang menggendong bayinya. Wanita itu melangkah pelan karena merasa kasihan kepada bayinya yang masih menyusui. Ia tak sampai hati membawa bayinya ke dalam kobaran api. Namun, tiba-tiba—dengan izin Allah—bayi itu berkata, “Wahai Ibu, bersabarlah! Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran.” Dan dengan langkah yang mantap, wanita itu pun terjun ke dalam kobaran api.


๐Ÿ“š 115. Perbanyak Amal Sebelum Ajal
Ketika salah seorang sahabatnya meninggal, Rasulullah Saw. mengantarkan jenazahnya hingga pemakaman. Pulang dari pemakaman, Rasulullah Saw. melayat keluarga almarhum. Beliau menghibur mereka dan berpesan agar tetap bersabar dan tawakal menghadapi musibah itu.

“Apakah sebelum meninggal, almarhum mewasiatkan sesuatu?” tanya Rasulullah Saw.

“Aku mendengar ia mengatakan sesuatu di antara napasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal,” jawab istrinya.

“Apa yang dikatakannya?”

“Aku tidak tahu, wahai Rasulullah. Apakah ucapannya itu sekadar rintihan sebelum meninggal, ataukah ia kesakitan karena dahsyatnya sakratulmaut. Aku tidak bisa menangkap ucapannya lantaran terputus-putus.” “Apa yang ia ucapkan?”

“Ia mengatakan, ‘Andai lebih lama lagi …. Andai yang masih baru …. Andai semuanya ….’ Hanya kata-kata itu yang tertangkap telingaku. Sungguh aku tidak tahu maksudnya.”

Rasulullah Saw. tersenyum, lalu bersabda, “Sungguh, ucapan suamimu itu benar adanya. Begini ceritanya. Suatu hari, ia berjalan cepat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan orang buta yang juga hendak ke masjid. Orang buta itu berjalan tersandung-sandung karena tidak ada yang menuntun. Maka, suamimu membimbingnya sampai ke masjid. Ketika hendak mengembuskan napas terakhirnya, ia melihat pahala amal salehnya itu sehingga ia berkata,

‘Andai lebih lama lagi .…’ Maksudnya, seandainya dulu ia menuntun orang buta itu lebih lama lagi, pasti pahalanya lebih besar.”

“Terus, ucapannya yang lain, ya Rasulullah?” tanya si istri penasaran.

“Kalimatnya yang kedua ia ucapkan karena suatu hari ia pergi ke masjid pagi-pagi di tengah cuaca yang sangat dingin. Di tepi jalan, ia melihat seorang laki-laki tua duduk dengan tubuh menggigil. Hampir saja, orang tua itu mati kedinginan. Kebetulan, suamimu mengenakan dua buah mantel: yang lama dan yang baru. Ia mencopot mantelnya yang lama, lalu memberikannya kepada lelaki tua itu, dan ia sendiri mengenakan mantel yang baru. Nah, menjelang kematiannya, suamimu melihat balasan amal salehnya itu. Ia menyesal dan berkata, ‘Andai yang masih baru yang kuberikan kepadanya, pasti pahalaku jauh lebih besar.’”

“Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, wahai Rasulullah?”

“Apakah kau masih ingat, suatu hari suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan minta disediakan makanan? Kau pun bergegas menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur daging dan mentega. Namun, saat hendak memakannya, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong. Sepotong diberikan kepada musafir itu dan sepotong lainnya ia makan sendiri. Menjelang wafat, suamimu menyaksikan betapa besar pahala amalnya itu sehingga ia menyesal dan berkata, ‘Kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi separo. Sebab, andai semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti pahalaku akan berlipat ganda.’”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam