Bagian (1). Kisah-Kisah Tentang Nubuwat dan Mukjizat Rasulullah Saw



πŸ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



πŸ“š 1. Membersihkan Hati Nabi Saw
Halimah binti Abi Dzuaib Al-Sa‘diyyah termenung. Lelah terbayang jelas di pelupuk matanya. Ia nyaris putus asa. Hari menjelang malam. Semua kawan yang datang bersamanya telah pulang kampung dan masing- masing membawa bayi untuk disusui. Hanya ia seorang yang bertangan hampa. Tampaknya, ia tak akan dapat rezeki dari orang Makkah. Tak seorang ibu pun yang rela menyerahkan bayinya kepada Halimah, karena mereka melihat tubuhnya yang kurus dan pakaiannya yang kusut koyak. Namun, ia ingat, ada satu bayi yang diabaikan para ibu susuan yang datang bersamanya dari kampung. Ia adalah putra Aminah binti Wahab. Mereka enggan mengambil bayi itu untuk disusui karena bayi itu tak lagi berayah. Mereka menyangka tak akan dapat rezeki lebih banyak dari seorang anak yatim.

Akhirnya, dengan enggan, Halimah berkata kepada suaminya, “Demi Allah, aku tidak mau pulang tanpa membawa bayi. Aku akan pergi kepada anak yatim itu dan mengambilnya.”

Suaminya menimpali, “Ya, ambillah. Semoga Allah memberkahi kita karenanya.”

Dan sungguh, Allah mengabulkan doanya. Hidup Halimah dan keluarganya diberkahi setelah mengambil bayi yatim itu, bayi yang kelak mengubah sejarah dunia. Pertama, air susu Halimah yang sebelumnya kering menjadi berlimpah. Kedua, hewan ternaknya yang tadinya kurus-kurus menjadi gemuk dan berlimpah air susu. Ketiga, unta tunggangan Halimah dan suaminya, yang tadinya lemah dan berjalan lambat, kini berjalan kencang sehingga bisa menyusul teman-temannya yang pulang lebih dulu.

Ketika Rasulullah Saw. berusia dua tahun, terjadi sesuatu yang sangat menakjubkan. Suatu hari, beliau main bersama teman sebayanya. Tiba-tiba dua lelaki berpakaian putih memegang dan membawa beliau dengan cepat menuju lembah, lalu meletakkannya di bawah sebuah pohon. Lalu, kedua laki-laki itu membelah dadanya dan mengeluarkan hatinya. Mereka mengeluarkan segumpal daging dari dalam hatinya. Salah seorang berkata, “Ini adalah bagian setan!” Lalu, keduanya mencuci hati Rasulullah dengan air zamzam dari wadah yang terbuat dari emas. Setelah itu, mereka mengembalikan hati beliau ke tempat asalnya seraya berkata, “Ini adalah hati yang telah disucikan Allah dari segala cela!” Kemudian, mereka pergi meninggalkan beliau.

Anak-anak lain yang bermain bersamanya saat itu berlari kencang menuju rumah Halimah dan menceritakan apa yang terjadi. Tentu saja Halimah dan suaminya kaget dan mengkhawatirkan keselamatannya. Mereka bergegas mencarinya ke segenap penjuru. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad telentang di bawah sebuah pohon dengan tubuh bermandi keringat.

“Apa yang telah terjadi padamu, Anakku?” tanya Halimah.

Muhammad menjawab, “Dua laki-laki berpakaian putih mendatangiku. Mereka membaringkan dan membelah dadaku. Lalu mereka mengambil sesuatu dari dalam dadaku. Aku tidak tahu, apa yang mereka ambil.” Mendengar tuturan beliau, Halimah dan suaminya tercengang luar biasa dan berkata, “Ini adalah sesuatu yang luar biasa!”

Setelah kejadian itu, suami Halimah berkata, “Halimah, Istriku, aku takut sesuatu terjadi pada anak ini. Bagaimana kalau kita kembalikan kepada keluarganya sebelum terlambat?”

Halimah setuju dan mereka pun membawa Muhammad menemui ibunya, Aminah.

“Apa yang kaulakukan? Bukankah dulu kau yang meminta agar anakku tinggal bersamamu?” tanya Aminah heran.

Halimah bercerita, “Sesuatu yang luar biasa terjadi kepadanya dan aku mengkhawatirkan keselamatannya. Jadi, kukembalikan putramu .…”

Aminah berkata, “Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah kepadaku! Apakah kau takut setan mengusiknya?”

“Ya, benar!”

“Tidak, demi Allah,” timpal Aminah, “Tidak ada jalan bagi setan untuk mengusiknya. Sungguh putraku ini memiliki keagungan luar biasa. Maukah engkau mendengarkan ceritaku?”

“Tentu saja,” jawab Halimah singkat. Aminah pun bercerita, “Suatu hari, saat ia masih dalam kandungan, aku melihat cahaya keluar dari diriku menerangi istana-istana Busyra di Negeri Syam hingga aku dapat melihatnya dengan jelas. Demi Allah, saat mengandungnya, aku tidak merasa letih sedikit pun, bahkan terasa ringan. Dan ketika dilahirkan, ia letakkan kedua tangannya di tanah dan kepalanya tengadah ke langit. Jangan kau khawatir. Biarkanlah. Bawalah ia kembali ke kampungmu dengan selamat!”

Maka, Halimah kembali membawa Muhammad kecil ke rumahnya di perkampungan Bani Sa’diyah disertai perasaan bangga karena mengasuh dan menyusui seorang anak yang luar biasa.


πŸ“š 2. Tawasul Dengan Calon Rasul
Suatu saat Makkah dilanda kekeringan yang hebat. Tumbuh-tumbuhan meranggas kering. Hewan ternak kurus-kurus tak bersusu. Sebagian orang mulai dilanda kelaparan. Maka, para pemuka Quraisy berkumpul dan berunding. Seorang di antara mereka berkata, “Mintalah pertolongan kepada Latta dan Uzza.”

Seseorang menimpali, “Tidak, mintalah perlindungan kepada Manat, dewa yang ketiga!”

Setelah lama berunding dan berdebat tanpa hasil, seorang laki-laki bernama Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah binti Khuwailid, berkata, “Aku berasal dari kabilah Naufal. Di antara kalian ada orang yang merupakan keturunan Ibrahim dan Ismail. Kusarankan, mintalah bantuan kepadanya.”

Orang-orang berkata, “Apakah yang kau maksud adalah Abu Thalib?”

“Ya, mintalah bantuan kepadanya.”

Mereka menyetujui sarannya dan beranjak pergi menemui Abu Thalib yang baru saja keluar dari rumahnya mengenakan jubah kuning. Mereka berkata,

“Hai Abu Thalib, lembah sudah mengering dan makhluk Allah dilanda dahaga. Bangunlah dan mohonkan hujan untuk kami!”

Abu Thalib berkata, “Tunggulah sampai matahari tergelincir dan angin mereda.”

Saat matahari hampir tergelincir, Abu Thalib keluar bersama seorang anak muda dengan wajah cemerlang seperti matahari di waktu duha, tetapi teduh seperti dinaungi awan. Ialah Muhammad. Ia sandarkan punggungnya pada dinding Ka‘bah. Sambil memegang anak muda itu, Abu Thalib mengangkat tangan, berdoa memohon turunnya hujan: “Turunkanlah hujan kepada kami, wahai Tuhan kami. Kami ber-tawasul kepada-Mu dengan anak yang penuh berkah ini.”

Waktu itu langit bening seperti kaca. Tak ada awan. Setelah Abu Thalib berdoa, awan berhimpun. Datang bergulung-gulung dari pelbagai penjuru. Tak lama, suara halilintar menggelegar bersahutan, dan hujan pun mengguyur Makkah dan sekitarnya dengan sangat deras. Abu Thalib memuji anak muda itu, menyenandungkan puisinya yang terkenal:

Awan diharapkan turunkan hujan Melalui wajahnya yang cemerlang Pelindung yatim, pelindung janda Kepadanya bernaung keluarga Hasyim yang malang Di sisinya mereka dapatkan kenikmatan dan kemuliaan.

Kira-kira 30 tahun setelah peristiwa itu, seorang Arab Badui tergopoh-gopoh menemui Rasulullah Saw. di Madinah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, kami datang menemuimu karena unta-unta kami tak lagi bisa melangkah dan bayi-bayi kami enggan menyusu. Kemudian, ia lantunkan syair:

Kami lihat dada perawan tampakkan uratnya Para ibu baru tak lagi menghiraukan bayinya Dengan tangan menadah, pemuda datang merendah Tubuhnya lunglai dan lemah Mulutnya membisu dan pedar. Di rumah-rumah kami tak tersisa lagi makanan Selain hanzal dan bulir kasar bercampur bulu. Bagi kami, selain dirimu, Tak ada lagi tempat berlari Ke mana lagi manusia pergi Kecuali kepada sang utusan.

Usai laki-laki itu menyampaikan keluhannya, Rasulullah Saw. berdiri, mengenakan serbannya, dan naik ke mimbar. Beliau tadahkan kedua tangannya ke langit dan berdoa: “Ya Allah, turunkan kepada kami hujan deras melimpah, dengan segera tidak tertunda, berguna tidak berbahaya sehingga payudara dipenuhi susu, tanaman tumbuh subur, dan bumi hidup lagi setelah kematiannya.”

Anas r.a. yang meriwayatkan hadis ini berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah Saw. belum lagi turun, dan langit sudah mencurahkan hujannya.” Penduduk lembah berteriak, “Wahai Rasulullah, banjir, banjir!”

Maka, Rasulullah Saw. berdoa, “Ya Allah, berkatilah kami. Jangan siksa kami.”

Tiba-tiba awan berpencar ke berbagai arah, melingkari Madinah seperti mahkota. Rasulullah Saw. tertawa hingga tampak gusinya, dan berkata, “Ya Allah, aku teringat lagi kepada Abu Thalib. Sekiranya ia hidup, pasti bahagia hatinya. Siapakah yang mau membacakan puisinya bagiku?”


πŸ“š 3. Membelah Bulan
Dikisahkan bahwa Abu Jahal mengirim surat undangan kepada Habib ibn Malik, seorang raja di Syam. Maka, Habib berangkat bersama 12.000 pasukan berkuda menuju Makkah. Saat tiba di Kota Abtha, sebuah daerah dekat Makkah, Abu Jahal beserta para pembesar Quraisy menyambutnya dengan memberikan budak dan perhiasan. Setelah duduk berhadapan, Habib bertanya kepada Abu Jahal tentang Muhammad.

“Tuan, bertanyalah tentang Bani Hasyim!” pinta Abu Jahal.

Habib menukas, “Siapakah Muhammad?”

Pembesar Quraisy yang menemui Abu Jahal menjawab, “Kami mengenalnya sejak kecil sebagai orang yang jujur dan bisa dipercaya. Saat berusia 40 tahun, ia berbalik menghina dan merendahkan tuhan kami. Ia dakwahkan agama baru yang berbeda dari agama kami!”

“Bawalah ia ke hadapanku dengan suka rela! Bila tidak mau, paksalah!” kata Habib.

Maka, seseorang pergi memanggil Rasulullah Saw., yang tanpa rasa takut sedikit pun datang menemui Habib ditemani sahabat setianya, Abu Bakar, dan istrinya, Khadijah.

Ketika Rasulullah Saw. tiba di hadapan Habib, wajah beliau tampak bercahaya sehingga Habib tertegun dan berkata, “Hai Muhammad, engkau tahu bahwa setiap nabi memiliki mukjizat. Apakah kau juga memilikinya?”

“Apa yang engkau inginkan?” tanya Rasulullah Saw. Habib berkata, “Aku ingin kau membuat matahari terbenam dan bulan merendah ke bumi, terbelah menjadi dua. Kemudian bulan itu bersatu lagi di atas kepalamu dan bersaksi atas kerasulanmu! Setelah itu, bulan kembali lagi ke langit dan bercahaya seperti purnama dan selanjutnya terbenam kembali serta matahari muncul seperti sedia kala!”

Mendengar permintaan Habib, Abu Jahal tersenyum dan berkata, “Sungguh benar apa yang Tuan katakan! Permintaan Tuan sungguh luar biasa!”

Rasulullah Saw. pergi meninggalkan Habib menuju Jabal Abu Qubaisy dan mendirikan shalat dua rakaat. Setelah itu, beliau berdoa kepada Allah. Sejurus kemudian, Jibril datang dan berkata,

“Assalamu‘alaikum,

ya Rasulullah. Allah menyampaikan salam kepadamu dan berfirman, ‘Kekasihku, janganlah kau bersedih dan bersusah hati! Aku selalu bersamamu. Pergilah temui mereka! Kuatkan hujahmu. Ketahuilah, Aku telah menundukkan matahari dan bulan, juga siang dan malam.’”

Saat itu hari beranjak sore dan matahari condong ke barat hingga akhirnya terbenam di ufuk barat. Semesta diliputi kegelapan, kemudian muncul bulan purnama. Setelah bulan berada tepat di atas Rasulullah, beliau memberi isyarat dengan jarinya. Bulan itu bergerak turun dan berhenti di hadapan beliau. Lalu ia terbelah dua bagian. Selanjutnya, bulan berpadu lagi di atas kepala beliau dan bersaksi, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Setelah itu bulan kembali naik ke langit dan matahari muncul kembali seperti semula, karena saat itu belum datang waktunya untuk terbenam. Meskipun mukjizat ditampakkan begitu nyata, tetap saja Abu Jahal dan para pengikutnya menganggapnya sebagai sihir. Mereka tetap tak mau beriman.


πŸ“š 4. Kisah Suraqah
Suatu pagi para pemuka Quraisy tersentak bangun dari tidur mereka. Kabar buruk mengusik ketenangan: Muhammad lolos dari kepungan para pemuda Quraisy yang berniat membunuhnya. Malam itu Rasulullah Saw. dan Abu Bakar telah pergi dari Makkah menuju Madinah. Para pemuda yang mengepung rumah Rasulullah menyangka beliau masih ada di dalam karena melihat seseorang berbaring di atas ranjang beliau. Padahal, itu adalah Ali ibn Abi Thalib yang diperintah Rasulullah Saw. untuk tidur di atas ranjangnya dan mengenakan selimut beliau.

Pagi itu Makkah dilanda kepanikan. Para pemuka Quraisy langsung berkumpul dan memerintahkan pasukannya pergi mengejar dan mencari Muhammad ke segala penjuru, tetapi mereka tak kunjung menemu- kannya. Para pembesar putus asa, dan akhirnya meng- gelar sayembara kepada para kabilah yang tersebar sepanjang jalan antara Makkah dan Madinah: “Siapa pun yang berhasil membawa Muhammad hidup atau mati ke hadapan para pembesar Quraisy, ia akan diberi hadiah sebanyak seratus ekor unta betina terbaik!”

Suraqah ibn Malik yang mendengar sayembara itu segera menyiapkan baju besi, pedang, dan pelana kudanya. Setelah menyiapkan segala bekal dan perlengkapan, ia pacu kudanya sekencang-kencangnya menyusul Rasulullah Saw. Memang ia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan. Perawakannya tinggi besar dengan sorot mata yang tajam. Ia pun dikenal sebagai pencari jejak yang cermat dan berpengalaman. Ia lewati dengan tangkas jalan-jalan yang sukar dilalui orang biasa. Ia bergerak dengan sangat waspada dan hati-hati. Matanya nyalang melihat ke segala arah.

Namun, tanpa diduga, ketika ia memacu kudanya dengan kencang, tiba-tiba kaki depan kudanya tersandung dan ia jatuh terpental dari punggung kuda.

“Kuda sialan!” serapahnya kesal.

Tanpa pedulikan rasa sakit, ia berdiri dan kembali memacu kudanya. Namun, untuk kali kedua, kudanya tersandung lagi, melontarkan penunggangnya. Tentu saja Suraqah makin kesal. Namun, ia tak berputus asa. Ia bangkit lagi dan sigap melompat ke punggung kudanya.

Belum begitu jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat Rasulullah Saw. berjalan berdua dengan sahabatnya. Maka, ia julurkan tangannya untuk mengambil busur. Namun, tiba-tiba tangannya kaku tak bisa digerakkan.

Suraqah heran bercampur marah. Tak hanya itu, kini kaki kudanya terbenam di pasir. Debu beterbangan di sekitarnya membuat matanya kelilipan, nyaris tak bisa melihat. Ia berusaha menggerakkan kudanya, tetapi tak berhasil. Hewan itu seperti terpancang lekat di bumi.

Suraqah memandang dua laki-laki buruannya itu lalu berseru dengan suara memelas, “Hai … kalian berdua! Berdoalah kepada Tuhanmu supaya Dia melepaskan kaki kudaku. Aku berjanji tidak akan mengganggu kalian!”

Rasulullah Saw. berdoa dan kaki kuda Suraqah terlepas dari tanah. Namun, ketamakan memenuhi hatinya sehingga ia melanggar janjinya sendiri. Saat kudanya kembali bisa bergerak, Suraqah bangkit hendak menyerang Rasulullah. Sial, kaki kudanya kembali terbenam lebih parah dari semula.

Suraqah memohon belas kasihan kepada Rasulullah, “Ambillah perbekalanku, juga harta dan senjataku. Demi Allah aku berjanji, akan menyuruh pulang setiap orang yang berusaha melacak kalian.”

“Kami tidak butuh perbekalan dan hartamu. Cukuplah jika kausuruh kembali orang-orang yang hendak melacak dan mengejar kami!” jawab Rasulullah Saw.

Setelah itu, Rasulullah Saw. berdoa, dan kaki kuda Suraqah pun terbebas. Saat hendak beranjak pergi, Suraqah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengganggumu!”

“Apa yang kau inginkan dari kami?” Rasulullah bertanya.

“Demi Allah, hai Muhammad! Aku yakin agama yang kaubawa akan menang dan engkau mendapatkan kekuasaan yang tinggi. Berjanjilah kepadaku, jika kelak aku datang ke kerajaanmu, bermurah hatilah kepadaku. Tuliskanlah itu untukku!” pinta Suraqah.

Rasulullah Saw. menyuruh Abu Bakar menuliskannya pada sepotong tulang, lalu diberikannya kepada Suraqah sambil berkata, “Bagaimana hai Suraqah, jika kelak kau memakai gelang kebesaran Kisra?”

“Gelang kebesaran Kisra ibn Hormuz?” tanya Suraqah takjub.

“Ya, gelang kebesaran Kisra ibn Hormuz!” Rasulullah meyakinkan.

Dan, ucapan Rasulullah itu benar-benar menjadi nyata di masa akhir kekhalifahan Umar ibn Khaththab setelah pasukan Muslim menaklukkan kerajaan Persia di bawah pimpinan Kisra ibn Hormuz.


πŸ“š 5. Berkah untuk Ummu Ma‘bad
Di tengah perjalanan hijrah bersama Abu Bakar dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Saw. merasa lapar dan haus. Keduanya terus berjalan hingga akhirnya menemukan sebuah kemah kecil. Mereka singgah untuk meminta makanan dan minuman. Ternyata kemah itu milik Ummu Ma‘bad. Ketika Rasulullah meminta bantuannya, Ummu Ma‘bad mengatakan bahwa ia tidak punya apa-apa, kecuali seekor kambing betina kurus yang biasa digembalakannya.

“Apakah kambing itu ada susunya? Dan bolehkah aku memerahnya?” tanya Rasulullah Saw.

“Demi ayah dan ibuku, jika menurutmu bisa diperah, perahlah,” ujar Ummu Ma‘bad.

Kemudian, Rasulullah Saw. berdoa seraya mengusap- usap puting kambing kurus itu dengan tangannya yang mulia. Beliau memanggil Ummu Ma‘bad dan meminta wadah. Ajaib, ketika diperah, kambing kurus itu mengeluarkan susu yang berlimpah memenuhi wadah. Ummu Ma‘bad menjadi orang pertama yang meminumnya hingga kenyang, lalu disusul Abu Bakar, dan terakhir beliau sendiri. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Setelah Rasulullah Saw. pergi, datang Abu Ma‘bad ke kemahnya. Ia merasa kaget campur heran melihat wadah yang penuh susu kambing. “Istriku, dari mana semua susu ini?” tanyanya.

“Tadi, kita kedatangan laki-laki yang penuh berkah,” ujar Ummu Ma‘bad. Lantas, ia menerangkan ciri-ciri dua orang tamunya itu.

“Ia pasti orang Quraisy. Sungguh, jika bertemu dengannya, niscaya aku akan beriman dan mengikutinya,” ujar Abu Ma‘bad.

Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa setelah semua minum susu kambing itu, Ummu Ma‘bad bertanya,

“Apakah orang-orang Quraisy menyebutmu shabi’ (yang meninggalkan agama nenek moyang)?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Seperti itulah mereka menyebutku.”

“Aku bersaksi bahwa yang engkau bawa adalah kebenaran. Bolehkah aku mengikutimu?” pinta Ummu Ma‘bad.

“Jangan, kecuali setelah kau mendengar bahwa saya ditolong,” jawab Rasulullah.

Kelak, setelah kedudukan kaum Muslim makin kukuh di Madinah, Ummu Ma‘bad datang dan mengikuti Rasulullah Saw.


πŸ“š 6. Rusa Tak Pernah Berdusta
Seorang Arab Badui (yang tinggal di pedalaman padang pasir) berhasil menangkap seekor rusa dan mengikat lehernya, lalu membawanya ke Kota Madinah. Rasulullah Saw. yang sedang berada di luar Kota Madinah mendengar suara panggilan, “Ya Rasulullah … ya Rasulullah ….” Beliau menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat seorang pun.

Tidak lama kemudian terdengar lagi seseorang memanggilnya. Beliau pun menoleh, tetapi lagi-lagi tak ada seorang pun di sekitarnya. Lalu beberapa saat kemudian, beliau melihat seorang Arab Badui berjalan membawa seekor rusa. Setelah memperhatikan, Rasulullah Saw. tahu, yang tadi memanggilnya adalah rusa itu.

Rasulullah Saw. mendekati si rusa dan bertanya, “Mengapa kau memanggilku?”

Rusa itu menjawab, “Aku punya dua anak yang masih menyusui dan kini ada di balik bukit itu. Aku berharap, Tuan berkenan menjadi jaminan bagi kebebasanku agar aku bisa pergi menyusui mereka dan aku akan kembali lagi.”

Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah kau pasti akan kembali?”

“Jika aku tidak kembali, semoga Allah menyiksaku dengan siksaan orang yang makan riba,” tegas sang rusa meyakinkan.

Maka, Rasulullah Saw. berbicara kepada laki-laki itu, membujuknya agar membebaskan rusa itu, dan beliau berjanji menjadi jaminannya. Laki-laki itu menerimanya.

Setelah dilepaskan, rusa itu langsung berlari ke balik bukit untuk menyusui anak-anaknya. Selang beberapa jam, rusa itu kembali lagi.

Tentu saja, kejadian ini menghentak kesadaran Arab Badui itu. Ia tahu, orang di hadapannya adalah manusia yang agung dan mulia. Maka, ia berkata kepada Rasulullah, “Aku akan memenuhi apa pun yang Tuan inginkan.”

Rasulullah Saw. berkata, “Lepaskanlah rusa ini!”

Akhirnya, ia melepaskan rusa itu. Sebelum berlari pergi, rusa itu berkata, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Tuhan Yang Maha Esa, dan engkau (hai Muhammad) adalah utusan Allah.”


πŸ“š 7. Unta, Sang Hakim
Suatu hari seorang Yahudi menemui Rasulullah Saw. mengadukan bahwa seorang Muslim telah mencuri untanya. Ia mendatangkan empat saksi palsu dari kaum munafik. Karena kesaksian empat orang itu, Rasulullah Saw. memutuskan bahwa unta itu milik orang Yahudi dan tangan si Muslim harus dipotong. Tentu saja, si Muslim yang tidak merasa mencuri unta itu kaget dan berduka. Ia mengangkat kepalanya dan menadahkan tangannya, lalu berkata, “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak mencuri unta itu.”

Kemudian ia berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, sungguh keputusanmu itu benar. Namun, aku mohon, sebelum tanganku dipotong, mintalah keterangan dari unta ini!”

Maka, Rasulullah Saw. bertanya kepada si unta, “Hai unta, milik siapakah engkau?”

Unta itu menjawab dengan jelas, “Wahai Rasulullah, aku adalah milik orang Muslim ini dan sesungguhnya para saksi itu palsu semua.”

Akhirnya, Rasulullah Saw. berkata, “Hai Muslim, katakan kepadaku, apa yang kaulakukan hingga Allah menjadikan unta ini berbicara?”

“Wahai Rasulullah, di malam hari aku tidak tidur sebelum membaca shalawat kepadamu sepuluh kali.”

Rasulullah Saw. berkata, “Kau telah selamat dari hukum potong tanganmu di dunia dan selamat juga dari siksa di akhirat berkat shalawat yang kaubaca untukku.”

Kisah yang nyaris sama dialami seorang tokoh kafir Quraisy, Amr ibn Hisyam, atau yang lebih dikenal dengan julukan Abu Jahal (Biang Kebodohan). Ketika Rasulullah Saw. menyeru kaumnya untuk beriman kepada Allah Swt., para pemuka Quraisy marah. Abu Jahal berseru,

“Demi Allah, lebih baik aku mati daripada mengikutimu!”

Ketika para pemimpin Quraisy berkumpul merundingkan apa yang harus mereka lakukan kepada Muhammad, Abu Jahal bertanya dengan nada marah,

“Tidak adakah di antara kalian, hai kaum Quraisy, orang yang siap membunuh Muhammad?”

“Tidak ada,” jawab mereka.

“Kalau begitu, aku yang akan membunuhnya,” tegas Abu Jahal, “jika keluarga Abdul Muththalib menuntut balas, biar aku sendiri yang terbunuh.”

Mereka berujar, “Sungguh jika benar kau mau melakukan itu, tentu kami akan selalu mengingatmu. Itu sungguh kebaikan yang tidak akan pernah kami lupakan.”

Kemudian Abu Jahal pergi ke Masjidil Haram dan melihat Rasulullah Saw. sedang tawaf, lalu beliau shalat, dan sujud sangat lama. Sungguh kesempatan yang sempurna, pikir Abu Jahal. Lalu, ia mengambil batu dan membawanya untuk dilontarkan pada kepala Rasulullah Saw. yang sedang bersujud. Namun, saat ia berjalan mendekati Rasulullah, tiba-tiba seekor unta jantan muncul dari arah beliau, menghadang langkah Abu Jahal dan membuka mulutnya sangat lebar.

Menyaksikan unta besar yang menakutkan itu, Abu Jahal gemetar hingga batu itu jatuh menimpa kakinya sendiri. Ia bergegas pulang dengan langkah tertatih dan muka pucat berkeringat. Para pemuka Quraisy yang ditemuinya bertanya, “Apa yang terjadi? Kami tidak pernah melihatmu dalam keadaan seperti sekarang.”

Abu Jahal menjawab, “Maafkan aku, saat aku hendak menumbuk kepalanya dengan batu, tiba-tiba seekor unta jantan muncul dari arah Muhammad. Unta itu menghadangku dan membuka mulutnya lebar-lebar, siap menelanku. Batu yang siap kutumbukkan pada kepalanya jatuh menimpa kakiku sendiri.”

AllΓ’h Al-Musta‘Γ’n.


πŸ“š 8. Air Memancar dari Sela-Sela Jari Rasulullah Saw
Suatu hari para sahabat berada di sebuah tempat persinggahan di pasar Madinah. Saat waktu ashar tiba, Rasulullah Saw. meletakkan tangannya pada sebuah wadah, dan sekitar 300 orang laki-laki berwudhu dari wadah itu. Anas r.a. yang meriwayatkan kisah ini berkata,

“Aku melihat air memancar dari sela-sela jarinya.”

Keajaiban serupa terjadi dalam peristiwa Hudaibiyah. Jabir r.a. menuturkan bahwa saat kaum Muslim berkemah di Hudaibiyah, banyak di antara mereka yang mengalami kehausan. Mereka menemui Rasulullah Saw. mengadukan keadaan itu sambil membawa sebuah bejana berisi sedikit air. Rasulullah Saw. memasukkan tangannya ke bejana itu dan para sahabat melihat air memancar dari sela-sela jarinya bagaikan mata air.

“Berapa jumlah kalian?” tanya Rasulullah kepada Jabir.

“Sekitar 1500 orang,” jawab Jabir.

“Air itu, insya Allah cukup untuk kalian semua.”

Benar saja, semua Muslim yang ada di Hudaibiyah saat itu dapat minum hingga puas dari wadah air yang telah diberkahi Rasulullah Saw.

Jabir r.a. juga meriwayatkan bahwa dalam peristiwa Buwaith, pasukan Muslim kehabisan bekal air sehingga banyak di antara mereka yang duduk lemah kehausan.

Mereka mendatangi Rasulullah Saw. dan mengadukan keadaan itu. Maka, beliau meminta sebuah mangkuk dan menuangkan sedikit air ke dalamnya, lalu meletakkan kedua tangannya ke mangkuk itu. Tiba-tiba, air memancar dari sela-sela jarinya.

Lalu, mangkuk itu diberikan kepada seorang sahabat yang kemudian minum darinya. Mangkuk itu berputar dari satu sahabat kepada sahabat lain hingga semua orang di sana dapat minum hingga puas. Air dalam wadah tak juga habis.

Dalam perjalanan menuju medan perang Tabuk, kaum Muslim melewati sebuah tempat yang sangat gersang. Mereka dilanda dahaga yang sangat menyiksa. Beberapa orang diperintahkan mencari sumber air hingga akhirnya salah seorang menemukan sebuah mata air tetapi airnya sangat sedikit, tidak akan cukup untuk memberi minum semua pasukan. Ia segera menemui Rasulullah Saw. dan melaporkan temuannya. Maka, Rasulullah Saw. dan Muaz ibn Jabal bergegas pergi menuju mata air itu.

Tiba di sana, beliau menggerakkan sebuah benda yang mengambang di atas air sehingga benda itu bergerak dan berputar-putar. Rasulullah Saw. membasuh wajahnya, kedua tangannya, dan mengulanginya lagi. Tiba-tiba air di mata air itu menenggelamkan benda-benda yang mengambang di atasnya, lalu mata air itu mengeluarkan suara yang sangat keras seperti petir. Dan, tiba-tiba Muaz ibn Jabal melihat mata air itu memancarkan air dengan sangat deras sehingga mata air itu makin penuh.

“Bergegaslah, Muaz. Jika kau hidup lebih lama, kau akan melihat padang gersang ini penuh dengan taman dan kebun yang subur,” ujar Rasulullah Saw.

Maka, Muaz segera memenuhi wadah-wadah kosong dengan air dan menyerahkannya kepada pasukan yang kehausan. Mata air itu terus memancarkan air segar hingga semua pasukan minum dengan puas.


πŸ“š 9. Makanan yang Diberkahi
Dalam peristiwa Khandak, atau Perang Ahzab, Rasulullah Saw. dan semua kaum Muslim bekerja keras menggali parit di sekeliling Madinah. Mereka dibagi ke dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas sepuluh orang. Setiap kelompok ditugasi menggali parit sepanjang 40 hasta. Mereka semua bekerja keras tanpa kenal lelah karena pasukan musyrik Quraisy dan sekutu mereka telah bersiap-siap menyerang Madinah. Rasulullah juga bekerja keras memimpin kaum Muslim hingga lupa makan. Sudah tiga hari beliau tidak mendapatkan makanan yang laik. Jabir ibn Abdullah mengetahui keadaan beliau dan merasa iba melihat kondisinya yang tampak lelah dan lapar.

Jabir berhasrat besar untuk menjamu Rasulullah sehingga ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mohon izin untuk pulang sebentar ke rumah.” Beliau memberinya izin. Saat tiba di rumah, Jabir berkata kepada istrinya,

“Aku melihat Rasulullah sangat lemah dan lapar. Namun, beliau tetap bersabar. Apakah kita punya sesuatu untuk dimasak?”

Istri Jabir menjawab, “Kita punya secangkir gandum dan anak kambing yang kurus.”

Jabir segera menyembelih kambing itu, lalu istrinya memasaknya, kemudian membuat beberapa potong roti gandum. Setelah makanan siap disajikan, Jabir bergegas pergi menemui Rasulullah Saw.

“Wahai Rasulullah, aku punya sedikit makanan di rumah. Sudilah kiranya Tuan datang ke rumahku bersama dua atau tiga orang untuk menyantapnya,” ujar Jabir.

“Apa yang telah kausiapkan?” tanya Rasulullah Saw.

Jabir menuturkan apa adanya. Lalu, Rasulullah Saw. berkata, “Makanan yang banyak dan baik. Tolong katakan kepada istrimu agar jangan dulu membuka tutup panci dan menghidangkan rotinya hingga aku datang.” Maka, Jabir bergegas pulang ke rumahnya mendahului Rasulullah.

Sementara itu, Rasulullah Saw. berseru kepada para sahabat, “Berhentilah kalian semua. Mari kita pergi ke rumah Jabir.”

Jabir tiba di rumahnya dan menceritakan obrolannya dengan Rasulullah Saw. termasuk pesan beliau. Namun, beberapa saat kemudian Jabir terhenyak kaget dan panik melihat di depan rumahnya, Rasulullah datang bersama semua sahabat Anshar dan Muhajirin. Ia berpaling kepada istrinya dan berkata gugup, “Celaka, beliau datang bersama semua sahabat.”

“Apakah beliau telah bertanya sebelumnya kepadamu?” tanya istrinya.

“Ya, sudah,” jawab Jabir.

“Maka, kau tidak perlu kaget,” jawab istrinya. Jabir menyilakan Rasulullah dan para sahabat di rumahnya. Kemudian, Rasulullah Saw. membuka tutup panci dan mengambil sesendok masakan daging kambing itu dan mengambil sepotong roti. Lalu, para sahabat mengikutinya hingga semua orang yang datang ke rumah Jabir bisa makan dengan kenyang. Setelah semua orang makan, Rasulullah Saw. menyuruh istri Jabir untuk makan. Ternyata, di panci itu masih tersisa masakan untuk Jabir dan istrinya, begitu pula rotinya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Jabir mengunjungi rumah ibunya, dan ternyata ibunya telah membuatkan makanan. Ia berkata, “Hai Jabir, pergilah kepada Rasulullah dan undang beliau makan.”

Maka, Jabir bergegas pergi menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah membuatkan makanan, dan beliau mengundang Tuan untuk menyantapnya bersama kami.”

Rasulullah Saw. berpaling kepada para sahabat dan berkata, “Mari kita pergi ke sana.” Rasulullah Saw. datang diiringi 50 orang sahabat. Jabir sendiri terkejut dan bergegas pergi ke rumah ibunya untuk menyampaikan kabar kedatangan Rasulullah bersama puluhan sahabatnya.

Tiba di tujuan, Rasulullah dan para sahabat duduk di depan pintu. Kemudian beliau berkata, “Masuklah kalian sepuluh orang-sepuluh orang!” Kemudian, mereka semua makan sampai kenyang. Ternyata, hidangan yang hanya sedikit itu masih tersisa meski semua orang telah makan.

Suatu hari dalam sebuah ekspedisi bersama pasukan Muslim, Rasulullah Saw. dan kaum Muslim merasa lapar, sedangkan perbekalan sudah sangat menipis. Maka, beliau bertanya kepada Abu Hurairah, “Apakah kita masih punya sesuatu untuk dimakan?”

“Ya, kita masih punya kurma di kantong perbekalan,” jawab Abu Hurairah.

Kemudian Rasulullah Saw. mengambil kurma, menggenggamnya, dan berdoa agar diberkahi Allah. Setelah itu, beliau menyuruh semua pasukan makan dari wadah perbekalan itu hingga mereka semua merasa kenyang. Setelah mereka semua makan, Rasulullah Saw. berkata, “Ambillah kurma yang kupegang tadi!”

Abu Hurairah lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong, dan ia menemukan di dalamnya kurma yang sangat banyak.

Abu Hurairah r.a. menuturkan, “Aku masih bisa makan kurma dari kantong itu sampai masa Khalifah Utsman r.a. Ketika Khalifah Utsman terbunuh, kurma itu habis.” SubhΓ’nallΓ’h.


πŸ“š 10. Rasulullah Berbicara Dengan Pohon
Ibn Umar r.a. menceritakan bahwa dalam sebuah perjalanan, Rasulullah Saw. bertemu dengan beberapa orang pedalaman dan beliau mengajak mereka memeluk Islam. Rasulullah Saw. berkata, “Aku akan memperlihatkan sesuatu kepada siapa pun yang masih sangsi. Ini adalah pohon, aku akan bicara kepadanya dan meminta sesuatu darinya.”

Lalu, tiba-tiba pohon di hadapan Rasulullah itu merunduk dan mencium bumi, kemudian tegak kembali seperti semula. Menyaksikan peristiwa itu, orang-orang pedalaman itu langsung mengucapkan syahadat tiga kali, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Buraidah Al-Aslami menuturkan bahwa seorang Arab Badui memohon kepada Rasulullah Saw. untuk memperlihatkan mukjizat dengan memanggil sebatang pohon dan beliau menyanggupinya. Maka, tidak lama kemudian datang sebatang pohon kurma dan berhenti di hadapan orang Badui tadi dan berkata, “Salam keselamatan atasmu, wahai utusan Allah.”

Setelah itu, Rasulullah Saw. memerintahkan pohon itu kembali ke tempatnya.

Suatu hari Rasulullah Saw. memanggil pohon kurma untuk mendengarkan khutbahnya. Ketika Rasulullah naik mimbar dan mulai berbicara, pohon kurma itu bersedih dan menangis tersedu-sedu. Orang-orang di sekelilingnya mendengar tangisannya sehingga mereka pun ikut menangis tersedu-sedu.

Lalu, Rasulullah Saw. memanggil pohon itu. Ia pun datang dan bersujud ke bumi, lalu kembali lagi ke tempatnya. WallΓ’hu a‘lam.


πŸ“š 11. Kerikil Pun Bertasbih
Suatu hari seorang laki-laki mendatangi rumah Rasulullah Saw., tetapi beliau tidak ada di rumah. Ia bertanya kepada pelayan beliau yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. sedang berada di sebuah tempat. Maka, ia pergi ke tempat yang ditunjukkan si pelayan itu.

Tiba di tempat tujuan, ia melihat Rasulullah Saw. sedang duduk sendirian, tanpa seorang sahabat pun menemaninya. Ia mengira Rasulullah Saw. sedang menerima wahyu. Ia berjalan mendekati beliau, mengucapkan salam, dan Rasulullah Saw. menjawabnya. Namun, laki-laki itu tidak berani mengucapkan sepatah pun kata sehingga ia hanya duduk di samping beliau.

Tidak lama kemudian, datang Abu Bakar berjalan cepat. Setelah menjawab ucapan salam Abu Bakar, Rasulullah Saw. menyuruhnya duduk di sebelah laki- laki itu. Lalu, datang Umar ibn Khaththab yang disuruh duduk di sisi Abu Bakar. Tak lama kemudian datang Utsman ibn Affan yang disuruh duduk di samping Umar ibn Khaththab.

Rasulullah Saw. mengucapkan beberapa kalimat yang tidak dipahami laki-laki itu. Ia hanya mendengar beliau mengatakan, “Sedikit yang tersisa.” Lalu, Rasulullah Saw. mengambil beberapa butir kerikil. Dan, sungguh ajaib! Kerikil itu bertasbih di tangan beliau hingga semua yang hadir mendengarnya dengan jelas.

Kemudian Rasulullah Saw. memberikan kerikil-kerikil itu kepada Abu Bakar, dan lagi-lagi kerikil itu bertasbih di tangannya, juga ketika diberikan kepada Umar, dan terakhir kerikil itu bertasbih saat ada di tangan Utsman.

Anas r.a. menuturkan bahwa suatu saat Rasulullah Saw. mengambil beberapa kerikil dan semuanya bertasbih di tangan beliau hingga para sahabat mendengar tasbihnya. Mengenai peristiwa itu, Ibn Mas‘ud r.a. mengatakan, “Kami sedang makan bersama Rasulullah dan mendengar suara tasbih yang dilantunkan kerikil-kerikil itu.”

Sementara, Ali ibn Abi Thalib r.a. menuturkan kisah yang berbeda, “Kami bersama Rasulullah di Makkah, kemudian beliau pergi ke salah satu sudut Makkah. Kami mendengar pepohonan dan gunung-gunung memberi salam kepadanya, ‘AssalΓ’mu‘alaykum, yΓ’ RasΓ»lullΓ’h.’”


πŸ“š 12. Makar Yang Terbongkar
Suatu hari, usai Perang Badar, di hadapan kaum Quraisy Makkah, Abu Sufyan berkata, “Mengapa tidak ada orang yang mau membunuh Muhammad ketika ia berjalan-jalan di pasar? Kita harus menuntut balas!” Seorang Arab pedalaman mendatangi Abu Sufyan di rumahnya dan berkata, “Jika kau mau memberiku bekal, aku akan membunuh Muhammad. Aku pandai menemukan jalan-jalan rahasia ke Madinah. Aku pun sangat mahir mengenal arah, dan pisauku pun selalu terasah tajam.”

Tentu saja Abu Sufyan sangat senang dan berkata, “Engkau sahabatku.”

Lalu, ia memberinya unta dan perbekalan. Tak lupa, Abu Sufyan juga berbisik, “Rahasiakan perjanjian ini. Aku tidak mau seorang pun mendengarnya. Aku takut seseorang menyampaikannya kepada Muhammad.”

Orang Arab itu berjanji, “Ya, aku berjanji. Tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya.”

Selanjutnya, ia berangkat menuju Madinah. Setelah seminggu perjalanan, ia tiba di Madinah. Ia mencari Rasulullah Saw. dan melihatnya sedang bersama para sahabat di masjid. Maka, dengan hati-hati ia memasuki masjid. Saat Rasulullah Saw. melihatnya, beliau berkata kepada para sahabat, “Orang ini bermaksud buruk, tetapi Allah akan menghalanginya dari apa yang direncanakannya.”

Setelah berada di dalam masjid, orang Arab itu bertanya, “Manakah anak Abdul Muthalib?”

“Aku, anak Abdul Muthalib,” jawab Rasulullah Saw. tenang.

Orang Arab ini mendekati Rasulullah Saw., lalu merunduk ke arah sebelah kiri beliau. Usaid ibn Khudhair, seorang Anshar, bangkit dari duduknya dan membentaknya, “Jangan dekati Rasulullah!” Ia sentakkan sesuatu dari dalam baju orang itu dan merampas pisaunya.

Rasulullah Saw. berkata, “Memang, ia punya niat buruk.” Dalam cengkeraman Usaid, laki-laki itu merengek, “Lindungilah darahku, wahai Muhammad!”

Rasulullah Saw. bertanya, “Jawablah dengan jujur. Saat ini, hanya kejujuran yang bisa menyelamatkanmu. Jangan berdusta, karena aku sudah mengetahui apa yang kaurencanakan!”

“Apakah aku akan dilindungi?”

“Ya, kau aman.”

Maka, ia menceritakan perjanjiannya dengan Abu Sufyan untuk pergi ke Madinah dan membunuh Rasulullah. Setelah itu, beliau menyuruh Usaid untuk menahan dan mengawasi laki-laki itu. Keesokan harinya, Rasulullah Saw. memanggil orang Arab itu dan berkata, “Aku sudah memberikan perlindungan kepadamu. Sekarang, pergilah ke mana pun yang kau suka atau pilihlah yang paling baik untukmu.”

“Apakah yang paling baik untukku?”

“Ucapkanlah: ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan-Nya.’”

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa engkau adalah utusan-Nya. Aku yakin, kau dalam kebenaran dan pasukan Abu Sufyan adalah pasukan setan.”

Orang Arab itu sempat tinggal di Madinah beberapa hari, kemudian Rasulullah Saw. mengizinkannya pergi. Sejak hari itu, tidak ada yang mengetahui keberadaan laki-laki itu. Usai kejadian ini, Rasulullah Saw. mengutus dua orang untuk membunuh Abu Sufyan. Sayang, karena ceroboh, keduanya gagal menjalankan tugas, bahkan mereka nyaris terbunuh.


πŸ“š 13. Serigala Dan Biawak Berbicara Tentang Rasulullah
Seorang Yahudi menggembalakan dombanya di sebuah lembah di Makkah. Lalu, tanpa diduga, muncul seekor serigala memangsa dombanya. Serigala itu berlari menyeret mangsanya. Si Yahudi yang tidak mau kehilangan dombanya, berlari mengejar serigala itu. Saat berhasil mengejar serigala itu, ia berusaha merebut kembali dombanya.

Namun, ia terkejut saat mendengar serigala itu berkata, “Apakah kau tidak takut kepada Allah? Kau mengambil domba yang telah dianugerahkan Allah kepadaku sebagai rezekiku.”

Si Yahudi yang masih terkesima berkata, “Sungguh ajaib! Seekor serigala bisa berbicara laiknya manusia!”

Serigala ini melanjutkan, “Demi Allah, ada yang lebih ajaib dari ini!”

“Apa itu?” tanya si Yahudi penasaran.

“Rasulullah telah mengabarkan kepada semua orang berbagai kejadian yang telah lampau dan yang akan datang.”

Akhirnya, si Yahudi membiarkan serigala itu memakan dombanya, lalu ia menggiring ternaknya menuju Madinah dan bermaksud menemui Rasulullah Saw. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan beliau sedang menunaikan shalat berjamaah dengan para sahabat. Usai shalat, Rasulullah Saw. bertanya, “Mana orangnya, si gembala tadi?”

Si Yahudi berdiri, “Akulah si penggembala itu.”

“Ceritakanlah apa yang kaudengar dan kaulihat!” pinta Rasulullah Saw.

Maka, si Yahudi menceritakan kejadian yang dialaminya bersama serigala tadi sampai selesai. Rasulullah Saw. berkomentar, “Serigala itu berkata benar. Demi Dia yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidak akan terjadi Kiamat hingga binatang buas berbicara kepada manusia. Salah seorang dari kalian pergi dari rumahnya, lalu sandalnya atau cemetinya atau tongkatnya mengabarkan apa yang terjadi setelah kepergiannya.”

Akhirnya, si Yahudi penggembala domba itu mengucapkan syahadat.

Dalam riwayat lain, dari Umar r.a., diceritakan bahwa Rasulullah Saw. menghadiri suatu acara di rumah seorang sahabat. Tiba-tiba datang seorang laki-laki Bani Sulaim membawa seekor biawak. Ia letakkan hewan itu di hadapan Rasulullah seraya berkata, “Aku tidak akan beriman kepadamu sampai biawak ini beriman kepadamu.”

Rasulullah Saw. memangil biawak itu, “Hai biawak!” Biawak itu menjawab panggilan Rasulullah dengan ucapan yang lemah lembut, tetapi semua orang mendengarnya, “Aku memenuhi panggilanmu, semoga engkau berbahagia wahai penghias orang yang percaya Hari Kiamat.”

“Siapa yang kamu sembah?”

“Aku menyembah Dia Yang Arasy-Nya ada di langit, kekuasaan-Nya berada di bumi, jalan-Nya berada di lautan, kasih sayang-Nya berada di surga, dan siksa-Nya berada di neraka.”

“Katakan, siapakah aku?”

“Engkau adalah utusan Tuhan semesta alam, penutup para nabi. Beruntunglah orang yang membenarkan dan percaya kepadamu dan merugilah orang yang mendustakanmu.”

Akhirnya, orang Badui itu pun menyatakan masuk Islam.


πŸ“š 14. Allah Memelihara Rasul-Nya
Suatu hari dua pemuka kafir Quraisy duduk berbincang-bincang di samping Ka‘bah. Mereka adalah Shafwan ibn Umayyah dan Umair ibn Wahab. Dengan sangat hati-hati Shafwan berkata, “Hai Umair, Muhammad telah membunuh ayah, paman, dan saudara kita dalam Perang Badar. Apakah kau siap pergi ke Madinah dan membunuhnya?”

“Aku ingin melakukannya, tetapi bagaimana dengan keluargaku jika aku mati atau tertangkap?” tanya Umair bimbang.

“Tenang saja. Demi Latta dan Uzza, akulah yang akan menjaga anak-anak dan keluargamu. Aku akan memenuhi kebutuhan mereka. Aku binasa jika mereka binasa. Darah mereka adalah darahku. Hidup mereka adalah hidupku. Begitu juga mati mereka adalah matiku,” sumpah Shafwan.

Umair berkata, “Baiklah kalau begitu, aku siap membunuhnya. Besok aku akan pergi ke Madinah. Aku minta, jangan bocorkan rencana ini kepada siapa pun. Hanya kita berdua yang tahu.”

“Ya, aku tidak akan mengatakannya kepada siapa pun.”

Setelah bersepakat dan berjabat tangan, Umair beranjak pergi meninggalkan Shafwan. Ia segera mempersiapkan hewan tunggangan dan perbekalan untuk pergi ke Madinah. Tidak lupa, ia baluri pedangnya dengan racun yang mematikan hingga pedang yang mengilap itu berubah warna menjadi abu-abu kehitaman.

Keesokan harinya, Umair pergi ke Madinah untuk melampiaskan dendamnya yang membara. Ia akan mencari Muhammad dan menebaskan pedangnya ke tubuh beliau. Tentu saja tidak tebersit sedikit pun dalam pikirannya bahwa Allah bersama hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa saat keduanya merundingkan rencana jahat itu, Allah Swt. mewahyukan kepada Rasulullah Saw. tentang apa yang mereka rencanakan di samping Ka‘bah.

Setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, Umair tiba di Madinah. Tanpa buang waktu, ia segera mencari-cari Rasulullah Saw., tak sabar untuk segera menebaskan pedang beracunnya pada tubuh beliau.

Setelah berkeliling ke sana kemari dan tidak menemukan Rasulullah, Umair berjalan menuju Masjid Nabawi. Namun, Umar ibn Khaththab melihatnya dan mencurigai gerak-geriknya sehingga ia langsung menghunus pedangnya dan menghadang Umair.

Umar menanyai maksud kedatangannya ke Madinah. Karena gerak-gerik dan jawabannya mencurigakan, Umar meringkus dan menyeretnya ke hadapan Rasulullah Saw. yang tengah berada di masjid.

Rasulullah bertanya menyelidik, “Hai Umair, apa tujuanmu datang ke sini?”

“Aku datang untuk menebus kerabatku yang tertangkap dalam Perang Badar,” kilahnya.

“Kamu dusta! Sepuluh hari yang lalu kau dan Shafwan duduk di samping Ka‘bah merencanakan keburukan terhadapku. Shafwan berkata kepadamu begini dan begini. Kau bilang kepadanya anu dan anu. Aku tahu, saat ini kau datang untuk membunuhku! Sungguh, Allah tidak akan menguasakanmu untuk membunuhku.”

Tentu saja Umair terkesiap mendengar ucapan Rasulullah. Sebab, rencana mereka itu sangat rahasia. Hanya ia dan Shafwan yang mengetahuinya. Umair bertanya, “Dari mana engkau mengetahui kejadian yang sebenarnya antara aku dan Shafwan?”

“Allah Yang Mahatahu telah mengabarkannya kepadaku,” jawab Rasulullah Saw.

Sadarlah Umair bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah. Maka, tanpa ragu lagi ia mengucapkan dua kalimat syahadat: “Asyhadu an lΓ’ ilΓ’ha illallΓ’h, wa asyhadu annaka RasΓ»lullΓ’h! (Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”

Kelak, beberapa tahun kemudian, Shafwan ibn Umayyah pun memeluk Islam. Kisahnya bermula ketika ia dan Rasulullah Saw. melihat-lihat pampasan perang berupa binatang ternak. Shafwan memandangi ternak (ganimah) yang memenuhi celah bukit. Rasulullah Saw. memperhatikannya, lalu bertanya, “Hai Abu Wahab, sepertinya kau sangat takjub melihat hewan ternak yang memenuhi celah bukit itu?”

“Ya.”

Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Seluruh ternak itu untukmu beserta apa yang ada di celah bukit itu.”

Mendengar ujaran Rasulullah Saw., kontan saja Shafwan merasa senang bukan kepalang, lalu berkata, “Tidak mungkin seseorang memberikan (harta) sebanyak ini, kecuali seorang Nabi. Aku bersaksi, tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”


πŸ“š 15. Racun Wanita Yahudi
Usai Perang Khaibar, seorang wanita Yahudi menyampaikan keinginannya untuk menjamu Rasulullah Saw. dan para sahabat. Ia bertanya tentang bagian daging yang paling beliau sukai. Seseorang mengatakan bahwa beliau menyukai daging kambing muda terutama bagian pahanya. Wanita Yahudi itu pun menyembelih seekor kambing, membakar dagingnya, lalu membubuhkan racun mematikan pada bagian paha. Setelah itu, ia menyiapkan semua masakannya.

Ketika Rasulullah Saw. keluar dari masjid setelah menunaikan shalat isya, beliau melihat seorang wanita berdiri di tempat yang gelap, memegang sesuatu di tangannya.

Rasulullah bertanya, “Ada apa? Mengapa kau berdiri di situ?”

“Aku membawa sedikit daging panggang untuk Tuan. Aku berharap Tuan berkenan menerimanya,” ujar wanita Yahudi itu.

Rasulullah Saw. mengucapkan terima kasih dan meminta salah seorang sahabat untuk mengambilnya. Kemudian, beliau mengajak para sahabat untuk makan malam dengan daging panggang itu. Namun, sebelum sempat dimakan, daging itu—dengan izin Allah— mengatakan bahwa ia telah dibubuhi racun. Seketika itu juga Rasulullah Saw. melarang para sahabat memakan daging panggang itu. Namun, ada seorang sahabat yang telanjur memakan sepotong dan menelannya sehingga tidak lama kemudian ia mengeluh sakit dan akhirnya meninggal dunia.

Si wanita Yahudi itu dipanggil dan diinterogasi, tetapi ia tidak mengaku. Maka, Rasulullah Saw. mengambil sepotong daging dan berkata, “Sungguh, daging kambing ini memberitahuku bahwa ia telah dibubuhi racun! Jika memang tidak kauracuni, makanlah!” Akhirnya, wanita itu mengakui perbuatan jahatnya dan meminta maaf.

Rasulullah Saw. bertanya, “Mengapa kau melakukan perbuatan keji ini?”

Ia menjawab, “Kaumku berperang melawan kaummu dan banyak di antara kaumku yang terbunuh. Aku ingin meracunimu. Jika kau mati keracunan, berarti kau bukan seorang nabi. Jika kau seorang nabi, Tuhan pasti menyelamatkanmu.”

Setelah mendengar keterangan wanita Yahudi itu dan karena ada seorang sahabat yang terbunuh akibat racunnya, Rasulullah Saw. memerintahkan para sahabat untuk mengeksekusi wanita itu.

Dalam riwayat Muslim diceritakan bahwa setelah wanita Yahudi itu dihadapkan kepada Rasulullah Saw. lalu beliau menanyainya tentang racun itu, ia menjawab, “Aku ingin membunuhmu!”

Rasulullah Saw. berujar, “Allah tidak memberimu kemampuan itu (untuk membunuhku).”

Para sahabat bertanya, “Bagaimana kalau kita bunuh saja perempuan itu?”

“Jangan,” jawab Rasulullah Saw.

Anas yang meriwayatkan hadis ini menuturkan, “Setelah peristiwa itu, aku mengenal wanita itu sebagai orang yang sangat mencintai Rasulullah Saw.”


πŸ“š 16. Geribah Seorang Wanita
Diriwayatkan dari Imran ibn Husain bahwa dalam sebuah perjalanan Rasulullah Saw. dan para sahabat kehabisan air dan mereka merasa sangat haus. Beliau mengutus Ali ibn Abi Thalib dan Zubair ibn Al-Awwam seraya berpesan, “Nanti kalian akan bertemu seorang wanita di tempat anu. Ia memiliki seekor unta yang padanya ada dua geribah. Bawalah dua geribah itu kepadaku!”

Tepat seperti yang dikatakan Rasulullah, Ali dan Zubair bertemu dengan wanita itu dan mereka mendapatinya sedang menunggangi seekor unta. Ali ibn Abi Thalib berkata, “Penuhilah panggilan Rasulullah!”

Wanita itu bertanya, “Siapakah yang kau maksud Rasulullah itu? Apakah ia orang yang telah meninggalkan agama nenek moyang?”

“Beliau adalah utusan Allah.”

Setelah berbincang-bincang, wanita itu pun menemui Rasulullah Saw. dan beliau menyuruh para sahabat untuk memindahkan air dari geribah wanita itu ke dalam sebuah bejana. Lalu, beliau mengucapkan apa yang dikehendaki Allah pada air itu. Setelah itu, beliau meminta semua sahabat untuk mengisi kantong air mereka dengan air dari dalam bejana. Akhirnya, semua kantong air para sahabat terisi penuh.

Kemudian, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk membentangkan kain milik wanita itu dan meminta mereka untuk mengumpulkan makanan sampai kain itu penuh.

Rasulullah Saw. berkata kepada wanita itu, “Pergilah! Sungguh kami tidak mengambil airmu sedikit pun, tetapi Allah telah memberi kesegaran kepada kami.”

Wanita itu pun kembali menaiki untanya membawa seluruh bekalnya dan pulang kepada keluarganya. Tiba di rumahnya, ia berkata kepada keluarganya, “Di perjalanan aku bertemu seorang laki-laki yang sangat ahli menyihir.

Jika bukan tukang sihir yang sangat pandai, tentu ia benar-benar utusan Allah.”

Keluarga wanita itu kemudian menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan masuk Islam.


πŸ“š 17. Pohon Kurma Yang Berpindah
Ada seorang sahabat bernama Abu Dujanah. Nama aslinya adalah Samak ibn Kharsyah. Ialah sang pemilik ikat kepala merah dan pemegang pedang Rasulullah Saw. pada Perang Uhud. Setiap kali usai berjamaah shubuh, Abu Dujanah buru-buru keluar tidak mengikuti doa Rasulullah Saw.

Suatu hari Rasulullah Saw. menegurnya, “Apakah kau tidak butuh kepada Allah?”

“Tentu saja, ya Rasulullah,” jawab Abu Dujanah.

“Tetapi, mengapa kau tidak diam dulu sampai tuntas doaku?”

“Maafkan aku, wahai Rasulullah, aku ada keperluan.”

“Apa keperluanmu?”

Sejenak Abu Dujanah terdiam, lalu menuturkan, “Ya Rasulullah, rumahku berdekatan dengan rumah tetanggaku. Di rumahnya ada sebatang pohon kurma yang condong ke rumahku. Jika angin berembus di malam hari, buah kurma yang matang berjatuhan di halaman rumahku. Bila anak-anakku bangun pagi dan merasa lapar, mereka akan makan apa yang mereka lihat di halaman rumah. Karena itulah, aku bergegas pulang sebelum mereka bangun untuk mengumpulkan kurma- kurma itu dan memberikannya ke tetanggaku.

Suatu hari, aku melihat seorang anakku memasukkan kurma ke mulutnya. Aku mengeluarkannya dengan jariku dan kukatakan kepadanya, ‘Hai Anakku, jangan membuka aib ayahmu kelak di akhirat!’ Ia menangis karena merasa sangat lapar. Aku berkata kepadanya, ‘Aku tidak akan membiarkan barang haram memasuki perutmu!’ Lalu, aku segera memberikan kurma-kurma itu kepada pemiliknya.”

Mendengar penjelasannya, mata Rasulullah tampak berlinang dan beliau bertanya tentang siapa pemiliknya.

Abu Dujanah mengatakan bahwa kurma itu milik seorang munafik. Maka, Rasulullah Saw. memanggilnya dan berkata, “Juallah pohon kurma di rumahmu itu dengan sepuluh kurma di surga yang akarnya berupa intan berlian putih beserta bidadari sebanyak bilangan kurma yang matang.”

Orang munafik itu menjawab, “Aku bukan pedagang. Aku mau menjual pohon kurma itu jika kau membayarnya dengan harga yang tinggi dan kontan.”

Abu Bakar menawarnya, “Maukah pohon kurmamu itu ditukar dengan sepuluh pohon kurma di tempat lain?”

Di antero Madinah tidak ada pohon kurma yang sebaik pohon kurma itu. Si pemilik mau menjualnya karena ditukar dengan sepuluh pohon kurma. Ia berkata, “Kalau begitu, baiklah, aku mau menukarnya.”

Abu Bakar berkata lagi, “Ya, aku membelinya!” Lalu, pohon kurma itu diberikan kepada Abu Dujanah.

Rasulullah bersabda, “Aku akan menanggung penggantinya, hai Abu Bakar.” Tentu saja Abu Bakar dan Abu Dujanah merasa senang mendengar ucapan beliau.

Orang munafik itu pulang ke rumah dan berkata kepada istrinya, “Sungguh kita telah mendapatkan keuntungan yang sangat besar hari ini!” Lalu ia menceritakan apa yang baru saja terjadi, “Aku mendapat sepuluh pohon kurma yang ditukar dengan satu pohon kurma di samping rumah ini untuk selama-lamanya. Kita masih bisa makan kurma yang jatuh dari pohon kurma itu dan aku tidak akan mengembalikan sedikit pun kepada pemiliknya.”

Malam harinya, ketika Abu Dujanah tidur, dengan kuasa Allah, pohon kurma itu pindah ke samping rumah Abu Dujanah. Keesokan harinya, orang munafik itu terkesiap heran melihat pohon kurma itu tidak lagi ada di samping rumahnya. Inilah mukjizat Rasulullah Saw. Kekuasaan Allah lebih besar dari itu.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam