82. Mushaf dan Lautan
📚 Terjemah Kitab At-thariq Ilal Quluub (Perjalanan Ke Hati)
Pada suatu pagi,— hari Jum'at di Iskandaria— saya berjalan-jalan
menyusuri tepi pantai Iskandaria untuk menikmati semilir angin pantai.
Saya mencari-cari tempat yang nyaman untuk duduk menghadap ke lautan
lepas, seperti juga dilakukan oleh banyak pasangan muda suami-istri.
Mereka tampak begitu asyik berada di tempat itu. Tangan mereka saling
bergandengan dan mereka pun larut dalam perbincangan yang hangat. Dari
jauh saya melihat seorang pemuda. Umurnya belum lebih dari tiga puluh
tahun. Ia berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan arah langkahku.
Dua matanya selalu melihat ke tanah dan tangan kanannya sesekali
memegang jenggotnya yang panjang.
Saya melempar pandang ke sekitar, kudapati sekelompok orang yang
duduk-duduk membelakangi laut. Kini di antara mereka ada seorang pemuda
yang tampak sangat tenang dan berwibawa. Ketika mengetahui ada tempat
yang kosong di tengahtengah orang banyak ini, ia pun menuju ke tempat
itu lalu duduk. Tentu saja yang kaget bukan hanya saya, tetapi juga
semua orang yang ada di situ. Kekagetan yang bercampur dengan perasaan
tidak enak atas suasana ini, yang tidak pas dengan keberadaan anak muda
itu di sini.
Pandanganku terus tertuju kepadanya sembari mencari kejelasan apa
sesungguhnya yang la inginkan, atau minimal bagaimana reaksinya. Saya
dapati wajahnya begitu dingin, tidak peduli dengan sekitarnya. Ia pun
mulai mengeluarkan mushaf kecil dari jubahnya, dan tanpa memandang
sekitar ia segera saja membacanya tanpa suara. Ia begitu asyik dan tak
hirau dengan apa pun. Ia tidak memperhatikan kecuali dua hal: mushaf dan
laut.
Saya menunggu sejenak untuk mengetahui akhir dari fragmen itu. Mulailah
saya menyaksikan dampaknya. Tangan-tangan yang bergandengan mulai lepas
satu persatu, tubuh yang berdekatan mulai saling menjauh. Hanya itu,
tanpa meninggalkan tempat tersebut. Seolah mereka mgin menunjukkan bahwa
mereka tidak membenci keberadaan pemuda ltu, namun di saat yang sama
mereka juga merasa malu atas apa yang mereka jalani. Mereka tidak lagi
melanjutkan apa yang mereka lakukan tadi.
Sungguh, betapa dakwah dengan diam yang dilakukan pemuda itu jauh lebih
kuat dampaknya dan kata-kata apa pun.
Bagikan ini :
Comments
Post a Comment
Silakan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan