17. Pandangan Kasih Sayang
📚 Terjemah Kitab At-thariq Ilal Quluub (Perjalanan Ke Hati)
Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa memandang
saudaranya dengan kasih sayang niscaya Allah akan mengampuni
dosa-dosanya."
Apakah pandangan yang dimaksud oleh hadits di atas adalah pandangan
sekilas atau pandangan yang dipenuhi keteduhan dan kasih sayang? Yang
dimaksud oleh hadits itu adalah pandangan yang ditujukan pada hati dan
mengajaknya berbicara dengan lemah lembut. Ibarat kamera, hanya dengan
satu kilatan dapat menangkap gambar yang sangat indah. Itu semua tidak
akan terwujud kecuali dengan pandangan yang tulus dan suci, pandangan
yang penuh kasih sayang dan penuh rasa cmta karena Allah.
Mata adalah sarana terpenting bagi seorang da'i dan merupakan
wasilah
yang dampaknya sangat besar bagi mad'u. Karena ketika seorang da'i
memandang saudaranya sesama muslim dengan penuh kasih sayang,
seakan-akan ia telah memberikan hartanya yang paling ber-harga.
Jika pandangan seseorang yang dipenuhi oleh rasa dengki saja dapat
menghancurkan, maka pandangan yang penuh cinta dan kasih sayang juga
dapat berpe-ngaruh dalam mengantarkan kepada kebenaran yang akhirnya
dapat mempererat barisan dan memperkuat bangunan. Ini merupakan kekuatan
terpendam yang dimiliki oleh manusia.
Apa yang Anda sembunyikan dalam hati akan ter-singkap dengan tatapan
mata. Seorang muslim adalah cermin bagi saudaranya. Allah swt. berfirman,
"Allah
mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui
suatu apa pun dan Dia memberi kalianpendengaran, penglihatan, dan hati,
agar kalian bersyukur."
(An-Nahl: 78)
Suatu ketika saya diundang untuk memberikan ceramah di perkhemahan musim
panas di salah satu ne-gara Arab. Saya sudah banyak mengenal pemuda yang
ikut dalam perkemahan itu. Tatkala kami datang ke tempat itu pada waktu
yang telah ditentukan, ternyata tidak seorang pun menyambut kedatangan
kami. Bebe-rapa saat kemudian ada beberapa pemuda yang berjalan dengan
hati-hati dan malu-malu menuju ke arah kami, dan itulah yang menyebabkan
mereka mendapatkan sanksi dari ketua regu. Suasana pun menjadi sangat
kaku dan itu berlangsung agak lama. Shalat berjamaah dan santap makan
pun berlangsung dalam suasana yang masih kaku. Kemudian saya
dipersilakan memberikan
taushiah
(nasihat). Pembicaraan saya sama sekali tidak menyinggung kejadian yang
baru saja terjadi, yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Setelah
acara selesai saya pun pulang. Tetapi saya khawatir kaku kejadian
seperti ini tidak diluruskan, pemudapemuda tadi akan
ter-sibghah
(terpola) dengan perilaku yang bertentangan dengan ruh dakwah dan
ukhuwah islamiah. Oleh karenanya, saya sempatkan untuk bertemu dengan
mereka.
Dalam pertemuan itu saya mengatakan, "Sesungguh-nya apa yang saya alarm
pada pertemuan pertama di perkemahan itu membuat saya sedih. Jika
peraturan perkemahan seperti itu (yakni: tidak boleh menyambut tamu),
maka itu sangat keterlaluan. Peraturan milker saja tidak melalaikan
etika memuliakan tamu yang harus disambut dengan hangat, lebih-lebih
jika tamu itu adalah tamu undangan. Apalagi ini adalah perkemahan lslami.
Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia menghormati tamunya."
(HR. Muslim)
Sebetulnya, apa yang saya alami waktu itu bisa saya jadikan sebagai tema
pembicaraan, dengan menunjuk-kan letak kesalahan sikap itu. Akan tetapi,
manhaj dak-wah mengajarkan agar saya tidak marah hanya karena perasaan
pribadi. Oleh karenanya, saya tekan gejolak perasaan saya demi
menghormati penanggung jawab perkemahan itu. Meskipun pada waktu itu
saya bisa membahasnya secara smgkat dan dengan sindiran saja, tetapi
saya lebih mengutamakan ketaatan dan berjalan sesuai dengan peraturan
perkemahan.
Kaidah kita dalam memberikan nasihat itu adalah: 'Hendaklah nasihatmu
terhadap saudaramu kamu laku-kan dengan sindiran, bukan terang-terangan,
dan untuk membimbing kepada kebenaran bukan untuk menya-kiti'.
Saudaraku sekalian, sesungguhnya orang seperti saya ini dapat datang ke
tempat ini dengan melewati perjalanan panjang dan melelahkan, serta
menempuh jalan ribuan mil. Saya datang kepada kalian dengan perasaan
nndu dan kasih sayang tanpa ada tujuan duniawi dan tujuan pribadi. Saya
datang untuk melihat wajah-wajah kalian dan itulah nikmat yang sangat
besar yang dapat menghilangkan rasa penat dan lelah setelah menempuh
perjalanan panjang. Pandangan inilah yang sermg terukir dengan untaian
kata yang amat indah,
‘Barangsiapa memandang
saudaranya dengan pandangan penuh kasih sayang, maka Allah swt. akan
meng-ampuni dosa-dosanya.'
Allah swt. berfirman,
"Bersabarlah kalian
bersama-sama dengan orang yang menyeru Rabb-nya dipagi dan senja hari
dengan mengha-rap keridhaan-Nya, janganlah kedua mata kalian berpaling
dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini
danjanganlah kalian mengikuti orang yang hati-nya telah Kami lalaikan
dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya
itu melampaui batas."
(Al-Kahfi: 28)
Apakah setelah semua ini kalian mengharamkan pandangan itu dan
menghalangi datangnya
maghfirah
(ampunan) Allah swt.? Tidakkah kalian mengetahui dari perjalanan hidup
Rasulullah saw., betapa berharganya mlai sebuah pandangan. Marilah kita
lihat bagaimana kisah Ka'ab bin Malik ra., seorang sahabat yang masuk
dalam deretan sahabat-sahabat yang tidak ikut dalam perang Tabuk. Allah
swt. menurunkan sanksi kepada ketiga orang itu, di antaranya adalah
Ka'ab bin Malik, yaitu agar seluruh kaum mushmin tidak berhubungan
dengan mereka.
Ka'ab berkata, 'Kaum muslimin telah mengucilkan kami selama lima puluh
hari hingga bumi mi terasa sem-pit, dan rasanya tidak ada tempat kembali
kecuali Allah swt. Sayalah yang paling tegar di antara ketiga orang
tersebut. Saya masih tetap ikut shalat berjamaah di masjid dan masih
tetap pergi ke pasar walau tidak seorang pun mengajak saya bicara.
Saya datang kepada Rasulullah yang waktu itu sedang duduk di masjid
setelah mengerjakan shalat. Saya mengucapkan salam saya. Lalu saya duduk
di sebelah-nya sambil sesekali melirik kepada beliau. Tatkala saya
menatapnya, beliau memalingkan wajahnya.' Saudaraku sekalian ...
Sangsi itu datangnya dari Allah swt.lMeski demikian Rasulullah saw. Yang
diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam masih tetap memandang kepada
Ka'ab ra., begitu juga dengan Ka'ab yang masih berusaha untuk mencuri
pandang. Sanksi itu adalah untuk pengajaran dan pendi-dikan, bukan untuk
balas dendam. Jika kita kehilangan pandangan yang penuh kasih sayang,
maka kita telah kehilangan rahmat kehidupan.
Dalam petikan sirah nabawiyah juga dipaparkan be-tapa Rasulullah
senantiasa menghiasi kehidupan dengan nuansa keindahan. Kaum muslimin
yang waktu itu sedang mengerjakan shalat merasa gembira tatkala melihat
Rasulullah saw. membuka tirai dan memandang dengan tersenyum kepada
mereka. Padahal waktu itu (di hari-hari akhir hayatnya) Rasulullah saw.
sedang sakit, sehingga mereka mengira bahwa Rasulullah telah sembuh dari
sakitnya. Mereka tidak menyangka bahwa itu adalah pandangan perpisahan."
Setelah pembicaraan tentang pentingnya pandangan itu selesai, banyak di
antara ikhwah
yang mengucurkan air mata. Beberapa han kemudian banyak
ikhwah
yang berkirim surat mengungkapkan kebenaran apa yang telah saya
sampaikan. Pada tahun 1943 M. saya terpilih sebagai Ketua Ikhwanul
Muslimin di Ra'suttin, Iskandaria. Peraturan yang berlaku berkaitan
dengan kebersihan adalah dalam setiap harinya ada seorang anggota Ikhwan
yang dibe-bani untuk membersihkan balai pertemuan.
Pada suatu hari, ketika saya sedang membersihkan balai pertemuan
tersebut, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Tentu saja penampilan
saya waktu itu tidak lebih dari seorang tukang kebun. Saya membuka pintu
dan di situ berdiri seorang pemuda kira-kira berumur tujuh belas tahun,
berwajah ceria dan tampan. Dengan senyuman ia mengucap salam dan berkata,
"Nama saya Awiz, saya ikut dalam acara mi." Saya persilakan ia untuk
duduk. Setelah semuanya bersih dan kursi-kursi pun sudah tertata rapi,
saya menulis tema ceramah dan nama pem-bicaranya di papan tulis. Setelah
shalat maghrib, pembicara dan hadirin ber-datangan. Saya berdiri di atas
mimbar dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka. Setelah itu
saya mempersilakan pembicara untuk menyampaikan materinya.
Pertemuan telah usai dan dua penampilan saya yang berbeda menjadikan
pemuda tadi bertanya-tanya dalam hati. Hari-hari pun terus berjalan dan
pemuda itu masih terus aktif. Ia datang bersama teman-teman dekatnya
hingga akhirnya ia dapat mengajak teman-temannya dalam perkumpulan
olahraga untuk menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
Saya sudah menaruh simpati pada pemuda itu sejak pertama kali bertemu,
tetapi saya tidak bisa mengung-kapkan perasaan ini karena masyarakat
kita belum terbiasa dengan hal semacam itu. Masyarakat kita hanya
mengenal bahwa kata "cinta" itu hanya layak untuk diucapkan oleh seorang
laki-laki pada seorang wanita. Adapun jika kata itu diucapkan oleh
seorang laki-laki kepada seorang laki-laki, itu adalah hal yang aneh.
Hari-hari itu pun terus berjalan dan perasaan terse-but terus menyiksa
batin saya. Sampai pada akhirnya kami membaca sirah Rasulullah sehingga
hati kami dapat menangkap cahayanya dan menghirup harum baunya. Dari
Anas ra. bahwa ada seorang laki-laki berada di dekat Rasulullah saw.,
lalu ada seorang laki-laki lain lewat di depannya. Orang (yang berada di
dekat Rasulullah) itu berkata, "Ya Rasul, sungguh saya mencintai orang
itu." Rasulullah bertanya, "Apakah kamu sudah memberi-tahunya?" la
berkata, "Belum." Rasulullah bersabda, "Bentahukan kepadanya." Kemudian
ia mendekati orang itu dan berkata, "Sungguh aku mencintaimu karena
Allah swt." Laki-laki itu menjawab, "Mudah-mudahan Allah — yang
karena-Nya engkau mencintai aku— mencintaimu." Berkata Rasulullah saw.,
"Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mencintai Usamah bin Zaid."
(HR. Bukhari)
Dengan taujih
nabawiyah
ini hati saya menjadi ten-teram. Sekarang saya mengetahui bahwa Islam
tidak menutup pintu cinta dan kasih sayang, tetapimember-sihkannya dari
tradisi jahiliah agar menjadi taman yang indah, yaitu "cinta karena
Allah". Begitulah, akhirnya kata-kata indah itu menghiasi hari-hari kami,
baik mela-lui lisan maupun tulisan. Pada tahun 1948 M. saya dipindahkan
dan Iskan-daria ke Asyuth. Suatu pagi, ketika saya berangkat ke tempat
kerja, di tengah jalan saya bertemu dengan seorang pemuda berseragam
sekolah menengah atas. Saya tertank dengan pemuda itu, lalu dengan
dorongan nurani dan perasaan itu saya mengutarakan kepada
ikhwah
dengan harapan agar pemuda itu dapat diajak masuk ke dalam jamaah.
Mereka semua tampak kaget dan berkata, "Pemuda itu dari keluarga kaya
dan terhor-mat, bapaknya seorang tokoh di Asyuth ini." Saya menjawab, "Apakah
hanya rakyat kecil saja yang berhak masuk ke dalam jamaah kita? Bukankan
Rasulullah per-nah berdoa, 'Ya Allah, muliakanlah Islam dengan satu di
antara dua orang yang Engkau sukai: Umar bin Khathab atau Amr bin Hisyam?'"
Mereka tertawa dan berkata, "Lantas bagaimana caranya?" Saya berkata, "Ini
baru jawaban yang tepat. Tidak mudah bagi seseorang untuk melangkah
kepada orang lain tanpa adanya suatu alasan. Oleh karena itu, harus
direncanakan dengan matang dan melalui perantara yang lebih dekat dan
segi tsaqafah
dan umurnya." Program ini berjalan selama enam bulan dan setelah itu
pemuda yang kami maksud tadi sudah menjadi bagian dari kami. Inilah
makna dari syiar: "dakwah adalah seni, bersabar dalam berdakwah adalah
jihad".
Pada suatu hari kami berkunjung ke salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin.
Ketika kami duduk di ruang tamu, datanglah anak laki-lakinya yang sedang
duduk di bangku sekolah menengah atas dan mengucapkan salam. Tatkala
mendekat kepada saya, saya meman-dangnya dengan tersenyum dan mengatakan
kepadanya beberapa kalimat. Ketika ia keluar dan ruang tamu, bapaknya
merasakan ada sesuatu yang telah terjadi. Lalu ia berkata kepada saya, "Wahai
saudara Abbas, saya mohon ia jangan dimasukkan terlebih dahulu,
tunggulah sampai la selesai dan bangku sekolah menengah atas." Saya
berkata, "Ini adalah pertama kali saya melihatnya. Kami akan menunggu
sampai la lulus dari sekolah menengah atas."
Akan tetapi, beberapa kalimat yang didengarnya pada perjumpaan itu
menggugah perasaan hatinya. Beberapa hari kemudian anak itu datang
kepada kami dengan membawa hati yang bersih dan semakin kuatlah hubungan
persaudaraan antara kami.
Bagikan ini :
Comments
Post a Comment
Silakan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan