52. Tipudaya, Kecerdikan, dan Latihan Berfikir



📚 Terjemah Kitab At-thariq Ilal Quluub (Perjalanan Ke Hati)




Saya sangat "kagum" pada orang-orang Yahudi. Sampai hari ini, mereka masih tetap membuahkan idea-idea baru tentang tipudaya dan rekacipta dengan berbagai macam variasinya. Seakan mereka memiliki lembaga khusus tentang hal ini, baik dalam bidang perdagangan, peperangan, maupun politik. Saya teringat sebuah anekdot yang terjadi di kota Rasyid, sejak sebagian bangsa Yahudi berdomisili di sana. Ada seorang Yahudi menjual rumahnya kepada seorang penduduk kota Rasyid dengan transaksi yang resmi. Setelah beberapa tahun berlalu, datanglah orang Yahudi tersebut ke sekitar rumah itu dengan membawa sejumlah batu bata, kayu bangunan, semen, dan kapur. Ketika pemilik rumah bertanya, "Apa yang sedang Anda kerjakan di sini?" Ia menjawab, "Saya datang untuk membangun!" "Mau membangun apa?" tanya pemilik rumah?" "Saya akan membuat bangunan baru di atas rumah ini!" jawab Yahudi. "Bukankah rumah ini sudah kamu jual dan telah kamu terima uangnya beberapa tahun lalu?" kata pemilik rumah. Si Yahudi menjawab, "Ya, tetapi yang saya jual hanya sampai atap rumah. Masih menjadi hak saya untuk membangun di atas atapnya sampai setinggi-tingginya!"
 
Anekdot ini terjadi sebelum pendudukan bumi Palestina, Jalur Gaza, dan Tepi Barat Sungai Yordan. Sekarang Israel mengatakan, "Bangsa Arab boleh tinggal di bumi Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan, tetapi tidak punya hak milik sama sekali. Bumi ini tetap milik Israel." Masih sama saja, itulah tipudaya Yahudi. Apa bedanya antara malam ini dengan kemarin malam!
 
Utsman bin Affan ra. sangat memahami tipudaya Yahudi yang dapat menaklukkan dunia itu. Ketika menjadi khalifah, beliau menjumpai seorang Yahudi di Madinah, yang menyimpan sumur penampung air. Ia menguasai sumur itu, yang airnya dijual kepada kaum muslimin. Maka khalifah menawar kepada Yahudi agar menjual sumur itu kepadanya, untuk disedekahkan kepada kaum muslimin. Tetapi si Yahudi itu menolak tawaran khalifah. Kemudian khalifah mengatakan, "Juallah sebagian sumur ini padaku, yakni kamu meng-ambil air sehari dan saya juga mengambil air sehan!" Akhirnya Yahudi itu setuju. Khalifah berkata, "Kaum muslimin berhak mengambil air secukupnya pada hari giliranku. Pada saat giliranmu mereka tidak akan mem-belinya sedikit pun!" Setelah beberapa hari, ia merasa tertekan kerana embargo kaum muslimin kepadanya. Maka tidak ada alternatif lain kecuali ia harus menjual bagiannya kepada Khalifah.
 
Semoga kisah ini dapat menyadarkan dan menggu-gah pikiran kaum muslimin. Yang lalu biarlah berlalu, kebaikan pasti akan datang. Suatu hari, Khalifah Al-Mahdi sedang duduk-duduk bersama beberapa orang, tibatiba masuklah seorang lelaki dengan membawa sandal yang terbungkus sapu tangan. Lelaki itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah sandal Rasulullah, saya hadiahkan untuk Tuan!" Beliau pun menerima dan meletakkan di hadap-annya, lalu menyerahkan sepuluh ribu dirham kepada lelaki tersebut. Ketika ia pergi, beliau berkata kepada orang-orang yang sedang duduk bersamanya, dan membuat mereka semua terkejut "Saya tahu bahwa Rasulullah saw. tidak mungkin pernah melihat sandal itu, apalagi memakainya. Tetapi bila kita dustakan orang tadi, ia akan menyebarkan fitnah kepada orang lain. Sebaliknya, bila ia kita terima maka ia akan mengatakan kepada orang lain, 'Saya telah menghadap khalifah dengan membawa sandal Rasulullah, tetapi beliau malah mengembalikan lagi sandal tersebut kepada saya, bahkan saya menerima hadiah."'
 
Beliau tidak tergesa-gesa bertindak sebelum berpikir. Bahkan beliau berpikir sebelum bersikap. Itulah sikap yang bijak.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam