Bagian Kedua



📚 Terjemah Kitab Qami'Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)




10. Mencintai Allah
Cabang iman 10-13, disebutkan dalam bait syair:

Cintailah Tuhanmu, takutlah akan kepedihan siksa-Nya, berharaplah engkau akan rahmat Allah, dan bertawakkallah benar-benar wahai orang muslim.

Secara logical framework, kecintaan kepada Allah digambarkan oleh Imam Sahal :

"Tanda mencintai Allah adalah mencintai al-Quran. Tanda mencintai Allah dan al-Quran adalah mencintai Nabi Muhammad saw. Tanda mencintai Nabi Muhammad saw adalah mencintai sunnah (ucapan, tingkah laku, dan sikap) beliau. Tanda mencintai sunnah adalah mencintai akhirat. Tanda mencintai akhirat adalah membenci dunia (pujian orang, penampilan, kemewahan dan lainnya). Tanda membenci dunia adalah tidak mempergunakan harta benda dunia kecuali sebagai bekal menuju akhirat."

Syeikh Hatim bin Alwan berkata, ‚Barang siapa mengaku tiga hal tanpa tiga hal lainnya, maka ia adalah pembohong:

(1) orang yang mengaku mencintai Allah tanpa menjauhi larangan-Nya,
(2) orang yang mengaku mencintai Nabi Muhammad saw tanpa mencintai kefakiran,
(3) orang yang mengaku mencintai surga tanpa mau menyedekahkan hartanya.

Sebagian dari ahli makrifat berkata :

"Jika iman seseorang berada di luar hati, maka ia akan mencintai Allah dengan kecintaan yang sedang. Jika iman seseorang telah masuk ke tengah hati, maka dia akan mencintai Allah dengan kecintaan yang sepenuhnya dan akan meninggalkan kemaksiatan-kemaksiatan."

Pada pokoknya mengaku cinta adalah menanggung resiko. Oleh karena itu Syeikh Fudlail bin Iyadl berkata :

"Jika kamu ditanya apakah engkau mencintai Allah, maka diamlah! Karena sesungguhnya jika engkau mengatakan ‘tidak’, maka engkau ‘kafir’ dan jika mengatakan ‘ya’, maka sifatmu bukanlah sifat dari orang-orang yang mencintai-Nya".

11. Takut kepada siksa Allah
Menurut Imam al-Ghozali dalam kitab Ihya' Ulumiddin, derajat takut yang paling minim adalah menahan diri dari hal-hal yang dilarang, yang dinamakan wara'. Jika kekuatan takut bertambah, maka akan menahan diri dari hal-hal yang tidak diyakini keharamannya; dan hal ini dinamakan takwa. Jika pada rasa takut tergabung usaha untuk memurnikan waktunya hanya semata untuk melayani Allah, sehingga tidak membangun rumah yang tidak akan ditempati selamanya, tidak mengumpulkan harta yang tidak akan dimakan, dan tidak menoleh kepada kesenangan dunia karena mengetahui bahwa dunia itu akan berpisah dengannya, sehingga tidak mempergunakan satu nafaspun selain untuk Allah, maka hal ini dinamakan shidqun atau jujur dan orangnya dinamakan shiddiq.

Jadi takwa termasuk dalam shidqun, wara' masuk dalam takwa, dan iffah (meninggalkan yang
haram) masuk dalam wara'.

12. Mengharap rahmat Allah Ta'ala
Dalam surat az-Zumar ayat 53 Allah swt berfirman :

Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri sendiri, janganlah kamu sekalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Rasulullah saw bersabda,

Orang durhaka yang mengharap rahmat Allah Ta'ala adalah lebih dekat kepada Allah Ta'ala dari
pada ahli ibadah yang putus harapan.

Diriwayatkan dari Umar, dari Zaid bin Aslam bahwa ada seorang laki-laki dari umat terdahulu yang giat beribadah dan memperberat dirinya dalam ibadah, sedangkan ia adalah orang yang tidak mengharapkan rahmat Allah. Ketika laki-laki tersebut mati dan bertanya kepada Allah: "Ya Tuhanku, apakah bagianku di sisi-Mu?" Allah berfirman: "Bagianmu adalah neraka!" Laki-laki tersebut berkata, "Wahai Tuhanku, di manakah ibadah dan kegiatanku?" Allah berfirman: "Engkau adalah orang yang tidak mengharap rahmat-Ku di dunia, maka pada hari ini Aku memutuskan engkau dari rahmat-Ku!"

Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dijelaskan bahwa hakekat "harapan" adalah kesenangan hati karena menanti sesuatu yang dicintai. Akan tetapi sesuatu yang dicintai itu harus dapat terjadi dan harus berdasarkan sebab. Jika sebabnya tidak ada, disebut "tipuan" dan "ketololan". Jika sebabnya tidak diketahui ada atau tidak ada, disebut "angan-angan". Jika dalam hati kita tergerak keadaan sebab tersebut dalam waktu yang telah lampau, disebut "mengingat". Jika dalam hati kita tergerak keadaan sebab tersebut dalam waktu sekarang, disebut "menemukan" dan "merasakan". Jika dalam hati kita tergerak keadaan dari sesuatu pada waktu yang akan datang, dan keadaan sesuatu tersebut sangat menguasai hati kita, maka disebut "menanti" dan "mengharap". Jika yang dinanti adalah sesuatu yang dibenci yang menghasilkan rasa sakit dalam hati, dinamakan "takut" atau "ketakutan". Jika yang dinanti adalah sesuatu yang dicintai yang menghasilkan kelezatan dan kesenangan, maka kesenangan tersebut disebut "harapan" atau raja'.

13. Tawakkal
Dalam surat al-Ma'idah ayat 23 Allah swt berfirman yang antara lain sebagai berikut:

... dan hanya kepada Allah hendaknya kamu sekalian bertawakkal, jika kamu sekalian benar-benar beriman.

Tawakkal terdiri dari tiga unsur, yaitu: makrifat, keadaan hati, dan amal:

1. Makrifat, yaitu keyakinan dan kesadaran hati bahwa selain dari Allah Ta'ala tidak ada yang dapat mendatangkan sesuatu manfaat atau kenikmatan kepada kita. Sedangkan keyakinan atau iman di sini terdiri dari empat tingkat:
  • (A) Iman dari orang munafik, yaitu orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat tetapi hatinya sama sekali tidak meyakini kebenaran makna yang terkandung dalam dua kalimah syahadat.
  • (B) Ilmul yaqin, yaitu keyakinan dari orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat dan hatinya meyakini kebenaran makna yang terkandung dalam dua kalimah syahadat berdasarkan ilmu yang dipelajari.
  • (C) Aynul yaqin, sebagai kelanjutan dari tingkat kedua, yaitu keyakinan dari orang yang telah jernih pandangan mata hatinya sehingga dapat memandang kekuasaan Allah melalui segala sesuatu yang dipandang oleh mata kepalanya.
  • (D) Haqqul yaqin, sebagai kelanjutan dari tingkat ketiga, yaitu keyakinan dari orang yang hatinya benar-benar telah dapat menyadari dan menghayati hakekat dari wujud dan kekuasaan Allah swt.
2. Hal atau keadaan hati dari orang yang bertawakkal terdiri dari tiga urutan tingkat:
  • (A) keadaan orang yang bertawakkal mengenai hak Allah dan mengenai keyakinannya terhadap tanggungan dan pertolongan Allah swt seperti keadaan mengenai keyakinan hatinya kepada kemampuan seorang wakil yang menangani urusannya.
  • (B) keadaan orang yang bertawakkal terhadap Allah swt seperti keadaan anak kecil terhadap ibunya, yaitu kondisi anak kecil yang tidak mengenal selain ibunya, tidak berlindung dari kesulitan kecuali kepada ibunya, tidak bersandar dan tidak menggantungkan segala keperluannya kecuali kepada ibunya, jika melihat ibunya niscaya dirangkulnya, jika ada sesuatu yang menimpa dirinya sewaktu ibunya tidak ada maka ucapan  yang pertama kali keluar dari mulutnya adalah "ibu"; yang pertama kali tergerak dalam hatinya adalah ibunya; sesungguhnya ia benar-benar telah yakin terhadap pemeliharaan dan kasih sayang ibunya dengan keyakinan yang penuh.
  • (C) keadaan orang yang bertawakkal terhadap Allah dalam setiap gerak dan diamnya seperti mayat di tangan orang yang memandikannya; ia tidak berpisah dengan Allah karena melihat dirinya bagaikan mayat yang digerakkan oleh kekuasaan Allah yang azali, seperti mayat yang digerakkan oleh tangan orang yang memandikannya.
Inilah tingkat tawakkal yang paling tinggi dari orang yang telah kuat iman dan keyakinannya bahwa sesungguhnya Allah Ta'ala adalah Dzat Yang Maha Penggerak.

3. Amal tawakkal terdiri dari tiga macam, yaitu:

(1). Jalbun nafi', yaitu melakukan pekerjaan yang dapat menjadi sebab dari kedatangan manfaat, terdiri dari tiga tingkat:

  • A. meyakinkan, seperti menyuap nasi yang sudah tersedia bagi orang yang ingin menghilangkan rasa lapar dari perutnya.
  • B. Diduga keras, seperti menanak nasi bagi orang yang ingin menghilangkan rasa lapar dari perutnya, dan berasnya sudah tersedia.
  • C. Diperkirakan, seperti mencari uang untuk membeli beras bagi orang yang ingin menghilangkan rasa lapar dari perutnya.

(2) Qath'ul adza, yaitu melenyapkan atau menghilangkan hal-hal yang dapat merusak kemanfaatan yang ada, terdiri dari tiga tingkat:

  • A. Meyakinkan, seperti meminum obat dari dokter bagi orang yang ingin menghilangkan rasa sakit dari badannya.
  • B. Diduga keras, seperti pergi ke apotik untuk membeli obat resep dari dokter bagi orang yang ingin menghilangkan rasa sakit dari badannya.
  • C. Diperkirakan, seperti mencari uang untuk membeli obat resep dari dokter bagi orang yang ingin menghilangkan rasa sakit dari badannya.

(3) Daf'ul madlarrat, yaitu menolak kedatangan hal-hal yang dapat merusak kemanfaatan yang ada, terdiri dari tiga tingkat:

  • A. Meyakinkan, seperti menghalau atau mengusir kucing yang akan makan ikan yang ada di meja makan.
  • B. Diduga keras, seperti menyimpan ikan dalam almari makan dan menguncinya agar tidak dimakan kucing.
  • C. Diperkirakan, seperti pergi untuk membeli almari makan guna menyimpan ikan agar tidak dimakan kucing.

14. Mencintai Nabi Muhammad saw
Nabi Muhammad saw bersabda,

Cabang iman 14-16 disebutkan dalam bait syair:

Cintailah nabimu, kemudian agungkan derajatnya; dan kikirlah dengan agamamu selama dilihat perbuatan dosa bagimu.

Tiadalah salah seorang dari kalian beriman, sehingga aku lebih dicintai olehnya dari pada dirinya, hartanya, anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya.

Manusia dalam hadits ini maksudnya adalah selain orang-orang yang telah disebutkan, seperti: kerabat, kenalan, tetangga, teman, dan lainnya.

Mencintai Rasulullah saw adalah perwujudan dari mencintai Allah Ta'ala. Demikian pula mencintai ulama dan orang-orang yang bertakwa, karena Allah Ta'ala mencintai mereka dan mereka juga mencintai Allah.

Semua itu kembali kepada kecintaan yang asli dan tidak boleh melampauinya; karena pada hakekatnya sama sekali tidak ada yang dicintai bagi orang-orang yang tajam pandangan mata hatinya kecuali Allah Ta'ala, dan sama sekali tidak ada yang berhak untuk dicintai kecuali Dia.

15. Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw
Mengagungkan derajat Nabi Muhammad saw berarti mengetahui ketinggian derajatnya, menjaga tatakrama dan sopan santun pada waktu menyebut nama beliau, dan mendengar nama serta hadits beliau, memperbanyak membaca salawat atas beliau; dan memusatkan perhatian dalam mengikuti sunnah beliau.

Dalam surat al-Hujurat ayat 2 Allah swt berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian dari kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus pahala amalmu sedangkan kamu tidak menyadari.

16. Bakhil terhadap agama Islam
Bakhil terhadap agama berarti lebih senang dibunuh dan dimasukkan ke dalam api dari pada menjadi orang kafir, dan menyadari bahwa agama Islam adalah jauh lebih mulia dari pada semua harta dan anak-anaknya.

Umar bin Abdul Aziz pada waktu menjabat sebagai kepala negara telah mengirimkan sepasukan tentara untuk melawan serangan tentara Romawi. Dalam peperangan tersebut 20 orang tentara muslim ditawan oleh pasukan Romawi. Kaisar Romawi memerintahkan salah seorang dari tentara muslim yang ditawan untuk meninggalkan agama Islam dan memeluk agama kekaisaran Romawi serta menyembah tuhannya:

Kaisar: Hai orang muslim, jika kamu mau memeluk agamaku dan menyembah tuhan yang aku sembah, maka kujadikan kamu sebagai kepala pemerintahan di daerah yang luas. Aku akan memberimu: bendera, wanita penghibur, piala, dan terompet. Jika kamu tidak mau masuk agamaku, maka aku akan membunuh dan memenggal lehermu dengan pedang.

Tawanan: Aku tak akan menjual agama dengan harta benda dunia!

Kaisar lalu memerintahkan untuk membunuhnya. Tawanan tersebut dibawa ke alun-alun dan dipenggal lehernya dengan pedang. Setelah lehernya putus, kepalanya berputar mengelilingi alun-alun sambil membaca ayat al-Quran, surat al-Fajr 30:

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah engkau kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Masuklah ke dalam kelompok hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku!

Kaisar makin marah dan memerintahkan untuk mengambil tawanan yang kedua; dan terjadilah dialog antara keduanya:

Kaisar: Masuklah ke agamaku, nanti kau kujadikan kepala pemerintahan di kota Anu. Jika engkau menolak, maka akan kupotong lehermu seperti kupotong leher temanmu!

Tawanan: Aku tidak akan menjual agama dengan harta benda dunia. Jika kamu mempunyai kekuasaan untuk memotong leherku, maka kamu tidak memiliki kekuasaan untuk memotong imanku!

Kaisarpun memerintahkan untuk memotong lehernya. Setelah putus, kepalanya berputar mengelilingi alun-alun tiga kali seperti kepala temannya sambil membaca ayat al-Quran, surat al-Haqqah 21-23:

Maka ia telah berada dalam kehidupan yang diridlai, yaitu dalam surga yang tinggi, yang bebuahannya terjangkau.

Kaisar makin menjadi marah, dan memerintahkan untuk mengambil tawanan yang ketiga, seorang muslim yang celaka. Inilah dialog yang terjadi:

Kaisar: Apa yang akan kau katakan? Apakah engkau mau masuk agamaku dan akan kujadikan seorang kepala pemerintahan.

Tawanan: Aku mau masuk agamamu dan memilih dunia dari pada akhirat.

Kaisar: Menteri, buatkan surat keputusan untuk tawanan ini. Berikan kepadanya wanita, piala, dan bendera!

Menteri: Baginda Kaisar, katakanlah kepadanya: "Jika engkau orang yang jujur dalam ucapanmu, bunuhlah salah seorang dari temanmu, agar kami dapat mempercayai omonganmu!"

Tawanan terkutuk itu mengambil salah seorang temannya dan membunuhnya di hadapan Kaisar Romawi.

Kaisar: Menteri, buatkan untuk dia SK Pengangkatan!

Menteri: Baginda Kaisar, hal ini tidak masuk akal bila Baginda membenarkan omongannya. Tawanan ini sudah tidak mau lagi memelihara hak saudaranya yang dia lahir dan dibesarkan bersamanya. Bagaimanakah dia akan dapat memelihara hak kita?

Kemudian Kaisar Romawi memerintahakan untuk memenggal leher tawanan yang celaka tersebut. Setelah lehernya putus, kepalanya berputar mengelilingi alun-alun sambil membaca ayat al-Quran, az-Zumar 19:

Apakah kamu hendak mengubah nasib orang-orang yang telah pasti ketentuan adzab atasnya? Apakah kamu akan menyelamatkan orang-orang yang berada dalam api neraka?

Kepala tawanan yang terkutuk tersebut berhenti di ujung alun-alun dan tidak berkumpul dengan kedua kepala temannya. Dia kembali menuju siksa Allah.

Semoga Allah melindungi kita sekalian dari kesesatan.

17. Mencari ilmu
Cabang iman 17-20, disebutkan dalam bait syair:

Carilah ilmu, ajarkan kepada manusia; agungkanlah kalam Tuhanmu dan bersucilah, pasti engkau terjaga dari bencana.

Sabda Rasulullah saw riwayat dari Abdullah bin Mas'ud:

Barang siapa yang mempelajari satu bab dari ilmu yang dia dapat memperoleh manfaat dunia akhirat, maka hal itu lebih baik baginya dari pada umur dunia 70.000 tahun yang dipergunakan puasa pada siang hari dan salat pada malam hari dalam keadaan diterima, tidak ditolak.

Dari Mu'adz bin Jabal katanya: Rasulullah saw bersabda,

Pelajarilah ilmu, sebab mempelajari ilmu karena Allah adalah kebaikan, mendaras ilmu sama dengan bertasbih, membahas ilmu sama dengan berjuang, mencari ilmu adalah ibadah, mengajarkan ilmu adalah sedekah, memberikan ilmu kepada yang memerlukan adalah pendekatan diri kepada Allah, memikirkan ilmu sebanding dengan pahala puasa dan memusyawarahkan ilmu sebanding pahala salat malam.

Rasulullah saw bersabda,

Tuntutlah ilmu, meskipun di antara kamu dan ilmu terbentang lautan api.

Sabda Rasulullah saw:

Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ke liang lahad!

Mempelajari ilmu adalah wajib setiap saat dan keadaan. Sebagian dari para ulama salaf (ulama dahulu) berpendapat bahwa ilmu ada empat macam:

  • 1. Ilmu untuk membetulkan amalan agama.
  • 2. Ilmu kedokteran untuk menyehatkan badan.
  • 3. Ilmu falak untuk menentukan waktu salat.
  • 4. Ilmu nahwu untuk membetulkan bacaan.

Ilmu dapat dihasilkan dengan dua cara:

  • 1. Usaha, yaitu ilmu yang dapat diperoleh dengan jalan belajar dan membaca secara terus menerus.
  • 2. Mendengarkan, yaitu belajar dari para ulama dengan mendengarkan permasalahan agama dan dunia. Hal ini tidak dapat berhasil kecuali dengan mencintai para ulama, bergaul dengan mereka, menghadiri majlis-majlis taklim mereka dan meminta penjelasan dari mereka.

Orang yang menuntut ilmu wajib berniat dalam usaha menghasilkan ilmu tersebut:

  • 1. mencari keridhaan Allah,
  • 2. mencari kebahagiaan akhirat,
  • 3. menghilangkan kebodohan dirinya dan semua orang yang bodoh,
  • 4. menghidupkan agama,
  • 5. mengabadikan agama dengan ilmu, dan
  • 6. mensyukuri kenikmatan akal dan kesehatan badan.

Ia tak boleh berniat agar manusia menghadap kepadanya, mencari kesenangan dunia dan kemuliaan di depan pejabat dsb.

18. Menyebarkan ilmu agama
Nabi Muhammad saw bersabda,

Hendaklah orang yang hadir di antara kamu sekalian menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.

Wajib bagi seseorang yang mendengarkan untuk menyampaikan segala sesuatu yang didengarkan kepada orang yang tidak hadir. Hadits ini ditujukan kepada para sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai hari kiamat. Jadi wajib bagi seseorang yang memiliki (ahli) ilmu untuk bertabligh. Setiap orang yang mengetahui satu masalah adalah ahli ilmu dalam masalah tersebut. Setiap orang awam yang mengetahui syarat salat, wajib mengajarkan kepada orang lain.
Jika ia tidak mau mengajarkan, maka ia bersekutu dalam dosa dengan orang yang belum mengetahuinya.

Pada setiap masjid dan tempat wajib ada seorang ahli agama yang mengajar kepada manusia dan memberikan pemahaman kepada mereka mengenai masalah-masalah agama. Demikian juga halnya di setiap desa. Setiap ahli agama setelah selesai melaksanakan fardhu 'ain, yaitu mengajar di daerahnya sendiri, melakukan fardhu kifayah, yaitu keluar ke daerah yang berdekatan dengan
daerahnya, untuk mengajarkan agama dan kewajiban syariat kepada penduduk desa tersebut. Ahli agama tersebut wajib membawa bekal untuk dimakan sendiri, dan tidak boleh ikut makan makanan orang yang diajar.

Jika sudah ada salah seorang yang menunaikan kewajiban ini, maka gugurlah dosa dari para ahli ilmu yang lain. Jika tidak ada sama sekali orang yang menunaikan kewajiban ini, maka dosanya akan menimpa semua orang. Orang yang alim berdosa karena keteledorannya tidak mau pergi ke daerah tersebut; sedangkan orang yang bodoh berdosa karena keteledorannya dalam meninggalkan menuntut ilmu. Ini adalah pendapat Syeikh Ahmad as-Suhaimi yang dinukil oleh Imam al-Ghozali.

Ada 3 tanda bagi orang alim yang ingin mencari kebahagiaan akhirat:

  • 1. Ia tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya.
  • 2. Kesibukannya dalam ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, sehingga ia memperhatikan ilmu yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki batin dan hatinya.
  • 3. Ia menyandarkan ilmunya pada taklid (mengikuti) kepada Pemilik Syariat, Nabi Muhammad saw, dalam ucapan dan perbuatannya.

Tanda orang yang tidak mencari kesenangan dunia dengan ilmunya ada lima:

  • 1. Ucapannya tidak menyalahi perbuatannya, sehingga ia menjadi orang yang pertama kali melakukan perintah dan meninggalkan larangan.
  • 2. Ia memperhatikan ilmu menurut kadar kemampuannya, dan sedang kepada ketaatan serta menjauhi ilmu yang memperbanyak perdebatan.
  • 3. Ia menjauhi kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan pakaian.
  • 4. Ia menahan diri dari mempergauli para pejabat, kecuali untuk memberi nasihat kepadanya atau untuk menolak kedhaliman, atau untuk memberikan pertolongan dalam hal yang diridhoi oleh Allah Ta'ala.
  • 5. Ia tidak cepat-cepat memberikan fatwa kepada orang yang bertanya, tetapi mengatakan,"Tanyakan kepada orang yang ahli memberi fatwa!", karena kehati-hatiannya. Ia mencegah diri dari berijtihad dalam sesuatu masalah, jika masalah tersebut tidak jelas bagi dirinya.

Bahkan ia mengatakan, "Saya tidak tahu!" apabila ijtihad tersebut tidak mudah baginya.

19. Mengagungkan dan menghormati al-Quran
Mengagungkan dan menghormati Al-Quran harus dilakukan dengan jalan:

  • a. Membacanya dalam keadaan suci.
  • b. Tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci.
  • c. Bersikat gigi pada waktu ingin membacanya.
  • d. Duduk dengan lurus dan tidak boleh bertelekan pada waktu membaca al-Quran selain dalam salat.
  • e. Memakai pakaian yang bagus, karena orang yang membaca al-Quran pada hakekatnya beraudiensi dengan Tuhannya.
  • f. Menghadap kiblat pada waktu membaca al-Quran.
  • g. Berkumur setiap kali berdahak.
  • h. Berhenti membaca al-Quran pada waktu menguap (angop = Jw).
  • i. Membaca al-Quran dengan serius (bersungguh-sungguh) dan tartil.
  • j. Membaca setiap huruf dengan benar.
  • k. Tidak meninggalkan al-Quran dalam keadaan terbuka pada waktu meletakkannya.
  • l. Tidak meletakkan sesuatu di atas al-Quran, sehingga mushaf al-Quran selamanya berada di atas segalanya.
  • m. Meletakkan mushaf Al-Quran di pangkuannya atau di atas sesuatu di mukanya dan jangan meletakkannya di atas lantai ketika membacanya.
  • n. Tidak menghapus tulisan al-Quran dengan ludah, tetapi harus dengan air.
  • o. Tidak mempergunakan mushaf yang telah rusak dan kertasnya telah rapuh, agar mushaf tetap utuh dan tidak menyia-nyiakannya.
  • p. Tidak membaca al-Quran di pasar, tempat keramaian, dan tempat pertemuan orang-orang bodoh.
  • q. Tidak membuang basuhan tulisan al-Quran untuk berobat di tempat sampah, tempat najis, atau tempat yang diinjak-injak, tetapi harus dibuang di tempat yang tidak diinjak oleh orang, atau menggali lubang di tempat yang suci dan menyiram badannya di lubang tersebut, lalu lubang tersebut ditutup kembali, atau menyiram badannya di sungai yang besar, sehingga airnya mengalir bercampur dengan air sungai.
  • r. Menyebut nama Allah (membaca basmalah) pada waktu menulis al-Quran atau meminum tulisan al-Quran dan mengagungkan niat dalam hal tersebut, karena Allah akan memberinya menurut kadar niatnya.


Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam