14. Menunaikan Amanat



📚 Terjemah Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)



Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikulnya (yakni menolak untuk menerima dan mereka khawatir akan mengkhianatinya ) yakni mereka takut tidak dapat menunaikan amanat itu, lalu mendapat hukuman, atau mereka takut mengkhianatinya (QS al-Ahzab [33]: 72).

Al-Qurthubi berkata, “Amanat itu mencakup semua tugas suci agama, menurut pendapat yang paling sahih. Itu adalah pendapat mayoritas ulama. Mereka hanya berselisih pendapat dalam perinciannya.”

Ibn Mas‘ud berkata, “Amanat itu adalah amanat harta, seperti titipan dan sebagainya.”

Diriwayatkan bahwa yang disebut dengan amanat itu ada di dalam seluruh ibadah fardhu. Yang utama adalah amanat harta. Abu al-Darda’ berkata, “Memandikan mayit adalah amanat.”

Ibn ‘Umar berkata, “Yang pertama Allah ciptakan dari manusia adalah kelaminnya.” Selanjutnya dia berkata, “Ini adalah amanat yang dititipkan kepadamu. Janganlah engkau menggunakannya kecuali secara benar. Jika engkau menjaganya, berarti engkau telah menjaga dirimu sendiri.” Karena itu, kelamin, telinga, mata, lidah, perut, tangan dan kaki adalah amanat. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak menunaikan amanat.

Al-Hasan berkata, “Amanat itu ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung. Namun, semuanya dan segala isinya bergetar. Allah Swt berkata, “Jika engkau berbuat baik, Aku akan memberikan pahala kepadamu. Namun, jika engkau berbuat jahat, Aku akan mengadzabmu.” Langit, bumi, dan gunung mengatakan, “Tidak.”

Mujahid berkata, “Ketika Allah menciptakan Adam, amanat itu ditawarkan kepadanya. Adam menerimanya. Lalu Allah berkata, ‘Engkau telah menanggungnya.”’

Tidak terlepas kemungkinan bahwa penawaran amanat ini kepada langit, bumi, dan gunung sebagai pilihan saja, bukan keharusan. Kalau Allah mewajibkan kepada langit, bumi, dan gunung untuk memikulnya, niscaya semua tidak akan menolaknya.”

Para fuqaha’ dan lainnya berkata, “Penawaran amanat dalam ayat ini adalah sebagai contoh saja. Yakni, mengingat besarnya fisik langit, bumi, dan gunung. Kalau langit, bumi, dan gunung mampu memikulnya, semuanya akan merasa berat mengikuti syariat karena adanya pahala dan hukuman. Yakni, beban itu merupakan perkara yang besar sehingga langit, bumi dan gunung pun tidak mampu memikulnya. Kemudian, hal itu dibebankan kepada manusia. Allah Swt berfirman, Dan dipikullah amanat itu oleh manusia (QS al-Ahzab [33]: 72).

Adam menerima amanat itu setelah ditawarkan kepadanya dan seluruh keturunannya ketika mereka keluar dari sulbinya. Karena itu, dipikulkan perjanjian itu kepada mereka. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (QS al-Ahzab [33]: 73).

Yakni, dalam memikul amanat itu, dia menzalimi dirinya sendiri dan tidak mengetahui beratnya beban itu atau tidak mengetahui urusan Tuhannya.

Ibn ‘Abbas berkata, “Amanat itu ditawarkan kepada Adam. Dikatakan kepadanya, ‘Ambillah amanat itu beserta segala hal yang dikandungnya. Jika engkau taat, Aku mengampunimu. Namun, jika engkau durhaka, Aku akan mengadzabmu.’ Adam menjawab, ‘Aku menerimanya beserta segala hal yang dikandungnya. Hal itu hanya terjadi antara waktu ‘ashar dan malam pada hari itu hingga dia memakan buah dari sebatang pohon. Kalau Allah tidak menganugerahkan rahmat-Nya, Dia tidak akan mengampuni dan memberi hidayah kepadanya. Amanat itu berkaitan dengan keimanan. Karena itu, barangsiapa yang menjaga amanat Allah, Allah akan menjaga keimanannya. Nabi Saw bersabda, “Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak menunaikan amanat, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memenuhi janjinya.”

Rasulullah Saw bersabda, “Pada orang mukmin ditabiatkan setiap perangai kecuali pengkhianatan dan kebohongan.”

Umatku senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka tidak melihat amanat sebagai jarahan dan sedekah sebagai kerugian.”

“Tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu.”

Dalam Shahih-nya disebutkan hadis dari Abu Hurayrah Ra; Rasulullah Saw bersabda, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berkata dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika dipercayai dia berkhianat.”

Yakni, apabila seseorang mempercayainya dengan suatu perkataan (rahasia), dia mengkhianatinya dengan menyebarkannya kepada orang lain. Apabila dititipi, dia berkhianat dengan mengingkari, tidak menjaganya dan menggunakannya tanpa izin pemiliknya. Karena itu, menjaga amanat merupakan sifat para malaikat yang didekatkan, para nabi, dan para rasul, serta akhlak orang-orang benar yang bertakwa. Allah Swt berfirman, Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya QS al-Nisa’ [4]: 58).

Para ahli tafsir mengatakan bahwa ayat ini mencakup banyak pokok syariat dan ditujukan kepada seluruh mukallaf (akil baligh) yang menjadi pemimpin dan lainnya. Para pemimpin wajib berlaku adil kepada orang yang teraniaya dan memberikan haknya sebagai amanat, serta menjaga harta kaum Muslim, terutama anak-anak yatim. Para ulama wajib mengajarkan hukum-hukum agama kepada masyarakat awam. Itulah amanat yang harus dijaga oleh para ulama. Orangtua wajib membimbing anaknya dengan pendidikan yang baik, karena anaknya itu pun amanat baginya. Nabi Saw bersabda, “Masing-masing dari kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertang- gungjawaban tentang kepemimpinannya.”

Dalam Zahr al-Ryadh disebutkan, bahwa pada hari kiamat seorang hamba dihadirkan. Lalu, dia dihadapkan kepada Allah Swt. Allah Swt bertanya, “Engkau telah mengabaikan amanat si Fulan.” Hamba itu menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Lalu, Allah Swt memerintahkan malaikat agar membawanya ke Neraka Jahanam dan memperlihatkan kepadanya amanat dalam bentuknya di dalam Neraka Jahanam. Dia pun jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh tahun hingga sampai ke dasarnya. Lalu, dia naik dengan amanat itu. Ketika sampai ke bagian atas Neraka Jahanam, kakinya tergelincir dan jatuh lagi ke dasarnya. Demikianlah seterusnya hingga dia memperoleh luthf (kelembutan) dari Tuhannya dengan syafaat al-Mushthafa Saw Pemilik amanat itu pun ridha kepadanya.

Salamah berkata, “Ketika kami duduk-duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba didatangkan jenazah untuk dishalatkan. Nabi Saw bertanya, ‘Apakah dia punya utang?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian, beliau menyalatkannya. Lalu, didatangkan jenazah yang lain. Nabi Saw bertanya, ‘Apakah dia punya utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Nabi Saw bertanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Ya, tiga dinar.’ Lalu, Nabi Saw menyalatkannya. Selanjutnya, didatangkan lagi jenazah ketiga. Nabi Saw bertanya, ‘Apakah dia memiliki utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apakah dia meninggalkan sesuatu?’ Mereka menjawab, ‘Ya.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Shalatkanlah sahabatmu ini.”

Qatadah Ra berkata, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw, ‘Wahai Rasulullah, jika aku gugur di jalan Allah dengan bersabar, berniat karena Allah, dan menghadap kepada-Nya tanpa mengingkari-Nya, apakah Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahanku?’ Nabi Saw mememanggilnya. Beliau bersabda, ‘Bagi orang yang mati syahid, Allah mengampuni seluruh dosanya, kecuali utang.”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam