18. Tafakkur, Tadabbur



📚 Terjemah Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)



Allah Swt telah memerintahkan tafakkur dan tadabbur dalam beberapa ayat dalam Kitab-Nya. Firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis binatang dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (QS al-Baqarah [2]: 164).

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih beganti bagi orang-orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur (QS al- Furqan [25]: 62).

Atha’ berkata, “Yang dimaksud dengan silih berganti itu adalah dalam gelap dan terang serta berkurang dan bertambah.”

Allah juga memuji orang-orang yang suka bertafakkur, sebagaimana firman-Nya: (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhanku, Engkau tidak menciptakan ini dengan sia-sia.” (QS Ali ‘Imran [3]: 191).

Ibnu ‘Abbas Ra berkata, “Suatu kaum memikirkan Allah Swt. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Pikirkanlah ciptaan Allah, jangan berpikir tentang Allah, karena kamu tak akan sanggup memikirkan-Nya.”

Pada suatu hari, Nabi Saw menemui suatu kaum yang sedang bertafakkur. Beliau bertanya, “Mengapa kalian tidak berkata-kata?” Mereka menjawab, “Kami sedang memikirkan ciptaan Allah Swt. “Beliau pun bersabda, “Kalau begitu, lakukanlah. Pikirkanlah tentang ciptaan Allah, tetapi jangan memikirkan Dzat-Nya.

Atha’ berkata, “Aku dan Ubay bin ‘Umayr pergi menemui ‘Aisyah Ra. Dia berkata kepada kami dari balik tirai, “Wahai Ubay, apa yang menghalangimu untuk menjenguk kami?” Ibn ‘Umayr menjawab, “Bukankah Nabi Saw pernah bersabda, ‘Berkunjunglah jarang-jarang, niscaya bertambah kecintaan.”’ Selanjutnya, Ibnu ‘Umayr berkata, “Beritahukanlah kepadaku kekaguman yang pernah engkau lihat dari Rasulullah Saw.” ‘Aisyah menangis, lalu berkata, “Setiap ihwalnya menakjubkan. Pada malam giliranku, beliau datang kepadaku sehingga kulitnya bersentuhan Dengan kulitku. Akan tetapi, beliau berkata, ‘Biarkanlah aku beribadah kepada Tuhanku.’ Lalu, beliau bangun dan mengambil tempat air untuk berwudhu. Kemudian, beliau shalat dan menangis hingga basah janggutnya. Beliau bersujud hingga basah tanah tempat sujudnya. Lalu, beliau berbaring pada salah satu sisi badannya hingga datang Bilal melantunkan adzan shalat shubuh. Bilal bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa Anda menangis? Padahal, Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang telah lalu dan kemudian?’ Beliau menjawab, ‘Bagaimana kamu ini, wahai Bilal. Bagaimana aku tidak menangis? Pada malam ini Allah telah menurunkan ayat, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (QS Alu ‘Imran [3]: 190). Selanjutnya, beliau bersabda, ‘Celakalah orang yang membacanya tetapi tidak memikir-kannya.”

Tentang hal ini al-Auza‘ ditanya, apa tujuan tafakkur di situ?” Dia menjawab, “Membaca dan memikirkannya.”

Muhammad bin Wasi‘, mengatakan bahwa seorang laki-laki penduduk Basrah pergi menemui Ummu Dzar sepeninggal suaminya, Abu Dzar. Dia menanyakan kepadanya tentang ibadah Abu Dzar. Ummu Dzar menjawab, “Sebagian siangnya dia gunakan untuk bertafakkur di salah satu sudut rumah.”

Al-Fudhayl berkata, “Pikiran adalah cermin yang memperlihatkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan kejelekan-kejelekanmu.” Ketika Ibrahim ditanya, mengapa berlama-lama bertafakkur, dia menjawab, “Tafakkur adalah inti berpikir.”

Thawus berkata: al-Hawariyun (para pengikut setia Nabi ‘Isa) bertanya kepada ‘Isa As, “Wahai Ruh Allah, apakah kini di muka bumi ada orang seperti Anda?” ‘Isa As menjawab, “Ya. Yaitu orang yang pembicaraannya merupakan dzikir, diamnya merupakan tafakkur, dan pandangannya merupakan pembelajaran (tadabbur). Dialah orang yang sepertiku.”

Al-Hasan berkata, “Barangsiapa yang perkataannya bukan kebijaksanaan (hikmah), dia sia-sia. Barangsiapa yang diamnya bukan tafakkur, dia lalai. Barangsiapa yang pandangannya bukan pembelajaran, dia main-main.” Lalu, tentang firman Allah Swt, Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar (QS al-A’raf [7]: 146), dia berkata, “Artinya, ‘Aku (Allah) mencegah hati mereka untuk bertafakkur tentang urusan hati mereka untuk bertafakkur tentang urusan-Ku.”

Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah kepada matamu bagiannya dari ibadah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa bagiannya dari ibadah itu?” Beliau menjawab, “Pandangan terhadap mushaf dan menafakurinya, serta mengambil pelajaran dari keajaiban-keajaibannya.”

Luqman suka berlama-lama duduk sendiri. Lalu, budaknya lewat di hadapannya. Dia bertanya, “Wahai Luqman, Anda lama duduk sendiri. Kalau engkau duduk bersama orang-orang, niscaya mereka akrab dengan Anda.” Luqman menjawab, “Aku berlama-lama duduk sendiri untuk bertafakkur. Lama bertafakkur adalah bukti jalan surga.”

Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Bertafakkur tentang nikmat Allah ‘Azza wa Jalla adalah termasuk ibadah-ibadah paling utama.”

Ibn ‘Abbas berkata, “Shalat dua rakaat yang dimaksudkan untuk bertafakkur adalah lebih baik daripada shalat malam yang tak khusyu‘.”

Ketika Abu Syurayh sedang berjalan, tiba-tiba dia duduk dan menyelimuti diri dengan jubahnya. Lalu, dia mulai menangis. Ketika ditanyakan kepadanya apa sebabnya dia menangis, dia menjawab, “Aku menafakuri kehilangan sebagian umurku, sedikitnya amalanku, dan semakin dekatnya ajalku.”

Abu Sulayman berkata, “Tafakkur di dunia adalah hijab (pembatas) dari akhirat yang mewariskan hikmah (kebijaksanaan) dan menghidupkan hati.”

Hatim berkata, “Karena tadabbur bertambahlah ilmu, karena dzikir bertambahlah kecintaan, dan karena tafakkur bertambahlah ketakutan (pada murka Allah).”

Ibn ‘Abbas berkata, “Tafakkur tentang kebaikan mendorong untuk mengamalkannya, penyelesalan akan kejahatan mendorong untuk meninggalkannya.”

Al-Hasan berkata, “Orang-orang berakal senantiasa mengulang-ulang dzikir ke tafakur dan tafakkur ke dzikir sehingga mereka meminta hati mereka bicara. Hati mereka pun mengatakan kata-kata bijaksana.”

Idhaq bin Khalaf berkata, “Dawud al-Tha’i Ra berada di atas rumah ketika malam bulan purnama. Dia bertafakkur tentang kerajaan langit dan bumi. Dia memandang langit, lalu menangis hingga terjatuh ke rumah tetangganya. Tetangganya bangkit dari tempat tidurnya dalam keadaan tidak berpakaian, sementara di tangannya tergenggam sebilah pedang. Dia mengira bahwa ada pencuri masuk ke dalam rumahnya. Ketika melihat Dawud, dia kembali dan menyimpan lagi pedagangnya. Dia bertanya kepada Dawud, “Siapa yang melemparkanmu dari atap rumah?” Dawud menjawab, “Aku tidak merasakan hal itu.”

Al-Junayd berkata, “Majelis yang paling mulia dan paling tinggi adalah duduk sambil bertafakkur tentang tauhid, menghidupkan jiwa ma‘rifat, meminum cawan surga dari lautan cinta, dan memandang dengan prasangka baik kepada Allah Swt karena itu, betapa tingginya majelis itu dan betapa lezatnya minuman itu. Berbahagialah orang yang dianugerahinya.”

Al-Syafi’i Ra berkata, “Mohonlah pertolongan atas pembicaraan dengan diam dan atas kesimpulan dengan tafakkur.” Dia juga pernah mengatakan, “Pandangan yang baik terhadap berbagai hal adalah keselamatan dari tipuan. Keteguhan dalam pendapat adalah keselamatan dari kelalaian dan penyesalan. Menimbang dan berpikir menyingkapkan keteguhan hati, dan kekuatan dalam pandangan orang-orang bijak merupakan keteguhan dalam diri dan kekuatan dalam pandangan. Untuk itu, berpikirlah sebelum membulatkan tekad. Lakukanlah kajian secara mendalam (tadabbur) sebelum menyerang (musuh) dan bermusyawarahlah sebelum maju.” Juga katanya, “Keutamaan itu ada empat. Pertama, kebijaksanaan (hikmah), dan tiangnya adalah tafakkur. Kedua, kesucian diri, dan tiangnya adalah membuang keinginan rendah (syahwat). Ketiga, kekuatan, dan tiangnya adalah menahan marah. Keempat, al-hal (pengalaman ruhaniah), dan tiangnya adalah keseimbangan kekuatan-kekuatan nafsu.”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam