Bab 3. Rukun Dan Syarat



📚 Terjemah Kitab Ringkasan Tabyinul Ishlah Li Muridin Nikah



1. Menyatakan Rukun-Rukun Nikah
Bahwa rukun nikah ada lima perkara:
  • 1. Pengantin lelaki (zauj)
  • 2. Pengantin perempuan (zaujah)
  • 3. Wali pengantin perempuan
  • 4. Dua orang saksi (Syahidami „adilaini)
  • 5. Ijab dan Qabul (Shighat) (Al Iqna'fi Hali Alfadli Abi Syja': II/122).

2. Syarat-Syarat Pengantin Lelaki
Bahwa syarat-syarat pengantin lelaki ada lima perkara:
  • 1. Baligh, bila masih kecil, maka bapak atau kakek qabulnya.
  • 2. Berakal, bila hilang akalnya, maka bapak qabulnya.
  • 3. Tidak senasab atau sesusuan (radla) dengan pengantin wanita
  • 4. Dengan kehendak sendiri (ikhtiar). Tidak sah bila dipaksa.
  • 5. Menentukan dan mengetahui nama wanita yang akan dinikahi, mengetahui akan status calon istrinya, yaitu perawan atau janda dan sudah lepas „iddah.

3. Syarat-Syarat Pengantin Wanita
Syarat-syarat pengantin wanita sama dengan syarat-syarat pengantin lelaki:

  • 1. Baligh.
  • 2. Berakal
  • 3. Tidak Senasab dan tidak Sesusuan dengan pengantin lelaki
  • 4. Kehendak sendiri, tanpa adanya paksaan selain wali mujbir bapak/kakek
  • 5. Mengetahui lelaki yang akan menikahi dirinya.

4. Wali Ada Dua Macam
Bahwa wali yang akan menikahkan seorang wanita ada dua macam:

  • 1. Wali Mujbir, yaitu seorang wali yang boleh menikahkan orang wanita dengan cara memaksa meskipun ia tidak rela
  • 2. Wali bukan Mujbir, yaitu selain wali Mujbir.

5. Syarat-Syarat Wali Mujbir
Adapun syarat-syarat Wali Mujbir sebanyak ada enam perkara:
  • 1. Bapaknya, kakeknya atau tuan hambanya yang menjadi Wali Mujbir. Adapun saudara dan pamannya bukanlah Wali Mujbir.
  • 2. Status pengantin haruslah gadis perawan walaupun usia baligh.
  • 3. Seorang lelaki yang adil, terkenal orang yang dapat dipercaya.
  • 4. Dinikahkan kepada kufunya (lihat pasal kufu).
  • 5. dinikahkan kepada seorang lelaki yang bukan musuh dengan anaknya.
  • 6. Harus dengan Mahar Mitsil dan pengantin lelaki sanggup membayarnya.

6. Wali Wanita Janda (Syayyibah)
Wali Mujbir berhak menikahkan seorang wanita bila statusnya belum baligh dan masih perawan bukan janda. Tetapi kalau wanita tersebut ternyata janda, maka ayah dan kakeknya tidak berhak menikahkannya, baik izin pada wanita tersebut maupun tidak, sama saja tidak sah.

Apabila janda tersebut sudah baligh, maka sahlah menikahkannya dengan syarat izin dari padanya, karena janda yang belum baligh apa yang diucapkan tidak dapat dipercaya.

7. Ketertiban Wali
Ketertiban atau urutan wali dalam pernikahan adalah sebagai berikut:
  • 1. Bapaknya. Jika tidak ada, maka
  • 2. Kakeknya hingga ke atas. Jika tidak ada, maka
  • 3. Saudara sekandung. Jika tidak ada, maka
  • 4. Saudara Seayah. Jika tidak ada, maka
  • 5. Anak Saudara Sekandung (keponakan). Jika tidak ada, maka
  • 6. Anak Saudara Seayah (keponakan) hingga ke bawah jika tidak ada maka
  • 7. Paman Sekandung (seayah dan seibu). Jika tidak ada, Maka
  • 8. Paman Seayah. Jika tidak ada, maka
  • 9. Anak Paman Sekandung. Jika tidak ada, maka
  • 10. Anak Paman Seayah hingga ke bawah. Jika tidak ada ashabah, maka
  • 11. Tuan yang memerdekakan. Jika tidak ada, Maka
  • 12. Ashabah Tuannya. Jika tidak ada, maka
  • 13. Hakim yang menikahkannya.

8. Wali Aqrab dan Ab’ad
Wali pengantin terdapat dua macam: Aqrab (lebih dekat) dan Ab’ad (lebih jauh) dengan penjelasan sebagai berikut:
  • 1. Ketika bapak wali aqrab, maka kakek wali ab'ad
  • 2. Ketika kakek wali aqrab, maka saudara sekandung wali ab'ad
  • 3. Ketika suadara sekandung wali aqrab, maka saudara sebapak wali ab'ad
  • 4. Ketika saudara sebapak wali aqrab, anak saudara sekandung wali ab'ad
  • 5. Ketika anak saudara sekandung aqrab, maka saudara sebapak wali ab'ad
  • 6. Ketika anak saudara sebapak wali aqrab, paman sekandung wali ab'ad
  • 7. Ketika paman sekandung wali aqrab, paman sebapak wali ab'ad
  • 8. Ketika paman sebapak wali aqrab, anak paman sekandung wali ab'ad.
  • 9. Ketika anak paman sekandung wali aqrab, anak paman sebapak wali ab'ad.

9. Anak Menjadi Wali Ibu Kandungnya
Tidak boleh anak menjadi wali ibunya kecuali ada enam macam yaitu:

1. Anak lelaki hasil pernikahan seorang wanita dengan anak lelaki pamannya. Bila anak lelaki pamannya meninggal kemudian ibunya akan menikah, maka ia menjadi walinya, karena masih satu nasab.


2. Anak lelaki hasil pengundikan seorang amat dengan tuannya. Apabila tuannya meninggal kemudian ibunya akan menikah, maka ia menjadi walinya.


3. Anak lelaki seorang amat kemudian oleh tuannya dibebaskan. Lalu ibunya dibebaskan dari tuannya oleh anak tersebut. Bila ibunya akan menikah, maka ia menjadi walinya. Karena anak dan ibunya menjadi satu nasab.


4. Anak lelaki hasil persetubuhan syubhat antara bapak dan anaknya. Ketika ibunya akan menikah. Maka ia berhak menjadi walinya, karena mereka dianggap sebagai saudara.


5. Anak lelaki hasil perkawinan bapak dengan anaknya yang beragama Majusi. Menurut hukum Majusi perkawinan tersebut dibolehkan. Kemudian bapaknya meninggal. Kalau ibunya akan menikah, maka anak lelaki tersebut berhak menjadi walinya.

6. Anak lelaki menjabat sebagai Qadli. Apabila ibunya akan menikah dengan orang lain tidak ada walinya, baik wali aqrab maupun wali ab'ad, maka ia bisa bertindak sebagai wali hukum untuk ibunya.


10. Keberadaan Wali Hakim
Seorang wanita dalam pernikahan dapat menggunakan Wali Hukum karena alasan salah satu dari tujuh tempat (perkara) ialah:
  • 1. Karena sama sekali tidak didapati seorang wali bagi seorang wanita yang akan menikah.
  • 2. Karena wali aqrabnya pergi dua hari atau dua malam perjalanan.
  • 3. Karena wali aqrabnya tidak diketahui hidup atau matinya.
  • 4. Karena wali aqrabnya di dalam negeri tetapi tidak diketahui tempat tinggalnya, dicari sampai empat atau lima hari bahkan sampai sebulan tidak diketemukan.
  • 5. Karena seorang wanita memilih wali ab'ad daripada wali aqrab.
  • 6. Karena wali aqrab sedang ihram haji di makkah.
  • 7. Karena wali aqrab tidak berkenan menikahkan anak wanita sebab perlawanan atau sebab permusuhan.

11. Wali Tahkim
Apabila tidak ditemukannya wali yang khos (khusus/ditentukan) bagi seorang wanita, maka wanita tersebut boleh menyerahkan permasalahan tentang pernikahannya (perwaliannya) pada seorang yang adil untuk menjadi wali bagi wanita tersebut. Meskipun ia tidak sampai pada derajat mujtahid, maka diperbolehkan untuk tetap menjadi wali bagi wanita itu baik dalam keadaan pergi (perjalanan) maupun dalam keadaan menetap beserta adanya hakim maupun tidak adanya hakim di tempat tersebut. (Nihayatul Muhtaj:
VI/234).

12. Arti Tahkim
Bahwa arti tahkim adalah hanya ucapan yang keluar dari lisan seorang wanita saja. Apabila seorang wanita dengan tempat itu tidak ada wali yang benar atau memang tidak ada wali sama sekali. Maka boleh dan sah wanita itu menyerahkan pernikahannya (walinya) kepada seorang adil. Untuk menikahkan wanita tersebut (kepada pengantin lelaki calon suaminya). Dan atas Qaul Mukhtar (ucapan yang terpilih): Demikian itu tidak ditentukan karena tidak adanya wali hakim, tetapi boleh dan sah juga dengan adanya hakim di tempat tersebut. Ketika wanita itu sedang bepergian atau dirumahnya, sama saja boleh dinikahkannya. Demikianlah atas Qaul Shahih. (Mughnil Muhtaj: III/147).

13. Syarat Sahnya Wali
Bahwa syarat-syarat sahnya wali pengantin sebanyak ada tujuh perkara:
  • 1. Islam (beragama Islam). Tidak sah wali kafir selain kafir Kitabi.
  • 2. Aqil (berakal sehat). Tidak sah wali yang akalnya rusak.
  • 3. Baligh (sudah usia dewasa) tidak sah wali anak-anak.
  • 4. Lelaki. Tidak sah wali perempuan.
  • 5. Merdeka (bebas). Tidak sah wali hamba sahaya atau budak belian
  • 6. Mursyid. Tidak sah wali fasiq (safih)
  • 7. Ikhtiyar (pemilihan atau kehendak sendiri). Tidak sah wali dipaksa.

14. Wali Mujbir Ghaib I
Jika wali wanita dalam keadaan ghaib bepergian lebih dari 2 marhalah (±86 km) maka tidak diperbolehkan melakukan tahkim. Hal ini dikarenakan bahwa pengganti wali yang ghaib adalah Qodhi. Jika wali aqrab yang ghaib tersebut bepergian kurang dari 2 marhalah, maka dalam hal perwalian tidak boleh diserahkan kepada hakim. Akan tetapi diharuskan untuk menunggu sampai wali aqrab tersebut kembali (pulang) atau mewakilkan kepada orang lain yang dapat dipercaya menurut syara.

15. Wali Mujbir Ghaib II
Ketika seorang wanita tidak memiliki wali atau memiliki wali, akan tetapi sedang bepergian sejauh jarak yang diperbolehkan Sholat Qoshor (2 marhalah). Maka Hakimlah yang berhak menikahkan wanita tersebut. Begitu halnya ketika seorang wali mencegah (melarang) wanita yang ingin menikah dengan laki-laki lain yang sekufu dengannya dan wali yang ghaib tersebut bukanlah wali ab’ad (melainkan wali aqrab).

Akan tetapi akan menjadi berbeda hukumnya jika wali Aqrab tersebut gila, masih kecil (belum baligh), sedang sakit parah, atau pun fasik. Maka Wali Ab’ad lah yang berhak menikahkan wanita tersebut.

16. Wali Aqrab Bukan Mujbir Ghaib
Yang dikehendaki dengan wali aqrab ghaib dalam bab (masalah) ini adalah wali mujbir (ayah, kakek atau sayyid) sehingga yang lainnya tidaklah termasuk dalam bab ini.

Dan juga bahwa sesungguhnya saudara laki-laki kandung yang sedang bepergian melebihi 2 marhalah dan di tempat tersebut masih terdapat saudara laki-laki seayah yang hadir, maka saudara laki-laki seayah tersebut yang berhak menikahkan, bukan qodhi (hakim) yang menikahkan wanita tersebut. Karena peniadaan kekuasaan saudara laki-laki sekandung tersebut adalah ketika kepergiannya sampai 2 marhalah. Hal ini juga berlaku dalam beberapa bab (masalah) lainnya.

Berbeda halnya ketika wali mujbir bepergian sampai 2 marhalah, maka yang berhak menikahkan wanita tersebut adalah qodhi, bukanlah wali ab’ad.

Hal ini dikarenakan masih tetapnya kekuasaan wali mujbir meskipun melakukan perjalanan tersebut. Juga seperti halnya yang telah disampaikan oleh jumhur ulama’ fuqoha’ (mayoritas ulama fiqih) pada karya-karya mereka.

17. Wali Fasiq
Apabila diketahui wali fasiq telah merata (menyebar secara luas) pada suatu tempat, maka seorang wanita dihukumi sah dalam pernikahannya dengan wali fasik tersebut. Menurut qoul mu'tamad (pendapat yang kuat), hal ini dikarenakan adanya suatu udzur. Akan tetapi jika yang fasik tersebut adalah wali aqrab, sedangkan di tempat tersebut masih terdapat wali ab’ad yang ’adil, maka hak perwaliannya berpindah dari wali aqrab kepada wali ab’ad.

18. Syarat-Syarat Syahid
Bahwa syarat-syarat sah yang harus terpenuhi oleh kedua orang saksi di dalam pernikahan (ijab dan qabul) ialah sebanyak 16 perkara:
  • 1. Beragama Islam. Tidak sah saksi orang kafir.
  • 2. Berakal sehat. Tidak sah saksi orang yang hilang akalnya.
  • 3. Sudah usia dewasa. Tidak sah saksi anak-anak.
  • 4. Lelaki. Tidak sah saksi wali wanita.
  • 5. Merdeka. Tidak sah saksi budak belian.
  • 6. Dua orang. Tidak sah saksi satu orang.
  • 7. Melihat. Tidak sah saksi buta.
  • 8. Mendengar. Tidak sah saksi tuli.
  • 9. Bisa berbicara benar. Tidak sah saksi bisu.
  • 10. Bukan anak. Tidak sah saksi anaknya sendiri.
  • 11. Bukan bapak. Tidak sah saksi bapaknya sendiri.
  • 12. Bukan musuh. Tidak sah musuh menjadi saksi
  • 13. Tidak fasiq. Tidak sah saksi fasiq
  • 14. Menjaga keperwiraan. Tidak sah saksi cidera keperwiraan (marwat).
  • 15. Selamat I'tiqad. Tidak sah saksi mukim sesat bid'ah seperti Qadariyah dan Jabariyah.
  • 16. Sentosa pikiran (tidak terlalu pemarah). Tidak sah saksi seorang yang besar nafsu ketika marah terhadap orang lain, sehingga melampaui batas kewajaran.

19. Dua Saksi Yang Adil
Bahwa yang disebut adil adalah orang islam yang berakal dan kedatangan hukum syari'ah yang tidak mengerjakan dosa besar dan tidak mengekalkan haram kecil (Bujairami ala al-Khatib: 1/ 245).

20. Tentang Arti Fasiq
Bahwa yang disebut fasiq ialah manusia berakal yang sudah berusia baligh dan melakukan salah satu dosa besar atau mengekalkan haram kecil (tetapi merasa berdosa).

21. Ijab dan Qabul
Ijab adalah ucapan dari wali sebagai penyerahan kepada pengantin pria. Qobul adalah ucapan dari pengantin pria sebagai penerimaan atas penyerahan dari wali.

Contoh ijab: “saya nikahkan kepadamu anak perempuan saya yang bernama Khodijah dengan mas kawin uang satu juta rupiah telah dibayar tunai”.

Adapun contoh qobul (penerimaan) yaitu: “saya terima nikahnya Khodijah dengan mas kawin uang satu juta rupiah telah dibayar tunai”.

22. Syarat Sah Ijab Qabul
Bahwa syarat-syarat sah ijab qabul akad nikah sebanyak ada enam perkara:
  • 1. Hendaklah pengantin lelaki yang menerima (qabul) bukanlah anak kecil, karena syarat pengantin lelaki harus baligh.
  • 2. Hendaklah pengantin lelaki sesegera mungkin (jangan kelamaan) dalam menjawab ucapan wali yang menikahkan pengantin wanita (istrinya).
  • 3. Hendaklah muafakat pengucapnya wali pada pengantin lelaki.
  • 4. Hendaklah muafakat dalam penyebutan wali pada jumlah maskawin (Meskipun sebenarnya dalam hal ini, menyebutkan mas kawin adalah sunah. Akan tetapi jika tidak terjadi kesepakatan maka nikahnya menjadi tidak sah).
  • 5. Hendaklah jangan dijanji talak nanti setelah disetubuhi.
  • 6. Hendaklah antara keduanya faham akan bahasa yang diucapkan.

23. Jumlah Wanita Mahram
Bahwa wanita mahram (yang haram dinikahi) sebanyak 14 orang terbagi menjadi tiga sebab. Masing-masing 7 orang sebab senasab, 2 orang sebab sesusuan, 4 orang sebab mertua dan 1 orang sebab arah poligami dengan saudara istrinya.

1. Sebab nasab terdiri dari 7 orang, yaitu:
  • a. Ibu kandung dan seterusnya ke atas.
  • b. Anak kandung dan seterusnya ke bawah. Akan tetapi anak dari hasil perzinaan maka boleh dinikah (tidak mahram).
  • c. Ibu kandung menikahi anak laki-lakinya yang berasal dari hasil perzinaan.
  • d. Saudara sekandung, seayah dan seibu.
  • e. Bibi dari jalur ibu.
  • f. Bibi dari jalur ayah.
  • g. Keponakan (anak dari saudara laki-laki / perempuan).

2. Sebab sesusuan terdiri dari 2 orang, yaitu:
  • a. Ibu yang menyusui.
  • b. Saudara sepersusuan.

3. Sebab pernikahan terdiri dari 4 orang, yaitu:
  • a. Ibu mertua dan seterusnya ke atas (baik senasab maupun sepersusuan).
  • b. Anak tiri yang ibunya telah disetubuhi.
  • c. Ibu tiri dan seterusnya ke atas.
  • d. Menantu dan seterusnya ke bawah.

4. Sebab berkumpulnya dua orang yang tidak boleh dinikah bersama, yaitu:
  • a. Mengumpulkan 2 orang wanita yang masih saudara (sekandung, seayah seibu maupun sepersusuan) untuk dijadikan istri.

24. Menikah Anak Zina
Seorang lelaki berzina (fulan) dengan seorang wanita (zaniyah) lalu melahirkan anak perempuan, maka lelaki tersebut halal menikahi anak tersebut. Akan tetapi sebaliknya jika ia melahirkan anak lelaki, maka haram bagi ibunya bila menikah dengan anak tersebut.

25. Syarat Haram Sesusuan
Untuk menjadi mahram sebab sepersusuan harus memenuhi 10 syarat, yaitu:
  • 1. Ibu yang menyusui telah berumur 9 tahun.
  • 2. Ibu yang menyusui harus hidup, jika sudah meninggal kemudian susunya diperas maka tidak menjadi sepersusuan.
  • 3. Anak tersebut menyusu dengan sendiri dan bukan berasal dari air susu yang diperas dari ibu.
  • 4. Ibu yang menyusui adalah seorang wanita (bukan banci atau laki-laki).
  • 5. Air susu ibu tersebut berasal dari hasil pernikahan, bukan dari hazil perzinaan.
  • 6. Anak tersebut belum berumur 2 tahun.
  • 7. Air susu benar-benar telah diminum dan masuk ke dalam perut bayi.
  • 8. Dilakukan selama minimal 5 kali susuan.
  • 9. Proses penyusuannya tersebut terpisah-pisah dan dilakaukan dalam 5 pangkuan. Jika disusui dalam satu atau dua pangkuan, maka tidak menjadi sepersusuan.
  • 10. Tidak ragu dalam jumlah penyusuannya tersebut.

26. Sejumlah Wanita Halal Nikah
Sejumlah perempuan yang tidak haram (halal) nikah dengan lelaki lain yaitu:
  • 1. Anak perempuan dari suaminya ibu (saudara tiri).
  • 2. Ibu dari suaminya ibu (nenek tiri).
  • 3. Anak perempuan dari suaminya anak perempuan (cucu tiri).
  • 4. Ibu dari suaminya anak perempuan (besan).
  • 5. Ibu dari istrinya ayah (nenek tiri).
  • 6. Anak perempuan dari istrinya ayah (saudara tiri).
  • 7. Ibu dari istrinya anak laki-laki (besan).
  • 8. Anak perempuan dari istrinya anak laki-laki (cucu tiri).
  • 9. Istrinya anak tiri (menantu tiri).

Dari semua orang yang disebutkan di atas dapat diringkas menjadi 5 golongan, yaitu:
  • 1. Saudara tiri (dari jalur ayah maupun ibu).
  • 2. Besan (dari jalur anak laki-laki dan anak perempuan).
  • 3. Nenek tiri (dari jalur ayah maupun ibu).
  • 4. Cucu tiri (dari jalur anak laki-laki dan anak perempuan).
  • 5. Menantu tiri (mantan istri anak tiri).

27. Nikah Senasab
Ada sebuah permasalahan, yaitu tentang seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuannya bagaimana? Jawaban dari permasalahn tersebut adalah jika ada seorang pria yang menikahi wanita yang tidak diketahui
nasabnya. Kemudian datanglah sang ayah dari pria tersebut dan mengatakan bahwa sesungguhnya perempuan yang dinikahi pria tersebut adalah anaknya. Akan tetapi si pria tidak membenarkan perkataan sang ayah. Maka status si pria dan wanita tersebut menjadi saudara yang disebabkan oleh pengakuan sang ayah. Dan status pernikahan di antara keduanya tidaklah menjadi batal, karena si pria tidak membenarkan pengakuan dari sang ayah. Akan tetapi ketika si pria tersebut menceraikan perempuan itu (3 tolakan), maka perempuan tersebut tidak lagi halal bagi pria itu meski perempuan sudah dinikahi oleh orang lain (ada muhallil). (Nihayatul Muhtaj VI/272).

28. Nikah Senasab Tidak Membatalkan Wudhu
Apabila seorang pria menikahi perempuan yang tidak diketahui nasabnya dan datanglah ayah dari pria tersebut kemudian berkata bahwa sesungguhnya perempuan itu adalah anak perempuannya, akan tetapi sang pria tidak membenarkan atas apa yang telah diucapkan ayahnya tersebut. Maka status mereka menjadi senasab, sehingga pria itu menjadi saudara laki-laki wanita tersebut. Dan status pernikahan mereka tetap sah (tidak batal), sehingga pada saat pria tersebut menyentuh istrinya tidaklah membatalkan wudhunya. (Nihayatul Muhtaj: VI/212).

29. Penolakan Lelaki Terhadap Istri
Seseorang lelaki berhak memilih dan mengajukan keberatan (penolakan) ke Pengadilan Agama (qadli) terhadap seseorang istri yang tidak mampu menunaikan tugas dan kewajiban sebagai ibu rumah tangga, karena (salah satu) sebab lima persoalan yaitu:
  • 1. Sebab sakit gila (al junun)
  • 2. Sebab sakit lepra (al Juzam)
  • 3. Sebab sakit belang (al Barash)
  • 4. Sebab buntu daging farji ditempat jimak (al Rataqi)
  • 5. Sebab buntu balun (tulang) di dalam farji (al Qarani). (Tarib ala Hamisy Bajuri: II/116).

30. Penolakan Wanita Terhadap Suami
Demikian juga seseorang perempuan dapat memilih dan mengajukan fasakh (rafa’) ke Pengadilan Agama (qodli) terhadap suami yang sudah tidak mampu lagi menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami, karena (salah satu) sebab lima persoalan yaitu:
  • 1. Sebab Jununu (sakit gila)
  • 2. Sebab Juzamu (sakit lepra)
  • 3. Sebab Barash (sakit belang)
  • 4. Sebab Jabbu (zakar putus)
  • 5. Sebab Unnatu (sakit impoten).

Pengaduan memilih fasakh dan rafa’ kepada qadli agama. hendaklah berdasarkan bukti (bayyinah) yang kuat (Hamisy Bajuri: II/117-118).

31. Kufu
Keberhasilan seseorang dalam membangun rumah tangga sakinah yang diikat dengan rasa kasih sayang, salah satunya, harus memilih pasangan yang sepadan atau setingkat. Pasangan tersebut dalam bahasa arab disebut “al kufu” atau dalam bahasa jawa disebut “kufu”. Dalam soal kufu ini dijelaskan sebagai berikut:
  • 1. Lelaki hamba sahaya bukan sepadan wanita merdeka,
  • 2. Lelaki dimerdekakan bukan sepadan wanita asli merdeka,
  • 3. Lelaki bangsa ajam bukan sepadan wanita bangsa arab,
  • 4. lelaki bangsa arab bukan sepadan wanita bangsa quraisy,
  • 5. Lelaki baru masuk islam sepadan wanita lama masuk islam,
  • 6. Lelaki buruk rupawan bukan sepadan wanita usia muda,
  • 7. Lelaki usia lanjut bukan sepadan wanita usia muda,
  • 8. Lelaki bodoh bukan sepadan wanita pintar (alim),
  • 9. Lelaki fasiq bukan sepadan wanita shalih (adil),
  • 10. Lelaki cacat tubuh bukan sepadan wanita selamat,
  • 11. Lelaki hamba penuh bukan sepadan wanita hamba separuh,
  • 12. Lelaki yang ayahnya ajam bukan sepadan wanita ayahnya Arab,
  • 13. Lelaki miskin bukan sepadan wanita kaya,
  • 14. Lelaki orang bodoh bukan sepadan wanita anak orang alim,
  • 15. Lelaki kerja buruh kasar bukan sepadan wanita kerja buruh halus.

32. Lelaki Fasiq Sekufu Wanita Fasiq
Kalau antara lelaki dan wanita, sama-sama fasiq atau sama-sama bid'ah, maka tidak ada halangan untuk menikah, karena keduanya adalah sepadan.

Adapun lelaki yang berkedudukan luhur atau mulia karena pekerjaan, maka tak ada halangan menikah wanita yang berkedudukannya rendah, misalnya lelaki bangsa Arab menikah wanita bangsa ajam. Orang alim menikah wanita bodoh. Lelaki adil menikah wanita fasiq dan lain-lain. Karena yang dipentingkan hendaklah jangan sampai terjadi wanita yang akan dinikah itu tingkatannya lebih mulia dari lelaki calon suaminya.

33. Maskawin
Maskawin atau Mahar ialah pemberian sesuatu barang atau jasa dari pengantin lelaki kepada pengantin wanita. Sesuatu barang atau jasa diterimakan ketika akan akad nikah atau kadang sesudahnya. Hal ini terserah persetujuan antara keduanya.

Maskawin atau Mahar terbagi menjadi dua macam:
  • 1. Mahar Musamma ialah, nilai maskawin sesuai yang dikehendaki (disebut) oleh wanita calon istrinya. Yaitu nilai maskawin yang tidak mengikuti kebiasaan orang tua dan keluarga wanita calon pengantin putri.
  • 2. Mahar Mitsli ialah, nilai maskawin orang tua dan keluarga calon pengantin putri.

34. Penyebutan Maskawin Dalam Nikah
Menurut fatwa ulama: disunahkan menyebut jumlah atau nilai maskawin di dalam akad nikah. Dan bila tidak menyebut jumlah atau nilai maskawin di dalam akad nikah, maka akad nikahnya sah juga. (Hamisy Al Bajuri :II/119-120).

Tetapi yang lebih utama menyebut jumlah atau nilai maskawin di dalam akad nikah. Apabila seorang wanita berkata kepada walinya, “Aku kau nikahkan kepada Umar dengan maskawin apa saja dia kehendaki asal pantas!”. Maka sah nikahnya, sekalipun tidak menyebut jumlahnya maskawin. Tetapi ketika wanita yang sah nikah itu disetubuhi, maka tetap lelaki wajib membayar mahar mitsil.

Ketika wanita itu ternyata tidak ada orang tua yang diikuti untuk menentukan nilai dan jumlah maskawin, maka ketentuannya menganut kebiasaan orang kampung setempat.

35. Maskawin al-Qur’an
Dan boleh juga menikah seorang wanita atas manfaat maskawin yang telah diketahui seperti maskawin untuk bersedia mengajar al-Qur'an kepada wanita calon istri yang akan dinikahinya. (Hamisy Al Bajuri: II/123).

36. Gugurnya Maskawin
Dan gugurlah separuh maskawin karena sebab ditalak sebelum bersetubuh. Adapun talak setelah bersetubuh sekalipun hanya satu kali, maka tetap wajib memberikan maskawin seluruhnya.

Apabila mati salah satunya (suami/istri) sebelum diserah terimakan sejumlah maskawin dan juga sebelum bersetubuh, maka wajib membayar mahal mitsil. Demikian menurut fatwa ulama yang Adhar. (Hamisy Al Bajuri: II/123).

37. Nilai Kecukupan Maskawin
Suatu barang dapat dijadikan (memenuhi) sebagai maskawin itu dimana suatu barang tersebut ada nilainya. Namun disunahkan maskawin itu tidak kurang dari nilai uang 10 dirham, dan tidak lebih atas nilai uang 500 dirham.

38. Nilai Dirham
Setiap 10 dirham sama dengan 30 uang. Setiap 500 dirham sama dengan 60 real lebih 3 ½ real, yaitu sama dengan 125 rupiah dan setiap rupiah 12 uang.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam