Dua Alasan Ilmu itu Lebih Pokok dari Ibadah



馃摎 Buku Mendaki Tanjakan Ilmu Dan Tobat


Ada dua alasan yang menjadikan ilmu itu pokok dan harus didahulukan daripada ibadah.

Pertama, agar ibadahmu berhasil dan selamat, kamu wajib mengenal dulu siapa yang harus disembah, setelah itu baru menyembah-Nya. Bagaimana jadinya jika kamu menyembah sesuatu yang belum kamu kenal asma dan sifat-sifat Zat-Nya? Atau, sifat yang wajib dan yang mustahil bagiNya? Sebab, bisa jadi kamu mengiktikadkan sesuatu bagi-Nya atau bagi sifat-Nya yang—kita berlindung kepada Allah— berlawanan dengan yang haq. Jika demikian, ibadahmu pun berhamburan layaknya debu ditiup angin.

Kami sudah terangkan bahaya besar salah iktikad ketika menjelaskan apa arti suul kh芒timah dalam bab Al-Khauf kitab Ihy芒 ‘Ul没m Al-D卯n tentang Al-Khauf.

-------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Ada hikayat tentang dua orang. Yang seorang berilmu, tetapi tidak beribadah; yang lain beribadah, tetapi tidak berilmu. Mereka dicoba oleh seseorang, sampai mana jahatnya orang berilmu tapi tidak beribadah, dan jahatnya orang beribadah tanpa ilmu. Orang itu mendatangi keduanya dengan pakaian yang bagus.

Kepada orang yang beribadah, dia berkata, “Hai, hambaku! Aku sudah ampuni semua dosamu. Maka, mulai sekarang kau tidak usah ibadah lagi.”

Jawab orang yang diajak bicara, “Oh, itulah yang kuharapkan dari-Mu, wahai Tuhanku.” Dikiranya orang yang datang menguji itu Tuhannya. Dia tidak tahu Tuhan, karena tidak mengetahui sifat- sifat-Nya.

Selanjutnya, orang berpakaian hebat itu datang kepada orang yang berilmu. Yang didatangi sedang minum arak. Penguji itu berkata, “Hai, kamu. Semua dosamu akan diampuni.”

Namun, orang yang ditegur menghardik, “Kurang ajar kau!” Lalu dia cabut pedangnya. “Kau kira aku tidak tahu Tuhan?!” Demikianlah, orang berilmu itu tidak mudah tertipu setan. Sebaliknya, orang yang tidak berilmu sangat mudah tertipu.

Mari kita kupas kitab Ihy芒 ‘Ul没m Al-D卯n, supaya tahu apa yang ditakutkan dari suul kh芒timah. Kita ambil ringkasnya saja.

Sebagian besar orang saleh sangat takut suul kh芒timah. Maka, ketahuilah sekarang, semoga Allah memberimu hidayah, bahwa suul kh芒timah itu ada dua tingkat. Masing-masing besar bahayanya.

Yang pertama, yang paling bahaya, adalah hati kita di waktu sakaratul maut, atau di waktu payah menderita sakit mendekati maut, dan saat sudah zhahir huru-haranya. Dalam kondisi ini, datang ke dalam hati keragu-raguan, atau sama sekali ketidakpercayaan sama sekali kepada Tuhan. Maka, nyawanya dicabut dalam keadaan tidak beriman, tidak percaya kepada Allah Swt. atau dikuasai oleh keragu-raguan. Jadi yang menguasai hatinya adalah keruwetan kufur, yang menjadi tabir penghalang hatinya antara dia dengan Allah Swt. selama-lamanya. Naudzubillah.

Hati yang seperti itu menyebabkan dia terjatuh dan jauh dari Allah Swt. selama-lamanya. Dia mendapat azab yang kekal, terus-bmenerus: Yaitu azab kekufuran.

Tingkat yang kedua—bahayanya sama-sama besar tak terkira meski di bawah tingkat yang pertama—adalah hatinya dikuasai rasa cinta terhadap soal-soal dunia yang tidak ada hubungannya dengan akhirat. Ada keinginan duniawi yang selalu terbayang di hatinya. Misalnya, dia membangun rumah dan hatinya masygul oleh hal itu saja. Sehingga saat sakaratul maut, terbayang saja rumah yang belum selesai itu. Dia tenggelam di dalamnya. Hatinya penuh, sampai tidak ada tempat untuk yang lain. Bila kebetulan nyawanya dicabut dalam keadaan demikian maka tidak ada tempat bagi Allah Swt. di hatinya.

Jadi, hatinya tenggelam dalam keadaan demikian. Kepalanya terjungkir balik. Kepalanya ke dunia dan kakinya ke Allah Swt. Mukanya hanya melihat dunia, sedangkan punggungnya diberikan kepada Allah Swt.

Kalau muka sudah berpaling dari Allah Swt., datanglah tabir itu. Kalau tabir penghalang antara dia dengan Allah Swt. sudah turun, artinya, tibalah azab itu. Siksa pasti ada, tidak dapat tiada. Api yang menyala-nyala itu, yang disebutkan dalam Al-Quran, hanya memakan orang-orang yang dihijab itu.

Adapun orang-orang Mukmin, hatinya tidak tertambat pada hubbud-dunya (cinta pada dunia). Mereka menghadap Allah dengan hati yang sehat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah Swt.:

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (sehat). (QS Al-Syu’ar芒: 88-89)

Bersih (sehat) artinya tidak dihinggapi penyakit hubbud-dunya (cinta pada dunia).

Kepada orang itu, api neraka berkata, “Engkau boleh lewat, wahai orang Mukmin. Sebab, nur yang ada di hatimu itu memadamkan nyala apiku.” Ini diriwayatkan dalam hadis Ya‘la bin Munabbih.

Kalau nyawanya dicabut dalam keadaan tertarik hubbuddunya, hatinya dikuasai cinta dunia, ini sangat berbahaya. Sebab, manusia itu matinya tergantung bagaimana hidupnya. Begitu hidupnya, begitu pula matinya. Juga begitu matinya, begitu pula bangkitnya dari kubur. Jadi, keadaannya berantai.

Apabila kamu bertanya, “Apa yang menyebabkan suul kh芒timah itu?” Jawabnya, “Ketahuilah, banyak sebab-sebabnya. Tidak bisa diperinci satu per satu. Tetapi bisa ditunjukkan pokok-pokoknya. Ada kalanya karena mati dalam keragu-raguan dan dalam keadaan terhijab.”

Sebab-sebabnya bisa disingkat menjadi dua.

Yang Pertama, karena salah iktikad.

Seseorang bisa suul kh芒timah kendati dia wara‘, zuhud, dan saleh. Mengapa sampai demikian? Karena, ada bid‘ah di dalam iktikadnya yang bertentangan dengan iktikad yang ditekadkan Rasulullah Saw., sahabat, dan tabiin.

Orang itu memang rajin shalat. Rajin membaca Al-Quran. Sampai kata Rasulullah Saw. (tentang Khawarij itu), “Mereka membaca Al-Quran dan shalat lebih rajin daripada kamu (para sahabat).” Sampai jidat mereka ada hitamnya. Tetapi, Al-Quran yang mereka baca tidak sampai ke lubuk hatinya. Shalatnya tidak diterima oleh Allah. (Dalam hadis lain disebutkan bahwa mereka membunuh orang Islam dan membiarkan penyembah berhala. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah melesat dari busurnya … [HR Muslim]).

Iktikad bid‘ah dalam hati sangat berbahaya. Seperti mengiktikadkan percaya jika Allah itu seperti makhluk. Misalnya, Allah betul-betul duduk di Arasy, padahal Allah itu laysa ka mitslihi syay’un—tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.

Kelak, ketika seseorang sakaratul maut dan hijabnya terbuka, baru dia menyadari urusan yang sebenarnya. Jika kebenaran itu tidak sama dengan apa yang dia iktikadkan dalam hatinya, dia akan bingung dan akhirnya ingkar kepada Allah. Dalam keadaan begitu, matinya dalam keadaan suul kh芒timah, meskipun amal-amalnya baik. Naudzubillah.

Maka, yang paling penting ialah iktikad.

Tiap-tiap orang yang salah iktikad karena pemiki rannya sendiri, atau karena ikut-ikutan orang lain, akan jatuh dalam bahaya ini. Kesalehan dan kezuhudan, serta tingkah laku yang baik, tidak mampu menolak bahaya tersebut. Tidak ada yang bisa menyelamatkan dirinya melainkan iktikad yang benar. Karena alasan ini, leluhur kita sangat memperhatikan iktikad yang baik.

Orang yang pikirannya sederhana justru lebih selamat. Seder hana, tidak berpikir terlalu mendalam. Meski orang itu bisa dikatakan kurang ilmunya, tetapi dia lebih selamat daripada orang yang berlagak punya ilmu, tetapi dasar iktikadnya tidak benar.

Orang sederhana itu adalah yang beriman kepada Allah Swt., kepada rasul-Nya, dan pada akhirat. Dia mengimani pokok-pokok keimanan atau dalam garis besarnya saja. Orang seperti inilah yang malah selamat.

Kalau tidak punya waktu untuk memperdalam pengetahuan tauhid, usahakan dan perjuangkan agar tetap meyakini pokok-pokok keimanan. Seperti ini sudah selamat.

Cukup katakan dan yakinkan dalam hati, “Ya, saya beriman kepada Allah Swt. Saya berserah diri kepada Allah Swt. dan beriman pada akhirat, dan sebagainya. Dalam garis besarnya saja.” Lalu beribadah, mencari rezeki yang halal, dan mencari pengetahuan yang berguna bagi masyarakat. Bagi orang-orang yang tidak sempat belajar mendalam, cara ini lebih selamat.

Tapi, mengimani garis besarnya saja juga harus kuat. Seperti petani-petani yang jauh dari kota, atau seperti orang awam yang tidak berkecimpung di dalam perdebatan tak menentu.

Soal perdebatan ini, Rasulullah Saw. sering mem peringatkan. Pada suatu waktu, ada orang-orang yang berdebat tentang takdir sampai berlarut-larut. Melihat ini, Rasulullah Saw. sampai merah padam wajahnya. Lalu beliau bersabda, “Sesatnya orang-orang yang dulu itu karena suka berdebat, antara lain tentang qadha dan qadar.”

Beliau juga bersabda:

“Orang-orang yang pada mulanya benar, tetapi kemudian sesat, itu dimulai karena suka berbantah-bantahan.”

Kadang-kadang berbantah-bantahan itu hanya mempe rebutkan hal-hal yang tak ada gunanya. Sabda Rasulullah Saw.:

“Sebagian besar dari penghuni surga itu adalah orang-orang yang pikirannya sederhana saja.”

Tidak perlu waswas. Dalam hal iktikad, cukup garis besarnya saja. Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitab Syu‘bal 脦m芒n. Karena mudaratnya berbantah-bantahan itulah, leluhur kita melarang orang ngobrol tak keruan. Jangan suka mengutak-atik soal orang lain. Urus dan kaji saja soal bagaimana supaya ibadahnya sah. Supaya kamu bisa mencari rezeki yang halal.

Kamu boleh saja menjadi tukang sepatu, jadi petani, atau jadi dokter, asalkan jangan mengutak-atik sesuatu kalau bukan ahlinya. Leluhur kita suka memberi nasihat demikian. Karena, kasihan orang yang suka memperdebatkan hal yang bukan urusannya. Gunanya belum tentu, tetapi bahayanya sudah tampak.

Garis besar keimanan itu adalah seperti begini: Apa yang ada di dalam Al-Quran, saya imani. Kalau ada ayat-ayat yang saya tidak mengerti, saya serahkan kepada Allah Swt. Apa yang ada dalam hadis saya imani. Bagi orang-orang awam yang bukan ahli, garis besarnya cukup demikian. Pokoknya adalah jangan sampai kita menyekutukan Tuhan dengan apa pun. Pegang saja “laysa ka mitslihi syay’un” (Allah tak serupa dengan apa pun juga).

Apa yang terlintas di pikiran itu sebetulnya hanya buatan hati. Tempo-tempo timbul waswas akibat ulah setan. Maka, tolaklah itu. Misalnya muncul pertanyaan, “Bagaimana rupa Allah Swt. itu?” Jawab saja, “Wall芒hu a’lam.” Allah sendiri yang tahu. Tentang diri kita sendiri saja kita tidak tahu, apalagi tentang Zat Allah Swt.

Leluhur melarang kita main takwil-takwilan yang diselingi ayat-ayat Al-Quran. Apalagi alasan bertakwil itu, katanya, agar urusan-urusan yang dibahas bisa dimengerti akal sehat. Akhirnya dicocokkan dengan undang-undang alam. Ilmu pengetahuan alam. Padahal, teori-teori ilmu pengetahuan itu berubah.

Dulu ada orang yang suka mencocokkan ayat-ayat Al-Quran dengan teori fisika dan teori-teori sejenis. Ketika teori-teori yang menjadi dasar “penafsirannya” itu berubah, tafsirannya jadi sampah. Orang itu sudah telanjur mendasarkan keyakinannya pada teori yang berubah itu. Ketika dia mati, tafsirannya dibawa mati. Ini bahaya sekali.

Karena itu, jangan mencoba-coba menafsirkan Al-Quran dengan dasar pikiran yang meraba-raba. Sebab, perlu diketahui dan diingat, ilmu pengetahuan, baik lama maupun modern, dasarnya pengalaman dan percobaan. Hanya perhitungan. Kadang spekulasi. Pada hakikatnya, mereka yang mencocokkan ayat dengan ilmu pengetahuan itu belum tahu apa hakikat elektrisitet, misalnya. Belum mengetahui hakikat ether.

Jangan sekali-kali mendasarkan iktikad pada hasil perhitungan. Cukup yakini saja pokok-pokok keimanan. Tak usah memaksakan diri ingin menyelami berbagai rahasia keimanan kalau kita bukan ahlinya.

Memang, ada orang yang mendapat ilham dari Allah Swt. dengan dibersihkan hatinya dan inkisyaf. Sebelum mati sudah inkisyaf. Pada hakikatnya, nanti, setiap orang juga inkisyaf, meskipun dia bukan wali. Tapi itu terjadi saat dia menghadapi ajal. Namun, wali pun tempo-tempo selagi hidup sudah inkisyaf. Hanya saja, para wali itu tahu adab kesopanan. Mereka diam, karena memang tidak ada bahasa yang cukup untuk menerangkannya.

Seandainya hal ini dibahas, akan banyak sekali bahayanya. Tanjakan-tanjakannya sulit. Akal lahir tidak mampu menyusun dan mengoreksi sifat dan Zat Allah Swt. Para wali mendekatinya hanya dengan rasa. Bukan dengan rasa lahir, tetapi rasa batin. Dan, rasa batin belum ada bahasanya. Hanya saja, kadang beliau- beliau itu melahirkan istilah untuk dipakai di antara beliau-beliau saja. Karena, kalau dibahas secara luas, orang awam akan mencoba mempelajarinya, lalu tersesat. Dan, inilah sebab pertama dari suul kh芒timah.

Adapun sebab kedua suul kh芒timah, adalah lemah iman. Dan, lemah iman banyak sebabnya. Sebab pertama, dan ini kebanyakan, karena pergaulan. Kalau bergaul dengan orang-orang yang imannya lemah, apalagi dengan orang yang suka mengejek, akan makin lemah iman seseorang. Bacaan-bacaan juga memengaruhi. Orang lemah iman yang membaca bacaan yang salah iktikad bisa menjadi ateis. Benar-benar kufur.

Kedua, iman menjadi lemah karena hati dikuasai hubbud-dunya. Sudah imannya lemah, dikuasai hubbud-dunya pula. Mementingkan diri sendiri dalam soal-soal keduniawian sama artinya dengan hubbud-dunya. Kalau iman lemah, cinta kepada Allah Swt. juga lemah, sementara cintanya pada dunia sangat kuat.

Kalau sudah dikuasai hubbud-dunya, dalam hatinya tidak ada lagi tempat untuk cinta kepada Allah Swt. Paling yang terlintas di hatinya hanya: Oh, cinta kepada Allah Swt., Allah Pencipta diriku. Tapi, pengakuan ini hanya hiasan di bibir batin. Inilah yang menyebabkan dia terus-menerus melampiaskan syahwatnya, sehingga hatinya menghitam dan membatu.

Kegelapan dosa bertumpuk-tumpuk dalam hatinya. Makin lama iman makin padam, akhirnya hilang sama sekali. Jadilah dia kufur. Dan, ini sudah menjadi tabiat.

Firman Allah Swt.:

Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir maka hati mereka dikunci, sehingga mereka tidak dapat mengerti. (QS Al-Mun芒fiq没n: 3)

Dosa mereka adalah kotoran yang tidak bisa dibersihkan dari hatinya. Saat datang sekarat, cinta mereka pada dunia—yang berarti mementingkan diri sendiri—semakin kuat. Cinta kepada Allah semakin lemah. Mereka merasa sedih meninggalkan dunianya. Keduniawian menguasai mereka.

Setiap orang yang meninggalkan apa yang dicintainya tentu akan sedih. Termasuk orang yang sangat mencintai dunia, tentu akan sedih ketika meninggalkannya. Akan timbul pikiran, “Kenapa Allah Swt. mencabut nyawaku?” Lalu, berubah kemurnian hatinya. Dia membenci takdir Allah Swt. dan merutuk, “Kenapa Allah mematikan aku dan tidak memanjangkan umurku?”

Kalau matinya dalam keadaan demikian, dia suul kh芒timah. Naudzubillah. Demikianlah keterangan singkat dari Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihy芒.

---------------------------

Selanjutnya, kamu wajib mengetahui kewajiban syariat yang harus kamu kerjakan sebagaimana diperintahkan Allah Swt., supaya kamu mampu memenuhinya sebanyak mungkin. Kamu juga wajib mengetahui apa yang harus kamu tinggalkan, yaitu larangan-larangan Allah Swt., agar kamu bisa menjauhi sifat-sifat demikian.

-------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Perkara yang harus kita kerjakan misalnya shalat, puasa, dan zakat. Sedangkan perkara yang harus kita tinggalkan adalah segala bentuk maksiat dan sifat tercela, seperti riya, ujub, dan sebagainya. Sifat-sifat tercela itu nanti akan diterangkan dalam kitab ini.

-----------------------------

Jika kamu tidak mengetahui semua itu, mana mungkin kamu bisa menjalankan ketaatan? Apakah taat itu? Bagaimana cara mengerjakannya? Bagaimana mungkin kamu bisa menjauhi maksiat, yang kamu sendiri tidak tahu jika itu maksiat yang dapat menjerumuskanmu ke dalam bahaya? Jika seseorang tidak tahu berdusta itu haram, mana mungkin dia bisa meninggalkannya?

Kita harus belajar tentang apa yang wajib dan apa yang haram. Supaya kita tidak jatuh dalam kedurhakaan. Jadi, kita harus belajar. Harus mengaji tentang ibadah syar’i, seperti bersuci, mandi, berwudhu, shalat, puasa, dan sebagainya. Inilah tugas-tugas keagamaan yang hukumnya fardhu ‘ain. Tiap-tiap Muslim wajib mengaji ilmu fiqih, hukum-hukum dan syarat-syaratnya, agar dapat menjalankannya dengan sebenar-benarnya.

Terkadang, kamu terus-menerus melakukan sesuatu yang kamu kira baik. Kamu lakukan itu bertahun-tahun lamanya. Padahal, sesuatu itu sebenarnya merusak. Dan kamu terus-menerus melakukannya, sehingga merusak kesucianmu, shalatmu, dan ibadah-ibadahmu.

-------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Suatu kali, di suatu tempat, seseorang ada di masjid, tetapi tidak tahu bagaimana caranya sujud. Dia tak tahu bagaimana caranya memosisikan tangan. Sebenarnya, sudah baik hatinya mau shalat. Sayangnya, dia belum belajar bagaimana caranya shalat. Akhirnya, shalatnya asal-asalan. Tidak cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah Saw. Tapi, dia sendiri tidak merasa salah.

Karena itulah, fardhu ‘ain harus dikaji. Dilengkapi sunnah- sunnah; sunnah ‘ain yang biasa dikerjakan tiap orang. Terkadang, ada sesuatu yang sulit, yang belum kamu ketahui. Misalnya, ketika bepergian dengan kereta api. Bagaimana shalatnya? Ini sulit bagimu, karena kamu belum pernah mengaji. Sementara waktu itu, tidak ada seorang ulama pun yang bisa menjadi tempatmu bertanya.

Oleh sebab itu, kita harus mengaji tentang banyak hal yang berkaitan dengan ibadah fardhu. Misalnya, bagaimana kita shalat ketika berada dalam kapal? Atau, bagaimana shalat saat sedang naik haji? Kalau kita di kapal haji, banyak ulama yang bisa kita tanya. Tapi, bagaimana kalau kita sedang berada di dalam kereta api, di mana saat itu tidak ada ulama yang bisa kita tanya?

Oleh sebab itu, sekali lagi perlu ditekankan, mengaji itu sangat penting.

------------------------------

Demikian halnya ibadah batin. Ini pun harus kita kaji. Sebagaimana ada ibadah lahir, ada juga ibadah batin. Bidangnya ialah ilmu sirr (tasawuf). Shalat, puasa, naik haji, mengeluarkan zakat; ini semua ibadah lahir. Sedangkan ibadah batin, di antaranya, tidak boleh takabur, ujub, atau thulul amal (panjang angan). Lawan takabur ialah tawaduk; ujub lawannya dzikrul minnah; thulul amal lawannya qisharul amal (pendek angan), dan banyak ibadah batin lainnya. Hati kita harus diisi sifat-sifat baik. Dan, itu semua harus kita pelajari.

------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Kalau kita tidak mengaji, atau tidak tahu, kadang-kadang kita menjalankan ibadah lahir saja, sedangkan hati kita tidak melakukan ibadah batin. Padahal, seharusnya keduanya dilakukan bersamaan agar tidak pincang.

Ibadah batin ialah amal-amal yang dilakukan hati. Kamu harus mengetahui dan mengajinya. Saya rasa cukup dengan mengaji kitab Minh芒j Al-‘脗bid卯n ini. Untuk ibadah lahir, saya rasa cukup mengaji kitab Bid芒yatul Hid芒yah atau Fathul Qar卯b.

Ibadah batin itu, antara lain, tawakkul [dalam bahasa kita tawakal]. Tawakkul ialah percaya kepada Allah Swt. dalam segala urusan yang kita khawatirkan. Kita serahkan sepenuhnya kekhawatiran kita kepada Allah Swt.

Manusia tidak luput dari kekhawatiran. Misalnya, ketika berusaha mencari rezeki yang halal, dia khawatir rugi. Atau, khawatir sawahnya terserang hama yang tak diduga-duga. Sebaiknya kita serahkan saja kekhawatiran itu kepada Allah Swt. Nanti, panjang lebar akan diterangkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Minh芒j Al-‘脗bid卯n, dan lainnya, yang akan saya kutip sekadarnya. Insya Allah.

Kita harus ridha menerima apa yang ditakdirkan Allah Swt. Kita jangan menentang. Bagaimana caranya, nanti akan diterangkan.

Sabar, tahan ujian, tahan menderita, tahan susah payah dalam upaya menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. adalah sifat orang yang kuat batinnya. Arti sabar itu adalah tahan uji batin.

Tobat. Bagaimana caranya tobat? Nanti, insya Allah, akan diterangkan dalam kitab Minh芒j Al-‘脗bid卯n, diambil juga dari kitab- kitab lainnya yang sebagian besar karangan Imam Ghazali juga.

Ikhlas. Meski ikhlas sudah masuk dalam bahasa kita, perlu juga diterangkan arti ikhlas yang sebenar-benarnya, yaitu meninggalkan riya dalam amal, dan lain-lainnya. Semua akan diterangkan, nanti.

Kamu pun harus tahu apa saja pekerjaan hati yang dilarang. Hati kita suka melakukan apa-apa yang dilarang Allah Swt. Kita harus tahu larangan-larangan batin itu. Sebab kalau kita tidak menjauhi larangan-larangan batin dan tidak menjalankan kewajiban-kewajiban batin, apa artinya beragama Islam? Hati akan kosong. Kalau hati jahat atau busuk berarti kosong. Islam bertugas membersihkan hati. Kalau hati kita tidak bersih dan tidak saleh, apa artinya beragama Islam? Hanya sekadar disunat dan membaca syahadat waktu mau nikah. Shalat pun bercampur riya dan ujub. Adakah artinya itu?

Tidak ada artinya sama sekali!

Islam itu harus melakukan amal-amal batin dan menjauhi larangan-larangan batin. Contoh larangan batin, seperti telah disebutkan tadi, ialah tidak rela terhadap takdir Allah Swt.

Saya pernah membaca suatu cerita dalam bahasa Inggris. Ada orang yang memaki-maki Tuhan karena kematian istri dan anak-anaknya. Keterlaluan, orang itu tidak rela menerima takdir Allah Swt. Perbuatannya itu dosa besar.

Amal (angan-angan/angan kosong), artinya lupa kita akan mati. Rasanya akan hidup terus.

Firman Allah Swt. dalam Surah Al-Tal芒q 2-3:

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mem bukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.

Banyak lagi ayat-ayat dan hadis-hadis seperti itu, seperti firman Allah Swt. yang memerintahkan agar kita shalat dan puasa.

------------------------------

Mengapa kamu hanya mau menerima perintah shalat dan puasa, tetapi meninggalkan perintah-perintah fardhu seperti tawakal, sabar, dan sebagainya? Padahal, yang memerintahkan itu satu, Allah Swt. Kitabnya kitab itu juga, Al-Quran.

Kamu malah melupakan yang fardhu-fardhu itu. Kamu tidak tahu apa saja yang fardhu, karena terpengaruh oleh anjuran orang-orang yang terpikat dunia. Orang-orang yang pandangannya terbalik, yang memandang baik perbuatan buruk dan memandang buruk perbuatan baik. Kamu terpengaruh oleh anjuran orang-orang yang telah meremehkan dan meninggalkan ilmu, yang manfaatnya dinamakan Allah dalam Al-Quran dengan nama nur, hikmah, dan huda. Kamu ikuti orang-orang yang sibuk mengejar ilmu yang hanya menimbulkan haram—seperti ilmu berbantah- bantahan—sebagai alat untuk mengejar kesenangan duniawi yang akhirnya pasti hancur.

Wahai orang-orang yang ingin petunjuk dan kebenaran, apakah kamu tidak takut masuk golongan orang yang merusak kewajiban-kewajiban tersebut? Hanya memen tingkan shalat sunnah dan puasa sunnah, tetapi tidak menghiraukan kewajiban-kewajiban tawakal dan sebagainya? Jika demikian, pekerjaanmu tidak ada apa-apanya! Bahkan, terkadang, kamu tenggelam dalam beberapa macam maksiat, seperti riya, takabur, dan sebagainya, yang semuanya itu menyebabkan kamu masuk neraka.

Dan, tidakkah kamu takut amalmu akan sia-sia walaupun kamu sudah berhati-hati sekali? Itu karena apa-apa yang mubah (yang boleh) kamu tinggalkan dengan maksud mendekatkan keridhaan Allah Swt., tetapi hasilnya tidak tercapai disebabkan kamu meninggalkan kewajiban tersebut (tawakal dan sebagainya).

Yang lebih parah lagi dari keburukan meninggalkan kewajiban-kewajiban dan mubah seperti yang telah disebutkan, ialah jika kamu masuk perangkap angan-angan dan lamunan yang membuatmu ingin hidup kekal, berkumpul dan berfoya-foya dengan duniawi; yang inti angan-angan itu ialah maksiat. Kamu malah menyangka angan-angan itu sebagai niat baik, dikarenakan kamu tidak mengetahui perbedaan antara “niat baik” dan “angan-angan” itu, serta kemiripan antara keduanya.

Demikian juga kepanikan dan kegelisahan, kamu sangka sebagai rendah hati dan ikhlas berdoa kepada Allah Swt. Riya dan sum’ah dipandang terpuji atau disangka sebagai ajakan kebaikan kepada manusia. Maksiat dianggap taat, disangka akan mendatangkan banyak pahala. Padahal, akibatnya hanya lah siksa.

Jika demikian, berarti kamu berada dalam kekeliruan besar, dan kekosongan pikiran (ghaflah) yang buruk. Setengah ulama mengatakan, ghaflah timbul karena kurang ber hati-hati dan kurang kesadaran.

Maka ghur没r (ketertipuan) dan ghaflah adalah musibah yang keji bagi yang beramal tanpa ilmu.

-------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Ada empat golongan yang tertipu oleh dirinya sendiri. Masing-masing golongan bercabang-cabang menjadi beberapa kelompok. Imam Ghazali, dalam kitab Ihy芒, mengupas hal ini panjang lebar. Di sini akan diterangkan sedikit saja, dengan ringkas.

Bagian pertama ialah AHLI ILMU.

Yang kena tipu dari mereka ada beberapa macam, di antaranya: Yang hanya mementingkan ilmu lahir dan akal sampai mendalam sekali, tetapi melupakan ilmu batin dan tidak memperhatikan pemeliharaan batin.

Mereka merasa bangga dengan ilmu lahir dan ilmu akal itu karena menyangka bahwa mereka sudah mendapatkan kedudukan dan pangkat di sisi Allah Swt. Mereka menyangka pula bahwa mereka telah sampai pada alam yang membebaskan mereka dari siksa Allah Swt. Bahkan, mereka menyangka akan dapat memberi syafaat dan tidak akan dituntut dosanya.

Mereka tertipu oleh diri sendiri. Karena jika mereka insaf, tentu mereka menyadari bahwa ilmu itu ada dua macam. Pertama, ilmu muamalah. Dan kedua, ilmu makrifat.

Ilmu muamalah itu seperti mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Mengetahui mana akhlak yang baik dan mana yang buruk. Mengetahui pula cara-cara mengobati yang buruk atau menjauhinya.

Mengetahui semua itu tidak akan ada harganya jika tidak disertai maksud untuk dilaksanakan atau diamalkan.

Apa faedahnya benar-benar mengetahui ilmu ten tang cara beribadah, tetapi orang bersangkutan tidak me ngerjakannya? Tahu ilmu dan cara menjauhi maksiat, tetapi tidak menjauhinya? Pandai ilmu akhlak dan tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi kelakuannya bertolak belakang?

Allah Swt. berfirman:

Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu). (QS Al- Syams: 9)

Dan, tidak berfirman:

Beruntunglah orang-orang yang belajar cara-caranya membersihkan jiwa.

Dalam hal ini, setan membujuk orang agar jangan tertarik ayat ini dengan berkata, “Kamu jangan keliru. Maksudmu itu ingin dekat kepada Tuhan dan ingin dapat ganjaran. Semua itu akan tercapai dengan ilmu. Ingatlah sabda Nabi dalam beberapa hadis, yang menerangkan dengan tegas bahwa keagungan seseorang berilmu itu sangat besar.”

Jika orang itu lemah, kurang pikiran, gampang ter bujuk, dia akan membenarkan apa saja yang dikemukakan setan; dan tenteramlah hatinya dengan hanya mempunyai ilmu, sehingga melupakan amal. Demikianlah ghur没r.

Namun, orang yang cerdik dan waspada, akan menangkis bujukan setan itu. Dia akan berkata, “Wahai setan, kau hanya mengemukakan hadis-hadis yang menerangkan keagungan berilmu, tetapi tidak mengingatkan kepadaku hadis yang menerangkan keburukan-keburukan orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya; yang sama derajatnya dengan anjing dan himar. Dan, kau tidak mengingatkan kepadaku hadis yang berbunyi:

‘Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah amalnya, bertambah jauhlah dia dari Allah.’

Dan banyak lagi hadis-hadis yang seperti ini.”

Mereka yang terkena ghur没r itu hanya memperelok lahirnya, tetapi melupakan batin. Sedangkan Nabi Muhammad Saw. bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak memandang rupa dan hartamu, tetapi memandang hati dan amalmu.”

Mereka hanya menyiapkan amal lahir, tetapi tidak memelihara hati. Padahal, hati itu adalah yang pokok. Seseorang tidak akan selamat kecuali menghadap Allah dengan hati yang mulus.

*****

Golongan Kedua yang tertipu oleh dirinya adalah AHLI IBADAH dan AHLI AMAL. Ini pun banyak sekali ragamnya. Di antaranya adalah: Golongan yang hanya mementingkan fadhilah dan sunnah, tetapi meremehkan fardhu. Kadang mereka tenggelam dalam upaya mengejar fadhilah dan sunnah hingga menimbulkan pertentangan berlarut-larut.

Misalnya orang yang waswas dalam berwudhu. Mereka sangat keterlaluan dan berhati-hati sekali dalam memakai air, karena ingin yang sempurna sekali. Akibatnya, tidak tenteram hatinya ketika menggunakan air yang kesuciannya telah ditetapkan oleh fatwa syara’. Mereka mengira-kira (takdir) kemungkinan (ihtimal) adanya najis. Akhirnya, dia bersusah payah mencari air, hingga luput mengerjakan yang fardhu.

Ada lagi golongan yang waswas dalam niat shalat. Setan tidak membiarkannya mendapatkan niat yang sah. Setan terus mengacaukannya sampai dia tidak dapat berjamaah atau sampai habis waktu shalat. Bila dapat melaksanakan niat, hatinya masih juga ragu-ragu, apakah niatnya sah atau tidak.

Ada lagi yang waswas dalam mengucapkan takbir, sampai mengubah bunyinya. Kewaswasannya itu merembet ke seluruh rukun shalat, mulai dari takbir hingga salam. Hatinya selalu ragu. Mereka mengira, dengan bersusah payah dalam niat dan sebagainya, mereka mendapat kelebihan dari orang lain. Mereka menyangka pekerjaannya itu dinilai baik oleh Allah. Padahal, yang demikian itu hanyalah ghur没r semata.

Ada lagi sebagian yang waswas ketika membacakan huruf-huruf Al-F芒tihah dan bacaan-bacaan lainnya dalam shalat. Hatinya selalu tertuju, misalnya, pada tasydid. Atau, khusus tertuju pada bunyi dha dan zha, sehingga lupa memperhatikan dan menjaga syarat-syarat dan rukun lainnya. Apalagi memikirkan makna bacaan atau hikmah-hikmah dan asrar-nya shalat. Ini pun suatu ghur没r. Karena, yang diperintahkan dalam bacaan itu ialah bunyi-bunyi huruf sebagaimana yang dipakai dalam percakapan bahasa Arab. Tidak diberat-beratkan atau dilebih-lebihkan.

*****

Golongan Ketiga yang terkena ghur没r adalah AHLI TASAWUF. Terutama ahli-ahli tasawuf zaman sekarang, kecuali yang dipelihara Allah.

Di antaranya ialah yang mengaku telah memiliki ilmu makrifat dan dapat melihat Tuhan dengan mata hati. Juga mengaku telah melalui beberapa tingkatan, ahwal, dan berbagai istilah lain dalam ilmu tasawuf. Mereka mengaku sudah dekat dengan Allah. Padahal mereka itu hanya tahu nama, yang mereka dengar dari lafaz-lafaz yang bisa menjadi keliru dan sesat.

Mereka menyangka yang demikian itu ilmu tertinggi sejak dari awal hingga akhir umat. Mereka memandang ahli pikir, ahli tafsir, ahli hadis, dan golongan-golongan ulama dengan pandangan rendah dan menghina. Apalagi terhadap orang awam. Dalam pandangan mereka, orang awam itu seolah binatang ternak.

Karena terbujuk ghur没r itulah, petani meninggalkan sawahnya. Mereka tak mau lagi menggarap sawah. Sementara, penenun meninggalkan pula tenunannya. Mereka hanya mulazamah (menggauli) ahli tasawuf gadungan itu sepanjang hari. Mereka mendengarkan saja kalimat-kalimat yang diucapkan ahli tasawuf itu, yang tidak ada isinya sama sekali. Mereka mengulang-ulang kata-kata itu seolah mengucapkan wahyu dari langit dan rahasia- rahasia tersembunyi.

Dari lidah mereka meluncur kata-kata yang menghina ahli-ahli ibadah dan ahli ilmu. Terhadap ahli ibadah, mereka mengatakan bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan itu hanya menyebabkan payah. Terhadap ahli ilmu mereka mengatakan bahwa ilmu-ilmu para ahli itu terhijab (tertutup) dari Allah.

Selanjutnya, mereka mengaku bahwa hanya mereka lah yang telah sampai kepada Allah dan mendapatkan pangkat muqarrab卯n. Padahal, dalam pandangan Allah, mereka itu termasuk golongan fujjar (lacur) dan munafik.

Dalam pandangan orang-orang yang hatinya cerdik, mereka itu golongan orang yang otaknya miring. Dungu dan tertipu. Tidak punya ilmu sama sekali, baik soal tauhid, fiqih, atau tasawuf yang sebenarnya. Mereka sama sekali tidak mempunyai didikan hati untuk mujahadah. Tidak melakukan amal agar sampai pada keridhaan Allah. Hati mereka melupakan zikir, sehingga selalu menurutkan nafsu dan syahwat dan menerima perkataan yang sia- sia. Betapa hebatnya ghur没r yang satu ini.

Ada lagi golongan yang menghabiskan waktunya dalam mujahadah. Mereka berjuang mendidik akhlak dan membersihkan diri dari celaan. Akan tetapi, hal ini mereka lakukan terlalu mendalam. Mereka terus mencari aib diri sendiri dan mengkaji tipuan-tipuannya. Sehingga, kegiatan itu menjadi pekerjaan sehari- hari. Semua kelakuan diteliti terlalu mendalam. Yang ini aib, yang itu buruk, dan seterusnya.

Orang seperti ini menghabiskan umurnya hanya untuk meneliti aib-aib. Sama halnya dengan orang yang hanya mengingat-ingat dan menghitung-hitung bahaya-bahaya dalam menunaikan ibadah haji, hingga akhirnya tidak jadi berangkat haji.

*****

Golongan Keempat yang terkena ghur没r adalah HARTAWAN. Golongan banyak uang. Golongan ini pun banyak ragamnya. Di antaranya adalah golongan yang sangat gemar bersedekah untuk fakir miskin, asalkan diketahui orang banyak. Fakir miskin yang disukainya ialah yang suka menceritakan kebaikannya, yang suka memuji si hartawan itu.

Mereka tidak suka bersedekah diam-diam. Bersedekah di hadapan orang lain, dengan maksud memberi contoh dan mengetuk hati supaya orang lain gemar bersedekah, itu baik. Tetapi yang menjadi soal (di sini), adalah tujuan (niat) dalam hati (tujuan batin).

Ada lagi golongan yang sangat gemar membelanjakan hartanya untuk naik haji sampai beberapa kali, sementara banyak tetangganya yang kelaparan.

Ibnu Mas’ud berkata, “Nanti, pada akhir zaman, akan banyak orang pergi haji dengan mudah karena mendapat banyak rezeki dari perdagangan. Akan tetapi sekembalinya dari haji, mereka hampa dari ganjaran. Mereka tak mendapat pahala, karena tetangga yang rapat dengan rumahnya, yang sedang mendapat kesukaran dan kesusahan, tidak dipedulikannya. Ditanya pun tidak. Padahal, kedudukan hukumnya: Menolong kesusahan tetangga dekat adalah wajib, sedang naik haji kedua kali dan seterusnya sunnah.

Ada lagi golongan yang banyak uang. Mereka repot menjaga dan menahan uangnya supaya tidak dibelanjakan, saking sayangnya pada uang itu. Dalam peribadatan, mereka memilih yang dapat dikerjakan hanya dengan badan dan tidak perlu mengeluarkan uang.

Mereka banyak puasa pada siang hari dan banyak shalat sunnah di malam hari. Mereka sering khatam Al-Quran. Akan tetapi untuk mengeluarkan uang jihad, atau membantu sesama, seperti amal jariyah untuk masjid atau madrasah, atau rumah yatim, mereka sangat kikir. Mereka itu terkena ghur没r, karena meninggalkan amal yang lebih penting dan dibutuhkan.

Sebagian lagi ghur没r menimpa golongan orang awam, baik hartawan maupun fakir. Mereka mengiktikadkan bahwa hadir di majelis zikir atau majelis ilmu saja sudah menggugurkan kewajiban. Mereka jadikan ini kebiasaan. Mereka menyangka, hanya dengan mendengar nasihat-nasihat sudah mendapat pahala dari Allah Swt., kendati tidak mengamalkan nasihat itu. Ini pun suatu ghur没r (ketertipuan). Sebab, kebaikannya hadir dalam majelis ilmu itu sebenarnya dimaksudkan untuk membangkitkan minatnya untuk beramal.

----------------------------

Adapun yang dimaksud dengan makrifat adalah bahwa orang harus mengenal 4 perkara:

1. Mengenal dirinya.
2. Mengenal Tuhannya.
3. Mengenal dunia.
4. Mengenal akhirat.

Arti mengenal diri ialah, merasa bahwa dia hanyalah hamba Allah yang rendah dan butuh. Arti mengenal Tuhan adalah dia tahu benar dan yakin bahwa hanya Allah yang berhak dipertuhan; Yang Agung dan Yang Berkuasa. Selanjutnya, dia merasa pula bahwa di dunia ini dia (hanya) sebagai pengembara yang sedang menuju ke tempat kembalinya, akhirat. Dan, dia asing dari syahwat kebinatangan. Yang cocok baginya sebagai manusia ialah mengenal Tuhannya.

-------------------- Penjelasan : K.H. R. Abdullah bin Nuh

Perasaan ini tidak akan tergambar apabila dia tidak mengenal dirinya dan tidak mengenal Tuhannya. Oleh karena itu, hendaklah orang mencari pertolongan untuk sampai ke sana, melalui keterangan-keterangan dalam kitab Mahabbah, Syarh Aj芒ib Al-Qalb, Kitab Al-Tafakkur, dan Syukur yang ada dalam Ihy芒 ‘Ul没m Al-D卯n. Di sana banyak petunjuk tentang keadaan diri dan keagungan Allah. Setiap orang dapat mengambil peringatan untuk dirinya.

Orang akan mengenal dunia dan akhirat melalui keterangan dalam kitab Dzammu Al-Dunya (Celaan Dunia) dan kitab Dzikru Al- Maut (Ingat akan Maut), agar jelas bagi setiap orang perbedaan dunia dan akhirat, yang keduanya juga terdapat dalam Ihy芒 ‘Ul没m Al-D卯n.

Jika orang telah mengenal dirinya dan Tuhannya dan mengenal pula dunia dan akhirat, tentu akan timbul dari hatinya cinta kepada Allah sebagai buah makrifat kepada-Nya. Dengan mengetahui akhirat, akan timbul kerinduan akan akhirat. Dan dengan mengetahui dunia, tentu dia tidak akan terpikat olehnya. Yang dianggapnya paling penting adalah semua yang dapat menghantarkannya pada keridhaan dan rahmat Allah, serta apa saja yang bermanfaat untuk dia nanti di akhirat.

Jika kesadaran itu telah melekat dalam kalbunya, tentu niatnya dalam segala urusan akan menjadi baik. Niatnya saat ingin makan sama dengan niatnya waktu qadha hajat (buang air), yaitu untuk membantu kelancarannya menempuh jalan akhirat. Jadi, niatnya sah dan semua kekeliruan tertolak darinya. Sebab, yang bisa merusak niatnya itu adalah ghur没r yang tumbuh dari cenderung pada dunia, kemegahan, dan harta.

Adapun yang dimaksud ilmu ialah ilmu untuk menge tahui cara-caranya menempuh jalan menuju keridhaan Allah; dan yang dapat mendekatkan orang kepada-Nya dan menjauhkan dari apa-apa yang menyebabkan dia jauh dari Allah. Mengetahui pula musibah-musibah, pendakian-pendakian, dan bahaya-bahaya yang akan dihadapi dalam per jalanan itu. Semua itu banyak diterangkan dalam kitab ini.

Setelah keterangan-keterangan mengenai ghaflah dan ghur没r, ketahuilah pula perihal amal-amal lahir, seperti shalat, puasa, dan sebagainya; itu semua ada hubungannya dengan amal batin yang bisa memperbaiki atau sebaliknya merusak amal lahir.

Ikhlas, misalnya. Ikhlas membuat amal lahir menjadi baik. Amal batin yang merusak amal lahir, contohnya, adalah riya, ujub, dzikrul minnah, dan sebagainya. Kesemuanya ini akan diterangkan nanti, pada babnya masing-masing.

Siapa yang tidak mengetahui amal batin dan tidak mengetahui pengaruhnya terhadap ibadah lahir, dan tidak tahu pula cara- caranya agar jangan ada, sedikit sekali kemungkinan selamatnya. Mereka kehilangan pahala taat lahir dan batin. Yang ada pada mereka hanya kecelakaan dan kepayahan. Dan, yang demikian itu suatu kerugian yang nyata.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw. bersabda mengenai ilmu:

“Sesungguhnya tidur dalam keadaan berilmu, lebih baik daripada shalat dalam keadaan bodoh.”

Sebab, beramal tanpa ilmu itu lebih banyak rusaknya daripada benarnya.

Dan, sabda Rasulullah Saw. tentang ilmu:

“Sesungguhnya ilmu itu diilhamkan kepada orang-orang bahagia, dan tidak diberikan kepada orang-orang yang celaka.”

Makna hadis ini jelaslah bahwa satu dari dua kecelakaan adalah beramal tanpa ilmu. Yang pertama, dia tidak belajar, lalu merasa lelah dalam mengerjakan ibadah yang telah rusak. Yang dia dapat hanya kepayahan belaka. Semoga Allah melindungi kita dari ilmu dan amal yang tiada manfaatnya.

Oleh karena itu, ulama-ulama yang saleh lagi zuhud, yang mengamalkan ilmunya, sangat besar perhatiannya pada ilmu. Ilmu adalah pokok segala perkara ibadah dan pangkal taat kepada Allah Rabbul ‘脗lam卯n. Demikian pula pandangan orang-orang yang berpengetahuan dan mendapat bimbingan taufik.

Jika kamu telah mengetahui semua ini (bahwa taat itu tidak akan berhasil dan tidak akan selamat jika tanpa ilmu) maka dalam ibadah, kamu mesti mendahulukan ilmu.

------------------------------

Adapun sebab kedua, yang mewajibkanmu agar mendahulukan ilmu ialah, karena ilmu yang bermanfaat itu menimbulkan takut dan haibah kepada Allah Swt.

Firman Allah Swt.:

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. (QS F芒thir: 28)

Tanda ilmu itu menimbulkan takut kepada Allah, ialah bahwa orang yang tidak mengenal Allah Swt. dengan sebenar-benar makrifat, pasti tidak bisa takut sebenar-benarnya dan tidak pula bisa mengagungkan dan menghormati Allah dengan sebenar-benarnya. Namun dengan ilmu, barulah orang itu bisa makrifat kepada Allah dan mengagung-agung-Nya. Dengan demikian, ilmu itu membuahkan taat dan dapat mencegah maksiat dengan taufik Allah Swt. Tidak ada lagi yang harus dituju dalam ibadah kepada Allah, selain menuruti perintah dan menjauhi larangan-Nya. Oleh karena itu wajib bagimu, wahai orang yang menuntut akhirat, menggapai ilmu dahulu sebelum segala sesuatunya. Semoga Allah memberimu petunjuk, Allah-lah yang memberi taufik dengan karunia dan rahmat-Nya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam