1. Zuhud, Cinta Allah, Cinta Rasul



πŸ“š Terjemah Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)



Allah Swt berfirman, Katakanlah, “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian" (QS ali ‘Imran [3]:31).

Ketahuilah, wahai yang dikasihi Allah, bahwa kecintaan hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Adapun kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah limpahan ampunanNya kepadanya.

Ada yang mengatakan, apabila hamba mengetahui bahwa kesempurnaan yang hakiki tiada lain kecuali milik Allah dan setiap yang tampak sempurna dari dirinya atau orang lain adalah dari dan karena Allah, cintanya hanya milik dan kepada Allah. Hal itu menuntut keinginan menaati-Nya dan mencintai segala yang mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh karena itu, mahabbah ditafsirkan sebagai keinginan untuk taat dan kelaziman mengikuti Rasulullah Saw dalam peribadatannya. Hal itu merupakan dorongan menuju ketaatan kepada-Nya.

Al-Hasan Ra berkata, “Beberapa kaum bersumpah setia di hadapan Rasulullah Saw, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kami mencintai Tuhan kami.’ Maka turunlah ayat di atas.”

Basyar al-Hafi berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan Nabi Saw. Beliau bertanya ‘Wahai Basyar, tahukah engkau, dengan apa Allah meninggikan kamu di antara kawan-kawanmu?’“Tidak, wahai Rasulullah,” jawabku. Beliau bersabda, “Dengan baktimu kepada orang-orang saleh, nasihatmu kepada saudara-saudaramu, kecintaanmu kepada sahabat-sahabatmu dan pengikut Sunnahku, dan kepatuhanmu kepada Sunnahku.” Selanjutnya nabi Saw bersabda, “Barangsiapa menghidupkan Sunnahku, dia telah mencintaiku. Dan, barangsiapa mencintaiku, pada hari kiamat dia bersamaku di surga.”

Di dalam hadis mahsyur disebutkan bahwa orang yang berpegang pada Sunnah Rasulullah Saw ketika orang lain berbuat kerusakan dan terjadi pertikaian di antara para penganut mazhab, dia memperoleh pahala dengan seratus pahala syuhada. Demikian disebutkan dalam Syir‘ah al-Islam. Nabi Saw berkata, “Semua umatku masuk surga kecuali orang yang tidak menginginkannya.” Para sahabat bertanya “Siapa yang tidak menginginkannya?” Beliau menjawab, “Orang yang menaatiku masuk surga, sedangkan orang yang durhaka kepadaku tidak menginginkan masuk surga. Setiap amalan yang tidak berdasarkan Sunnahku adalah maksiat.”

Seorang ulama sufi berkata, “Kalau Anda melihat seorang guru sufi terbang di udara, berjalan di atas laut atau memakan api, dan sebagainya, sementara dia meninggalkan perbuatan fardhu atau Sunnah secara sengaja, ketahuilah bahwa dia berdusta dalam pengakuannya. Perbuatannya bukanlah karΓ’mah. Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian.”

Al-Junayd Ra berkata, “Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali melalui Allah. Jalan untuk sampai kepada Alah adalah mengikuti al-Mushthafa (Nabi Muhammad) Saw.”

Ahmad al-Hawari Ra berkata, “Setiap perbuatan tanpa mengikuti Sunnah adalah batil. Sebagaimana sabda Nabi Saw, “Barangsiapa yang mengabaikan Sunnahku, haram baginya syafa‘atku.’” (Tercantum dalam Syir‘ah al-Islam).

Ada seorang gila yang tidak meremehkan dirinya. Kemudian, hal itu diberitahukan kepada Ma‘ruf al-Karkhi. Dia tersenyum, lalu berkata, “Wahai saudaraku, Allah memiliki para pencinta dari anak-anak, orang dewasa, orang berakal, dan orang gila. Yang ini adalah yang engkau lihat pada orang gila.”

Al-Junayd berkata, “Guruku al-Sari Ra jatuh sakit. Kami tidak tahu obat untuk menyembuhkan penyakitnya dan juga tidak tahu sebab sakitnya. Dokter yang berpengalaman memberikan resep kepada kami. Oleh karena itu, kami menampung air seninya ke dalam sebuah botol. Lalu, dokter itu melihat dan mengamatinya dengan seksama. Kemudian dia berkata, ‘Aku melihat air seni ini seperti air seni seorang pencinta (al-‘asyiq).’ Aku seperti disambar petir dan jatuh pingsan. Botol itu pun jatuh dari tanganku. Kemudian, aku kembali kepada al-Sari dan mengabarkan hal itu kepadanya. Dia tersenyum dan berkata, ‘Allah mematikan apa yang dia lihat.’ Aku bertanya, ‘Wahai guru, apakah mahabbah itu tampak jelas dalam air seni?’ Dia menjawab, ‘Benar.’”

Al-Fudhayl Ra berkata, “Apabila ditanyakan kepadamu, apakah engkau mencintai Allah? Diamlah. Sebab, jika engkau menjawab ‘tidak’, engkau menjadi kafir. Sebaliknya, jika engkau menjawab ‘ya’, berarti sifatmu bukan sifat para pencinta Allah. Maka waspadalah dalam mencintai dan membenci (sesuatu).”

Sufyan berkata, “Barangsiapa mencintai orang yang mencintai Allah Swt, berarti dia mencintai Allah. Barangsiapa memuliakan orang yang memuliakan Allah Swt, berarti dia memuliakan Allah Swt.

Sahl berkata, “Tanda cinta kepada Allah adalah cinta kepada al-Quran. Tanda cinta kepada Allah dan Al-Quran adalah cinta kepada Nabi Saw. Tanda cinta kepada Nabi Saw adalah cinta kepada Sunnahnya. Tanda cinta kepada Sunnahnya adalah cinta kepada akhirat. Tanda cinta kepada akhirat adalah benci dunia. Tanda benci dunia adalah tidak mengambilnya kecuali sebagai bekal dan perantara menuju akhirat.”

Abu al-Hasan al-Zanjani berkata, “Pokok ibadah itu adalah tiga anggota badan, yaitu telinga, hati, dan lidah. Telinga untuk mengambil pelajaran, hati untuk bertafakkur, sedangkan lidah untuk berkata benar, bertasbih, dan berdzikir. Sebagaimana Allah Swt befirman, Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS al-Ahzab [33]: 41-42).”

Abdullah dan Ahmad bin Harb berada di suatu tempat. Lalu, Ahmad bin Harb memotong sehelai daun rumput. Kemudian ‘Abdullah berkata kepadanya, “Engkau mengambil lima hal yang melalaikan kalbumu dari bertasbih kepada Maulamu. Engkau terbiasa sibuk dengan selain dzikir kepada Alah Swt. Engkau jadikan hal itu sebagai jalan yang diikuti orang lain, dan engkau mencegahnya dari bertasbih kepada Tuhannya. Engkau bebankan kepada dirimu hujjah (argumen) Allah Sawt pada hari kiamat.”

Demikian dikutip dari Raunaq al-Majalis. Al-Sari Ra berkata, “Aku bersama al-Jurjani melihat tepung. Lalu, al-Jurjani menelannya. Aku tanyakan hal itu kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak memakan makanan yang lain?’ Dia menjawab, ‘Aku hitung di antara mengunyah dan menelan itu ada tujuh puluh kali tasbih. Karena itu, aku tidak pernah lagi memakan roti sejak empat puluh tahun yang lalu.’”

Sahl bin ‘Abdullah makan setiap lima belas hari sekali. Ketika memasuki bulan Ramadhan, dia tidak makan kecuali sekali saja. Sekali-sekali dia menahan lapar hingga tujuh puluh hari. Apa­bila makan, badannya menjadi lemah. Namun jika lapar, badannya menjadi kuat. Dia beriktikaf di Masjid al-Haram selama 30 tahun tanpa terlihat makan dan minum. Dia tidak melewatkan sesaat pun dari berdzikir kepada Allah.

‘Umar bin ‘Ubayd tidak pernah keluar dari rumahnya kecuali karena tiga hal, yaitu shalat berjamaah, menjenguk orang sakit, dan melayat orang yang meninggal. Dia berkata, “Aku melihat orang-orang mencuri dan merampok. Umur adalah mutiara indah yang tidak ternilai, maka hendaklah umur itu disimpan dalam lemari yang abadi di akhirat. Ketahuilah bahwa pencari akhirat harus melakukan kezuhudan dalam kehidupan dunia agar cita-citanya hanya satu dan batinnya tidak terpisah dari lahirnya. Tidak mungkin menjaga keadaan itu kecuali dengan penguasaan lahir dan batin.”

Ibrahim bin al-Hakim berkata, “Apabila hendak tidur, bapakku sering menceburkan diri ke laut, lalu bertasbih. Ikan-ikan pun berkumpul dan ikut bertasbih bersamanya.

Wahab bin Munabbih berdoa kepada Allah agar dihilangkan rasa kantuk pada malam hari. Karena itu, dia tidak pernah tidur selama empat puluh tahun, Hasan al-Hallaj mengikat kakinya dari mata kaki hingga lutut dengan tiga belas ikatan. Dia menunaikan shalat dalam keadaan seperti itu sebanyak seribu rakaat dalam sehari semalam.

Al-Junayd pernah pergi ke pasar dan membuka tokonya. Dia masuk, menurunkan tirai, menunaikan shalat empat ratus rakaat, kemudian pulang selama empat puluh tahun.

Hasbyi bin DΓ’wud menunaikan shalat dhuha dengan wudhu untuk salat ‘isya, maka hendaklah orang-orang Mukmin selalu dalam keadaan suci. Setiap kali berhadas, bersegeralah bersuci, shalat dua rakaat, dan berusaha menghadap kiblat dalam setiap duduknya. Hendaklah dia membayangkan bahwa dirinya sedang duduk di hadapan Nabi Saw menurut kadar kehadiran dan pengawasan batinnya. Dengan demikian dia, terbiasa tenang dalam segala perbuatan. Dia rela menanggung penderitaan, tidak melakukan sesuatu yang menyakiti (orang lain), dan memohon ampunan dari setiap hal yang menyakitkan.

Dia tidak membanggakan diri atas perbuatannya, karena bangga (‘ujb) termasuk sifat-sifat setan. Pandanglah diri dengan mata kehinaan dan panganglah orang-orang saleh dengan mata kemuliaan dan keagungan. Barangsiapa yang tidak mengenal kemuliaan orang-orang saleh, Allah mengharamkannya bergaul dengan mereka. Dan barangsiapa yang tidak mengenal mulanya ketaatan, dicabutlah manisnya ketaatan itu dari kalbunya.

Al-Fudhayl bin ‘Iyadh ditanya, “Wahai Abu ‘ali, kapan seseorang bisa dijuluki orang saleh?” Dia menjawab, “Apabila ada kesetiaan dalam niatnya, ada ketakutan dalam kalbunya, ada kebenaran pada lidahnya, dan ada amal saleh pada anggota tubuhnya.”

Allah Swt berfirman ketika Nabi Saw melalukan mi‘raj, “Wahai Ahmad, jika engkau ingin menjadi orang yang paling wara‘, berlaku zuhudlah di dunia dan cintailah akhirat.” Nabi Saw bertanya, ”Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku berlaku zuhud di dunia?” Allah menjawab, “Ambillah dari keduniaan itu sekadar memenuhi keperluan makan, minum, dan pakaian. Janganlah menyimpannya untuk hari esok dan biasakanlah berdzikir kepada-Ku.” Nabi Saw bertanya lagi, “Wahai Tuhanku, bagaimana cara aku membiasakan berdzikir kepada-Mu?” Allah menjawab, “Dengan mengasingkan diri dari manusia. Gantilah tidurmu dengan shalat dan (gantilah juga) makanmu dengan lapar.”

Nabi Saw bersabda, “Zuhud di dunia dapat menenangkan hati dan badan. Cinta kepadanya dapat memperbanyak emosi dan kesedihan. Cinta kepada keduniaan merupakan induk setiap kesalahan, dan zuhud dari dunia merupakan induk setiap kebaikan dan taat.”

Seorang saleh melewati sekelompok orang. Tiba-tiba dia mendengar seorang dokter sedang menerangkan tentang penyakit dan obat-obatan. Dia bertanya, “Wahai penyembuh penyakit tubuh, dapatkah engkau mengobati penyakit hati?” Dokter itu menjawab, “Ya, sebutkan penyakitnya.” Orang saleh itu berkata, “Dosa telah menghitamkannya sehingga menjadi keras dan kering. Apakah engkau dapat mengobatinya?” Dokter menjawab, “Obatnya adalah ketundukan, permohonan yang sungguh-sungguh, istiggfar di tengah malam dan siang hari, bersegeralah menuju ketaatann kepada Zat Yang Mahamulia dan Maha Pemberi ampunan, dan permohonan maaf kepada Raya Yang Mahakuasa. Inilah obat penyakit hati dan penyembuhnya dari Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” Lalu, orang saleh itu menjerit dan berlalu sambil menangis. Dia berkata, “Dokter yang baik, engkau telah mengobati penyakit hatiku.” Dokter itu berkata, “Ini adalah penyembuh penyakit hati orang yang bertobat dan mengembalikan kalbunya kepada Dzat Yang Mahabenar dan Maha Menerima tobat.”

Dikisahkan bahwa seseorang membeli seorang budak. Lalu budak itu berkata, “Wahai tuanku, aku ingin mengajukan tiga syarat kepada Anda. Pertama, Anda tidak menghalangiku untuk menunakan shalat wajib apabila tiba waktunya. Kedua, Anda boleh memerintahku sesuka Anda pada siang hari, namun tidak menyuruhku pada malam hari. Ketiga, Anda memberikan kepadaku sebuah kamar di rumah Anda yang tidak boleh dimasuki orang lain.” Pembeli budak itu berkata, “Aku akan memenuhi syarat-syarat itu.” Selanjutnya dia berkata, “Lihatlah kamar-kamar itu.” Budak itu pun berkeliling dan menemukan sebuah kamar yang sudah rusak, lalu berkata, “Aku mengambil kamar ini.” Pembeli budak bertanya, “Wahai budak, mengapa engkau me- milih kamar yang rusak?” Budak itu menjawab, “Wahai tuanku, tidakkah Anda tahu bahwa yang rusak di sisi Allah merupakan taman?”

Budak itu melayani tuannya pada siang hari, dan malamnya dia beribadah kepada Tuhannya. Hingga pada suatu malam, tuannya berkeliling di sekitar rumahnya, lalu sampai di kamar budak itu. Tiba-tiba dia melihat kamar itu bercahaya, sementara budak itu sedang bersujud dan di atas kepalanya ada cahaya yang tergantung di antara langit dan bumi. Budak itu bermunajat dan merendahkan diri (kepada Allah). Dia berdoa, “Ya Allah, aku memenuhi hak tuanku dan melayaninya pada siang hari. Kalau tak begitu aku tidak akan melewatkan siang dan malamku selain untuk berkhidmat kepada-Mu, maka ampuni aku, wahai Tuhanku.”

Tuannya menyaksikan hal itu hingga tiba waktu subuh. Pelita itu menghilang dan atap kamar itu pun menutup kembali. Lalu, dia kembali dan memberitahukan hal itu kepada istrinya. Ketika malam kedua tiba, dia mengajak istrinya dan mendatangi pintu kamar itu. Tiba-tiba mereka menemukan budak itu sedang bersujud dan ada pelita di atas kepalanya. Mereka pun berdiri di depan pintu kamar sambil memandangi budak itu dan menangis hingga tiba waktu subuh. Lalu, mereka memanggil budak itu dan berkata, “Engkau aku merdekakan karena Allah Swt sehingga engkau dapat mengisi siang dan malammu dengan beribadah kepada Dzat yang engkau mohonkan maaf-Nya.” Kemudian, budak itu menadahkan tangannya ke langit dan berkata: Wahai Pemilik segala rahasia Kini rahasia itu telah tampak Hidup ini tak lagi kuinginkan Setelah rahasia itu tersebar.

Lalu dia berdoa, “Ya Allah, aku memohon kematian kepada-Mu.” Budak itu pun tersungkur dan kemudian wafat. Demikianlah keadaan orang-orang saleh, serta para pencinta dan pendamba.

Dalam Zahr al-Riyad disebutkan bahwa Musa As punya seorang sahabat yang sangat dekat. Pada suatu hari, sahabatnya berkata, “Wahai Musa, berdoalah kepada Allah agar aku dapat mengenal-Nya dengan makrifat yang sebenar-benarnya.” Musa As berdoa, dan doanya dikabulkan. Kemudian, karibnya pergi ke puncak gunung bersama binatang-binatang buas. Musa pun kehilangan dia. Maka Musa berdoa, “Wahai Tuhanku, aku kehilangan saudara dan sahabatku.” Tiba-tiba ada jawaban, “Wahai Musa, orang yang mengenal-Ku dengan makrifat yang sebenar-benarnya tidak bergaul dengan makhluk untuk selama-lamanya.”

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Yahya As dan ‘isa As sedang berjalan di pasar. Tiba-tiba seorang perempuan menabrak mereka. Yahya As berkata, “Demi Allah, aku tidak merasakannya.” Lalu ‘isa As bertanya, “Mahasuci Allah badanmu ada bersamaku, tetapi kalbumu ada di mana?” Yahya As menjawab, “Wahai anak bibiku, kalau kalbu merasa tenteram kepada selain Allah sekejap mata pun, niscaya engkau mengira aku tidak mengenal Allah.”

Seorang ulama berkata, “Makrifat yang benar adalah menceraikan dunia dan akhirat, dan menyendiri untuk Maula (Allah Swt). Dia mabuk karena tegukan mahabbah. Karena itu, dia tidak sadar kecuali ketika melihat Allah. Dia berada di atas cahaya dan Tuhannya.”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam