Allah Pasti Menolong



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Pertolongan Allah datang bersama kesabaran dan kegigihan.”

Suatu ketika, Nabi Ibrahim as., diperintahkan oleh Allah untuk membawa Siti Hajar dan Ismail ke sebuah padang pasir gersang, kemudian meninggalkannya di sana untuk jangka waktu tertentu sebagai ujian bagi Siti Hajar dan anaknya, Ismail.

Sebagai orang beriman dan istri salehah, Siti Hajar tidak menggugat keputusan suaminya. Ia yakin Allah pasti senantiasa menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya. Pasti ada hikmah yang besar di balik perintah Allah tersebut. Siti Hajar pun ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim as. Kini ia hanya berdua dengan anaknya, Ismail, yang masih bayi.

Suatu saat, Ismail merasakan kehausan. Siti Hajar berusaha menyusuinya tapi tiba-tiba air susunya kering. Siti Hajar berusaha sekuat tenaga mencari air untuk anaknya. Ia berlari bolak-balik ke Bukit Shafa dan Marwah, namun tidak juga menemukan air. Akan tetapi, Siti Hajar tidak berhenti, apalagi menyerah. Ia terus berusaha mencari air dengan seluruh kemampuannya.

Akhirnya, Allah memberikan pertolongan-Nya. Siti Hajar telah lulus ujian. Dari entakan kaki Ismail, keluarlah air. Siti Hajar berkata, “Zamzam, zamzam,” yang berarti “berkumpul, berkumpul”. Maka, jadilah sumber mata air yang kini kita kenal dengan sumur Zamzam yang airnya tak pernah kering. Tahukah Anda nama tempat Siti Hajar dan Ismail berada tersebut? Itulah yang sekarang kita kenal sebagai kota Mekah Al-Mukaramah.

*****

Kisah Siti Hajar tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Upaya Siti Hajar yang tak kenal menyerah dan berputus asa dalam mencari air untuk anaknya melambangkan sikap persisten (keteguhan hati untuk terus berjuang). Keteguhan hati disertai niat yang tulus karena Allah semata telah mendorong Siti Hajar untuk terus berjuang mencari air di tengah padang pasir gersang. Ia yakin Allah pasti menolongnya. Pertolongan Allah datang bersama kesabaran dan kegigihan.

Teladan dari Siti Hajar ini diabadikan dalam salah satu rukun ibadah haji, yaitu sa’i (berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali); untuk mengajarkan umat manusia sikap persisten dalam berusaha mengubah kehidupan menjadi lebih baik.

Nilai ibadah dalam sa’i terletak saat berjalan dan berlari. Dalam konteks kehidupan yang luas, setiap ikhtiar yang kita lakukan untuk mewujudkan keadaan yang lebih baik bernilai ibadah di sisi Allah. Tidak ada yang sia-sia jika kita melakukannya secara tulus karena Allah semata. Kewajiban manusia adalah terus berusaha tanpa kenal putus asa. Niscaya Allah akan memberikan “air zamzam” sebagai simbol rezeki yang berkah, keberkahan, dan kesuksesan.

Kalau kisah Siti Hajar tersebut dikaitkan dengan psikologi, kita akan menemukan istilah Adversity Quotient (AQ), yaitu kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk sanggup bertahan dalam setiap kesulitan hidup dan sanggup pula mengatasinya. AQ mengukur kemampuan seseorang dalam mengatasi setiap persoalan hidup tanpa berputus asa. Ini adalah penemuan karya Paul G. Stoltz.

Stoltz membagi manusia menjadi tiga tipe dalam analogi mendaki gunung.

Pertama, quitters, yaitu orang-orang yang berhenti. Orang-orang jenis ini berhenti di tengah pendakian, mudah putus asa, dan menyerah. Kehidupan mereka terus diliputi kesusahan.

Kedua, campers, yaitu orang-orang yang berkemah. Orang-orang jenis ini melakukan pendakian, namun sudah berhenti sebelum mencapai puncak. Orang-orang tipe ini masih lebih baik daripada quitters karena setidaknya berani menghadapi tantangan. Banyak orang yang termasuk tipe ini. Pendakian yang belum selesai mereka anggap sebagai kesuksesan akhir. Sebenarnya tidak demikian karena masih banyak potensi dalam dirinya yang belum teraktualisasi hingga menjadi sia-sia.

Ketiga, climbers, yaitu para pendaki. Orang-orang tipe ini selalu optimistis, berpikir positif, dan terus berjuang sampai meraih apa yang dicita-citakan. Mereka selalu bisa melihat peluang dan celah dari setiap tantangan dan rintangan, melihat senoktah harapan di balik kesulitan, dan selalu bergairah untuk maju. Noktah kecil yang oleh orang lain dianggap sepele, bagi para climbers adalah cahaya penerang jalan menuju kesuksesan.

Siti Hajar adalah tipe climbers sejati yang memiliki tingkat AQ sangat tinggi apabila diukur saat itu. Wanita yang tidak mengenal putus asa dan pantang menyerah. Inilah teladan dari Siti Hajar bagi umat Islam. Uswah bagi para spiritual climbers.

Sekarang, mari kita berpikir sejenak. Siti Hajar adalah seorang wanita bekas budak dari Ethiopia. Ia berjuang seorang diri di tengah padang pasir gersang untuk menyelamatkan putranya, Ismail. Perhatikanlah kata-kata kunci berikut ini: seorang wanita, bekas budak, seorang diri, di tengah padang pasir gersang, panas terik, berlari-lari antara Bukit Shafa dan Marwah tujuh kali.

Jika kita mengacu kepada teori Adversity Quotient-nya Stoltz, bagaimana mungkin seorang climbers gaya Stoltz masih bisa melihat setitik noktah harapan saat itu? Kala otak atau IQ tidak melihat harapan di tengah padang pasir gersang. Ketika emosi (EQ-nya Daniel Goleman) sudah berputus asa. Saat AQ-nya Stoltz tidak lagi bisa melihat peluang. Ketika sikap proaktifnya Stephen R. Covey pupus. Kala berpikir besarnya Schwartz menciut. Saat pikiran bawah sadarnya Napoleon Hills runtuh.

Lantas, ketika Siti Hajar seorang diri di tengah padang pasir, berlari-lari mencari air sampai bolak-balik Bukit Shafa dan Marwah tujuh kali, apa yang diyakininya? Apa cahaya harapan itu? Itulah cahaya hidayah Allah. Keyakinan dan harapan total akan pertolongan Allah. Inilah esensi yang bisa dipetik dari kisah Siti Hajar dan Ismail.

Jika kita telah memiliki keyakinan yang total kepada Allah, jangan khawatir dan bersedih hati saat menghadapi setiap kesulitan dan rintangan. Segalanya ada dalam genggaman Allah. Teramat mudah bagi Allah untuk menghilangkan kesulitan dan rintangan tersebut, serta membukakan pintu rezeki dari segala penjuru.

Dalam Islam kita mengenal konsep raja’. Raja’, secara etimo logi, berarti berharap atau harapan. Secara terminologi, raja’ adalah menautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang (ta’liqul qalbi bi mahbub fi mustaqbal).

Raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan (tamanni). Ilustrasinya begini. Orang yang bercocok tanam di tanah subur, menanam bibit yang baik dan bermanfaat, memelihara dan merawatnya dengan tekun, tentu wajar jika berharap mendapatkan hasil panen yang baik dan memuaskan. Inilah yang disebut raja’.

Sebaliknya, bercocok tanam di tanah kering, bibit yang ditanam tidak baik, ditambah tidak pernah memelihara dan merawatnya, tentu sia-sia jika mengharap hasil panen yang baik dan memuaskan. Ini namanya tamanni (angan-angan kosong), mengharapkan sesuatu yang baik tanpa mau berikhtiar memperolehnya.

Kewajiban manusia adalah berikhtiar menjemput rezeki dengan cara terbaik. Kerahkan kemampuan dan kreativitas kita secara optimal. Jika itu semua telah dilakukan, gantungkanlah harapan kita sepenuhnya kepada Allah. Yakinlah, Allah akan memberikan hasil terbaik bagi kita. Bukankah Dia selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya?

Teruslah perkuat harapan kita kepada Allah disertai ikhtiar yang optimal. Yakinlah, innallaha ma’ana (Allah bersama kita).

“…Ketika itu dia berkata kepada sahabatnya, ‘Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan padanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat oleh mu….” (QS. At-Taubah [9]: 40).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam