Bab 1. Pendahuluan



📚 Terjemah Kitab Kifayatul Awam



A. Ma’rifat
Diwajibkan kepada seluruh muslim mengetahui/ma’rifat 50 akidah. Ma’rifat adalah “ keteguhan/aljazm dalam hati  yang sesuai dengan kenyataan yang timbul dari dalil “. Para ulama tauhid berbeda pendapat dalam dalil yang harus dijadikan acuan dalam menuju ma’rifat ;
    1. Boleh dengan dalil ijamali/umum, boleh juga dengan tafsili/terperinci;
    2. Sebagian ulama mensyaratkan dengan tafsili dan
    3. Jumhur ulama menganggap cukup hanya dengan dalil ijmali saja
Jadi dengan demikian dalam mempelajari tauhid kita harus mengetahuinya disertai dengan dalilnya.  Dalil disini ada dua :

Pertama dalil ijmali, yaitu :
    Dalil Ijmali adalah dalil  yang sulit dijelaskan alasan kedalilannya, menetapkannya dan melepaskan kekeliruan yang ada padanya.
Kedua dalil tafsili, yaitu :
    Dalil tafsisli adalah dalil yang mampu (mudah) dijelaskan alasan kedalilannya, menetapkannya dan melepaskan kekeliruan yang ada padanya.
Sebagai contoh dari kedua dalil di atas ; Jika ada orang yang bertanya:” Apa dalil akan wujud bagi Allah ?”. Dia menjawab,” Adanya alam ini”. Jawaban seperti ini disebut dalil ijmali, karena dia menjawab tanpa memperinci baik melihat alam dari sisi mungkin ada/tiadanya atau dari sisi ada setelah tiada. Dalil ini sudah dianggap cukup oleh jumhur ulama.  Namun jika si penanya bertanya kembali ,” Apa alasannya alam ini menunjukan/jadi dalil akan adanya Allah ?,”. Dia menjawab misalnya ,” karena alam ini baru (ada setelah tiada). Setiap yang baru pasti ada yang membarukannya/mengadakan (pencipta). Ini berarti alam inipun pasti ada penciptanya. Dan penciptanya menurut syara’ tiada lain adalah Allah yang wajib adanya”. Jawaban seperti  ini disebut dalil tafsili, karena memperinci dan memberi alasan pada dalil yang ijmali.

B. Taklid
Taklid adalah keteguhan kepada 50 akidah yang tak disertai dalil baik ijmali ataupun tafsili.

Para ulama   berselisih paham dalam mempelajari tauhid yang tidak disertai dengan dalil (taqlid). Ada yang berpendapat tidak cukup bahkan tidak sempurna keimanan seorang muslim atau muslimah mempelajari tauhid  hanya menurut apa yang dikatakan orang lain (taqlid). Bahkan Imam Sanusi dan Ibnul Aroby berpendapat; bahwa orang yang taklid ( mukollid), kelak diakhirat akan celaka bersama orang-orang kafir. Nauzubillah min zdalik. Bahkan Imam Sanusi secara panjang lebar menolak kepada yang berpendapat cukup dengan taklid. Walupun pada akhirnya beliau menarik/meralat kembali perkataannya. Namun kami ( penulis ) tidak melihat beliau menarik kembali pernyataanya.

Ada juga para ulama yang berpendapat bahwa mempelajari tauhid dengan taqlid (tanpa dalil) untuk orang awam yang sulit berpikir  sudah cukup dan tidak berdosa. Namun bagi orang awam yang mampu berpikir jika tetap bertaqlid tidak cukup dan berdosa.

C.  Hukum Akal
Hukum Akal adalah” Menetapkan sesuatu bagi sesuatu atau menafikan (meniadakan) sesuatu dari yang lain  tanpa harus ditangguhkan akan pengulangan dan pemerakasa “.

Hukum Akal ini ada 3 :

1. Wajib, yaitu : Sesuatu yang ketiadaannya tidak dibenarkan oleh akal. Jadi mesti adanya. Seperti; tahayyuj/pengambilan tempat untuk suatu jirim (pohon, batu dll) dengan seukurannya. Jika ada pernyataan :” ada pohon yang tidak tahayyuj pada tanah”., pernyataan itu tidak bisa dibenarkan akal, karena menempatinya pohon pada tanah adalah suatu kepastian.

Dalam hal wajib para ulama tauhid membagi menjadi 3 bagian;
    a. wajib zatie mutlaq, mesti adanya bukan karena yang lain seperti sifat-sifat yang wajib bagi Allah.
    b. wajib zatie muqoyyad, mesti  adanya selagi ada yang lain seperti sifat-sifat para rosul (sidq, amanah, fathonah dan tabligh mesti adanya selagi para rosul ada) dan
    c. wajib aridhi, mesti adanya karena melihat sisi lain (ilmu Allah) seperti keberadaan kita saat dimana ilmu Allah  menyatakan keberadaan kita saat itu.
Dari sisi lain wajib pun, menurut para ulama wajib terbagi dua;
    a. wajib dhorurie; mudah dipahami seperti setiap jirim/benda  pasti disifati salah satu dari diam dan gerak,
    b. wajib nadhorie, sulit dipahami kecuali  setalah menemukan  dalil seperti mengenal sifat – sifat Allah menemukan dalil
2. Mustahil, yaitu : Sesuatu yang keberadaannya tidak dibenarkan oleh akal. Jadi mesti tiadanya. Seperti; suatu jirim kosong dari diam dan gerak pada waktu bersamaan. Jika ada pernyataan :” ada jirim kosong dari  diam dan gerak secara bersamaan”, pernyataan itu tidak dapat dibenarkan akal sama sekali.

Dalam hal mustahil para ulama tauhid membagi menjadi 3 bagian;
    a. mustahil zatie mutlaq, mesti tiadanya bukan karena yang lain seperti sifat-sifat –sifat  yang  mustahil bagi Allah.
    b. mustahil zatie muqoyyad, mesti  tiadanya selagi ada yang lain seperti sifat-sifat mustahil bagi para rosul(kizb, khianat, baladah dan kitman mesti tiadanya selagi adanya para rosul) dan
    c. mustahil aridhi, mesti tiadanya karena melihat sisi lain (ilmu Allah) seperti keberadaan kita saat dimana ilmu Allah  menyatakan ketiadaan kita saat itu.
Dari sisi lain mustahil pun, menurut para ulama wajib terbagi dua;
    a. mustahil dhorurie; mudah dipahami seperti setiap jirim/benda  pasti pada salah satu diam dan gerak;
    b. mustahil nadhorie, sulit dipahami kecuali  setalah menemukan  dalil seperti menenal sifat – sifat Allah menemukan dalil.
3. Jaiz, yaitu : Sesuatu yang mungkin/sah menurut akal ada dan tiadanya. Jadi tidak  wajib dan juga tidak mustahil  ada dan tiadanya.  Jika ada pernyataan :” si Jaid tidak memiliki anak”, akal dapat  membenarkan ada atau tiada anak bagi si Jaid.

Dari sisi lain jaiz pun, menurut para ulama wajib terbagi dua;
    a. jaiz dhoruei seperti; Si Jaid sedang diam atau si Umar sedang gerak, adanya langit dan bumi diutusnya para rosul,
    b. jaiz nadhori seperti; diturunkannya kitab-kitab, disiksanya orang yang taat dan diberi pahalanya orang yang durhaka dll.
Inilah hukum akal yang merupakan sandaran dalam memahami akidah yang wajib dipelajari. Dikarenakan menjadi sandaran akidah yang wajib dipelajari, maka wajib pula memahaminya, karena sesuatu yang wajib bersandar kepada sesuatu, maka sesuatu itu menjadi  wajib pula. Bahkan Imam Haromain berpendapat bahwa :” memahami hukum akal adalah berakal”. Ini berarti orang yang tak memahami hukum akal, berarti tidak berakal.

Bila dikatakan :” sifat qudrot  wajib bagi Allah”. Ini berarti tidak dapat dibenarkan ketiadaan sifat qutrot, karena arti wajib adalah sesuatu yang tak dapat dibenarkan ketiadaannya.

Adapun arti wajib dengan sesuatu perbuatan yang dapat dipahala jika dilakukan dan disiksa jika ditinggalkan adalah ma’na wajib lain yang tidak dimaksud dalam ilmu tauhid. Oleh karena itu jangan keliru masalah arti  wajib tersebut. Ya. Memang berbeda. Namun jika ada pernyataan :”  diwajibkan atas setiap mukallaf  mengi’tikadkan  adanya qudrot bagi Allah”. Ini artinya  i’tikad mukallaf tersebut akan diberi pahala bila ada dalam hatinya dan disiksa jika tiada. Dari sini dapat dibedakan antara pernyataan :” mengi’tikadkan ini wajib -  diberi pahala jika ada dan disiksa jika tiada- ” dan “ sifat ini ( limu misalnya )  wajib - tidak dapat dimengerti akal ketiadaannya- bagi Allah.  Mudah-mudahan kita dapat membedakan makna tadi dan tidak termasuk muqollid dalam akidah agama, karena legalitas keimanannya diperselisihkan, akhirnya jadi penghuni neraka menurut pendapat  tidak cukup taklid alam akidah.

Imam Sanusi berpendapat :” seseorang tidak dikatakan beriman bila berkata :” Saya orang yang teguh dengan akidah 50 ini. Andaikata tubuhku terpotong-potong hingga jadi beberapa potong, aku tidak akan  menarik kembali keteguhan ini”. Sebaliknya dia baru dikatakan beriman jika mengenal akidah 50 dengan disertai dalil-dalilnya”.

Mendahulukan mempelajari ilmu tauhid hukumnya fardhu ‘ain- sebagaimana dalam syarh aqoid-, karena ilmu ini sebagai asas/dasar bagi ilmu  lainnya. Oleh karena itu tidak sah wudhu atau sholat seseorang kecuali jika mengetahui akidah ini dengan keteguhan. Inipun masih diperdebatkan.

Bila ada pernyataan :” sifat  al ‘aju/lemah itu mustahil bagi Allah “. Ini  berarti tidak dibenarkan oleh akal keberadaan sifat itu bagi Allah. Begitupun dalam sifat-sifat mustahil lainnya.
Bila ada pernyataan :”  Allah memberi rizki kepada si Jaid 1 dinar “.  Ini berarti  akal dapat membenarkan keberadaannya atau ketiadaannya.

Setelah diketahui definisi Hukum Akal di atas, maka wajiblah sekarang bagi  yang sudah baligh dan berakal  baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, manusia maupun jin sekalipun mengetahui ( ma’rifat ) akan sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah dan para rosul-Nya dengan disertai dalil-dalilnya.

Adapun sifat-sifat yang wajib bagi Allah ada 20, sifat-sifat yang mustahil bagi Allah ada 20 dan sifat yang jaiz bagi Allah ada 1. Jadi sifat-sifat yang harus dii’tikadkan pada hak Allah ada 41 akidah. Sedangkan sifat-sifat yang wajib pada para rosul ada 4, yang mustahil ada 4 dan yang jaiz ada 1. Jadi sifat-sifat yang harus dii’tikadkan pada para rosul ada 8. Jumlah keseluruhan akidah yang harus kita ketahui adalah 50 ( lima puluh ).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam