Bab 10. Iddah



📚 Terjemah Kitab Ringkasan Tabyinul Ishlah Li Muridin Nikah



1. Hukum Iddah
'Iddah bagi seorang wanita terbagi atas dua macam, yaitu Mutawaffa dan Ghairu Mutawaffa di mana penjelasannya ialah sebagai berikut:

1. „Iddah Mutawaffa Ialah 'iddah seorang wanita karena suaminya meninggal dunia dengan penjelasan sebagai berikut:

  • a. Bila keadaan wanita merdeka itu ternyata hamil, maka iddahnya sampai bayi lahir secara sempurna.
  • b. Bila keadaan wanita itu ternyata tidak hamil, maka iddahnya empat bulan lebih sepuluh hari.

2. „Iddah Ghairu Mutawaffa Ialah 'iddah seorang wanita yang suaminya masih hidup karena perceraian, dengan penjelasan sebagai berikut:

  • a. Bila keadaan wanita itu ternyata hamil, maka iddahnya sampai bayi lahir secara sempurna.
  • b. Bila keadaan wanita itu ternyata tidak hamil dan masih ada kemungkinan mengaluarkan darah haid (masa subur), maka iddahnya adalah tiga kali sucian.

2. Macam-macam Iddah
Jika seorang wanita diceraikan pada saat keadaan suci, yaitu dengan masih tetap memiliki masa sucinya setelah perceraian, maka iddahnya wanita itu menjadi terhenti (selesai) dengan sebab masuk dalam haid yang ketiga kalinya. Atau jika wanita tersebut diceraikan pada saat keadaan haid atau nifas, maka iddahnya wanita itu terhenti (selesai) dengan sebab masuk dalam haid yang keempat kalinya. Dan masa yang sesudahnya dari haid itu tidak dihitung dengan hitungan suci. (Hamisy Al Bajuri: II/171).

3. Iddah Wanita Yang Tidak Pernah Haid
Jika terdapat seorang wanita kanak-kanak atau wanita dewasa yang tidak pernah haid sama sekali atau memang putus darah haid karena telah berumur 62 tahun (menopause), maka iddahnya wanita tersebut adalah selama tiga bulan. Dan wanita yang diceraikan suaminya belum sampai dukhul (belum disetubuhi), maka tidaklah terdapat hitungan iddah atas wanita itu. (Hamisy Al Bajuri: II/174).

4. Iddah Wanita Haid Tiga Sucian
Wanita-wanita yang memiliki masa haid dan diceraikan oleh suaminyahendaklah menahan diri (menunggu) hingga tiga kali sucian, sebagaimana firman Allah SWT:

wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'” ( Al Baqarah: 228).

5. Iddah Wanita Putus Haid
Allah menjelaskan dalam Al-Qur‟an tentang iddah bagi manita yang sudah tidak haid (menopause), yaitu sebagai berikut:

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, yakni iddah mereka itu ialah sampai melahirkan kandungannya adapun perempuan-perempuan yang ditinggal mati suaminya maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari”. (At-Thalaq: 4, Tafsir Jalalain: II/224).

6. Iddah Wafat
Allah menjelaskan dalam Al-Qur'an tentang iddah bagi manita yang ditinggal mati suaminya, yaitu sebagai berikut:

“Orang-orang mati diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tidak dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Al Baqarah: 234, Tafsir Jalalain: I/32).

7. Hamil Melahirkan Binatang
Adapun orang hamil yang suaminya wafat, maka iddahnya ialah kelahiran kandungan dengan sempurna berupa manusia. Bila lahir berupa binatang, seperti kerbau atau lembu, maka tidak terhitung lewat iddah. (Tafsir Jalalain: I/365).

8. Hukum Iddah Hidup
Penjelasan lagi tentang iddah ghairi mutawaffa (iddah hidup). Yaitu bahwa iddahnya wanita yang suaminya masih hidup itu terbagi menjadi 5 perkara, yaitu:

  • 1. „Iddah karena Thalaq.
  • 2. „Iddah yang disebabkan murtad.
  • 3. „Iddah karena Nikahnya yang Batal.
  • 4. „Iddah karena Wathi Syubhat (bersetubuh secara syubhat).
  • 5. „Iddah sebab di fasakh nikahnya.

9. Iddah Karena Thalaq
Iddah karena thalaq itu terdapat sebanyak tiga perkara ialah:

  • 1. „Iddah Hamil, Ialah kelahiran kandungan wanita merdeka atau budak amat.
  • 2. „Iddah hitungan bulan, Padahal ini ada perbedaan antara wanita merdeka dan budak.
  • 3. „Iddah suci dari haid, Pada hal ini juga ada perbedaan antara wanita merdeka dan budak.

10. Iddah Wanita Hamil
Iddah seorang wanita yang hamil lalu melahirkan bayi itu dengan syarat tujuh perkara ialah:

  • 1. Lahir anak manusia. Bila lahir binatang maka tidak lepas iddah, tetapi iddahnya dengan tiga sucian yaitu hitungan dimulai setelah lahir bayi.
  • 2. Suami yang menceraikan tidak dikebiri. Bila dikebiri maka tidak lepas iddah dengan kelahiran bayi, melainkan dengan iddah tiga sucian.
  • 3. Bila suami tidak dikebiri maka dipertimbangkan. Jika ketika nikah kandungannya sampai enam bulan. Bila kurang dari enam bulan, maka tidak bisa lepas iddah dengan kelahiran kandungan, tetapi iddahnya tiga sucian.
  • 4. Di lihat ketika di thalaq suaminya. Bila belum penuh empat tahun mulai di thalaq, maka lepasnya iddah kelahiran kandungan. Dan jika lebih dari empat tahun, maka iddahnya dengan tiga sucian.
  • 5. Wanita itu hendaklah jangan disetubuhi secara syubhat. Bila disetubuhi dengan syubhat lalu hamil, maka lepas iddahnya tiga sucian.
  • 6. Jangan dinikah oleh orang lain. Bila dinikah orang lain di dalam iddah dan persangkaannya benar, maka keduanya harus diceraikan oleh Qadli, serta tidak dapat melepaskan iddah. Iddahnya nikah juga batal, sehingga lepasnya iddah harus dengan tiga sucian.
  • 7. Jangan terdapat bayi dalam kandungan. Bila terdapat bayi dalam kandungan, maka tidak bisa lepas iddah suami pertama dengan kelahiran. Dengan kelahiran kandungan, suami yang kedua itu dapat terlepas iddahnya.

11. Iddah Anak Kecil dan Wanita Istihadlah
Wanita yang belum baligh, jika dithalaq suaminya maka lepas iddahnya selama tiga bulan. Dan bagi wanita istihadlah (terus-menerus keluar darah dari farji). Bila dithalaq suaminya, maka lepas iddahnya selama tiga bulan.

Adapun perhitungan satu bulan ialah tiga puluh hari penuh. Ketika dekat usia baligh seorang anak wanita (murohiqoh) dithalaq suaminya, maka lepas iddahnya selama tiga bulan penuh juga (90 hari). Bila ternyata kurang satu hari tiga bulan wanita itu kemudian haid, maka lepas iddahnya menjadi tiga suci lamanya.

12. Pengakuan Baligh Seorang Wanita
Ucapan anak wanita dapat dibenarkan dalam pengakuan dirinya atas baligh yang disebabkan haid atau keluar mani, dan tanpa perlu dengan disumpah. Hal ini disebabkan karena pada kebiasaan, serta tidak ada jalan yang diketahui kecuali dari penuturan anak tersebut.

Tidak dibenarkan pengakuan baligh dengan tahun, kecuali dengan adaya pembuktian (bayyinat) yaitu khabar dari orang adil atau tsiqah yang menyatakan bahwa anak tersebut sudah berusia lima belas tahun. (Hamisy I’anatut Thalibin: III/314).

13. Tanda-Tanda Baligh
Tanda-tanda anak lelaki memasuki usia baligh adalah jika terdapat salah satu dari tiga perkara berikut ini:

  • 1. Keluar air mani sesudah usia sembilan tahun.
  • 2. Tumbuh bulu zakar.
  • 3. Sudah usia sebanyak lima belas tahun.

Tanda-tanda anak wanita memasuki usia balighah adalah jika terdapat salah satu dari tiga perkara berikut ini:

  • 1. Keluar darah haid pada anak wanita setelah berusia sembilan tahun.
  • 2. Sudah usia lima belas tahun.
  • 3. Hamil.

14. Tanda Balighah Karena Hamil
Anak wanita yang disetubuhi oleh seorang lelaki itu tidak dapat menjadi ketetapan untuk dikatakan baligh. Namun jika dari persetubuhannya itu ternyata hamil, maka kehamilan itulah yang menjadi tanda balighah.

15. Iddah Wanita Ditinggal Pergi
Ketika seorang lelaki pergi merantau di negeri orang selama waktu yang sangat lama dan istrinya dengan sabar menunggu di rumah. Secara tiba-tiba, istrinya tersebut mendengar berita dari orang yang dapat dipercaya, bahwa lelaki (suaminya) itu telah meninggal dunia, maka masa iddahnya (diperkirakan) dari hari pertama menerima berita kematian itu hingga selama empat bulan sepuluh hari. Hal itu berlaku ketika wanita tersebut tidak hamil. Akan tetapi ketika wanita tersebut hamil, maka masa iddahnya dengan kelahiran kandungan.

16. Usia Kehamilan
Masa kehamilan seorang wanita paling sedikit adalah enam bulan, kemudian melahirkan. Dan paling lama masa kehamilan wanita adalah tidak lebih dari empat tahun. Imam Syafi'i sendiri, ketika dalam kandungan ibunya selama empat tahun, sehingga beliau menfatwakan demikian. (Hamisy Al Bajuri: II/113).

17. Nasab Anak Zina
Seorang lelaki menyetubuhi seorang wanita dengan zina kemudian hamil, dan setelah itu segera dinikahi oleh lelaki tersebut, maka nasab anak kepada anak siapa?

Apabila dari awal pernikahan sampai kelahiran kandungan berupa bayi itu berumur enam bulan lebih sedikit (lahdlatain), maka hukum anak tersebut senasab dengan lelaki yang menyetubuhi zina itu. Tetapi, apabila antara pernikahan dan kelahiran kandungan kurang dari enam bulan, maka anak itu tidak senasab dengannya dan termasuk anak tiri.

18. Iddah Ammat Hamil
Iddah seorang ammat (budak wanita) yang hamil adalah dengan kelahiran kandungan seperti iddah seorang wanita merdeka hamil. Dan jika dengan masa sucian, maka iddahnya dengan dua sucian. Dan jika dengan kematian suaminya maka dengan iddah bulan, yaitu dua bulan lebih lima hari (65 hari). Dan jika dari thalaq, hendaklah iddah dengan satu setengah bulan (45 hari). Apabila dengan iddah dua bulan, maka lebih utama.

19. Hukum Istibra’
Setiap orang yang baru memiliki seorang budak wanita maka haram atasnya (tuannya/pemilik amat) untuk beristimta', kecuali hingga melakukan istibra' dengan budak itu. Jika budak yang dimiliki tersebut mempunyai haid, maka hitungan istibra‟ dengan haid. Jika budak yang dimiliki tersebut mempunyai hitungan bulan, maka hitungan istibra' budak tersebut dengan bulan. Dan Jika budak yang dimiliki tersebut mempunyai hamil, maka istibra' budak tersebut dengan kelahiran kandungannya. Itulah istibra' budak wanita (ammat), sebab adanya kepemilikan baru atasnya. (Hamisy Al Bajuri: II/201-203).

20. Ummul Walad
Ketika tuan dari ummi walad telah wafat, maka ia melakukan istibra' dirinya sendiri seperti istibra‟nya budak ammat. (Hamisy Al Bajuri: II/181).

21. Ammat yang Diwathi (Disetubuhi)
Jika seorang tuan (majikan) meng-istibra‟-kan budak yang telah diwathi oleh tuannya tersebut dan kemudian ia memerdekakan budaknya, maka hal itu bukanlah istibra' karena amat tersebut sudah merdeka. Dan boleh bagi budak yang sudah merdeka itu menikahkan dirinya dengan tuannya tanpa perlu menunggu iddah. (Hamisy Al Bajuri: II/205).

22. Menikahi Ammat Merdeka
Jika seorang tuan (majikan) memerdekakan ummu waladnya yang sudah disetubuhi, maka bolehlah bagi tuannya menikah kepada ammat (ummu walad) yang sudah merdeka tersebut tanpa melakukan istibra'. Hal ini merupakan fatwa dari qaul ashah, mu'tamad. Juga seperti hukum halalnya bagi seorang lelaki menikahi istri yang di thalaq dalam masa iddah, hal tersebut dikarenakan bahwa sesungguhnya air mani bagi seorang lelaki tidak tercampur dengan air mani orang lain. (Muwafiq lil Iqra’: II/182).

23. Kewajiban Suami Dalam Thalaq Raj’i
Merupakan kewajiban (wajib ‟ain) bagi seorang lelaki terhadap wanita mantan istrinya di dalam iddah thalaq raj'i yaitu merumahkan mantan istrinya tersebut serta memberi nafkah. Hal tersebut menjadi tidak wajib bagi lelaki kalau wanita itu melakukan nusyuz sebelum dicerai atau terjadi nusyuz di tengah masa iddahnya, sehingga dalam hal ini seorang lelaki tidak wajib ain memberi nafkah yang disebabkan nusyuz (tetapi lelaki tetap wajib merumahkan selama masa iddah). (Hamisy Al Bajuri: II/196-197).

24. Kewajiban Dalam Thalaq Bain
Merupakan kewajiban (wajib ain) seorang lelaki terhadap istrinya yang di thalaq bain yaitu menempatkan dalam rumah (merumahkan) mantan istrinya tersebut. Dan tidak wajib untuk memberi nafkah kecuali wanita itu dalam keadaan hamil, sehingga kewajiban lelaki memberi nafkah tersebut dikarenakan atas kehamilannya. (Hamisy Al Bajuri: II/197-199).

25. Kewajiban Ihdad
Wajib bagi seorang wanita yang ditinggal wafat suaminya untuk melakukan Ihdad (bombrong) (imtina’ minaz zinati watthiibi) yaitu mencegah dirinya dari berhias, memakai wewangian dan sejenisnya, supaya membawa hikmah kepada lelaki lain agar tidak mudah tertarik dan hendak segera menikah dengannya dalam masa iddah. (Al Bajuri: II/197-199).

26. Wanita Iddah Wajib di Rumah
Wajib atas setiap wanita yang ditinggal wafat suaminya dan dithalaq bain, untuk menetap (tinggal) di rumah selama masa iddahnya selesai. Kecuali jika dikarenakan adanya hajat mendesak, maka bolehlah bagi wanita itu keluar dari rumahnya untuk mendapatkan rizki atau sandang pangan. Dan wanita tersebut tetap diwajibkan menjaga dirinya dari berbuat kemaksiatan. (Hamisy Al Bajuri: II/200).

27. Batas Nafkah Kepada Istri
Memberikan nafkah kepada istri yang tamkin (terus-menerus tetap setia kepada suami) merupakan kewajiban bagi suami. Baik nafkah tersebut berupa sandang pangan yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Ketika keadaan suami Musir (yang mudah dalam mencari rizki), maka wajib memberi nafkah istrinya berupa:

  • a. Setiap hari sebanyak dua mud yang berasal dari kebiasaan makanan yang mengenyangkan seperti gandum, padi, jagung dan makanan-makanan lain yang menjadi kebiasaan negaranya.
  • b. Lauk Pauk untuk pelengkap makanan istrinya.
  • c. Pakaian yang pantas dan berlaku pada kebiasaan negara/daerahnya dengan tujuan guna melindungi kesehatan dan kebaikan tubuhnya.

2. Ketika keadaan suami Mu’sir (yang kesulitan mencari rizki), maka wajib memberi nafkah kepada istrinya berupa:

  • a. Setiap hari sebanyak satu mud gandum, beras, jagung atau lainnya.
  • b. Lauk pauk untuk pelengkap makanan istrinya.
  • c. Pakaian yang pantas dan berlaku pada kebiasaan negara/daerahnya dengan tujuan guna melindungi kesehatan dan kebaikan tubuhnya.

3. Dan ketika suami keadaan menengah (sedang), maka wajib memberi nafkah kepada istrinya berupa:

  • a. Setiap hari sebanyak satu setengah mud gandum, beras, jagung atau makanan lain yang dapat mengenyangkan yaitu berdasarkan kebiasaan negara/daerahnya tersebut.
  • b. Lauk pauk untuk pelengkap makanan istrinya.
  • c. Pakaian yang pantas dan berlaku pada kebiasaan negara/daerahnya dengan tujuan guna melindungi kesehatan dan kebaikan tubuhnya.

Kewajiban-kewajiban suami di atas haruslah ditunaikan. Akan tetapi jika sang istri menerima (ridha) atas kekurangan-kekurangan atas nafkah yang diberikan suaminya, maka seorang suami tidaklah dituntut oleh hukum syara' untuk memenuhinya.

28. Kewajiban Nafkah Lain Bagi Suami
Tanbihun! (peringatan), yaitu mengingatkan kepada suami. Di samping kewajiban-kewajiban tersebut di atas, sebenarnya masih ada beberapa kewajiban seorang suami terhadap istri yang harus ditunaikan yaitu sebagai berikut:

  • 1. Memberi alat kebutuhan makanan-makanan serta lauk pauk, seperti alat untuk menumbuk, menggiling, memasak, menyimpan dan sebagainya.
  • 2. Memberi alat untuk menjahit, mencuci, dan menyimpan pakaian.
  • 3. Tempat tidur mencakup kasur, bantal, selimut dan pelengkap lainnya.
  • 4. Alat kebersihan untuk mandi, makan, minum, tidur, memasak, mencuci dan lain sebagainya.

Semua pemberian suami kepada istrinya tersebut secara sah menjadi milik sang istri tanpa bisa diganggu gugat, meskipun tanpa adanya ijab dan qabul.

29. Kewajiban Suami Menyediakan Air
Wajib bagi seorang suami menyediakan air bagi istrinya untuk mandi yang bersifat wajib seperti mandi janabat yang diakibatkan karena bersetubuh dan juga mandi karena nifas. Dan tidak wajib seorang suami menyediakan air bagi istrinya untuk mandi haid, mandi wajib karena mimpi, atau pun menyediakan air untuk menghilangkan najis yang ada pada diri istri sertat tidak wajib pula suami menyediakan air untuk keperluan wudlu, karena semua hal tersebut tidak bertalian (berhubungan) langsung kepada suami.

30. Suami Mu’sir
Jika kondisi perekonomian suami mengalami kesulitan dalam memberi nafkah kepada istri di masa yag akan datang (hari esok), maka boleh bagi seorang istri bersabar atas kesulitan suaminya dan nafkahnya tersebut menggunakan harta milik istri sendiri, atau sang istri dapat menghutangi suaminya tersebut dan menjadikan nafkah itu tetap dihitung sebagai hutang yang wajib dibayar oleh suaminya.

Dan boleh juga, istri mengajukan gugatan fasakh nikah (perceraian) kepada Qadli hukum (Pengadilan Agama). Dari dua alternatif ini sebenarnya sang istri dapat memilih salah satu yang dianggapnya paling baik. Adapun suami yang mu‟sir (kesulitan ekonomi) dalam memberikan nafkah pada masa lalu (hari sebelumnya), maka seorang istri tidak boleh menggugat suami dengan alasan mu'sir pada waktu sebelum dukhul, baik istri mengetahui kesulitan suami itu sebelum akad nikah, atau sama sekali tidak mengetahuinya, demikian pula sang istri tidak boleh menggugat perceraian kepada Qadli Agama. (Hamisy Al Bajuri: II/218-220).

31. Syarat-Syarat Fasakh Nikah Suami Yang Hadlir
Seorang istri boleh mengajukan fasakh (gugatan cerai) terhadap suami yang hadlir (tidak bepergian) dengan memenuhi lima syarat sebagai berikut:

  • 1. Seorang istri tersebut dalam keadaan taat kepada suami
  • 2. Suami memang kesulitan dalam memberi nafkah.
  • 3. Kemiskinan yang dituturkan tersebut dengan pembuktian (bayyinat) berupa seorang saksi yang jelas adil.
  • 4. Ditunggu sampai tiga hari penuh.
  • 5. Perintah fasakh (oleh wali) atas izin dari wanita tersebut.

32. Syarat-Syarat Fasakh Nikah Suami Yang Ghaib
Tidak boleh seorang istri mengajukan fasakh (gugatan cerai) terhadap suami yang ghaib (sedang bepergian), kecuali dengan memenuhi lima syarat sebagai berikut:

  • 1. Suami tidak diketahui tempat tinggalnya.
  • 2. Istri tersebut dalam ketaatan kepada suami dan tidak pernah nusyuz ketika sebelum dan sesudah suami bepergian.
  • 3. Suami tidak memberi persediaan nafkah cukup istrinya.
  • 4. Gugatan yang demikian itu harus dengan pembuktian (bayyinat).
  • 5. Seorang hakim menghukumi dengan sighat lafal fasakh, setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi.


Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam