BAB 10. Melatih Jiwa Anak Sejak Dini



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


📚 Mengajari Anak tentang Etika Makan-Minum 📚 Mengajari Anak tentang Etika Berpakaian 📚 Yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dipelajari Seorang Anak 📚 Memberikan Penghargaan kepada Anak 📚 Hubungan antara Anak dan Kedua Orangtuanya 📚 Membiasakan Hidup Sederhana 📚 Membiasakan Sikap Berterus-terang 📚 Kebiasaan Berolahraga 📚 Kebiasaan Bersikap Tawadhu 📚 Menahan Diri dari Segala Sesuatu Milik Orang lain 📚 Etika Ketika Duduk Bersama Orang Lain 📚 Larangan Mencaci-maki 📚 Membiasakan Anak Agar Tabah dan Berani 📚 Memberi Kesempatan untuk Bermain-main 📚 Mematuhi Kedua Orangtua 📚 Mengajarinya Agar Berdisiplin dalam Tugas 📚 Pelatihan Jiwa Anak Secara Bertahap 📚 Pengaruh Penyuluhan dan Pendidikan di Usia Dini

Ketahuilah, melatih jiwa anak-anak termasuk hal yang amat penting dan perlu. Seorang anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Jiwanya yang masih suci bagaikan batu permata yang masih polos, belum diukir dan belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja dia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya, dan memiliki kecenderungan yang dibiasakan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, dia akan tumbuh dewasa dalam keadaan yang baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia maupun di akhirat. Kedua orangtuanya, gurunya, serta para pendidiknya pun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya.

Namun, jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya dia akan sengsara dan binasa. Dosanya akan dipikul juga oleh kedua orangtuanya, walinya, atau siapa saja yang bertanggungjawab atas pendidikannya.

Allah Swt. berfirman:

Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (QS Al-Tahrim: 6)

Jika pendidikan yang baik akan mampu memeliharanya dari "neraka" dunia, tentunya dia lebih patut lagi memeliharanya dari neraka akhirat.

Adapun yang dimaksud dengan "memeliharanya" ialah mendidik, mengajarinya, menumbuhkan kepadanya akhlak yang mulia, menjauhkannya dari teman-teman yang buruk perilaku, tidak membiasakannya hidup bersenang-senang, tidak pula membuatnya terbiasa pada berbagai perhiasan dan kemewahan, sehingga dia akan menghabiskan usianya dalam mengejar cara hidup seperti itu, yang tentu akan mengakibatkan kesengsaraan dan kehancurannya selama-lamanya.

Untuk itulah, seharusnya dia diawasi dan dipelihara sejak awal usianya. Yaitu, dengan tidak mempercayakan pengasuhannya dan penyusuannya kecuali kepada seorang wanita pengasuh yang salihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja. Sebab, air susu yang diperoleh dari sesuatu yang haram, sama sekali tidak ada berkahnya. Jika hal itu yang menjadi makanan seorang bayi, jiwa raganya akan terbentuk oleh “adonan” yang buruk. Karena itu, dalam pertumbuhannya dia akan cenderung pada segala sesuatu yang buruk pula.

Selanjutnya, apabila si ayah melihat tanda-tanda tamyiz (perkembangan awal daya pikir) pada diri seorang anak, hendaknya dia berlaku bijak dalam mengawasinya. Tanda pertama berkaitan dengan itu adalah munculnya rasa malu, yang menimbulkan perilaku sopan santun serta keengganan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang dianggapnya kurang layak baginya. Terjadinya hal itu, tak lain adalah disebabkan terbitnya cahaya akal dalam jiwanya. Sehingga, dia dapat membedakan antara yang buruk dan yang baik. Karenanya, dia mungkin akan merasa malu dari sesuatu, tetapi tidak dari sesuatu lainnya. Ini merupakan karunia Allah Swt. dan merupakan tanda kesempurnaan akalnya pada saat mencapai usia balignya kelak. Oleh sebab itu, seorang anak yang telah memiliki rasa malu hendaklah diperhatikan baik-baik, dengan menjadikan rasa malunya serta kemampuan tamyiz-nya itu sebagai dasar pendidikannya.

📚 Mengajari Anak tentang Etika Makan-Minum


Di antara sifat-sifat pertama yang biasanya menonjol pada diri seorang anak adalah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah kepadanya diajarkan tentang etika makan-minum. Misalnya, tidak boleh mengambil makanan kecuali dengan tangan kanannya, seraya mengiringinya dengan ucapan bismillahirrahmanirrahim, tidak makan makanan kecuali yang terletak dekat dengannya saja, tidak memulai makan sebelum orang-orang selainnya, tidak memusatkan pandangannya ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang yang sedang makan, tidak tergesa-gesa sehingga kurang cukup mengunyah, tidak memasukkan makanan ke mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, dan tidak mengotori pakaian dan tangannya (kecuali beberapa jari yang digunakan untuk bersuap). Juga hendaknya dia—kadang-kadang—dibiasakan makan roti tanpa lauk agar tidak menganggap adanya lauk sebagai suatu keharusan. Hendaknya diajarkan kepadanya bahwa makan terlalu banyak adalah suatu perbuatan tidak baik, dan hanya layak bagi hewan-hewan. Hendaknya ditujukan kecaman di hadapannya, kepada anak yang banyak makanannya. Sebaliknya, diberikan pujian kepada anak yang sopan dan sedikit makannya. Selalu anjurkan kepadanya untuk mengutamakan orang lain— dalam hal makanan—di atas dirinya sendiri. Dan agar dia, tidak terlalu peduli dengan makanan apa pun. Juga, hendaknya dia memuaskan diri dengan makanan apa saja yang tersedia baginya, betapa pun sederhananya.

📚 Mengajari Anak tentang Etika Berpakaian


Hendaknya diajarkan kepadanya agar menyukai pakaian yang putih-putih saja, bukan yang berwarna ataupun yang terbuat dari sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau yang berlagak kebanci-bancian, dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakan baju berwarna atau terbuat dari sutera, sebaiknya si ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Selanjutnya, hendaknya dia menjauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan orang-orang yang mungkin akan memengaruhi si anak, sehingga mengubah penilaiannya terhadap apa yang telah diajarkan kepadanya.

Semua itu, mengingat bahwa apabila seorang anak tidak diperhatikan jalan pikirannya sejak usianya yang dini, besar kemungkinannya dia akan tumbuh dewasa dalam keadaan buruk akhlaknya, pembohong, pendengki, pencuri, pemitnah, tak tahu malu, suka mencampuri urusan orang lain, gemar bermain-main, licik, dan tidak suka pada hal-hal yang serius.

Segala kejelekan itu hanya dapat dicegah dengan pendidikan yang baik dan bijak.

📚 Yang Boleh dan yang Tidak Boleh Dipelajari Seorang Anak


Pada waktunya, hendaknya dia dimasukkan ke sekolah untuk belajar membaca dan mengerti Al-Quran, hadis-hadis, serta kisah-kisah menarik tentang orang-orang saleh, agar tertanam kecintaan kepada mereka di hatinya. Hendaknya dia dijauhkan dari syair-syair yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan tentang cinta dan birahi, serta orang-orang yang terlibat dengannya. Juga, dijauhkan dari para “sastrawan” yang menyatakan bahwa syair-syair atau ungkapan-ungkapan seperti itu menunjukkan tingginya budaya seseorang serta kehalusan perasaannya. Padahal, itu pasti akan memasukkan benih-benih kerusakan dalam jiwanya.

📚 Memberikan Penghargaan kepada Anak


Setiap kali seorang anak menunjukkan suatu perilaku yang mulia atau perbuatan yang baik, seyogianya dia memperoleh pujian dan jika perlu diberi hadiah atau insentif dengan sesuatu yang menggembirakannya atau ditujukan pujian kepadanya di depan orang-orang sekitarnya.

Kemudian, jika suatu saat dia bertindak berlawanan dengan itu, untuk kali pertama, sebaiknya si ayah berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Dalam hal ini, tidaklah perlu menyatakan kepadanya, misalnya, bahwa dia tak menyangka bahwa ada orang yang berani melakukan tindakan seperti itu. Apalagi jika si anak sendiri berupaya merahasiakannya. Dalam keadaan seperti ini, ada kemungkinan bahwa membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya, sehingga dia tidak peduli lagi dengan kecaman siapa pun.

Setelah itu, apabila dia mengulangi lagi perbuatannya, sebaiknya dia ditegur secara rahasia (tidak di depan orang lain) dan memberitahunya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Hendaknya dikatakan kepadanya agar dia tidak sekali-kali mengulangi hal seperti itu, sehingga dapat memalukannya sendiri di depan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan-perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu, mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman yang ditujukan kepadanya.

📚 Hubungan antara Anak dan Kedua Orangtuanya


Seorang ayah hendaknya selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anaknya. Untuk itu, janganlah dia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, si ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk.

📚 Membiasakan Hidup Sederhana


Seorang anak sebaiknya tidak boleh dibiasakan tidur di siang hari, sebab hal itu dapat menyebabkannya malas. Sebaiknya dia hanya tidur di malam hari saja, tetapi janganlah dia diberi kasur yang sangat empuk, supaya punggungnya menjadi kuat. Dia pun harus dicegah jangan sampai tubuhnya menjadi amat gemuk, sehingga akan sulit baginya apabila dicegah dari makanan yang enak-enak. Sebaliknya, hendaknya dia dibiasakan dengan cara hidup yang keras (amat sederhana) dalam tempat tidurnya, pakaiannya, serta makanannya.

📚 Membiasakan Sikap Berterus-terang


Sebaiknya dia dilarang melakukan suatu pekerjaan secara sembunyi-sembunyi. Sebab dia tidak akan melakukannya secara itu, kecuali jika menyadari bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah sesuatu yang buruk. Maka, jika telah terbiasa untuk tidak merahasiakan pekerjaannya, dapatlah diharapkan bahwa dia akan menolak melakukan hal-hal yang buruk.

📚 Kebiasaan Berolahraga


Hendaknya pada sebagian waktu siang hari, dia dibiasakan untuk berolahraga, dengan berjalan kaki atau dengan melakukan gerakan-gerakan tertentu, agar dia tidak dikuasai oleh rasa malas. Akan tetapi, hendaknya dia dibiasakan kepadanya agar dalam melakukan hal itu, senantiasa menutupi auratnya. Janganlah dia berlari terlalu cepat, tidak menjulurkan kedua tangannya ke bawah, tetapi mengatupkan keduanya di dadanya.

📚 Kebiasaan Bersikap Tawadhu


Hendaknya dia dilarang membanggakan sesuatu yang dimiliki kedua orangtuanya, di depan kawan-kawannya. Demikian pula sesuatu yang berkaitan dengan makanannya, pakaiannya, peralatan sekolahnya, ataupun lain-lainnya. Hal ini dilakukan agar dia terbiasa untuk bertawadhu dan menghormati semua orang yang berhubungan dengannya, serta bersopan santun dalam pembicaraannya dengan mereka.

📚 Menahan Diri dari Segala Sesuatu Milik Orang lain


Hendaklah diyakinkan kepadanya agar tidak sekali-kali mengambil sesuatu yang menjadi milik anak-anak lain walaupun mungkin sangat diinginkannya. Hal ini dilakukan demi menjaga kehormatan dan kemuliaan kedudukannya, jika dia kebetulan berasal dari keluarga yang dihormati dan dimuliakan. Dan agar dia benar-benar menyadari bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi, bukannya dengan mengambil sesuatu. Sebab, mengambil sesuatu yang bukan miliknya merupakan perbuatan yang rendah, hina, dan buruk.

Apabila dia kebetulan berasal dari keluarga miskin, hendaknya diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi sesuatu oleh orang lain, merupakan suatu sifat yang menghinakan dan tidak terhormat. Dan bahwa hal itu semua, sama seperti perilaku anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang sangat diinginkannya.

Secara umum, hendaknya anak-anak—sejak kecilnya— disadarkan tentang buruknya perilaku kecintaan pada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya. Dan agar mereka ditakut-takuti dari kedua-duanya, lebih daripada takut-takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan pada emas dan perak serta keinginan untuk memilikinya lebih besar daripada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang-orang dewasa.

📚 Etika Ketika Duduk Bersama Orang Lain


Hendaklah dibiasakan kepada anak-anak, agar menaati pelbagai adab ketika duduk bersama orang lain. Misalnya, tidak dibolehkan meludah, tidak membuang ingus, tidak menguap di depan orang lain, tidak membelakanginya, tidak meletakkan kaki di atas kakinya yang lain, tidak meletakkan tangannya di bawah dagu, dan tidak menyangga kepala dengan tangannya. Sebab, sikap duduk seperti ini menunjukkan kemalasan. Karenanya, ajarkan kepadanya cara duduk yang sopan. Selain itu, hendaknya diajarkan agar tidak banyak berbicara. Sebab, hal itu juga tidak menunjukkan kesopanan, dan hanya layak bagi anak-anak yang tak berbudi.

Anak-anak hendaknya dilarang sama sekali dari kebiasaan bersumpah, baik dalam kebenaran apalagi dalam kebohongan. Hendaknya dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekadar memberikan jawaban yang secukupnya. Ajarkan kepada mereka agar pandai-pandai mendengarkan orang lain apabila dia berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan, ajarkan pula agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka, memberinya tempat duduk, dan setelah itu duduk dengan sopan di hadapannya.

📚 Larangan Mencaci-maki


Hendaknya setiap anak dididik agar tidak mengucapkan kata-kata kotor atau yang sia-sia. Atau melaknat dan mencaci-maki. Atau bersahabat dengan siapa saja yang berperilaku seperti itu. Sebab, orang-orang seperti itu, pasti menularkan perilakunya yang buruk kepada orang lain yang bersahabat dengan mereka. Adapun dasar utama dalam pendidikan anak-anak adalah menjauhkan mereka dari teman-teman yang tidak baik akhlaknya.

📚 Membiasakan Anak Agar Tabah dan Berani


Apabila dia dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaknya dia tidak berteriak-teriak ataupun ribut-ribut. Tidak sepatutnya pula dia meminta pertolongan orang lain agar diselamatkan dari hukuman itu. Tetapi, seharusnya dia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang yang jantan dan berani. Sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.

📚 Memberi Kesempatan untuk Bermain-main


Apabila telah pulang dari sekolah, hendaknya diizinkan kepadanya untuk bermain-main sekadarnya. Agar dapat beristirahat dari kelelahan setelah belajar. Tetapi, jangan pula dia dibiarklan bermain-main secara berlebihan agar tidak merasa lelah setelah itu. Bermain-main bagi seorang anak adalah sesuatu yang penting. Sebab, melarangnya dari bermain-main seraya memaksanya untuk belajar terus-menerus dapat mematikan hatinya, mengganggu kecerdasannya, dan merusak irama hidupnya. Begitulah, sehingga dia akan berupaya melepaskan diri sama sekali dari kewajibannya untuk belajar.

📚 Mematuhi Kedua Orangtua


Hendaknya diajarkan kepadanya agara selalu taat kepada kedua orangtuanya, gurunya, serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Ajarkan agar dia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua darinya. Baik yang termasuk anggota keluarga ataupun yang bukan. Dan, agar dia senantiasa bersikap sopan santun dan tidak bercanda atau bersenda gurau di hadapan mereka.

📚 Mengajarinya Agar Berdisiplin dalam Tugas


Apabila telah mencapai usia tamyiz (kira-kira usia tujuh tahun), hendaknya tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan agar berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan. Selain itu, hendaknya dia tidak diberi pakaian yang terbuat dari sutera, atau mengenakan perhiasan emas. Kemudian, ajarkan kepadanya beberapa hukum syariat yang diperlukannya. Juga, hendaknya ditakut-takuti dari perbuatan mencuri dan makan minuman yang haram, berkhianat, berbohong, dan mengucapkan kata-kata keji, serta berbagai kebiasaan buruk yang sering dilakukan anak-anak.

📚 Pelatihan Jiwa Anak Secara Bertahap


Apabila pertumbuhan anak sejak dini disertai dengan pembiasaan pelbagai adab dan akhlak seperti telah diuraikan di atas, nantinya—ketika mendekati usia balig—dia sudah cukup siap untuk mengetahui tentang rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik semua itu. Misalnya, bahwa makanan itu hanyalah sebagai obat yang dimaksudkan guna memberi kekuatan pada manusia untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt. dan bahwa dunia ini semuanya—pada hakikatnya—tidak ada. Karena ia tidak langgeng, mengingat bahwa kematian akan memupuskan segala kenikmatan yang ada kepadanya. Mengingat bahwa ia adalah tempat lintasan sementara, bukannya tempat hunian yang abadi. Sebaliknya, akhiratlah yang merupakan tempat hunian yang abadi, bukannya lintasan sementara. Maut senantiasa menunggu di tiap saat. Dan bahwa seorang yang dapat disebut berakal dan piawai adalah yang mengambil bekalnya dari dunia ini untuk akhiratnya. Sehingga, menjadi makin tinggi derajatnya di sisi Allah, dan makin luas kesempatannya untuk menikmati surga-surganya.

Nah, jika pertumbuhan anak itu sehat maka uraian seperti itu, ketika menginjak usia balignya pasti akan sangat berpengaruh, merasuk, dan menetap kuat dalam jiwanya, bagaikan ukiran di atas batu cadas. Akan tetapi, jika pertumbuhannya tidak demikian, sehingga si anak telah terbiasa menghabiskan waktunya untuk bermain-main, mengucapkan kata-kata kotor, kurang ajar, rakus dalam makanan, bermewah-mewahan dalam pakaian dan dandanan, serta gemar berbangga-bangga maka sudah pasti hatinya tak bisa menerima omongan di atas. Bagaikan tanah kering, tak dapat menempel di dinding yang licin.

Jelaslah bahwa awal mula segalanya itulah yang harus benar-benar diperhatikan. Sebab, seorang anak pada hakikatnya telah tercipta dengan kemampuan untuk menerima kebaikan maupun keburukan. Kedua orangtuanyalah yang membuatnya cenderung ke arah salah satu dari keduanya. Sebagaimana dalam sabda Nabi Saw.:

"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih dan suci) maka kedua orangtuanyalah yang membuatnya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi."

📚 Pengaruh Penyuluhan dan Pendidikan di Usia Dini


Telah berkata Sahl Al-Tusturiy, “Ketika berusia tiga tahun, aku selalu bangun di malam hari, dan melihat pamanku, Muhammad bin Siwar sedang shalat. Pada suatu hari, dia berkata kepadaku, ‘Tidakkah engkau mengingat Allah yang telah menciptamu?’ Maka jawabku, ‘Bagaimana aku mengingatnya?’ ‘Begini’, katanya. ‘Setiap kali engkau bersiap-siap untuk tidur di malam hari, katakanlah dalam hatimu sebanyak tiga kali tanpa menggerakkan lidahmu, Allah bersamaku, Allah sedang melihat ke arahku, Allah menyaksikan segala gerak-geriku.’ Aku pun mengucapkan seperti yang diajarkan kepadaku selama beberapa malam, lalu kuberitahukan hal itu kepadanya. Maka dia berkata, ‘Mulai sekarang, katakan seperti itu tujuh kali setiap malam.’ Aku pun melaksanakannya lalu memberitahukan hal itu kepadanya. Katanya lagi, ‘Ucapkan itu sebelas kali setiap malam.’ Aku pun mengucapkannya, dan sedikit demi sedikit aku mulai menikmatinya. Setelah hal itu berlangsung setahun lamanya, pamanku berkata lagi, ‘Pertahankanlah apa yang telah kuajarkan kepadamu. Teruskan membacanya sampai engkau masuk kubur. Sebab, itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.’ Begitulah aku tak pernah meninggalkannya, selama beberapa tahun. Aku pun makin merasakan ‘manisnya’ dalam hatiku. Kemudian, di suatu hari, pamanku berkata lagi, ‘Hai Sahl, barangsiapa yang Allah bersamanya, melihat ke arahnya dan menyaksikan segala gerak-geriknya, adakah dia berani melakukan maksiat terhadapnya? Awas jangan sekali-kali engkau bermaksiat!’

Sejak saat itu, aku lebih banyak menyendiri (beribadah dan bertafakur). Sampai suatu hari, keluargaku hendak mengirimku ke sekolah. Maka kukatakan kepada mereka, ‘Aku khawatir konsentrasiku akan terpecah. Karenanya, mintakanlah dispensasi untukku, agar aku belajar sebagian waktu, kemudian dibolehkan pulang.’ Begitulah, sejak itu aku pergi ke sekolah. Pertama-tama aku belajar Al-Quran dan berhasil menghafalnya ketika usiaku enam atau tujuh tahun, makananku hanya roti terbuat dari jawawut. Ketika usiaku tiga belas tahun, ada masalah penting yang perlu kutanyakan. Maka, aku minta keluargaku agar mau mengirimku ke Kota Basra untuk menanyakan tentang masalah tersebut. Sesampainya di sana, aku berusaha mendapat jawaban dari para ulama kota itu, tetapi tak seorang pun memuaskan hatiku. Maka, kutinggalkan Basra menuju Kota Abadan, untuk menemui seorang ulama yang dikenal sebagai Abu Habib, Hamzah bin Abi Abdillah Al-Abadaniy. Ketika aku bertanya kepadanya tentang masalahku, dia memberiku jawaban yang memuaskan hatiku. Sejak itu, aku tinggal bersamanya selama beberapa waktu, mengambil manfaat dari ucapan-ucapannya, dan berusaha berperilaku seperti perilakunya. Kemudian, aku pulang ke Tustur. Dan untuk menghemat, aku menyuruh orang membelikan jawawut seharga satu dirham, menumbuknya, kemudian memasaknya menjadi roti. Itulah makananku untuk berbuka setiap petang, tanpa garam dan tanpa lauk pauk. Dengan begitu, aku mencukupkan diriku dengan makanan seharga satu dirham. Hal ini berlangsung selama setahun. Setelah itu, aku mulai mengosongkan perutku sampai malam dan berbuka satu malam. Setelah itu, menambah lagi puasaku menjadi lima, tujuh, dan kemudian dua puluh lima malam. Begitulah kebiasaanku selama dua puluh tahun. Kemudian, selama beberapa tahun setelah itu, aku mengembara di muka bumi, lalu pulang lagi ke Tustur. Sementara itu, aku bangun sepanjang malam, sejauh yang dikehendaki Allah Swt.”

Ahmad, si perawi kisah ini, melanjutkan, “Sejak itu, aku tak pernah melihatnya merasakan garam, sampai saat wafatnya.”

Dengan ini pula, selesailah buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia ini.

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya. Demikian pula bagi setiap hamba yang telah dipilih oleh-Nya, di bumi maupun di langit. Sungguh, tiada yang memberi tauik selain Allah Swt. Kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya kami kembali.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam