Bab 11. Qadli dan Fasakh



📚 Terjemah Kitab Ringkasan Tabyinul Ishlah Li Muridin Nikah



1. Tiga Macam Qadli
Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Orang-orang yang jadi Qadli (penghulu) agama terdapat tiga macam, yaitu yang satu masuk ke surga dan yang dua masuk ke neraka”.

Penjelasan hadits tersebut adalah sebagai
berikut:

  • 1. Qadli yang satu kelak bertempat di dalam surga penuh kenikmatan selama-lamanya adalah Qadli yang mengetahui hukum serta benar dalam melaksanakan hukum tersebut.
  • 2. Qadli yang kedua kelak bertempat di neraka yang penuh dengan kesengsaraan adalah Qadli yang mengetahui hukum agama, akan tetapi melakukan penyimpangan dalam melaksanakan hukum tersebut serta hanya bertujuan mengharap kehidupan duniawi.
  • 3. Qadli yang ketiga kelak bertempat di neraka juga, yaitu qadli yang tidak mengetahui hukum, sehingga dia berani membuat keputusan yang jauh menyimpang dari hukum agama yang sebenarnya.

Dalam Al Qur'an surat At Taubah ayat 34 juga dijelaskan:

”Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.

Dalam Al Qur‟an surat Huud ayat 112:

”Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dalam Al Qur'an surat An Nisa‟ ayat 59:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.

Dalam Al Qur'an surat Al Maidah ayat 45:

”dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.

Dalam Al Qur'an surat Al Maidah ayat 49:

“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 42:

“dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”.

Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 42:

“Hai ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil [Yaitu: menutupi firman-firman Allah yang termaktub dalam Taurat dan Injil dengan perkataan-perkataan yang dibuat-buat mereka (ahli Kitab) sendiri], dan Menyembunyikan kebenaran [Maksudnya: kebenaran tentang kenabian Muhammad s.a.w. yang tersebut dalam Taurat dan Injil], Padahal kamu mengetahuinya?”

2. Orang Bodoh Memutuskan Hukum
Menghukumi sesuatu dengan disertai kebodohan (ketidak tahuan akan sesuatu yang akan dihukumi tersebut) maka termasuk perbuatan yang haram. Dan yang menghukumi tanpa adanya ilmu pengetahuan maka menjadi orang yang berdosa dan wajib bertaubat.

3. Penyimpangan Hukum
Barang siapa melaksanakan hukum yang sebenar-benarnya karena untuk menyelesaikan semua hukum persengketaan, hukum pernikahan, membela keadilan hukum kepada orang yang dianiaya, menegakkan hukum maslahat kepada sekalian manusia, dan sebagainya, padahal ia sendiri tidak mengetahui tentang hukum-hukum syara' serta liku-liku hukum yang sebenarnya, atau dia mengetahui tetapi tidak mengamalkan atas hukum yang sebenarnya, maka ia adalah termasuk orang yang zalim dan berbuat dosa besar, serta baginya berhak menempati neraka jahanam, dan ia pun juga termasuk orang yang menjadi perampok aturan syara'

4. Fasakh Karena Tidak Dapat Memenuhi Nafkah
Syaikh Ramli pernah ditanya oleh seseorang, “Apakah muktamad, kebolehan seorang istri mengajukan fasakh karena tidak menerima nafkah dari suaminya ketika bepergian, sekalipun suami itu orang kaya?”.

Seperti halnya apa fatwa yang telah disampaikan Syaikh Ibnu Shaleh dalam fatwanya, maka Syaikh Ramli menjawab: “Bahwa sesungguhnya, pendapat (qoul) muktamat adalah memperbolehkan fasakh seorang wanita bila terjadi seperti itu”.

5. Lafal Fasakh
Lafal fasakh adalah sebagai berikut: “Fasakhtu Nikaaha Haadzihi Imraatun”. Artinya: “Saya fasakh pada nikahnya wanita ini”. Fasakh dapat diajukan meskipun pada saat sebelum menikah, wanita tersebut telah menyatakan (iqrar) ridha atas perkara nafkah. Sehingga tetap diperbolehkan wanita mengajukan fasakh.

6. Iqrar Ridha Tidak Menjadi Atsar
Jika seorang wanita telah mengatakan (beriqrar) ridha sebelum atau sesudah nikah atas kesulitannya nafkah seorang suami, maka tetap diperbolehkan bagi istri mengajukan fasakh. Hal ini dikarenakan bahwa sesungguhnya kesengsaraan istri yang terjadi merupakan hal baru dan ucapan iqrarnya tidak memberikan bekas apa-apa. Adapun ucapan istri, “Saya sudah menerima dengan suami miskin selama-lamanya”.

Dalam hal ini mengindikasikan bahwa perjanjian tersebut tidaklah wajib dalam melaksanakannya. Kecuali bila wanita itu menerima atas kemiskinan suami dalam memberikan maskawin maka tidak boleh fasakh bagi istri, karena sesungguhnya kesengsaraan pada dirinya waita tersebut bukanlah hal yang baru terjadi. (Muwafiq: Fathul Wahhab: II/121 – Hamisy Sulaiman Jamal: Iv/510).

7. Tentang Wanita Melakukan Fasakh Sendiri
Jika seorang wanita melakukan fasakh sendiri karena tidak menemukan seorang hakim atau tahkim di tempat itu. Atau karena kesulitan wanita tersebut untuk melakukan rafa' kepada Qadli yang sudah diketahui selalu mengharapkan biaya, maka wanita itu boleh dan sah melakukan fasakh sendiri secara lahir maupun batin karena disebabkan dharurat, serta harus disertai dengan saksi berupa dua orang yang adil. Apabila tidak sepi (adanya) hakim, seperti bila mampu rafa' karena adanya biaya di atas adanya hakim atau muhakkam, maka wanita yang mem-fasakh dirinya sendiri tidak dianggap dapat sah baik dalam hukum lahir maupun batin.

Menurut sebagian ulama bahwa lulusnya fasakh pada kasus di atas adalah dalam batin. Dan jika tidak ada Hakim atau Tahkim karena kesulitan seperti yang telah disebutkan tadi, maka sah-sah saja melakukan istiqlal, yaitu melakukan fasakh sendiri disertai dengan dua saksi berupa orang yang adil. (Mughnil Muhtaj: III/444).

8. Islam Agama Paling Mudah Diamalkan
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku diutus oleh Allah untuk cenderung melakukan sesuatu yang mudah dikerjakan dan mudah menghasilkan kebenaran secara lahir dan batin bagi orang awam dalam meniti jalan
kerelaan Allah”. (HR. Imam Ahmad).

9. Mencari Upah Atas Akad Nikah
Haram hukumnya bagi seorang hakim meminta upah secara paksaan (ikrah) atas akad nikah yang terjadi, dan terhukum halal bagi seorang Hakim menerima upah akad nikah dengan tanpa meminta secara paksaan.

Seorang Qadli tidak boleh mengambil uang sebagai upah, dan juga tidak boleh selain Qadli meminta upah atas hanya mengajar ijab dan qabul nikah, karena sesungguhnya perilaku mengajar itu tidaklah dikategorikan sebagai kesulitan secara lahir maupun batin. (Fatawil Kubra, Ibnu Hajar: IV/130).

10. Halal Guru Menerima Bayaran
Jika di antara mu'alim (guru) tersebut mengajarkan tentang penerimaan dan ijab pernikahan, serta pada saat mengajari salah satu ijab dan qabul tersebut ditemukan kesulitan, maka menjadi layak berdasarkan muqabbalah di atas dengan bayaran sekedarnya, yang disebabkan terdapatnya kesulitan. Dan guru memiliki upah (ujrah) itu diperbolehkan, baik dia seorang qadli maupun lainnya. Karena dalam hal ini telah jelas halalnya uang yang diperoleh dengan perjanjian. (Fatawil Kubra: IV/310).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam