Bab 2. Melihat



📚 Terjemah Kitab Ringkasan Tabyinul Ishlah Li Muridin Nikah



1. Hukum Melihat Calon Istri Sebelum Khitbah
Seorang lelaki disunahkan melihat wajah dan dua tapak tangan seorang wanita yang akan dinikahi sebelum khitbah atau melamar dilaksanakan, sekalipun tidak diizinkannya oleh wanita tersebut.

Khitbah ialah suatu tali ikatan atau penentuan secara resmi yang dilakukan oleh seorang lelaki atau pihak lelaki calon suami yang akan menikahi kepada seorang wanita atau pihak calon istri yang akan dinikahinya. Biasanya disebut sebagai tunangan atau ngesangsangi. (pent)

Demikian juga seorang wanita, Sunnah melihat seorang lelaki calon suami yang akan menikahinya kemudian sebelum tunangan ditentukan, meskipun tidak dapat izin dari lelaki tersebut. (Fathul Wahhab: II/31).

2. Hukum Melihat Lelaki Lain
Seorang wanita boleh melihat anggota badan seorang lelaki lain (ajnabiyah), selain antara pusar dan lutut bila tidak ditakuti akan timbulnya fitnah. Ini menurut fatwa Imam Rofi'i.

Adapun yang lebih baik menurut fatwa Imam Nawawi, bahwa seorang wanita haram melihat sebagian anggota badan seorang lelaki lain, meskipun tidak ditakuti akan timbul fitnah. Seperti juga haramnya seorang lelaki melihat seorang wanita lain. (Al Mahalli : III/225).

3. Hukum Melihat Sesama Wanita dan Lelaki
Bahwa seorang lelaki melihat lelaki lain atau seorang wanita melihat wanita lain seperti melihat sesama mahram, maka hukumnya halal dan boleh asalkan tanpa disertai nafsu syahwat, kecuali bagian antara pusar dan lutut. (Fathul Wahhab: II/32).

Halal seorang lelaki melihat lelaki lain, kecuali melihat antara pusar dan lutut karena termasuk aurat dan dihukumi haram. Dan haram pula melihat dengan sengaja kepada seorang remaja Amrad dengan Syahwat. Yang dimaksud Amrad di sini ialah remaja yang belum saatnya tumbuh bulu jenggotnya. (Minhajut Thalibin: III/210).

4. Haram Melihat Aurat Orang Lain dan Mahram
Seorang lelaki baligh haram melihat bagian aurat seorang wanita merdeka yang sudah baligh, Dan demikian pula haram melihat wajah dan dua tapak tangan seorang wanita lain tatkala takut akan fitnah. Ini menurut fatwa Imam Rafi'i. dan haram pula tatkala aman dari fitnah. Demikian menurut fatwa Imam Nawawi yang sahih.

Tidak boleh (haram) seorang mahram lelaki dan perempuan melihat pada bagian antara pusar dan lutut, dan halal melihat selain dari pada antara pusar dan lutut tersebut. (Minhajut Thalibin: III/208).

5. Batas Antara Pusar dan Lutut
Menurut fatwa Syaikh Ramli, bahwa pusar dan lutut tidak termasuk bagian dari aurat, maka tidak haram melihat keduanya. Adapun menurut fatwa Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, haram melihat pusar dan lutut tersebut. (Bujairami Ala al-Khatib:III/318).

6. Halalnya Melihat Wajah Wanita
Halal melihat wajah seorang wanita lain karena keperluan, seperti mu'amalah (jual beli) atau lainnya. Menjadi syahid, mengajar pada wanita lain dalam ilmu syara' yang wajib atau sunnah. Itulah halal bagi seorang mu'allim melihat wajah wanita lain. Dan haram melihat selain wajah tanpa udzur.

7. Macam-macam Pandangan (melihat)
Pandangan laki-laki terhadap wanita ada 7 macam, yaitu:

1. Pandangan seorang pria (baik tua, muda, pikun, atau lemah syahwat) terhadap wanita lain yang bukan mahramnya tanpa ada suatu hajat, maka pandangan tersebut diharamkan. Jika pandangan tersebut karena ada hajat seperti persaksian, maka diperbolehkan.
2. Pandangan seorang pria terhadap istrinya dan amatnya, maka diperboehkan kecuali antara pusar dan lutut. Adapun melihat farji, menurut qoul dhoif adalah haram. Sedang menurut qoul yang lebih ashoh maka diperbolehkan, tetapi disertai makruh.
3. Pandangan seorang pria kepada mahramnya atau amatnya yang telah dinikahkan, maka diperbolehkan melihatnya kecuali antara pusar dan lutut. Adapun melihat antara pusar dan lutut, maka diharamkan.
4. Pandangan seorang pria kepada wanita lain yang bukan mahramnya, tetapi karena ada hajat nikah, maka diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Baik yang dhohir maupun yang batin, meskipun tanpa izin dari wanita tersebut.
5. Pandangan karena adanya unsur untuk pengobatan, maka diperbolehkan bagi seorang dokter melihat wanita lain pada tempat yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan farjinya. Tetapi disyaratkan:

  • a. Didampingi oleh mahram / suami / sayyid dari wanita tersebut.
  • b. Di daerah tersebut tidak ada dokter wanita yang mengobati.
6. Pandangan karena tujuan untuk persaksian dan muamalah, maka diperbolehkan melihat wajahnya saja.
7. Pandangan kepada amat ketika akan membelinya, maka diperbolehkan melihat pada bagian yang dibutuhkan. Seperti rambutnya dan tidak diperbolehkan melihat auratnya. Masalah keharaman dalam memandang memang pantas dijelaskan dalam bab nikah karena sebagian besar keharaman terjadi akibat dari memandang (dengan syahwat). Ulama pun ada yang membuat syair tentang memandang, yaitu:

“Semula pandangan, senyuman dan titip salam. Kemudian ucapan, janjian dan pertemuan”.

“Semua masalah berawal dari pandangan. Api yang besar berasal dari percikan api yang kecil”.

“Jika kau lepaskan pandanganmu sehari, banyak pandangan akan menyengsarakanmu. Kau akan melihat sesuatu yang seutuhnya,. Kau akan dapat mengendalikan dan tak akan sabar untuk sebagian saja”.

8. Jenis-jenis Pria
Pria dibagi/dikelompokkan menjadi 4:
  • 1. Fahlun : Yaitu pria yang masih tetap memiliki penis dan pelir
  • 2. Khosyi : Yaitu pria yang masih memiliki penis dan kehilangan pelirnya
  • 3. Majbub : Yaitu pria yang masih memiliki pelir dan kehilangan penisnya
  • 4. Mamsuh : Yaitu yang tidak memiliki/kehilangan penis dan pelir.

“Menurut pendapat yang lebih ashoh (lebih kuat), halal melihat amat dengan tanpa disertai syahwat, kecuali melihat antara pusar dan lutut, maka diharamkan. Dan juga halal melihat gadis kecil, kecuali farjinya“. (Minhajut Tholibin, Hamisy Al Mahali: III/209)

9. Hukum Melihat Farji Anak Gadis Kecil
Halal hukumnya bagi seorang lelaki tanpa dengan syahwat melihat anak wanita kecil sebab belum menimbulkan rangsangan pada selain farji, karena sesungguhnya anak wanita kecil seperti itu tidak ada dalam sangkaan menimbulkan syahwat.

Adapun melihat farji dengan sengaja hukumnya haram, meskipun anak tersebut belum pandai akalnya atau tamyiz. (Fathul Wahhab: II/32).

10. Hukum Mihnah Bagi Seorang Wanita
Bagi seorang wanita boleh menampakkan dari auratnya apa yang nampak tatkala mihnah atau melayani tamu lelaki lain atas qaul yang Asybah tersebut dalam kitab Raudlah karangan Imam Nawawi seperti aslinya yaitu Qaul Mu'tamad.

Mihnah dapat dibaca dengan Mahnah, Mihnah dan Muhnah artinya: Melayani. Dan bagian tubuh yang terlihat bagi seorang wanita ketika melayani tamu. Misalnya: kepala, punggung, kedua tangan hingga pangkalnya dan dua kaki hingga lututnya.

Diperbolehkannya Mihnah bagi wanita itu adalah suatu kemudahan Syara'. Adapun lelaki lain yang sebagai tamu harus memejamkan mata atau memalingkan mukanya hingga tidak dapat melihat wanita yang sedang melayaninya itu. (Fathul Wahhab: II/32).

11. Hukum Suara Seorang Wanita
Tidak termasuk dari bagian aurat suara seorang wanita yang didengarkan oleh seorang lelaki. Maka tidak terhukum haram orang lelaki mendengar suara seorang wanita kecuali kemungkinan haram bila ditakuti dari suaranya itu menimbulkan fitnah atau mendatangkan lezat.

Seperti yang sudah dibicarakan oleh Imam Zarkasyi dalam haramnya mendengarkan suara wanita. Hendaknya dapat menimbang dampak positif dan negatifnya. (Fathul Mu’in, Hamisy I’anaht Thalibin: III/260).

12. Hukum Menyentuh Tubuh Wanita
Pada umumnya (ghalib) sesuatu yang haram dilihat itu, biasanya haram pula disentuh dengan jalan Qiyas Aqwa di dalam rasa kelezatan Syahwat.

Namun kadang-kadang haram menyentuh (tetapi) tidak haram melihat, seperti menyentuh bagian anggota tubuh wanita lain sekiranya boleh melihatnya (selain pusar dan lutut).

Dan seperti haramnya penyentuhan seseorang terhadap seorang lain yang dibolehkan melihatnya dari semua mahram.

Dan haram bagi seorang anak bila menyentuh perut dan punggung ibunya. Haram pula bila memijat-mijat paha, dan atau bila mencium wajah ibunya sendiri. Demikian juga sebaliknya, seorang ibu haram menyentuh tubuh anak lelakinya. Haram pula bila seorang ibu menyuruh anaknya dan saudaranya untuk memijat dua kakinya, kecuali keadaan dharurat. (Fathul Mu’in, Hamisy
I’anatut Thalibin: III/261).

13. Hukum Aurat Yang Terpisah
Sebagian auratnya seorang wanita yang masih menempel di badan haram dilihat, haram pula melihat sebagian aurat seorang wanita yang terlepas dari badan, seperti melihat kuku tangan, kuku kaki, dan rambut yang terbuang (terlepas dari badan) atau rambut zakar bagi soerang lelaki ketika terpisah dari rambutnya, maka wajib ditutupi aurat tersebut jangan sampai kelihatan orang lain. Lebih utamanya dipendam (Nihayatul Muhtaj: VI/200).

14. Hukum Melihat Seluruh Tubuh Halil
Halal bagi halil seorang wanita, baik itu suami atau sayid melihat seluruh tubuh wanita istrinya, bahkan halal pula melihat duburnya. Sebagaimana kebalikannya halal bagi seorang suami. Maka halal pula bagi seorang istri melihat pada seluruh tubuh suami tanpa ada larangan. Akan tetapi terhukum makruh bagi suami melihat farji istrinya, dan sebaliknya makruh pula istri melihat farji (zakar) suaminya (Fathul Wahhab: II/333).

15. Hukum Melihat Aurat Ketika Berobat
Seorang lelaki dan wanita diperbolehkan, melihat dan menyentuh tubuh karena ada keperluan berobat, seperti bercanduk, dengan syarat tunggal jenis, atau berlainan jenis serta hadir seorang lelaki mahram di tempat praktik (Fathul Wahhab: II/32).

16. Hukum Dua Orang Telanjang Tiduran Dalam Satu
Pakaian
Bahwa dua orang lelaki atau dua orang wanita telanjang berkumpul dalam satu pakaian tanpa adanya pemisah, maka hukumnya haram. Meskipun tidak bersentuhan keduanya atau jauh-jauhan dan luas pakaiannya, pun haram juga. Sebab tidak baik bila dipandang, karena meniru perilaku orang yang bersalahan.

17. Hukum Menimpahi Orang Lain dan Jabat Tangan
Bahwa Seorang lelaki yang menimpahi tubuh lelaki lain dengan syarat adanya pemisah (aling-aling; jawa) atau pakaian dan selamat dari fitnah, maka hal tersebut hukumnya boleh (halal) Hal ini, diambil faham tentang hukum halalnya berjabat tangan (musafah) dengan wanita lain yang ada padanya penghalang atau kaos tangan. (Nihayatul Muhtaj: VI/191).

18. Hukum Wanita Ragu-Ragu
Dan tidak didapati kesukaran pembahasan syari'ah dengan jawaz (diperbolehkannya) seorang wanita menyanyi atau lagu-lagu, serta orang lelaki lain mendengar suaranya sekira tidak ditakuti akan adanya fitnah. Karena sesungguhnya seorang wanita menyanyi atau lagu-lagu tersebut, hukumnya makruh bagi orang lelaki lain yang bermaksud mendengarkannya itu. (Nihayatul Muhtaj: 1/407).

19. Hukum Mengeraskan Bacaan Shalat Bagi Wanita
Menurut Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami bahwa haram bagi seorang wanita mengeraskan suara bacaan di dalam shalat meskipun tidak ditakuti adanya fitnah. Akan tetapi ulama-ulama Jumhur tidak sependapat. Bahwa yang sudah diketahui Mu'tamad (dikuatkan) oleh Syaikh Ramli itu tidak haram mengeraskan suara seorang wanita dengan bacaan dalam shalat dan diluar shalat dengan hadir seorang lelaki lain, karena sudah menjadi kebiasaan sekira tidak ditakuti akan timbulnya fitnah. Tetapi hanya terhukum makruh, kecuali karena dharurat. (Nihayatul Muhtaj: I/407-408).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam