BAB 3. Kemungkinan Mengubah Akhlak Dengan Jalan Pelatihan



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


📚 Tingkatan Manusia dalam Menerima Perbaikan 📚 Apa yang Dimaksud dengan Upaya Pengubahan Akhlak?

Sebagian orang yang jiwanya telah dikuasai oleh kemalasan, merasa berat sekali untuk memerangi hawa nafsu dan melaksanakan latihan-latihan mental khusus (mujahadah dan riyadhah) serta menyibukkan diri dengan penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs) dan peningkatan akhlak. Maka, dia tidak dapat menerima semua itu disebabkan adanya kelainan ataupun kerusakan pada batinnya. Lalu, dia menyatakan bahwa akhlak atau perangai manusia tidak dapat diubah. Hal itu—katanya— mengingat bahwa watak dan tabiat manusia memang tidak mungkin berubah, berdasarkan dua faktor:

Pertama, bahwa perangai seseorang merupakan gambaran dari batinnya, sebagaimana bentuk isiknya merupakan

gambaran dari lahiriahnya. Dalam kenyataannya, bentuk lahiriah seseorang tidak dapat diubah. Misalnya, seorang yang pendek tidak dapat mengubah dirinya menjadi tinggi, sebagaimana yang tinggi tidak dapat mengubah dirinya menjadi pendek. Begitu juga yang jelek tidak dapat menjadi cantik. Maka, demikian pula halnya berkaitan dengan kejelekan batin.

Kedua, sebagian orang mengatakan bahwa upaya menumbuhkan akhlak yang baik dengan cara menekan kuat-kuat sifat syahwat dan ghadhab, tidak mungkin akan berhasil. Hal itu telah dicoba dengan cara melakukan perjuangan melawan nafsu (mujahadah) yang berlangsung lama sekali. Maka, diketahuilah bahwa yang demikian itu disebabkan oleh melekatnya watak dan tabiat pada diri seseorang, sehingga tidak mungkin dapat dihapus atau dihilangkan sama sekali. Karena itu, penyibukan diri dalam upaya pengubahannya adalah sama dengan penyianyiaan waktu tanpa ada gunanya. Sebab, yang dicari adalah berhentinya hasrat hati sama sekali dari segala keinginan meraih kesenangan duniawi. Padahal, yang demikian itu adalah sesuatu yang mustahil.

Jawabnya adalah, seandainya akhlak manusia tidak mungkin menerima perubahan, niscaya tak ada gunanya semua nasihat, wejangan, dan pengajaran. Dan, Nabi Saw. pun tak akan bersabda:

“Baikkanlah akhlak kalian!”

Bagaimana dapat dipungkiri adanya kemungkinan pengubahan perangai manusia, sedangkan pengubahan perangai binatang pun merupakan sesuatu yang mungkin terjadi? Bukankah seekor elang dapat diubah dari burung yang buas menjadi jinak? Anjing dapat diubah dari seekor binatang yang rakus menjadi sopan dan menahan diri? Begitu juga kuda yang liar dan tak dapat dikendalikan, menjadi jinak dan mudah dikendalikan? Semuanya itu adalah realisasi pengubahan watak juga.

Untuk menyingkap semua itu, perlulah dijelaskan sebagai berikut:

Segala sesuatu yang maujud dapat dibagi menjadi dua bagian.

Pertama, yang tidak ada kekuasaan manusia atasnya, baik dalam asal penciptaannya, dalam hal keseluruhannya maupun rinciannya. Misalnya, langit dan planet-planet, atau bagian-bagian dari anggota tubuh yang berada di dalam ataupun di luar, serta bagian-bagian lainnya dari tubuh makhluk hidup. Atau, secara umum, segala sesuatu yang telah maujud secara sempurna, telah selesai penciptaannya dan tak lagi kekurangan suatu apa pun.

Kedua, yang wujudnya masih belum sempurna dan dalam dirinya diberi kekuatan untuk dapat menjadi sempurna, setelah dipenuhinya persyaratan untuk itu. Sedangkan persyaratannya adakalanya berkaitan dengan ikhtiar seorang manusia. Sebagai contoh, biji kurma bukanlah sebuah apel dan bukan pula pohon kurma. Akan tetapi, ia diciptakan demikian rupa sehingga dapat menjadi pohon kurma apabila disertai dengan pemeliharaan atau rekayasa tertentu. Dan, ia tidak mungkin sama sekali menjadi buah apel walaupun dengan rekayasa dan pemeliharaan.

Nah, jika biji kurma dapat dipengaruhi oleh ikhtiar manusia, sehingga dapat menerima sebagian perubahan—bukannya semua macam perubahan, demikian itu pula watak ghadhab (emosi, marah) dan syahwat (hasrat, emosi) dalam diri manusia. Jika kita hendak menekannya dan menghilangkannya sama sekali, sehingga tidak ada sedikit pun tersisa dari keduanya, pasti kita tidak akan berhasil melakukannya. Tetapi, jika kita hanya ingin menjinakkannya dan mengendalikannya dengan latihan-latihan dan mujahadah, niscaya kita akan mampu melakukannya.

Itulah yang diperintahkan kepada kita, dan itu pula yang akan menjadi penyebab keselamatan kita serta keberhasilan kita dalam perjalanan menuju Allah Swt.

Mengapa Manusia Berbeda dalam Menerima Perubahan?

Watak dan tabiat masing-masing manusia tidaklah sama. Ada di antaranya yang cepat menerima perubahan, tetapi ada pula yang lambat. Adapun penyebabnya ada dua:

Sebab pertama, kuatnya naluri dalam inti watak seseorang serta keberlangsungannya sepanjang hidup. Kekuatan syahwat, ghadhab, dan takabur memang ada dalam diri setiap manusia. Namun, yang paling sulit dikendalikan dan diubah adalah kekuatan ambisi (syahwat). Kekuatan ini telah ada dalam diri seorang anak sejak awal kelahirannya. Kemudian, mungkin pada usianya yang ketujuh, barulah terwujud kekuatan ghadhab (emosi). Setelah itulah tercipta padanya kekuatan tamyiz (tingkat pengetahuan pertama yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk—Penerj.).

Sebab kedua, suatu perangai dapat bertambah kuat apabila seseorang sering berbuat sesuai dengannya, atau mematuhinya, atau dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan memuaskan.

📚 Tingkatan Manusia dalam Menerima Perbaikan


Dalam hal kemungkinan terjadinya perubahan ke arah perbaikan dalam akhlak, manusia dibagi dalam empat tingkatan:

Pertama, seorang yang sepenuhnya lugu atau polos, yang tidak mampu membedakan antara yang haq dan yang batil atau antara yang baik dan yang buruk, tetap dalam keadaan itrah seperti ketika dilahirkan, dan kosong dari segala kepercayaan. Demikian pula naluri syahwat (hasrat dan ambisinya) belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup duniawi. Orang seperti ini, sangat cepat dalam menerima pengobatan bagi hatinya. Tiada yang diperlukannya selain seorang guru atau mursyid, serta timbulnya sedikit kesadaran dalam hatinya, yang mendorongnya untuk melakukan mujahadah. Dengan itu, akhlaknya akan menjadi baik—dalam waktu yang secepatnya.

Kedua, seorang yang telah mengetahui keburukan sesuatu yang buruk, tetapi dia sendiri belum terbiasa mengerjakan amalan yang baik. Bahkan hawa nafsunya memperindah baginya perbuatan buruknya, sehingga dia pun mengerjakannya berulang-ulang. Semata-mata demi mengikuti keinginan nafsu syahwatnya, seraya memalingkan diri dari akal sehatnya, dan sebagai akibat berkuasanya naluri syahwat atas dirinya. Akan tetapi, betapa pun juga, masih ada sedikit pengetahuannya tentang keburukan perbuatannya itu. Maka, perbaikan akhlak orang seperti ini pasti agak lebih sulit dibandingkan dengan orang jenis pertama. Sebab, kini tugasnya berlipat ganda. Di samping harus mencabut apa yang telah berakar dalam pikiran dan jiwanya, akibat kebiasaannya melakukan perbuatan- perbuatan buruk, dia kini harus pula menanamkan kebiasaan berbuat baik demi perbaikan dirinya sendiri. Bagaimanapun jiwa orang seperti ini, secara umum, masih mungkin menerima pelatihan kejiwaan (riyadhah) menuju perbaikan, sepanjang hal itu dilaksankan dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kebijaksanaan.

Ketiga, seorang yang merasa yakin bahwa pelbagai perangai buruk justru merupakan hal-hal yang wajib dikerjakan, dan bahwasanya hal seperti itu adalah baik, benar, dan menguntungkan. Dan, dia tumbuh menjadi dewasa bersama keyakinan seperti itu. Akibatnya, dia hampir-hampir tak mungkin diobati penyakitnya dan tak dapat diharapkan perbaikannya kecuali dalam keadaan yang sangat jarang. Hal itu disebabkan telah bertumpuknya penyebab kesesatan dalam jiwanya.

Keempat, seorang yang diliputi pikiran-pikiran buruk seiring dengan pertumbuhan dirinya, terdidik dalam pengamalan hal-hal yang buruk pula. Sehingga, dia menganggap bahwa ketinggian derajat dirinya diukur dengan banyaknya perbuatan jahat yang dia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang dia korbankan. Dia pun membanggakan perbuatannya itu dan mengira bahwa yang demikian itu meninggikan derajatnya di antara manusia. Orang seperti ini, berada dalam tingkatan yang paling sulit diobati. Untuknya dan untuk orang-orang seperti dia, berlaku pepatah mengatakan, “Olahraga berat bagi si tua renta adalah kelelahan yang sia-sia. Dan, memperhalus watak seekor serigala adalah suatu bentuk penyiksaan.”

Kesimpulannya, si orang pertama hanya disebut sebagai seorang yang tidak mengerti atau “bodoh” saja. Yang kedua, bodoh dan sesat. Yang ketiga, bodoh, sesat, dan fasiq (durhaka), dan yang keempat, bodoh, sesat, durhaka, dan jahat.

📚 Apa yang Dimaksud dengan Upaya Pengubahan Akhlak?


Khayalan kedua yang dijadikan dalil oleh sebagian orang (sebagaimana tersebut pada permulaan bab ini—Penerj.), yaitu ucapan mereka bahwa manusia—sepanjang hidupnya—tak akan mungkin terhindar dari syahwat (ambisi, hasrat), ghadhab (emosi, amarah), cinta pada dunia dan pelbagai perangai lainnya seperti itu.

Khayalan seperti ini merupakan kesalahan yang telah menjerumuskan orang-orang seperti itu. Mereka mengira bahwa yang dimaksud dengan mujahadah adalah menekan, bahkan menghapus sama sekali sifat-sifat seperti itu. Tentunya hal ini tidak mungkin terjadi. Sebab, syahwat yang ada pada setiap manusia, telah diciptakan untuk suatu faedah tertentu. Hal ini— tidak boleh tidak—harus ada dalam setiap jiwa. Seandainya syahwat untuk makan terhenti sama sekali, misalnya, niscaya manusia akan mati. Seandainya syahwat untuk berhubungan seksual terhenti, niscaya sama sekali tiada lagi memiliki dorongan untuk menolak sesuatu yang akan membinasakannya, dan karena itu, dia pasti akan binasa.

Jika naluri syahwat itu akan tetap ada dalam diri manusia, tidak diragukan lagi, akan tetap pula kecintaannya pada harta yang dapat menyampaikannya pada pemenuhan syahwatnya itu. Selanjutnya, hal itu pula yang akan mendorongnya untuk tidak mengeluarkan hartanya secara berlebihan.

Memang, yang diminta dari seseorang bukanlah agar dia menghilangkan sama sekali naluri syahwatnya itu. Tetapi, yang diharapkan adalah menariknya ke arah sikap moderat dan proporsional. Yakni sikap tengah-tengah, tidak berlebihan dan tidak pula berkekurangan.

Demikain pula yang diharapkan dari naluri ghadhab (emosi atau amarahnya), adalah ketegasan dalam sikap dan semangatnya. Sehingga, tidak mengarah pada kenekatan maupun kepengecutan. Yaitu, agar dia menjadi seorang yang kuat kepribadiannya, tetapi kekuatannya itu selalu terkendali oleh akal sehat. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:

Mereka itu (yakni kaum mukmin yang mendampingi Nabi Saw.) selalu bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al-Fath: 29)

Dalam ayat itu, Allah Swt. melukiskan mereka dengan sifat “tegas”, sedangkan sikap seperti itu bersumber ada naluri ghadhab. Dan, seandainya naluri seperti itu hilang sama sekali, niscaya lenyaplah pula kesediaan untuk berjihad.

Di samping itu, betapa mungkin kita akan mencabut naluri syahwat dan ghadhab secara keseluruhan, sedangkan para nabi sekalipun tidak terlepas dari keduanya. Nabi Saw. pernah bersabda:

“Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia. Adakalanya aku marah sebagaimana manusia lainnya marah.”

Adalah beliau pula yang apabila mendengar ucapan yang tidak berkenan di hatinya, adakalanya beliau marah, sehingga kedua pipinya tampak memerah. Walaupun beliau tidak pernah mengucapkan sesuatu selain kebenaran. Sehingga, tak sekali pun beliau pernah menyimpang dari kebenaran akibat kemarahannya.

Allah Swt. berfirman (dalam rangka menyebutkan tentang sifat-sifat orang-orang yang bertakwa):

Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain …. (QS Ali-Imran: 134).

Dan, bukannya menyebut mereka sebagai “Orang-orang yang tidak memiliki naluri amarah”.

Kesimpulannya, bahwa memang mungkin menarik naluri ghadhab dan syahwat ke arah moderat atau tengah-tengah, sehingga tidak menguasai atau mengalahkan akal sehat. Sebaliknya, akallah yang mengendalikan dan berkuasa atas keduanya. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan “mengubah akhlak”.

Dalam kenyataannya, adakalanya syahwat menguasai jiwa seseorang sehingga akalnya tidak lagi mencegahnya dari kecenderungan ke arah pelbagai perbuatan keji. Akan tetapi, dengan pelbagai latihan kejiwaan yang intensif, dapatlah dia dikembalikan ke arah yang moderat dan proporsional. Ini membuktikan bahwa perubahan seperti itu adalah sesuatu yang mungkin saja terjadi. Pengalaman dan penyaksian—tak diragukan lagi—menunjukkan hal tersebut secara gamblang.

Bahwasanya yang diminta—dalam hal akhlak—yaitu sikap tengah-tengah, bukannya kedua tepinya yang ekstrem. Dapat diketahui, misalnya, dari sifat kedermawanan yang—dalam kenyataannya—terpuji menurut syariat. Sifat tersebut berada di tengah-tengah, antara kekikiran dan keborosan. Allah Swt. memuji sifat ini, seperti dalam firman-Nya:

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan harta, mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar. (QS Al-Furqan: 67)

Firman-Nya lagi:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (karena terlalu kikir) dan jangan pula engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah), nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. (QS Al-Isra: 29)

Demikian pula yang diminta dalam hal nafsu (syahwat) untuk makan, adalah yang tengah-tengah, tidak rakus dan tidak pula jumud (beku).

Mengenai ini, Allah Swt. berfirman:

Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. (QS Al-A’raf: 31)

Mengenai ghadhab, Allah Swt. berfirman:

Dan orang-orang yang bersama dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka sendiri. (QS Al-Fath: 29)

Telah bersabda Rasulullah Saw.:

“Sebaik-baik segala urusan adalah yang berada di tengah-tengah.”

Di balik ini semua ada rahasia yang perlu diungkapkan. Yaitu bahwa kebahagiaan bergantung pada selamatnya hati dari kejelekan-kejelekan dunia ini. Allah Swt. berfirman:

(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS Al- Syu'ara: 88-89)

Kebakhilan termasuk pula di antara kejelekan dunia. Demikian juga pemborosan. Sedangkan hati seharusnya terhindar dari kedua sifat itu. Yakni tidak selalu menoleh pada harta, dan tidak pula terlalu kuat keinginannya untuk membelanjakannya maupun untuk menahannya. Sebab, seorang yang terlalu kuat keinginannya untuk membelanjakan harta, hatinya sepenuhnya ke arah pembelanjaan. Sebagaimana yang terlalu kuat keinginannya untuk menahan hartanya maka hatinya terpaling sepenuhnya ke arah penahanannya. Oleh sebab itu, kesempurnaan hati ialah apabila dia terhindar atau tersucikan sama sekali dari kedua sifat tersebut.

Jika keadaan seperti itu tidak mungkin, atau amat sulit terwujud dalam dunia ini, seyogianya kita mencari sesuatu yang paling tidak mirip dengan kedua sifat itu, dan yang paling jauh dari kedua ujungnya. Yaitu, sesuatu yang berada di tengah-tengah di antara keduanya.

Sesuatu yang hangat tidaklah dapat disebut panas dan tidak pula dingin. Ia adalah suatu kondisi yang berada di tengah-tengah di antara keduanya. Maka, seolah-olah dia kosong dari kedua sifat tersebut.

Demikian pula sifat kedermawanan, di antara keborosan dan kekikiran. Juga sifat keberanian di antara kepengecutan dan kenekatan. Atau ‘ifah (penahanan diri dari segala yang tercela) adalah suatu sifat di antara kerakusan dan kebekuan. Dan begitulah seterusnya, keadaan semua bagian akhlak. Kedua ujung segala sesuatu (atau eskstremitas) adalah tak terpuji. Inilah yang sesungguhnya diminta dari seseorang. Dan, itu adalah sesuatu yang amat mungkin terwujud.

Meskipun begitu, seorang guru atau mursyid haruslah mendidik muridnya dengan cara menjelekkan sifat ghadhab (emosi, amarah) di hadapannya, secara tegas dan tidak reserve.

Demikian pula mengenai sifat kebakhilan. Janganlah dia sekali-kali bersikap toleran dalam hal-hal seperti itu. Sebab, jika dia mengizinkannya melakukan hal seperti itu, walaupun sedikit, si murid akan menjadikannya sebagai dalih untuk mempertahankan sifat kebakhilan dan amarahnya. Dia akan mengira bahwa itulah kadar kebakhilan dan emosi yang tetap dibolehkan baginya.

Sebaliknya, jika sang guru bersikap tegas, bahkan amat bersungguh-sungguh dalam larangannya itu, tak ada jalan lain bagi si murid kecuali mematahkan gejolak hatinya, sehingga—sebagai hasilnya—dia segera akan kembali ke arah yang moderat.

Maka, yang benar bagi seorang guru adalah menguatkan tekad muridnya agar memotong—sama sekali—akar dari pelbagai sifat tercela tersebut, sehingga—dalam kenyataannya kelak—akan tercapailah kadar yang paling tepat, yang memang dikehendaki olehnya.

Akan tetapi, hendaknya dia tidak menyingkapkan rahasia ini bagi sang murid. Sebab, dia masih dalam keadaan lemah dan rentan untuk tidak terjerumus dalam kebanggaan palsu yang menipu orang-orang dungu. Lalu dia mengira bahwa amarahnya itu berdasarkan kebenaran, dan begitu pula penahanan hartanya pun berdasarkan kebenaran.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam