BAB 4. Cara Menumbuhkan Akhlak Yang Baik



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


Telah Anda ketahui bahwa akhlak yang baik bersumber pada kekuatan akal yang moderat dan proporsional, hikmah yang sempurna, emosi (ghadhab) dan ambisi (syahwat) yang seimbang dan terkendali sepenuhnya oleh akal dan syariat.

Keseimbangan dan keserasian seperti ini dapat dicapai melalui dua cara:

Cara pertama, melalui anugerah Ilahi dan kesempurnaan Fitri. Yaitu, ketika seorang manusia dicipta dan dilahirkan dalam keadaan memiliki akal yang sempurna dan perangai yang baik, dengan kekuatan ambisi (syahwat) dan emosi (ghadhab) yang terkendali, sedang, seimbang, dan proporsional, serta bersesuaian dengan akal dan syariat.

Dengan kondisi seperti itu, dia adalah seorang berilmu tanpa belajar dan terdidik tanpa didikan. Contohnya, Isa bin Maryam, Yahya bin Zakaria a.s. dan para nabi selain keduanya, secara keseluruhan (shalawat dan salam Allah atas mereka semuanya).

Meskipun demikian, tidaklah dipungkiri bahwa di antara pelbagai tabiat dan naluri manusia, ada juga yang dapat dimiliki dengan upaya dan usaha sungguh-sungguh. Maka adakalanya seorang anak dikenal—sejak dilahirkan—sebagai seorang yang lurus ucapannya, pemurah, dan pemberani. Sedangkan yang lainnya, baru memperoleh perangai-perangai seperti itu—sedikit demi sedikit—dengan kebiasaan serta pergaulannya dengan orang-orang yang menyandang akhlak seperti itu. Adakalanya pula dia meraihnya dengan cara belajar dari orang-orang lain sekitarnya.

Cara kedua, ialah dengan memperoleh perangai-perangai ini melalui perjuangan melawan nafsu (mujahadah) dan latihan-latihan ruhani (riyadhah). Yakni dengan memaksakan—atas diri seseorang—perbuatan-perbuatan tertentu yang merupakan buah dari suatu jenis perangai yang ingin dimiliki.

Sebagai misal, seorang yang menginginkan melekatnya sifat kedermawanan pada dirinya. Untuk itu, dia harus memaksakan pada dirinya sendiri agar melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang dermawan. Yaitu, menginfakkan harta. Maka, dia terus-menerus menuntut dirinya agar melakukan hal itu dan menjadikannya sebagai kebiasaannya untuk waktu yang cukup lama. Sementara itu, dia harus berupaya melawan kecenderungan dirinya sendiri, sehingga pada akhirnya perbuatan seperti itu menjadi tabiat baru baginya dan dia melakukannya dengan hati dan perasaan ringan. Baru setelah itu, dia dapat disebut sebagai seorang dermawan.

Begitu juga seorang yang ingin menjadikan dirinya bertabiat rendah hati (tawadhu), sedangkan dia sebelumnya telah dikuasai oleh tabiat sombong. Cara yang harus ditempuh adalah membiasakan dirinya—dalam waktu yang cukup lama—untuk bertindak seperti layaknya orang-orang yang tawadhu, sambil memaksa dan memerangi hawa nafsunya sendiri. Hal ini hendaknya dilakukan sampai sifat tawadhu itu melekat dan menjadi tabiat baru baginya, serta terasa mudah dan ringan ketika melaksanakannya.

Semua bagian akhlak yang terpuji menurut syariat, dapat diraih dengan cara seperti itu. Tujuannya adalah agar perbuatan yang timbul darinya terasa nikmat. Seorang yang benar-benar dermawan, misalnya, adalah yang merasakan kenikmatan ketika dia memberikan hartanya. Bukan seperti orang yang memberikan hartanya dengan diiringi perasaan berat dan tidak senang. Sedangkan seorang yang benar-benar rendah hati (tawadhu) adalah yang merasakan kenikmatan dengan sikap rendah hatinya itu.

Demikian itulah, akhlak yang dipujikan oleh agama tidak akan tertanam dengan kuat di dalam jiwa, selama jiwa itu sendiri belum terbiasa dengan semua perilaku dan kebiasaan yang baik, dan selama ia belum meninggalkan semua perbuatan baik. Sikap seperti itu, harus pula dipertahankan secara terus-menerus, sebagaimana layaknya orang yang senantiasa merindukan dan menikmati perbuatan-perbuatan baik dan mulia. Sebaliknya, merasa berat dan tidak senang terhadap perbuatan-perbuatan buruk, bahkan merasakannya sebagai penyebab penderitaan.

Nabi Saw. pernah bersabda:

“Telah dijadikan kebahagiaanku bersumber pada pelaksanaan shalat.”

Karena itu, apabila pelaksanaan kewajiban ibadah dan penghindaran diri dari segala yang diharamkan masih terasa berat atau kurang enak di dalam hati, hal itu adalah pertanda suatu kekurangan. Yang pasti, hal itu dapat menjadi penghalang timbulnya kebahagiaan yang sempurna dan sejati.

Walaupun demikian, adanya upaya untuk terus-menerus melakukan perlawanan batin (mujahadah) dalam menghadapi perasaan seperti itu, pasti lebih baik. Yaitu jika dibandingkan dengan meninggalkan sama sekali upaya seperti itu, dan bukannya dibandingkan dengan melaksanakannya secara sukarela dan dengan perasaan yang ringan. Itulah pula sebabnya Allah Swt. berfirman:

Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah: 45)

Nabi Saw. juga bersabda:

“Beribadahlah kepada Tuhanmu dengan perasaan ridha (senang hati). Namun apabila engkau tak mampu melakukannya seperti itu, ketahuilah bahwa dalam kesabaran menghadapi apa yang tak kau kuasai tersimpan kebaikan amat banyak.”

Akan tetapi, dalam upaya meraih kebahagiaan yang dijanjikan, berkaitan dengan akhlak yang baik, tidaklah cukup hanya dengan merasakan kenikmatan dalam melaksanakan ketaatan serta ketidaksenangan dalam berhadapan dengan kemaksiatan, untuk waktu-waktu tertentu saja. Hal itu harus dijalani secara terus-menerus, sepanjang usia seseorang. Karena itu, makin panjang usianya, makin kuat dan sempurna pula kebaikan perilakunya. Dan itulah sebabnya, ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang “kebahagiaan”, beliau menjawab:

“Panjang usia dalam ketaatan kepada Allah Swt.”

Itu pula sebabnya, para nabi dan wali tidak menyukai kematian, mengingat bahwa “dunia adalah ladang akhirat”. Makin banyak pelaksanaan ibadah dengan panjangnya usia, makin banyak pula pahala yang diraih, makin suci jiwanya, makin kuat dan mapan akhlaknya. Adapun yang menjadi tujuan ibadah adalah pengaruhnya di dalam hati. Dan, pengaruh itu akan makin menguat dengan dilaksanakannya ibadah secara terus-menerus.

Adapun tujuan utama dari akhlak yang baik adalah terhentinya kecintaan pada dunia dalam hati seseorang, dan sebagai gantinya—makin mantap pula kecintaannya kepada Allah Swt. Maka, tak sesuatu pun yang lebih diinginkannya daripada perjumpaan dengan-Nya Swt. Selanjutnya, dia takkan menggunakan hartanya kecuali sesuai dengan apa yang akan menyampaikannya kepada Allah Swt. Demikian pula seluruh kekuatan emosi (ghadhab) dan ambisi (syahwatnya) kini menjadi tunduk patuh kepadanya, sehingga takkan digunakannya kecuali dalam hal-hal yang akan menyampaikannya pula kepada Allah Swt. Yaitu, dengan senantiasa menimbang kedua kekuatan tersebut dengan timbangan syariat dan akal. Dan—pada akhirnya—semua itu pasti akan dirasakannya sebagai kesenangan dan kenikmatan baginya.

Hendaknya kita tidak meragukan kemungkinannya bahwa shalat dapat menjadi penyejuk hati atau sumber kebahagiaan bagi jiwa, dan bahwa pelbagai ibadah lainnya dapat pula menimbulkan perasaan amat menyenangkan. Hal ini mengingat bahwa sesuatu yang telah menjadi kebiasaan, dapat menimbulkan keajaiban-keajaiban yang lebih mengherankan. Misalnya, adakalanya kita melihat para raja atau hartawan sering dirundung kesedihan dan keresahan. Sebaliknya, seorang penjudi yang bangkrut sering diliputi kegembiraan dan kesenangan oleh perjudiannya, yang melampaui kegembiraan orang-orang lainnya yang tidak berjudi. Padahal, perjudian telah merampas hartanya, menghancurkan rumah tangganya, dan menjadikannya bangkrut. Meskipun demikian, dia tetap mencintainya dan merasa amat senang dengannya. Itu disebabkan dia telah lama sekali terbiasa dengannya dan mengonsentrasikan dirinya pada permainan tersebut untuk waktu yang cukup lama.

Demikian pula orang yang gemar bermain-main dengan burung merpati. Adakalanya dia berdiri sepanjang hari di bawah terik matahari. Dia bersabar menanggung rasa lelah, bahkan mungkin dia tidak merasakan kelelahan sama sekali, disebabkan keasyikannya melihat burung-burung itu serta gerakan-gerakannya, cara terbangnya, dan bagaimana mereka berputar-putar di angkasa.

Bahkan kita menyaksikan orang yang dikenal sebagai pendosa yang durhaka dan tak bermoral. Dia merasa bangga dengan hukuman cambuk atau potong tangan yang harus diterimanya. Kalaupun dihadapkan pada hukuman penyaliban, dia tetap menunjukkan ketabahan, dan berbangga-bangga dengan kemampuannya untuk menghadapi semua itu dengan hati yang keras tak bergeming sedikit pun. Dan, sekiranya anggota tubuhnya dirincis dan disayat-sayat agar mengakui perbuatannya atau perbuatan salah seorang dari kelompoknya, dia akan tetap tutup mulut dan tidak peduli dengan hukuman apa pun yang bakal diterimanya. Bahkan, dia makin merasa bangga dengan sikapnya itu, yang baginya merupakan tanda-tanda kesempurnaan, keberanian, dan kejantanan. Mengapa? Karena semua ini telah menjadi sumber kesenangannya dan penimbul rasa kebanggaannya.

Barangkali tak ada keadaan yang lebih rendah dan lebih buruk daripada keadaan seorang banci yang menyerupakan dirinya dengan perempuan. Antara lain, dengan menghilangkan rambut dan membuat rajah (tato) di wajahnya, serta pergaulannya yang rapat dengan kaum wanita. Namun Anda melihat bahwa si banci itu merasa senang dengan keadaannya, bahkan makin bangga dengan kemiripannya yang sempurna dengan perempuan. Dan, dia tak segan-segan bersaing dengan kaum banci selainnya dalam kebancian mereka.

Demikian pula, kebanggaan dan saling menonjolkan diri di antara para tukang bekam dan para penyapu jalan, tak kalah serunya dengan apa yang terjadi di antara para raja dan ulama. Semua ini adalah akibat kebiasaan dengan suatu pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus, dalam jangka waktu yang cukup lama, sebagaimana dapat disaksikan dalam berbagai pengelompokan atau profesi tertentu.

Jelaslah bahwa jika nafsu manusia dapat merasakan kenikmatan dengan berlanjutnya suatu kebiasaan, walaupun batil, dan juga menjadi cenderung padanya walaupun itu termasuk sesuatu yang keji maka bagaimana mungkin dia tidak merasa kenikmatan dengan sesuatu yang haq, seandainya dia dikembalikan kepadanya dan dibiasakan dengannya selama waktu yang cukup?

Pada hakikatnya, kecenderungan nafsu seseorang pada hal-hal yang buruk merupakan sesuatu yang berada di luar tabiat aslinya. Hal itu dapat disamakan dengan perbuatan seseorang memakan tanah, yang adakalanya dilakukan karena telah terbiasanya dia melakukan hal seperti itu.

Adapun kecenderungan pada hikmah (kearifan) serta kecintaan kepada Allah Swt., demikian pula upaya mengenalNya dan menujukan ibadah kepada-Nya, semua itu termasuk tabiat asli manusia yang memang tertanam dalam hati—secara alami dan fitri—sama seperti kecenderungan seseorang pada makan dan minum. Hal itu merupakan salah satu urusan Ilahi.

Sedangkan kecenderungan hati untuk mengikuti rangsangan syahwat hawa nafsu adalah sesuatu yang asing melintas dalam tabiat. Sebab, makanan yang sebenarnya bagi hati adalah hikmah, makriat, dan kecintaan kepada Allah Swt. Kalaupun dia adakalanya menyimpang dari naluri aslinya, yang demikian itu adalah akibat adanya suatu penyakit yang menyebabkan seseorang kehilangan selera makan dan minum, sedangkan keduanya adalah penyebab utama kehidupannya sendiri.

Jelaslah, bahwa hati yang cenderung mencintai sesuatu selain Allah Swt., adalah hati yang telah terkena penyakit, sekadar parahnya kecenderungan itu. Kecuali jika dia mencintai sesuatu itu, semata-mata karena dapat membantunya dalam mencintai Allah Swt., serta melaksanakan agama-Nya. Maka, yang demikian itu tidak menunjukkan adanya penyakit tersebut.

Kini, pasti Anda telah mengetahui bahwa berbagai perangai dan akhlak yang baik ini, dapat diperoleh dengan latihan-latihan ruhani (riyadhah). Yaitu—pada mulanya—dengan memaksakan diri melakukan hal-hal yang timbulnya dari adanya akhlak yang baik, agar—pada akhirnya—dia menjadi bagian dari tabiat yang mapan. Dan, ini merupakan keterkaitan yang mengagumkan antara hati dan anggota tubuh, atau antara ruhani dan jasmani. Sebab, setiap sifat yang ada dalam hati pasti akan melimpah bekasnya pada anggota tubuh. Sehingga, tubuh takkan bergerak kecuali sesuai dengan sifat tersebut. Sebaliknya, setiap perbuatan yang dilakukan oleh tubuh pasti akan ada pengaruhnya di dalam hati. Maka dalam hal ini, terjadilah daur (proses melingkar) yang terus berputar dan berkesinambungan.

Mengenai ini, dapat dijelaskan dengan memberi contoh. Yaitu, seseorang yang ingin memiliki kecakapan dalam hal menulis kaligrai, dan ingin agar kecakapannya itu tertanam kuat dalam dirinya, atau menjadi bakat baru baginya. Maka, tak ada jalan baginya kecuali melatih tangannya melakukan apa yang dilakukan oleh seorang penulis yang benar-benar cakap dan berbakat. Dia akan terus-menerus menulis dan menulis, selama waktu yang cukup panjang, seraya meniru tulisan indah yang digoreskan oleh tangan si penulis berbakat. Dan sepanjang waktu itu, dia berusaha membuat tulisan-tulisan yang menyerupai, atau hampir menyerupainya. Sehingga, pada akhirnya, tergoreslah pula oleh tangannya tulisan indah yang mengalir lancar secara naluriah, walaupun—pada mulanya dahulu—dia melakukannya dengan susah payah dan memaksa diri. Maka, seolah-oleh tulisan indah itulah yang menjadikannya kini sebagai seorang penulis indah. Walaupun pertamanya ia dilakukan dengan susah payah, tetapi hasilnya tetap membekas dan merasuk ke dalam jiwa penulis, lalu dari situ keluar dan menggerakkan tangannya dan jadilah dia seorang penulis indah secara naluriah.

Demikian itu pula bagi seorang yang ingin memiliki bakat sebagai seorang ahli fiqih. Tak ada jalan lain baginya kecuali melakukan apa yang dilakukan oleh para ahli fiqih. Yang mempelajari, dan mempelajari kembali hukum-hukum fiqih, sampai akhirnya kecakapan tersebut tertanam di hatinya, dan jadilah seorang yang berjiwa faqih (ahli fiqih paripurna).

Begitu pula siapa yang ingin menjadi seorang dermawan, mulia hatinya, penyantun, dan bertawadhu. Pada mulanya, dia harus bersedia melakukan seperti yang dilakukan para dermawan, walaupun dengan cara memaksa dirinya, sampai nanti—pada akhirnya—sifat tersebut menjadi tabiat yang melekat padanya. Itulah satu-satunya cara untuk menumbuhkannya.

Nah, sebagaimana orang tersebut di atas yang ingin menjadi seorang ahli fiqih berbakat, tidak akan berputus asa dengan cara mengorbankan malam-malamnya, demi memperoleh tingkatan ini. Dan sementara itu, dia takkan meraihnya dengan hanya mengulang-ulangnya pada satu malam saja. Demikian itu pulalah seseorang yang ingin melakukan tazkiat al-nafs (penyucian batin). Tak mungkin dia menyucikannya, menyempurnakannya, dan menghiasinya dengan amalan- amalan mulia, atau menghindarkan diri dari perbuatan maksiat selama satu hari saja.

Itulah makna ucapan kami, bahwa satu perbuatan keji tidak harus mengakibatkan kesengsaraan abadi. Namun, meliburkan diri dalam satu hari saja, dapat mengundang keinginan untuk liburan lainnya. Kemudian pertahanan kita akan runtuh sedikit demi sedikit, sehingga jiwa kita menikmati kemalasan, lalu—setelah itu—meninggalkan perjuangan sama sekali. Dan, hilanglah pula kesempatan untuk meraih keutamaan sebagai ahli fiqih yang benar-benar faqih secara lahir batin.

Demikian itu pula dosa-dosa yang ringan. Jika dilakukan terus-menerus, akan saling tarik-menarik. Sehingga—akhirnya— tercabutlah kebahagiaan itu sama sekali dari dasarnya. Yaitu, dengan hancurnya pertahanan iman di saat-saat menjelang mati.

Sebagaimana pengulangan yang dilakukan pada saat malam saja tidak cukup dirasakan pengaruhnya dalam “memfaqihkan” jiwa, mengingat bahwa yang demikian itu hanya dapat timbul sedikit demi sedikit, seperti dalam hal pertumbuhan badan dan tingginya tubuh maka demikian itu pula, satu kali saja ibadah tidak akan cukup terasa pengaruhnya seketika, dalam upaya tazkiat al-nafs.

Meski demikian, tak sepatutnya pula meremehkan amalan- amalan ibadah yang kecil-kecil. Sebab, apabila hal itu telah mencapai jumlah yang cukup besar, ia pasti akan berpengaruh juga, mengingat bahwa suatu jumlah terdiri atas satuan-satuan. Maka, setiap satuan darinya memiliki pengaruh tersendiri. Karena itu, tak ada suatu amalan ketaatan, kecuali dia memiliki pengaruh atau bekas, walaupun tersembunyi. Dan karenanya pula, pasti tersedia pahalanya. Tak ada keraguan dalam hal ini. Sebab, setiap ganjaran berada di samping tiap-tiap bekas atau pengaruh yang ditimbulkan. Begitu pula perbuatan kemaksiatan.

Betapa banyak faqih yang meremehkan peliburan sehari semalam. Kemudian ini diikuti secara berulang-ulang, dengan memberikan kesempatan pada dirinya untuk menunda-nunda tugasnya, sehari demi sehari. Sampai—pada akhirnya—dia keluar dari tabiat “kefaqihannya” secara tak sadar.

Begitu pula orang yang meremehkan perbuatan dosa-dosa kecil, lalu menunda-nunda pertobatannya secara berulang-ulang, sampai dia dicabut nyawanya oleh maut yang datang secara tiba-tiba. Atau kegelapan dosa-dosa itu meliputi hatinya, sehingga dia tidak lagi mendapat kesempatan untuk bertobat. Sebab, sesuatu yang sedikit mengundang yang banyak, dan menyebabkan hati terbelenggu oleh rantai-rantai syahwat hawa nafsu, sehingga tak mungkin lagi terlepas dari cengkeramannya. Itulah yang dimaksud dengan “tertutupnya pintu tobat”. Itu pula yang dimaksud oleh firman Allah Swt.:

Dan Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka. (QS Yasin: 9)

Karena itu pula, Ali r.a. menyatakan bahwa iman tampak sebagai suatu (titik) putih di hati, setiap kali iman bertambah, bertambah pula titik-titik putih itu. Apabila telah sempurna iman seseorang, hatinya pun menjadi putih benderang seluruhnya. Adapun kemunafikan sebagai suatu titik hitam itu, makin bertambah kemunafikan, makin bertambah pula titik-titik hitam itu, sehingga apabila telah sempurna kemunafikan itu, hitam kelamlah hati secara keseluruhan.

Kesimpulannya, akhlak yang baik dan mulia, adakalanya memang telah ada dalam tabiat dan fitrah manusia. Dan, adakalanya ia tumbuh dengan kebiasaan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Adakalanya pula dengan menyaksikan orang-orang yang memang memiliki kebiasaan perbuatan-perbuatan yang baik, serta berkawan dengan mereka. Mereka itulah teman-teman pendamping yang membawa kebaikan, dan saudara-saudara yang mendatangkan perbaikan pada jiwa manusia. Sebab, setiap tabiat “mencuri” tabiat lainnya, yang baik maupun yang buruk.

Karena itu, barangsiapa terhimpun padanya ketiga penyebab tersebut, sehingga dia menjadi seorang amat baik, karena tabiat aslinya, adat kebiasaannya, dan hasil pelajarannya, sungguh dia berada di atas puncak kebaikan dan keutamaan.

Barangsiapa yang memang sudah menjadi manusia rendah dengan tabiat aslinya, dan kebetulan dia mendapat kawan-kawan yang jahat, lalu dia belajar dari mereka, dan tersedia baginya segala sarana dan suasana untuk berbuat kejahatan, sehingga dia menjadi terbiasa dengannya, sungguh dia berada amat jauh dari Allah Swt.

Ada pula orang-orang yang berada di antara kedua tingkatan tersebut, masing-masing menduduki derajatnya dalam kedekatan dan kejauhan (dari Allah Swt.), sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh sifat dan keadaannya sendiri.

Barangsiapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Al-Zalzalah: 7-8)

Dan Allah tidak menzalimi mereka, justru merekalah yang (selalu) menzalimi diri mereka sendiri. (QS Al-Nahl: 33)

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam