BAB 5. Jalan Menuju Perbaikan Akhlak



๐Ÿ“š Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


๐Ÿ“š Cara Mengobati Penyakit dalam Jiwa ๐Ÿ“š Mendahulukan Penyucian sebelum Penghiasan Diri ๐Ÿ“š Bertahap dalam Menyucikan Diri dari Keburukan Perilaku

Telah Anda ketahui sebelum ini bahwa sifat sedang, moderat, dan proporsional dalam akhlak menunjukkan kesehatan jiwa seseorang. Adapun penyimpangan dari sifat seperti itu menunjukkan adanya penyakit atau kelainan kepadanya. Seperti itu pula kondisi tubuh yang normal, menunjukkan bahwa dia sehat. Apabila dia tidak normal, hal itu menunjukkan adanya penyakit di dalamnya. Karena itu, marilah kita jadikan tubuh kita sebagai misal dalam uraian di bawah ini:

Upaya mengobati jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perbuatan rendah dan perangai yang buruk, di samping mendatangkan pelbagai perbuatan mulia dan perangai yang baik, dapatlah diumpamakan seperti dalam mengobati anggota tubuh. Yaitu, dengan menghilangkan segala penyakit dan mengupayakan kesehatan baginya secara keseluruhan.

Sebagaimana asal mula kondisi tubuh manusia—pada gilirannya—dalam keadaan sedang dan normal (atau tengah-tengah, sebagai misal suhu badannya tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin, detak jantungnya tidak terlalu cepat dan tidak pula terlalu lambat, dan seterusnya). Kalau setelah itu pencernaannya terganggu, mungkin itu disebabkan oleh kesalahan makanan, perubahan cuaca, dan sebagainya. Dan seperti itu pula, setiap anak dilahirkan dalam keadaan lurus jiwanya dan sehat fitrahnya. Kemudian kedua orangtuanyalah yang adakalanya menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi. Artinya, dia melakukan perbuatan-perbuatan buruk itu sebagai akibat dari kebiasaan sehari-hari maupun karena terpengaruh oleh lingkungannya.

Sebagaimana pada mulanya tubuh seseorang tidak tercipta dalam keadaan sempurna, tetapi dalam pertumbuhannya kemudian, dia menjadi sempurna dan kuat dengan makanan yang bergizi dan gerakan-gerakan jasmani yang tepat maka demikian pula jiwanya. Pada mulanya masih dalam keadaan serbakekurangan, tetapi memiliki kemampuan untuk menjadi sempurna. Yaitu, dengan pendidikan akhlak serta pengajaran ilmu pengetahuan kepadanya.

๐Ÿ“š Cara Mengobati Penyakit Dalam Jiwa


Jika tubuh sedang dalam keadaan sehat, tugas seorang dokter ialah menyiapkan petunjuk tentang tindakan apa saja yang harus diperhatikan, guna menjaga dan memelihara kesehatan tersebut. Tetapi jika dia dalam keadaan sakit, tugasnya adalah mengembalikan kondisinya agar menjadi sehat kembali.

Seperti itu pula yang berkaitan dengan jiwa. Apabila jiwa Anda dalam keadaan sehat, bersih, dan lurus, seharusnya Anda berusaha menjaganya, bahkan mengupayakan agar ia bertambah kuat dan menjadi lebih bersih dan jernih maka seyogianya Anda berupaya agar ia dapat menyandang sifat-sifat baik seperti tersebut di atas.

Demikian pula jika tubuh diserang sesuatu yang dapat mengganggu kestabilannya atau menyebabkannya sakit, dia biasanya tidak diobati kecuali dengan sesuatu yang berlawanan dengan penyebab gangguan tersebut. Jika gangguan itu berasal dari sesuatu yang bertabiat panas, dia diobati dengan sesuatu yang bertabiat dingin. Dan jika disebabkan oleh kedinginan, dia diobati dengan sesuatu yang bertabiat panas.

Seperti itu pula keburukan budi pekerti yang merupakan penyakit dalam hati, harus diobati dengan sesuatu yang berlawanan dengannya. Penyakit kebodohan harus diobati dengan belajar. Penyakit kebakhilan, dengan memaksa diri untuk berlaku dermawan. Penyakit sombong, dengan sikap tawadhu. Adapun kerakusan, dengan menahan diri—secara sungguh-sungguh—dari apa yang diinginkan oleh nafsu.

Sebagaimana orang yang sedang sakit harus bersabar dalam menghadapi kepahitan obat dan menahan diri dari apa yang diinginkan nafsunya, demi mengatasi penyakit yang bersarang dalam tubuhnya maka seperti itu pula seharusnya dilakukan untuk menghadapi beratnya kesabaran dari perjuangan batin, demi mengobati berbagai penyakit hati. Bahkan, jauh lebih dari itu. Sebab, penyakit tubuh berakhir dengan datangnya kematian, sedangkan penyakit hati (semoga Allah melindungi kita) akan terus berlangsung terus sampai setelah mati, selama berabad-abad yang tak diketahui kapan berakhirnya.

Sebagaimana tidak setiap pendingin akan cocok untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh kepanasan, kecuali apabila dalam ukuran tertentu, sehubungan dengan berat atau ringannya penyakit, lama atau cepatnya, serta banyak atau sedikitnya. Demikian pula dia harus dalam takaran tertentu, sehingga dapat diketahui seberapa banyak yang dapat mendatangkan manfaat baginya. Sebab, apabila tidak dijaga takarannya, dia justru dapat menambah parah penyakit yang hendak diobati. Demikian itu pula keburukan-keburukan akhlak yang ingin diobati, obatnya haruslah dalam ukuran dan takaran tertentu pula.

Sebagaimana kadar dan jenis obat harus disesuaikan dengan kadar dan jenis penyakit, sehingga dokter tidak akan mengobati sebelum mengetahui apakah penyakit itu bersumber dari sesuatu yang bersifat panas atau dingin, dan juga kalau itu dari kepanasan, berapa derajatnya dan berapa besar kekuatannya? Lalu dia juga akan mengamati kondisi tubuh si pasien, juga kondisi suhu udara tempat itu, apa pekerjaan pasien, berapa usianya dan bagaimana keadaannya secara keseluruhan. Baru setelah itu semua, dia memulai pengobatannya sesuai dengan hasil diagnosanya.

Seperti itu pula, seyogianya yang dilakukan oleh seorang guru yang diikuti, yang hendak mengobati hati para muridnya serta orang-orang yang mengharapkan nasihatnya. Tak sepatutnya dia dengan serta-merta memaksakan atas mereka untuk menjalani latihan-latihan kejiwaan atau melaksanakan tugas-tugas tertentu, dengan jalan (thariqah) tertentu, sebelum dia mengetahui akhlak serta penyakit mereka secara mendalam.

๐Ÿ“š Mendahulukan Penyucian Sebelum Penghiasan Diri


Apabila seorang dokter mengobati semua orang sakit dengan suatu cara pengobatan yang sama, niscaya dia akan menyebabkan kematian atas kebanyakan dari mereka. Demikian pula seorang guru, seandainya dia memerintahkan satu jenis latihan kejiwaan atas semua muridnya, niscaya dia akan membinasakan mereka dan mematikan hati mereka.

Oleh sebab itu, seyogianya dia mengamati terlebih dulu penyakit si murid, keadaannya, usianya, kecenderungannya, dan jenis latihan apa saja yang kiranya mampu dibebankan kepadanya. Atas dasar itu, dia menetapkan latihannya. Jika si murid masih dalam tahap permulaan, belum mengerti tentang batasan-batasan syariat, terlebih dulu diajarkan kepadanya tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan thaharah, shalat, serta ibadah-ibadah lainnya secara umum. Dan jika dia dalam keadaan disibukkan oleh harta yang haram, atau sedang terlibat dalam suatu perbuatan kemaksiatan, hendaknya diperintahkan kepadanya agar dia segera meninggalkan hal itu. Maka, apabila pelaksanaan ibadahnya sudah tampak membaik dan dia telah menyucikan anggota tubuhnya dari kemaksiatan yang nyata—barulah sang guru mengamati batin muridnya itu—dengan memperhatikan tanda-tanda yang tampak dari keadaannya—guna meneliti akhlaknya serta pelbagai penyakit yang bersemayam dalam hatinya.

Maka, apabila didapatinya si murid memiliki harta yang melebihi kadar yang diperlukan untuk kebutuhan primernya sehari-hari, sebaiknya si guru mengambil itu darinya, lalu membelanjakannya dalam pelbagai amal kebajikan. Agar dengan demikian, dia mengosongkan hatinya dari harta tersebut dan tidak lagi berpaling kepadanya.

Apabila dilihatnya perangai si murid lebih banyak cenderung ke arah sikap bergagah-gagahan, angkuh, dan tinggi hati yang berlebihan, sebaiknya diperintahkan agar pergi ke pasar-pasar untuk mencari nafkah ataupun—jika perlu—untuk meminta-minta. Sebab, sifat tinggi hati dan keinginan untuk selalu di atas, tidak akan terpatahkan kecuali oleh perasaan terhina. Dan, tiada perasaan hina lebih hebat daripada yang ditimbulkan oleh kehinaan meminta-minta. Hendaknya hal itu berlangsung untuk waktu yang cukup lama, sampai keangkuhan dan ketinggian hatinya berhasil dipatahkan. Sebab, keangkuhan termasuk penyakit hati yang membinasakan. Demikian pula sikap bergagah-gagahan.

Apabila dilihatnya amat berlebihan dalam menjaga kebersihan tubuh dan pakaiannya, dan memang kecenderungannya ke arah itu, sehingga hatinya senang dengan itu dan terpaling padanya, sebaiknya diberi tugas memelihara kebersihan kamar kecil (WC), menyapu tempat-tempat yang kotor dan jorok, bekerja di dapur, tempat-tempat asap, dan sebagainya. Sehingga dengan itu, rusaklah kebiasaannya yang keterlaluan dalam soal kebersihan. Hal ini mengingat bahwa mereka yang berlebih-lebihan dalam membersihkan pakaiannya seraya menghiasinya dengan berbagai hiasan, mencari-cari kain, dan bahkan baju yang berwarna-warni, sesungguhnya mereka itu tak ubahnya bagaikan pengantin perempuan yang mempercantik dirinya sepanjang hari. Dan pada kenyataannya, tak ada bedanya antara seseorang yang menyembah dirinya sendiri atau yang menyembah patung berhala. Sebab jika dia menyembah sesuatu selain Allah Swt., niscaya dia akan terhijab (terdinding) antara dia dan Allah Swt. Barangsiapa mempertimbangkan sesuatu dalam memilih pakaiannya selain pertimbangan kehalalan dan kesuciannya, sehingga hatinya berpaling padanya maka dia telah tersibukkan oleh dirinya sendiri.

๐Ÿ“š Bertahap Dalam Menyucikan Diri Dari Keburukan Perilaku


Di antara metode yang bijak dalam pelatihan kejiwaan (riyadhah) adalah jika si murid tampak keberatan untuk meninggalkan sikap bergagah-gagahannya, atau salah satu sifat lainnya, secara sekaligus, sementara dia belum bersedia sepenuhnya untuk menggantikannya dengan sesuatu yang berlawanan dengannya, sebaiknya si guru berusaha mengalihkannya dari suatu perangai yang tercela, pada perangai tercela lainnya yang dianggap lebih ringan keburukannya. Seperti halnya orang yang mencuci darah dengan air kencing, lalu mencucinya setelah itu dengan air bersih. Yaitu dalam keadaan air tidak mampu menghilangkan noda darah tersebut secara sekaligus.

Atau, seperti seorang siswa di sekolah yang sangat gemar bermain-main dengan bola dan sebagainya. Pertama kali kegemarannya dialihkan ke pakaian yang indah-indah dan mewah, kemudian dialihkan lagi dengan imbauan yang lemah lembut pada ambisi untuk memimpin dan meraih kedudukan yang memberinya kekuasaan dan kewibawaan, dan selanjutnya dialihkan dari kedudukannya itu dengan mendorongnya agar lebih menyukai kehidupan menuju kebahagiaan akhirat.

Demikian pula orang yang keberatan meninggalkan kedudukannya yang tinggi secara sekaligus, hendaknya dialihkan terlebih dulu pada kedudukan yang lebih rendah darinya. Begitu juga yang berkaitan dengan sifat-sifat lainnya.

Pun jika mendapatinya sebagai seorang yang amat rakus dalam hal makan, sebaiknya dia diharuskan berpuasa dan mengurangi makannya. Kemudian setelah itu, diperintahkan kepadanya agar menyiapkan makanan-makanan yang lezat, lalu menghidangkannya untuk orang lain, sementara dia sendiri tidak ikut memakannya. Hal itu demi menguatkan jiwanya sendiri, sehingga terbiasa untuk bersabar dan sekaligus mematahkan nafsunya yang rakus.

Manakala melihatnya sebagai seorang pemuda yang sangat merindukan pernikahan, sedangkan dia tak cukup memiliki kemampuan materiil untuk itu, sementara nafsu seksualnya tidak berhasil diredamnya dengan hanya berpuasa saja, sebaiknya dia diperintahkan agar sehari berbuka dengan air, tanpa roti. Dan malam berikutnya, berbuka roti tanpa air. Juga hendaknya dia dilarang sama sekali dari makan daging serta lauk-pauk lainnya, sehingga nafsunya berhasil dijinakkan dan syahwat makannya dipatahkan. Hal itu, mengingat bahwa tiada pengobatan— pada awal keinginan untuk mengobati hati—lebih bermanfaat daripada rasa lapar.

Apabila mendapatinya cenderung terkuasai oleh watak amarahnya, sebaiknya dipaksakan kepadanya agar bersikap santun dan berdiam diri. Kemudian mengaturkan baginya seorang yang buruk akhlaknya untuk menemaninya selama waktu tertentu, lalu memaksanya agar melayani orang itu dengan sebaik-baiknya. Sehingga, pada akhirnya berhasil melatih dirinya sendiri untuk bersabar dalam menghadapi segala gangguan darinya.

Dikisahkan bahwa seorang laki-laki hendak membiasakan dirinya agar senantiasa bersifat santun dan menghapus darinya sifatnya yang emosional dan cepat naik darah. Untuk itu, dia menyewa seorang yang mencacinya secara terang-terangan di muka orang banyak. Sementara dia sendiri memaksakan diri agar tetap bersabar dan menahan amarahnya. Begitulah keadaannya, sampai akhirnya dia berhasil dan menjadikan dirinya seorang yang terkenal sebagai penyantun dan penyabar, bahkan dijadikan contoh perumpamaan dalam hal kedua sifat itu.

Ada lagi seorang yang menyadari sifatnya sebagai seorang penakut dan berhati lemah. Maka dalam upayanya untuk memiliki sifat keberanian, dia sengaja berlayar di atas kapal pada musim dingin, ketika gelombang lautan sedang memuncak. Demikian pula cara para pendeta agama Hindu memerangi kemalasan dalam beribadah. Untuk itu, mereka berdiri di atas satu kaki selama malam suntuk.

Juga pengalaman seorang ahli ibadah yang pada mulanya merasa dirinya malas mengerjakan shalat malam hari. Lalu dia paksakan dirinya untuk berdiri di atas kepalanya semalaman agar—setelah itu—berdiri di atas kaki dengan perasaan ringan dan sukarela.

Ada lagi seorang yang ingin menghapus rasa cintanya terhadap harta, dengan menjual semua harta miliknya, kemudian membuang hasil penjualannya itu ke laut. Dia tidak mau membagi-bagikannya kepada orang banyak, sebab khawatir bahwa tindakannya itu akan menimbulkan kebanggaan dirinya sebagai seorang dermawan serta perasaan pamer dan ingin dipuji.

Nah, contoh-contoh ini menjelaskan kepada Anda bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit hati. Tentunya kami bermaksud menyebutkan setiap obat bagi setiap penyakit, sebab yang demikian itu akan kami uraikan secara rinci dalam kitab lainnya. Kini, kami hanya ingin mengingatkan bahwa caranya, secara umum adalah dengan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan apa saja yang menjadi kegemaran dan kecenderungan nafsu. Semuanya itu—pada hakikatnya—telah difirmankan Allah Swt. dalam kitab-Nya yang agung, dalam satu kalimat:

Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah menjadi tempat tinggal(nya). (QS Al-Nazi’at: 40-41)

Adapun dasar yang paling penting dalam melakukan mujahadah (perjuangan melawan nafsu) adalah senantiasa setia melaksanakan apa yang telah menjadi tekadnya. Jika seseorang telah benar-benar berazam untuk meninggalkan suatu syahwat (kecenderungan nafsu yang kuat) maka sejak itu telah tersedialah baginya segala yang akan mengantarkannya ke sana. Dan, hal itu dapat menjadi cobaan atau ujian baginya dari Allah Swt. Karena itu, hendaknya dia senantiasa bersikap sabar seraya melanjutkan usahanya. Sebab, apabila dia mulai mengizinkan dirinya untuk meninggalkan tekadnya itu, dia akan terbiasa dengan itu dan niscaya akan menjadi rusak. Kalaupun pada suatu ketika dia telanjur melanggar azamnya maka seyogianya menjatuhkan hukuman atas dirinya sendiri. Sebagaimana telah kami sebutkan tentang cara menghukum diri sendiri, dalam Kitab Al-Muhรขsabah wa Al-Murรขqabah (bagian dari Ihyรข ‘Ulรปm Al-Dรฎn—Penerj.). Hal ini mengingat bahwa jika dia tidak mengancam dirinya dengan suatu hukuman, niscaya dia akan dikalahkan olehnya, lalu menjadi mudahlah baginya untuk memuaskan hawa nafsunya. Dan dengan begitu, rusaklah semua upaya riyadhah (pelatihan diri)nya secara keseluruhan.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam