BAB 7. Cara Mengetahui Kekurangan-Kekurangan Diri Sendiri



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


Ketahuilah, apabila Allah Swt. menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, Dia akan menunjukkan kepadanya tentang kekurangan-kekurangan (cacat-cacat aib) yang ada pada dirinya. Maka, barangsiapa penglihatan mata hatinya cukup tajam, niscaya cacat-cacat dirinya takkan tersembunyi darinya. Dan jika telah mengetahuinya, dapatlah dia berusaha untuk menghilangkannya.

Namun, kebanyakan orang tidak mengetahui cacat-cacat yang ada pada diri mereka. Seringkali seseorang dari mereka menampak debu di mata saudaranya, sementara bukit di matanya sendiri tak tampak baginya.

Karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui cacat-cacat pada dirinya sendiri, baginya ada empat cara:

Pertama, dengan duduk di hadapan seorang syaikh (guru) yang piawai dalam soal cacat-cacat kejiwaan, di samping memiliki pengetahuan mendalam tentang penyakit-penyakit hati yang tersembunyi. Kepadanyalah hendaknya dia serahkan kendali dirinya, seraya mematuhi perintah-perintahnya dalam rangka mujahadah (perjuangan batin) nya. Begitulah seharusnya keadaan seorang pelintas jalan akhirat bersama syaikhnya, atau seorang murid bersama gurunya. Maka, syaikh atau gurunya itu akan menunjukkan baginya apa saja penyakit hati yang dideritanya, serta cara pengobatan yang bagaimanakah yang harus dijalaninya. Akan tetapi, dalam kenyataannya di zaman seperti sekarang, sungguh amat sulit mencari seorang syaikh seperti itu.

Kedua, dengan mencari seorang teman yang tulus, piawai, dan menjaga baik-baik segala aturan agama untuk dijadikannya sebagai pengawas baginya, dan mengamati segala gerak dan tindakannya. Sehingga, setiap kali dia melihat sesuatu di antara akhlak ataupun tindakannya yang tidak berkenan di hatinya, atau sesuatu dari cacat batiniah maupun lahiriahnya, semua itu pasti akan ditegur olehnya.

Seperti itulah yang biasa dilakukan oleh para tokoh dan pemimpin agama yang bijak dan piawai. Umar r.a. pernah berkata, “Rahmat Allah semoga tercurah atas siapa yang menunjukkan kepadaku segala cacat diriku.”

Dia juga sering menanyakan mengenai hal itu kepada Salman. Suatu ketika, Salman datang menghadapnya, lalu Umar bertanya, “Apa saja yang Anda dengar tentang diriku, yang tidak berkenan di hati Anda?” Pada mulanya, Salman merasa segan untuk menjawab pertanyaan itu, tapi Umar mendesaknya. Salman lalu berkata, “Telah sampai kepadaku berita bahwa Anda menyediakan dua jenis lauk pada saat makan, dan bahwa Anda memiliki dua setel baju, satu untuk siang hari dan satu lagi untuk malam hari?” Tanya Umar lagi, “Adakah sesuatu lainnya yang Anda dengar mengenai diriku?” “Tidak,” jawab Salman. Maka, kata Umar selanjutnya, “Kalau hanya mengenai kedua hal ini, tentunya Anda sendiri akan merasa puas dengan kenyataan yang Anda jumpai.”

Umar juga pernah bertanya kepada Hudzaifah, “Anda adalah seorang yang diberi tahu rahasia Rasulullah Saw. mengenai siapa-siapa yang termasuk kaum munafik. Adakah Anda melihat sesuatu dari tanda-tanda kemunafikan kepada diriku?”

Begitulah kecurigaan Umar terhadap dirinya, betapa pun mulia kedudukannya dan tinggi jabatannya. Dan memang begitu lah seharusnya, siapa saja yang lebih bijak akalnya dan lebih tinggi kedudukannya, niscaya akan lebih sedikit kekagumannya terhadap dirinya sendiri dan lebih besar kecurigaannya.

Namun, teman seperti ini pun, di zaman sekarang, sudah merupakan hal yang langka. Sungguh, amat sedikit di antara teman-teman yang menghindari sikap berpura-pura, lalu bersedia menunjukkan cacat-cacat saudaranya, atau menghindari kedengkian, sehingga tidak menunjukkannya lebih daripada kadar yang secukupnya saja.

Tidaklah jarang, Anda mempunyai—di antara teman- teman Anda—seorang pendengki atau yang bermaksud jahat, yang melihat sesuatu pada diri Anda sebagai aib, padahal ia bukan aib. Atau seorang yang berpura-pura tidak menunjukkan kepada Anda, apa yang sesungguhnya merupakan aib (semata-mata agar Anda mempercayainya sebagai teman yang tulus).

Karena itu, Daud Al-ha-iy mengucilkan dirinya dari manusia. Ketika ditanyakan kepadanya, “Mengapa Anda tidak bergaul dengan orang banyak?” Maka dia menjawab, “Apa kiranya yang harus kulakukan terhadap orang-orang yang tidak mau menunjukkan kepadaku tentang cacat-cacat diriku?”

Begitulah keinginan para tokoh agama, yaitu agar mereka dapat mengetahui cacat-cacat diri mereka sendiri, dengan adanya orang-orang lain yang mau menunjukkannya kepada mereka.

Namun, zaman telah berubah. Orang seperti kita sekarang, justru paling benci kepada siapa saja yang menasihati kita dan menunjukkan kepada kita segala cacat diri kita. Dan mungkin, ini menyingkapkan kenyataan tentang lemahnya iman.

Sebab, akhlak yang buruk adalah laksana ular dan kalajengking yang menyengat. Karena itu, sekiranya ada orang yang mengingatkan kita akan adanya kalajengking di dalam baju kita, niscaya kita akan merasa senang dan sangat berterima kasih kepadanya, dan segera akan menyibukkan diri kita untuk membuang jauh-jauh kalajengking itu, bahkan segera membunuhnya.

Padahal, bencana yang ditimbulkannya hanyalah terbatas pada anggota tubuh kita. Rasa sakitnya pun hanya akan bertahan satu hari atau mungkin kurang dari itu. Sedangkan bencana yang disebabkan oleh akhlak yang buruk, justru akan menimpa pusat hati kita. Mungkin akan terus berlanjut akibatnya setelah kematian, atau ribuan tahun setelah itu. Maka, bagaimana bisa kita tak menyukai orang yang memberi tahu tentangnya? Bagaimana bisa kita tidak menyibukkan diri dengan berupaya membuang akhlak yang buruk itu jauh-jauh?

Namun, biasanya kita justru menyibukkan diri dengan mencari-cari jawaban untuk menunjukkan kepada orang itu bahwa dia sendiri juga menyandang cacat-cacat seperti itu. Lalu kita akan berkata kepadanya, “Anda sendiri juga melakukan begini … dan begini….” Sikap permusuhan seperti itu pasti menghalangi kita daripada memanfaatkan nasihatnya.

Mungkin juga, sikap seperti itu bersumber pada kekerasan hati, yang dihasilkan oleh banyaknya dosa-dosa yang dikerjakan. Maka, jelaslah bahwa semua itu asal-muasalnya adalah kelemahan iman.

Maka, hendaknya kita memohon kepada Allah Swt.— agar dengan karunia-Nya yang Mahaluas—mengilhami kita pemikiran yang benar, membukakan mata hati kita agar mampu melihat cacat-cacat diri kita sendiri, lalu menyibukkan kita dengan upaya pengobatannya, serta memberi kita tauik agar dapat berterima kasih kepada siapa saja yang menunjukkan kepada kita segala keburukan kita.

Ketiga (untuk mengetahui cacat-cacat diri sendiri) adalah mengambil manfaat dari ucapan-ucapan para pembenci. Sebab (seperti kata seorang penyair), “ … mata yang membenci menonjolkan segala keburukan….” Dan, barangkali apa yang dapat dimanfaatkan dari seorang musuh yang keras hati, dalam hal mengingatkan seseorang pada cacat-cacat dirinya, adalah lebih besar daripada apa yang dapat dimanfaatkan dari seorang teman yang bermulut manis, yang hanya memuji- muji dan menyembunyikan segala cacat yang ada pada temannya yang lain.

Walaupun demikian, watak manusia selalu cenderung mendustakan apa yang diucapkan oleh musuh, dengan menuduhnya mengucapkan hal itu karena terdorong oleh kedengkiannya. Akan tetapi, seorang yang bijak dan waspada, pasti takkan mengabaikan manfaat dari ucapan musuh- musuhnya tentang dirinya, sebab—biasanya—justru dari merekalah akan terungkap keburukan-keburukannya melalui lidah mereka.

Keempat, bergaul dengan masyarakat luas. Apa saja yang dinilainya tercela di antara perbuatan mereka, hendaknya dia mempertanyakannya dalam kaitan dengan dirinya, lalu menuntut pula pertanggungjawabannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Agar dia pun dapat melihat cacat-cacat dirinya sendiri, dengan melihat cacat orang-orang selainnya. Dan menyadari pula bahwa tabiat manusia dalam mengikuti hawa nafsu, semuanya hampir sama. Apa yang melekat pada diri seseorang, pasti takkan terlepas sama sekali pada diri teman-teman dekatnya. Mungkin sama, atau lebih banyak lagi, ataupun lebih sedikit. Karena itu, hendaknya dia melihat dirinya sendiri, lalu membersihkannya dari segala cacat atau aib yang sama seperti yang dilihatnya pada orang lain.

Betapa efektifnya cara pendidikan sendiri seperti ini. Seandainya semua orang mau meninggalkan apa saja yang mereka tidak sukai dari sifat atau perbuatan orang lain, niscaya mereka tidak memerlukan lagi seorang pendidik. Karena itu, pernah ditanyakan kepada Isa a.s., “Siapakah yang telah mendidikmu?” Dia menjawab, “Tidak seorang pun! Akan tetapi, aku selalu melihat bahwa kejahilan seorang jahil adalah sesuatu yang buruk maka aku pun menjauhinya.”

Namun, ini semua hanyalah upaya darurat orang yang tidak berhasil mendapatkan seorang syaikh yang arif dan piawai, tajam penglihatannya terhadap cacat-cacat jiwa, berhati-hati serta tulus dalam menjalani agamanya, telah selesai dan berhasil membersihkan dirinya sendiri, sementara dia mencurahkan segala daya dan upayanya untuk membentuk akhlak hamba-hamba Allah secara tulus ikhlas sepenuhnya.

Adapun apabila berhasil menemukan seorang guru seperti itu, dia telah menemukan tabib yang dapat mengobati penyakit hatinya. Oleh sebab itu, hendaknya dia berusaha agar mengikutinya selalu. Karena, dialah yang akan sanggup menyembuhkannya dari penyakitnya, serta menyelamatkannya dari lembah kebinasaan yang kini dia berada di tengah-tengahnya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam