BAB 8. Meninggalkan Syahwat Hawa Nafsu Demi Mengobati Penyakit Hati



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


📚 Pelbagai Latihan Kejiwaan untuk Melawan Nafsu 📚 Tingkatan Manusia dalam Mengingat Allah Swt 📚 Kegandrungan pada Dunia Menghilangkan Pahala Kebajikan 📚 “Penyakit” yang Terkandung dalam Sesuatu yang Mubah

Ketahuilah, apa yang telah kami uraikan sebelum ini, jika Anda perhatikan sungguh-sungguh, niscaya akan terbukalah mata hatimu dan tersingkaplah bagimu—dengan terbitnya cahaya ilmu pengetahuan dan keimanan—segala penyebab penyakit hati serta cara pengobatannya.

Namun, sekiranya hal itu berada di luar kemampuan Anda, seyogianya Anda mencukupkan diri dengan mempercayai (mengimani) saja cara pengobatan itu seraya mengikuti bimbingan dari orang yang memang layak untuk diikuti.

Sebab, keimanan mempunyai tingkatan tertentu, demikian pula pengetahuan mempunyai tingkatan. Dan, pengetahuan (juga) dapat dicapai setelah adanya keimanan, karena ia biasanya datang di belakangnya. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:

Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (QS Al- Mujadalah: 11)

Maka, barangsiapa mempercayai bahwa tindakan melawan hawa nafsu adalah jalan menuju Allah Swt. sedangkan dia tidak mampu mengendalikan alasannya maupun rahasia yang tersembunyi di balik itu, dia tergolong orang-orang yang beriman. Namun, apabila dia mampu mengetahui apa yang telah kami ungkapkan tentang penyakit-penyakit hati yang ditimbulkan oleh syahwat hawa nafsu, dia termasuk orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan.

Bagaimanapun, kepada masing-masing dari dua kelompok itu, Allah Swt. telah menjanjikan kebaikan dari-Nya.

Dalil-Dalil tentang Cara Pengobatan Hati dengan Melawan Nafsu.

Adapun dalil-dalil yang mengundang keimanan pada hal ini, sungguh amat banyak, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah, serta ucapan-ucapan para ulama. Di antaranya, firman Allah Swt.:

Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). (QS Al-Nazi’at: 40-41)

Firman-Nya pula:

…. Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa… (QS Al-Hujurat: 3).

Sebagian mufassir menyatakan yang dimaksud pada ayat tersebut yaitu, Allah mencabut keinginan mengikuti hawa nafsu dari hati mereka.

Telah bersabda Rasulullah Saw.:

“Seorang mukmin senantiasa berada di antara lima kesukaran, seorang mukmin lainnya yang merasa iri kepadanya, seorang munafik yang membencinya, seorang kafir yang memeranginya, setan yang berusaha menyesatkannya, dan hawa nafsu yang menariknya ke arah keinginan yang buruk.”

Dalam hadis itu, beliau menjelaskan bahwa nafsu adalah musuh yang berusaha menariknya, dan karena itu diperlukan adanya perlawanan terhadapnya.

Diriwayatkan bahwa Allah Swt. telah mewahyukan kepada Daud a.s., “Hai Daud, ingatkanlah dan pertakutilah para pengikutmu dari mengikuti hawa nafsu. Sebab, mereka yang hatinya terkait pada syahwat-syahwat dunia, akal mereka pasti terhijab dari-Ku.”

Isa a.s. pernah berkata, “Berbahagialah siapa yang meninggalkan suatu keinginan nafsu yang hadir di depannya, demi sesuatu yang dijanjikan pahalanya, yang belum pernah dilihatnya.”

Telah bersabda Nabi kita Saw. kepada sekelompok kaum Muslim yang baru pulang dari medan jihad:

“Selamat datang! Kamu sekalian pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat bertanya, “Apa itu jihad yang lebih besar, ya Rasul?" Rasul menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”

Sabda beliau pula:

“Seorang mujahid adalah yang berjihad melawan nafsunya, demi ketaatannya kepada Allah Swt.”

“Selamatkanlah dirimu dari gangguan nafsumu, dan jangan mengikuti kecenderungannya dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Jangan sampai dirimu memusuhimu pada Hari Kiamat kelak, sehingga sebagian dari dirimu melaknat sebagiannya yang lain, kecuali Allah Swt. mengampuni dan menutupi hal itu”.

Sufyan Al-Tsauri pernah berkata, “Tidak pernah aku menghadapi sesuatu lebih berat daripada nafsuku. Sekali aku menang, tetapi sekali lagi dia yang menang.”

Abu Al-Abbas Al-Mushiliy biasa berkata kepada dirinya sendiri, “Hai diriku! Di dunia ini, engkau tidak hidup dalam kenikmatan bersama anak-anak para raja, tetapi engkau juga tidak mencari kebahagiaan akhirat bersama para ahli ibadah yang bersungguh-sungguh. Seakan-akan aku melihatmu— kelak—dipenjarakan di suatu tempat, di antara surga dan neraka. Hai nafsu! Tidakkah engkau merasa malu?”

Al-Hasan pernah berkata, “Seekor hewan tunggangan yang amat liar, tidaklah lebih memerlukan kekang daripada nafsumu sendiri.”

📚 Pelbagai Latihan Kejiwaan untuk Melawan Nafsu


Yahya bin Mu‘adz Al-Raziy pernah menulis, “Berjihadlah melawan nafsumu dengan pedang-pedang riyadhah (yakni latihan-latihan kejiwaan untuk mengekang nafsu), yang terdiri atas empat hal: makan sedikit, tidur sebentar, bicara seperlunya, dan sabar menghadapi gangguan manusia.

Kebiasaan makan sedikit, mematikan syahwat nafsu. Tidur sebentar saja, menjernihkan segala keinginan. Bicara seperlunya, menjamin keselamatan dari pelbagai kesulitan. Dan, sabar menghadapi gangguan lebih cepat menyampaikan seseorang pada hidup bertujuan.”

Namun, tak ada yang lebih berat dirasakan oleh seseorang daripada keharusan bersikap ramah dan santun ketika diperlakukan dengan kasar dan tidak simpatik, atau bersikap sabar ketika terus-menerus mengalami gangguan. Oleh sebab itu, bilamana nafsu mulai menuntut agar dipenuhi keinginannya yang mendatangkan dosa-dosa, atau muncul padanya keinginan terlibat dalam manisnya omongan yang sia-sia maka hadapilah dia segera dengan mengurangi jatah makannya. Juga dengan bertahajud dan meninggalkan tidur kecuali sedikit saja. Lalu, memaksanya untuk tidak menonjolkan diri seraya tidak berbicara kecuali sedikit. Sehingga, dia terlepas dari segala perbuatan kezaliman dan terhindar dari segala pelanggaran. Dengan itu pula, dapatlah dia keluar dari kegelapan syahwatnya dan terselamatkan dari pelbagai penyakitnya.

Dan ketika itu, dia akan menjadi suci bersih, cekatan, tercerahkan, berkiprah di arena kebajikan, berjalan di lorong-lorong ketaatan, bagaikan kuda gagah di tengah-tengah medan peperangan, atau seorang raja yang bertamasya di tengah-tengah taman.”

Dia juga pernah menyatakan, “Musuh-musuh manusia ada tiga: dunianya, setannya, dan nafsunya sendiri. Maka, berhati-hatilah terhadap dunia dengan berzuhud di dalamnya, terhadap setan dengan senantiasa berlawanan dengannya, dan terhadap nafsu dengan meninggalkan keinginannya.”

Seorang bijak pernah berkata, “Barangsiapa telah di- kuasai oleh nafsunya, dia menjadi tawanan dalam kubangan syahwatnya, terkurung dalam penjara kecenderungannya, terbelenggu dan terkendali olehnya, lalu ditarik ke mana saja yang dikehendakinya, seraya menghalangi hatinya dari segala yang bermanfaat baginya.”

Ja‘far bin Humaid berkata, “Telah disepakati oleh para ahli ilmu dan kaum bijak, bahwa kenikmatan (hakiki) tak mungkin diraih kecuali dengan meninggalkan kenikmatan (semu).”

Telah berkata Abu Yahya Al-Warraq, “Barangsiapa menggembirakan anggota tubuhnya dengan mengikuti syahwat hawa nafsu, sesungguhnya dia telah menanam pohon penyesalan di hatinya.”

Wuhaib ibn Al-Ward berkata, “Makanan tambahan di samping roti, termasuk bagian dari syahwat nafsu.”

Katanya lagi, “Barangsiapa mencintai syahwat-syahwat dunia, hendaklah dia bersiap-siap ditimpa kehinaan.”

Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Yusuf a.s. telah diangkat menjadi pemegang harta kekayaan Mesir, lalu dia—pada suatu hari—berjalan dalam rombongan kebesaran yang diikuti oleh dua belas ribu tokoh terkemuka negeri itu maka (mantan) istri Al-‘Aziz (raja Mesir waktu itu) duduk di tepi jalan yang dilalui Yusuf a.s. dan berkata, “Mahasuci Dia yang telah mengubah para raja menjadi budak-budak akibat kemaksiatan mereka, dan mengubah para budak menjadi raja-raja disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya. Begitulah, ambisi dan syahwat telah mengubah kedudukan para raja sehingga menjadi budak-budak. Dan begitulah, balasan bagi orang-orang yang merusak di muka bumi. Sementara kesabaran dan ketakwaan telah mengubah kedudukan para budak menjadi raja-raja.” Mendengar sindiran itu, Yusuf a.s. berkata, “Itulah yang difirmankan Allah Swt., ‘Barangsiapa bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah takkan sekali-kali menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.’”

Telah berkata Al-Junaid, “Pernah suatu malam, aku tak bisa tidur, lalu aku mulai melaksanakan wiridku, tetapi tak juga kujumpai kenikmatan yang biasa aku rasakan. Aku pun berusaha untuk kembali tidur, tetapi tak berhasil juga. Maka aku duduk, tetapi sebentar saja aku telah merasa bosan. Kemudian aku keluar, dan tiba-tiba kulihat seorang laki-laki berselimutkan jubahnya, terbaring di jalanan. Dan ketika merasakan kedatanganku, dia berkata, ‘Hai Abul Qasim (julukan Al-Junaid—Penerj.), kemarilah segera!’ Aku pun berkata kepadanya, ‘Tuan, haruskah aku menghadapmu sekarang, tanpa janji sebelumnya?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Memang aku telah memohon dari Allah Swt. agar menggerakkan hatimu untukku.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Kalau begitu, kini Allah telah melakukan apa yang Tuan inginkan. Apa kiranya keperluan Tuan?’ Orang itu balik bertanya, ‘Kapan suatu penyakit hati dapat menjadi obat baginya?’ Jawabku, ‘Manakala hati melawan kecenderungannya.’ Mendengar jawaban itu, orang tersebut berkata kepada dirinya sendiri, ‘Dengarlah! Telah tujuh kali aku memberimu jawaban seperti itu, tetapi engkau tidak mau mendengarnya!’ Lalu dia segera pergi meninggalkanku, sementara aku tidak tahu siapa dia.”

Telah berkata Yazid Al-Raqqasiy, “Jauhkanlah dariku air sejuk di dunia ini, sehingga aku dapat berharap moga-moga di akhirat kelak aku tak dihalangi darinya.”

Seorang laki-laki bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz, “Kapan sebaiknya aku berbicara?” Jawab Umar, “Bila Anda merasa ingin diam.” Orang itu bertanya lagi, “Kalau begitu, kapan sebaiknya aku diam?” Jawab Umar lagi, “Bila Anda merasa ingin berbicara!”

Ali r.a. pernah berkata, “Barangsiapa merindukan surga, niscaya dia takkan tergiur oleh segala kesenangan dunia.”

Malik bin Dinar sering memasuki pasar. Dan setiap kali melihat sesuatu yang sangat dingininya, dia berkata pada dirinya sendiri, “Bersabarlah, karena demi Allah, aku tidak melarangmu memperolehnya, kecuali disebabkan tingginya penghargaanku terhadapmu.”

Jelaslah, para ulama dan kaum bijak telah menyepakati bahwa tiada jalan menuju kebahagiaan akhirat kecuali dengan melarang diri sendiri mengikuti hawa nafsu dan dengan melawan kecenderungannya. Mengimani hal ini adalah wajib. Adapun pengetahun terinci tentang apa saja kecenderungan nafsu yang harus ditinggalkan dan apa yang tidak harus ditinggalkan maka semua itu tidak dapat dicapai kecuali dengan memahami apa yang telah kami uraikan sebelum ini.

Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa pokok utama dari riyadhah (pelatihan ruhani) adalah dengan mencegah diri menikmati segala sesuatu yang nantinya tidak dapat dijumpai dalam kubur. Kecuali sebatas kebutuhan dharuri (primer) saja. Atau dengan kata lain, mencukupkan diri dengan makanan, pakaian, istri, tempat tinggal, serta apa saja lainnya yang tak dapat dielakkan sebatas kebutuhan yang sangat saja. Sebab, jika seseorang membiarkan dirinya terlalu (sering) menikmati sesuatu, lama-kelamaan dia akan terbiasa dengannya dan merasa akrab dengannya. Dan kelak, ketika sudah mati, dia akan sangat ingin kembali ke dunia, agar memperolehnya lagi. Padahal, tak ada yang ingin kembali ke dunia selain orang yang tidak merasakan kebahagiaan di akhirat.

Maka, tiada yang dapat menyelamatkannya dari keadaan seperti itu kecuali apabila hati senantiasa disibukkan dengan makrifat dan kecintaan kepada Allah Swt. serta dengan bertafakur dan berserah diri secara total kepada-Nya. Dan tiada daya untuk semua itu, kecuali dengan perkenan-Nya semata-mata.

Karena itu, hendaknya orang tidak mengambil dari dunia ini lebih daripada kadar yang seminimal mungkin. Yaitu, yang dapat membantunya menghilangkan segala yang menghambat kegiatannya dalam berzikir (mengingat Allah) dan berpikir (merenungkan keagungan-Nya) semata-mata. Dan barangsiapa tidak mampu mencapai kondisi seperti itu secara sempurna, hendaknya dia berusaha untuk—paling sedikit—mendekatinya.

📚 Tingkatan Manusia dalam Mengingat Allah Swt


Dalam melaksanakan zikir kepada Allah, manusia terbagi atas empat tingkatan atau kelompok:

Pertama, seorang yang jiwanya “tenggelam” dalam ingatan kepada-Nya. Tak sedikit pun dia akan berpaling pada dunia, kecuali dalam keperluan-keperluan hidup yang benar-benar dharuri (tidak boleh tidak). Orang seperti ini termasuk kelompok shiddiqin (yang benar-benar tulus kepadaNya).

Tak seorang pun mampu mencapai tingkatan ini, kecuali dengan riyadhah dan kesabaran dalam menjauhi segala keinginan hawa nafsu, selama waktu yang amat lama.

Kedua, seorang yang hatinya telah “ditenggelamkan” oleh kesibukan dunia. Sehingga, tak ada lagi kesempatan untuk mengingat Allah kecuali yang berupa bisikan yang melintas, ketika berzikir dengan lisannya saja, tanpa dihayati oleh hati. Orang seperti ini, termasuk kelompok halikin (orang-orang yang binasa).

Ketiga, seorang yang disibukkan oleh dunia dan agama bersama-sama, tetapi yang lebih sering menyibukkan hatinya adalah agamanya. Orang seperti ini, tidak terhindar sama sekali dari keharusan mendatangi neraka. Walaupun dia nantinya akan diselamatkan dalam waktu yang singkat, tergantung banyak atau sedikitnya waktu yang dilaluinya dalam menyibukkan hatinya dalam mengingat Allah Swt.

Keempat, seorang yang disibukkan oleh kedua-duanya, tetapi kesibukan dunianya lebih dominan atas hatinya. Orang seperti ini, akan menghuni neraka dalam waktu yang cukup lama, walaupun—akhirnya—dia pasti keluar juga, mengingat cukup kuatnya zikir kepada Allah dalam hatinya, meskipun zikirnya pada dunia seringkali lebih menguasainya.

(Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kehinaan yang Kau timpakan atas orang-orang yang aniaya, sebab hanya Engkaulah tempat kami berlindung.)

📚 Kegandrungan pada Dunia Menghilangkan Pahala Kebajikan


Mungkin ada orang yang menyatakan, menikmati sesuatu yang mubah (yang tidak terlarang) adalah mubah pula. Maka, apakah mungkin tindakan seperti itu menjadi penyebab terjauhkannya seseorang dari Allah Swt.?

Pertanyaan seperti ini adalah khayalan yang lemah. Sebab, kecintaan pada dunia adalah sumber segala perbuatan dosa dan penyebab terhapusnya pahala segala kebajikan. Adapun sesuatu yang hukumnya mubah tetapi jumlahnya lebih daripada yang sangat dibutuhkan, adalah termasuk “dunia” juga. Karena itu, dia dapat menjadi penyebab keterjauhan (dari Allah Swt.). Keterangan mengenai hal ini, dapat dibaca secara lebih rinci dalam buku kami, Dzamm Al-Dunia (Kecaman terhadap Dunia).

Ibrahim Al-Khawwash mengisahkan, “Aku pernah di suatu tempat bernama Jabal Al-Lukam. Kulihat di sana, sebuah pohon delima yang buahnya membangkitkan seleraku. Lalu kupetik sebuah dan kubelah menjadi dua. Namun ternyata, rasanya asam, sehingga aku meninggalkannya dan meneruskan perjalananku. Tak lama kemudian, kulihat seorang laki-laki terbaring dengan sejumlah binatang sejenis lebah mengelilinginya. Kusapa dia seraya mengucapkan, ‘Assalamu ‘alaikum.’ Orang itu menjawab, ‘Wa ‘alaikumsalam, wahai Ibrahim!’ Mendengar dia menyebut namaku, aku terheran dan bertanya, ‘Bagaimana Anda mengenalku?’ Dia menjawab, ‘Barangsiapa mengenal Allah, tak suatu pun yang tersembunyi baginya.’ Lalu aku berkata kepadanya, ‘Kulihat Anda memiliki suatu hal (keadaan spiritual khusus yang meliputi diri seseorang—Penerj.) bersama Allah Swt.? Mengapa tidak memohon kepada-Nya agar menghindarkan Anda dari gangguan binatang-binatang ini?’ Akan tetapi, dia balik bertanya, ‘Anda sendiri, kulihat hal bersama Allah, mengapa tidak memohon dari-Nya agar menghindarkan Anda dari syahwat memakan buah delima? Padahal, “sengatan” buah delima akan dirasakan sakitnya di akhirat, sedangkan sengatan lebah hanya dirasakan di dunia saja.’ Mendengar itu, aku diam saja, lalu pergi meninggalkannya.”

Telah berkata Al-Sariyy, “Sejak empat puluh tahun lalu, diriku terus-menerus menuntut agar aku mencelupkan sepotong roti ke dalam sari buah, tetapi aku tak pernah memenuhi keinginannya.”

Jelaslah bahwa tidaklah mungkin seseorang membaikkan hatinya dalam upaya melintasi jalan akhirat, selama dia tidak mencegah dirinya dari kebiasaan “bernikmat-nikmat” dengan segala yang mubah. Sebab, apabila hati tidak dicegah dari beberapa hal yang mubah, pasti dia akan mencoba meraih yang haram. Karena itulah, siapa saja yang berniat menjaga lidahnya dari perbuatan menggunjing dan mencampuri urusan orang lain, hendaknya dia memaksa lidahnya agar senantiasa diam, kecuali untuk berzikir kepada Allah, atau mengucapkan sesuatu yang perlu dalam agama. Begitulah, sampai syahwatnya untuk berbicara menjadi “mati” sama sekali, dan dia tidak akan mengucapkan apa pun selain sesuatu yang haq. Dan dengan begitu, diamnya itu menjadi bagian dari ibadah, sebagaimana berbicaranya pun menjadi bagian dari ibadah.

📚 “Penyakit” Yang Terkandung Dalam Sesuatu Yang Mubah


Manakala mata telah terbiasa memandangi segala sesuatu yang indah-indah, dia tidak lagi akan menahan penglihatannya terhadap sesuatu yang tidak halal. Demikian pula segala sesuatu lainnya yang sangat diingini oleh nafsu. Sebab, apa yang membuatnya tertarik pada yang halal, itulah pula yang membuatnya tertarik pada yang haram. Semuanya bersumber pada syahwat yang satu. Karena itu, manusia diwajibkan mencegah dirinya daripada melakukan sesuatu yang haram. Jika dia tidak membiasakan dirinya agar merasa cukup memenuhi dorongan syahwatnya sekadar yang amat sangat perlu saja, pada akhirnya dia pasti akan dikuasai sepenuhnya oleh nafsunya itu.

Itulah salah satu “penyakit” yang tersembunyi pada hal-hal yang mubah. Di balik itu, masih banyak lagi “penyakit-penyakit” yang jauh lebih hebat dari itu. Yaitu yang menyebabkan hati seseorang merasa senang ketika “bernikmat-nikmat” dengan dunia, merasa puas dan tenteram dengannya, kemudian menyerahkan diri kepadanya tanpa syarat, dan memujanya dalam keadaan tak sadar diri. Seperti halnya seorang yang sedang mabuk berat tak kunjung sadar.

Kesenangan pada dunia seperti itu, sungguh merupakan racun pembunuh, mengalir dalam urat-urat menuju hati, lalu mengeluarkan darinya semua perasaan takut, gelisah, ingatan pada maut dan pada kegalauan Hari Kiamat. Dan itulah, saat-saat kematian hati. Sebagaimana dalam firman-firman Allah:

... Mereka merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengannya.... (QS Yunus: 7)

... Mereka senang dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat .... (QS Al-Ra’d: 26)

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan, dan saling berbangga di antara kamu, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan .... (QS Al-Hadid: 20)

Semua itu, merupakan celaan pada dunia. Semoga Allah Swt. memberikan keselamatan kepada kita daripadanya.

Itulah sebabnya orang-orang bijak di antara arbab al-qulub (mereka yang tercerahkan mata hatinya) menguji hati mereka ketika sedang merasa senang dengan datangnya kesejahteraan duniawi. Hasilnya, mereka mendapatinya—ketika itu—dalam keadaan keras dan liar, sulit menerima pengaruh dari ingatan kepada Allah dan Hari Akhir. Kemudian mereka mengujinya lagi, ketika dalam keadaan sedih. Hasilnya, mereka mendapatinya— ketika itu—dalam keadaan lembut, lunak, dan bening, mudah menerima pengaruh zikir. Maka, yakinlah mereka bahwa keselamatan baginya terkandung dalam kesedihan yang berlanjut, serta keterjauhan dari segala penyebab kesenangan dan kebanggaan.

Selanjutnya, mereka menyapihnya dari segala kelezatan dunia, dan membiasakannya untuk senantiasa menjauh dari segala pelbagai dorongan syahwatnya yang halal, apalagi yang haram. Karena, mereka meyakini bahwa yang halal darinya akan dihisab (menghadapi perhitungan), yang haram darinya akan menghadapi azab, dan yang samar-samar (antara halal dan haram) akan menghadapi kecaman. Adapun kecaman merupakan sejenis azab, mengingat bahwa siapa saja yang dikecam, apalagi ditujukan perhitungan kepadanya, sesungguhnya dia telah merasakan azab.

Demikianlah mereka menyelamatkan diri mereka dari azab Hari Kiamat, dan mencapai kebebasan dan kejayaan yang berlanjut di dunia dan di akhirat.

Yaitu, dengan menghilangkan darinya sifat yang liar dan buas, dan menggantikannya dengan sifat-sifat patuh dan terdidik. Pertama-tama dipenjarakan di sebuah ruangan yang gelap dan dengan kedua matanya ditutup. Agar dapat disapih dari kebiasaannya terbang di angkasa luas, dan melupakan tabiatnya yang bebas lepas tak terkendali. Setelah itu, didekatkan hatinya dengan memberinya daging untuk makannya, sehingga—sedikit demi sedikit—dia mengenal majikannya dan menjadi akrab dengannya. Sehingga, setiap kali dipanggil dia akan menjawab panggilannya, dan setiap kali mendengar suara sang majikan, dia akan kembali kepadanya.

Demikian itu pula jiwa manusia. Dia tidak akan merasa akrab dengan Tuhannya dan merasa tenteram dengan sebutan tentangNya, kecuali jika dia telah disapih dari kebiasaannya. Yaitu, pada mulanya dengan beruzlah (berkhalwat, mengasingkan diri) dengan tujuan menjaga pendengaran dan penglihatannya dari segala sesuatu yang dia telah terbiasa dengannya. Kemudian, dibiasakan pula kepadanya mengucapkan puji-pujian kepada Allah Swt., juga berdoa dan berzikir. Sehingga dia menjadi lebih akrab pada zikrullah, sebagai ganti keakrabannya pada dunia beserta segala yang didambakan di dalamnya. Memang, upaya-upaya seperti itu, pada mulanya pasti akan terasa berat bagi si murid. Akan tetapi—pada akhirnya—dia akan menikmatinya juga. Sama halnya, seperti seorang bayi. Pasti berat sekali baginya ketika pertama kali disapih dari air susu ibunya. Sebab, dia takkan bisa bersabar lama-lama dari kebiasaannya itu. Karena itulah, dia akan menangis dan berteriak sekeras-kerasnya ketika mulai disapih, dan makin besar kebenciannya terhadap makanan yang diberikan kepadanya sebagai pengganti air susu.

Namun, bilamana dia tetap dijauhkan dari air susu ibunya, hari demi hari, niscaya dia akan menjadi lelah dan lapar, sehingga secara terpaksa dia mau makan makanan yang diberikan kepadanya. Dan setelah itu, sedikit demi sedikit, dia akan terbiasa dengan makanannya itu. Sehingga seandainya dikembalikan lagi pada air susu ibunya, niscaya dia akan menolak dan meninggalkannya. Ini disebabkan dia kini tidak lagi berselera padanya, dan sebaliknya, telah terbiasa dengan makanannya yang baru.

Demikian pula halnya dengan seekor keledai atau kuda, misalnya. Pada mulanya, dia akan menolak apabila diberi pelana dan kekang, untuk dapat ditunggangi. Tetapi, jika hal itu terus dipaksakan padanya, dan kalau perlu digunakan pula rantai untuk mengikatnya maka pada akhirnya dia menjadi terbiasa juga dengannya lalu menjadi jinak, sehingga sekiranya dia dilepaskan dari tali pengikatnya pun, dia akan tetap berdiri tenang di tempatnya.

Nah, demikian pula nafsu manusia dapat dilatih dan dididik, sama seperti latihan dan didikan yang diberikan pada burung elang atau kuda tunggangan. Caranya ialah dengan mencegahnya dari melihat sesuatu, atau merasa akrab dan senang pada sesuatu, di antara kenikmatan-kenikmatan duniawi. Bahkan dari segala suatu yang—kelak—dia akan berpisah dengannya ketika mati. Sebagaimana pernah dinyatakan, “Betapa pun engkau mencintai sesuatu, tetapi engkau pasti akan berpisah darinya.” (Yakni ketika mati).

Apabila dia benar-benar telah menyadari bahwa siapa saja mencintai sesuatu, tidak boleh tidak, dia akan berpisah darinya di suatu saat, dan pasti bersedih hati karenanya; maka dia akan menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang dia sama sekali tidak akan berpisah darinya, yaitu zikrullah Swt. Itulah yang akan tetap menemaninya di kuburnya, dan tidak akan berpisah darinya untuk selamanya. Dan semua itu, dapat terlaksana dengan bersabar selama beberapa hari saja. Sedangkan usia seseorang hanya sedikit saja dibandingkan dengan jangka waktu kehidupan akhirat. Tentunya seorang yang berakal sehat akan rela menanggung kesukaran perjalanan selama sebulan, untuk mempelajari suatu keterampilan khusus, misalnya, agar setelah itu dia dapat menikmati hasilnya sepanjang setahun penuh, atau bahkan hampir satu abad lamanya. Sedangkan umur seseorang sepenuhnya, apabila dibandingkan dengan keabadian, pasti jauh lebih sedikit daripada satu bulan apabila dibandingkan dengan umur di dunia. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali bersabar dan ber-mujahadah. Sebab, seperti dikatakan Imam Ali r.a., “Orang-orang yang terus berjalan di malam hari, pasti akan bergembira di pagi harinya (karena telah sampai ke tempat tujuan), dan di waktu itu akan hilanglah segala kelelahan akibat kekurangan tidur.”

Adapun metode mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) dan riyadhah (pelatihan ruhani) bagi masing-masing orang, tentunya berbeda sesuai dengan perbedaan situasi dan kondisi mereka. Akan tetapi, intinya adalah, dengan cara setiap individu berusaha meninggalkan apa saja di antara hal-hal duniawi yang menimbulkan kesenangannya.

Orang yang merasa senang dengan harta, jabatan, kedudukan, atau dengan pujian terhadap kehebatannya berceramah, atau dengan kewibawaan dan kekuatannya dalam menjabat sebagai hakim atau wali negeri, atau dengan banyaknya para pengikut dalam pelajaran yang dia berikan, semua yang menimbulkan kesenangannya itu hendaknya dia tinggalkan terlebih dahulu.

Sekiranya dia dilarang dari semua itu dan dikatakan kepadanya bahwa pahala bagi Anda di akhirat tidak akan terkurangi, tetapi tetap tidak menyukai larangan itu, bahkan merasakannya sebagai penderitaan maka jelas bahwa dia termasuk orang yang senang pada kehidupan dunia dan merasa tenteram dengannya. Ini akan menjadi penyebab kerugian atau bahkan kebinasaannya.

Kemudian, jika telah meninggalkan semua penyebab kesenangannya itu, hendaklah dia mengasingkan diri dari khalayak ramai, lalu mulai menjaga hatinya agar tidak menyibukkannya selain dengan zikir (mengingat Allah) dan berpikir (merenungkan keagungan-Nya). Dan, hendaknya dia terus mengamat-amati kemungkinan timbulnya gejala-gejala syahwat dan keragu-raguan dalam hatinya, sehingga—dengan demikian—dia dapat segera menghapus sumbernya sama sekali. Sebab, setiap keragu-raguan ada penyebabnya, dan ia tidak akan hilang kecuali dengan menghilangkan penyebabnya tersebut. Hendaknya keadaannya seperti itu, dijaga terus sepanjang sisa hidupnya, mengingat bahwa jihad tidak ada batas akhirnya selain kematian.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam