Bab 2. Tauhid Uluhiyyah



📚 Terjemah Kitab Kifayatul Awam



Tauhid uluhiyyah adalah ilmu tauhid yang mempelajari tentang sifat-sifat yang berhubungan dengan akidah Tuhan. Sebagai mana sudah diketahui di awal bahwa akidah yang wajib dipelajari  ada 50, berikut perincian sifat-sifat tersebut yang dimulai dengan 20 sifat yang wajib bagi Allah;

A. Sifat-Sifat Wajib Bagi Allah

1. Wujud
Dikalangan para ulama kalam ada perbedaan pendapat dalam sifat arti  wujud. Menurut menurut selain As-Sy’arie bahwa wujud itu al haal/ suatu keadaan yang wajib bagi zat selagi tetap. Al haal ini tidak dikarenakan yang lain/illat. Ini berati wujud itu suatu keadaan yang ada pada zat yang tidak naik pada kedudukan ada hingga dapat terlihat dan tidak turun pada kedudukan tiada hingga benar-benar tidak tetap. Wujud itu berada di tengah-tengah antara ada dan tiada. Oleh karena itu wujud si Jaid adalah suatu keadaan baginya yang pasti tetap pada zatnya dan tidak akan terlepas selagi zat itu tetap.

Adapun makna “ tidak dikarenakan yang lain/illat “. Artinya sifat itu tidak timbul dari sifat yang lain. Berbeda dengan sifat terbukti berkuasa/kaunuhu qodiron umpamanya bagi si Zaid. Sifat terbukti berkuasa timbul dari berkuasa/qudrot. Dari sini dapat diketahui bahwa terbukti yang berkuasa dan wujud adalah 2 haal yang tetap pada Jaid yang tidak dapat teridentifikasi oleh panca indera. Hanya saja terbukti yang berkuasa timbul dari yang lainnya yaitu qudrot, sedangkan wujud tidak timbul dari yang lain. Inilah batasan alhaal nafsiyyah. Dari situlah dapat diketahui bahwa setiap keadaan yang tetap pada zat yang tidak dikarenakan yang lain disebut sifat nafsiyyah. Sifat  nafsiyyah juga suatu sifat yang tidak lepas dari zat. Artinya tidak dapat dimengerti ada zat tanpa sifat itu, seperti sifat tahayyuj/menempati suatu ruang bagi jirim yang jika diamati dan dicermati pasti menempati tempat.

Berdasarkan pendapat ini wujud itu adalah haal. Berarti zat Allah bukan wujudnya sendiri dan makhluk juga bukan wujudnya sendiri.

Imam As-sy’aarie berkata :” bahwa wujud itu ‘ainnya maujud (zat) artinya bukan sifat jaidah (tambahan ) atas zat sekiranya bisa kelihatan. Oleh karena itu wujud itu hanyalah amrun i’tibarie (Suatu perkiraan yang tak ada pada kenyataan namun sah diucapkan). Berdasarkan pendapat ini, wujud Allah itu adalah ‘ain zatNya bukan tambahan atas zatNya. Wujud makhluk juga adalah ‘ainnya. Dengan demikian wujud tidak nampak terhitung sebagai sifat, karena wujud itu  sama dengan zat, sedangkan sifat bukan zat. Berbeda menurut pendapat pertama; menghitung wujud sebagai sifat  nampak jelas.

Kesimpulan; Dalam memaknai wujud bagi Allah antara pendapat pertama  dan kedua ada persamaan dan perbedaan. Persamaan itu makna wajib wujud bagi Allah menurut pendapat pertama :” bahwa sifat nafsiyyah/haal tetap  bagi Allah”. Sedangkan menurut pendapat kedua :”  bahwa zat Allah nyata adanya dalam kenyataan, sekiranya hijab/penghalang dibukaknan dari kita, tentu kita dapat melihatnya. Ini berarti zat Allah itu tetap dan nyata adanya menurut dua pendapat. Sedangkan perbedaannya wujud itu bukan zatNya menurut pendapat pertama dan wujud sama dengan zat menurut pendapat kedua.

Dalil aqli tetapnya sifat wujud/ada pada Allah barunya alam. Baru artinya ada setelah tiada. Alam adalah sesuatu kumpulan dari jirim seperti zat dan ‘arodh seperti gerak, diam dan warna.

Kenapa barunya alam menjadi dalil akan adanya Allah ? karena  tidak sah alam ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakan, karena sebelum ada alam ini asalnya tiada. Lalu ada. Sedangkan status ada dan tiada sama kedudukannya. Apabila kedudukan keduanya sama kemudian yang satu (ada) dapat mengungguli lainnya (tiada), maka tidak benar dapat mengungguli dengan sendirinya. Oleh karena itu, pasti ada murojjih  (yang mengungguli), karena berdasarkan kaidah tarojjuhul amroeni mutasawiaini bighoeri murojjihin mustahilun (mengunggulkan sesuatu yang statusnya sama tanpa ada yang mengunggulkan adalah mustahil). Misalnya si Jaid sebelum ada bisa jadi lahir pada tahun anu ( misalnya 2000 ) bisa jadi pula tidak terlahir sama sekali ke dunia. Nah ada dan tiadanya ini sama kedudukannya, lalu tatkala ada dan hilang tiada pada tahun 2000, maka pasti adanya dengan yang mengadakan bukan dengan sendirinya.

Kesimpulan dalil wujud adalah “ Alam yang terdiri dari jirim dan ‘arodh ini baru – ada setelah tiada -. Setiap yang baru pasti ada yang membarukan. Dengan demikian alam inipun ada yang membarukan”.Adapun yang membarukan alam disebut Allah dan nama-nama lainNya, dapat dipahami dari para Nabi AS.

Dalil ini – barunya alam – adalah sebagai dalil atas wujudnya Allah. Adapaun dalil barunya alam adalah apabila kita perhatikan bahwa alam ini/ makhluk/ciptaan terdiri dari jirim/benda dan ‘arod (sifat pada jirim). ‘Arod bersifat asli berobah dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada. Sebagai contoh diam dan gerak yang senantiasa berobah; dari diam menjadi bergerak, dari gerak menjadi diam dan seterusnya. Semua perobahan ini menunjukan barunya ‘arodh. Jika ‘arod baru, maka jirimpun yang didiami ‘arodh statusnya baru pula, karena keduanya mulaajamah (berkaitan erat tanpa bisa dipisahkan). Jika keduanya baru, maka alam inipun baru ( terjadi setelah tiada ).
Kesimpulan bukti barunya alam adalah : jirim mulajamah kepada ‘arodh. Sedangkan ‘arodh itu baru. Setiap yang mulajamah kepada yang baru, pasti baru. Dengan demikian jirimpun baru. Kebaruan jirim dan ‘arodh ini menjadi dalil akan adanya Allah, sebab setiap yang baru pasti ada yang membarukan. Sedangkan tidak ada yang membarukan alam kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagiNya sebagaimana nanti diterangkan dalam dalil sifat wahdaniyyah.

Inilah dalil ijmali yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf baik laki-laki maupun wanita, sebagaimana pendapat Imam Ibnu ‘Aroby dan Sanusi. Mereka berdua menganggap kufur kepada orang yang tidak ma’rifat. Hati-hati iman kita belum ma’rifat.

2. Qidam
Qidam artinya tidak ada permulaan. Allah disifati qidam artinya keberadaanNya tidak ada permulaan. Berbeda dengan keberadaan si Jaid yang ada permulaannya, yaitu sejak diciptakan sperma yang menjadi cikal bakal keberadaannya.

Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai qodim/yang qidam dan azali; ada yang berpendapat sama artinya dan ada yang berpendapat berbeda.

Ulama yang berpendapat sama artinya mendefinisikan keduanya adalah :” sesuatu yang tidak ada permulaannya”. Ini berarti zat dan sifat Allah itu qodim dan azali.

Ulama yang berpendapat berbeda, mendefinisikan qodim dengan sesuatu yang ada tidak bermula”. Sedangkan azali adalah sesuatu yang terbermula”. Ini berarti umum baik untuk yang maujud/ada ataupun yang ghoer maujud/tiada. Dengan demikian zat dan sifat Allah yang bangsa maujud dapat dikatakan azali dan qodim seperti dikatakan zat Allah azali dan qudrotNya azali pula. Namun hanya dikatakan azali dan tidak dikatakan qodim bila sifat itu termasuk bangsa haal seperti kaunuhu qodiron. Sebab kaunuhu qodiron tidak naik sampai derajat ada.

Dalil aqli tetapnya sifat qidam bagi Allah adalah “ Apabila keberadaan Allah ada permulaannya, pasti Allah baru. Karena tidak ada wasithoh/ tengah-tengah diantara keduanya. Kalau Allah baru, pasti ada yang membarukannya (pencipta), karena setiap yang baru pasti ada yang membarukannya. Pencipta Allahpun sama seperti Allah membutuhkan pada pencipta dan seterusnya hingga akhirnya akan menimbulkan daur ( menantinya sesuatu pada yang lain, yang lain itupun menanti pada yang lain tadi seperti Fathoni anaknya Umar, Umar anaknya Fathoni. Ini mustahil. Atau akan menimbuilkan tasalsul (menantinya sesuatu pada yang lainnya, yang lainnya itupun menanti pada yang lainnya dan seterusnya hingga tak ada batasnya seperti Fathoni menanti pada Umar, Umar menanti pada Kholid, Kholid menanti pada yang lainnya dan seterusnya hingga tak ada akhirnya). Sedangkan daur dan tasalsul itu mustahil adanya. Apabila  keduanya mustahil, maka  pencipta Allahpun mustahil adanya. Apabila pencipta Allah mustahil adanya,  maka keberadaan Allah itu tidak ada permulaan. Dengan demikian pastilah Allah disifati dengan qidam. Kesimpulnnya zat Allah  dan sifat-Nya Qodim (yang keberadaannya tak ada permulaannya)”. Inilah dalil ijmali sifat qidam bagi Allah. Dengan inilah dia keluar dari belenggu taklid  yang akan mengekalkan pemiliknya di neraka menurut Ibnu ‘Arobi dan Imam Sanusi.

3. Baqo’
Baqo artinya“ Tiada akhiri bagi  keberadaannya”. Allah disifati dengan sifat baqo artinya tidak ada akhir bagi keberadaan Allah”.

Dalil aqli sifat baqo adalah “ Kalau Allah tidak disifati sifat baqo’, tentu keberadaannya diakhiri dengan tiada. Apabila keberadaannya diakhiri tiada, tentu Allah jaiz adanya. Apabila Allah jaiz adanya, tentu Allah baru ( keberadaannya ada awalnya ). Kalau Allah baru berarti Allah tidak disifati dengan qidam. Sedangkan telah nyata Allah disifati dengan sifat qidam.  Kalau Allah disifati dengan sifat qidam, berarti keberadaan Allah tidak ada baru. Kalau  keberadaan-Nya tidak baru, tentu keberadaan-Nya tidak jaiz. Apabila keberadaannya tidak jaiz, tentu wajib adanya. Apabila wajib adanya, tentu keberadaannya tidak ada akhirnya”. Kalau keberadaannnya tidak ada akhirnya berarti Dia disifati dengan sifat  baqo’.

Kesimpulan : Bila Allah tidak wajib disifati baqo’, ini berarti wenang tiadaNya, tentu tidak disifati qidam. Sedangkan tidak sah tiadanya sifat qidam dari Allah, karena dalilnya sudah nyata. Ini adalah dalil ijmali sifat baqo’ yang wajib diketahui oleh mukallaf. Begitupun setiap akidah yang lainnya. Bila mengetahui sebagian akidah dengan dalilnya sedangkan yang lainnya tanpa dalil, maka tidak cukup dikatakan mukmin menurut pendapat yang tidak menganggap cukup taklid.

4. Mukholafatuhu Lil Hawadist
Al Mukholafah lilhawadist menurut ilmu tauhid adalah : berbeda dengan  makhluk. Allah disifati dengan sifat almukholafah lil hawadist artinya keberadaan Allah tidak menyamai keberadaan makhlukNya. Ini berarti Allah berbeda dengan manusia, jin, malaikat  dll dan berbeda pula dalam seluruh yang ada pada makhluk seperti duduk, berjalan dan anggota badan seperti mulut, mata, telinga dan lain.  Oleh karena itu setiap yang terlintas dalam pikiranmu adanya panjang, lebar, pendek, gemuk, Allah  itu berbeda dengan semua itu. Maha suci Allah dari seluruh sifat makhlukNya.

Dalil aqli sifat Almukholafah lil hawadist adalah” Apabila Allah menyerupai makhluknya berarti Allah itu baru ( keberadaan-Nya ada permulaan dan juga pasti ada akhirnya ). Kalau Allah baru, pasti membutuhkan muhdist ( yang membarukan ). Muhdist itupun sama membutuhkan muhdist yang lain dst. Bila hal ini terjadi, pasti akan muncul daur atau tasalsul. Sedangkan keduanya itu mustahil. Bila keduanya mustahil, pasti mustahil pula Allah membutuhkan muhdist. Bila demikian Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru berarti tidak sama dengan makhluknya. Kalau Dia tidak sama dengan makhluk-Nya, berarti Dia disifati dengan almukholafa lil hawadist. 

Kesimpulan : “Apabila Allah menyerupai makhlukNya berarti Dia itu baru, karena sesuatu yang  mungkin atas salah satu yang serupa, mungkin pula bagi yang satu lagi. Sedangkan mustahil Allah baru, karena Dia wajib disifati qidam. Bila tidak hudust/baru, maka Dia berbeda dengan makhlukNya. Oleh karena itu tidak ada satupun persamaan antara Allah dengan makhlukNya “. Inilah dalil ijmali yang  wajib diketahui seperti yang sudah-sudah.

5. Qiyamuhu Binafsihi
Qiyamuhu Binafsihi artinya tidak membutuhkan mahal/zat dan mukhossis/pencipta. Allah disifati dengan sifat alqiyam binafsihi, artinya keberadaan Allah tidak membutuhkan zat dan pencipta/yang mengadakan.

Dalil aqli Allah disifati dengan qiyamuhu binafsihi adalah “ Apabila Allah membutuhkan zat seperti warna putih membutuhkan zat , berarti Dia sifat seperti warna putih, karena tidak ada yang membutuhkan zat kecuali sifat. Kalau Dia sifat, berarti Dia tidak akan disifati seperti dengan qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan kalam, karena sifat tidak akan menetap pada sifat. Sedangkan Dia disifati dengan sifat-sifat tadi. Kalau Dia disifati dengan sifat-sifat tadi, berarti Dia bukan sifat. Oleh karena bukan sifat, berarti Allah itu zat. Sekali lagi Dia itu zat.  Begitupun apabila Allah membutuhkan pencipta, maka Dia baru. Kalau Dia baru berarti Dia tidak disifati dengan sifat qidam, baqo, mukholafah lil hawadist. Sedangkan Dia telah nyata di atas disifati dengan sifat-sifat tersebut. Kalau Dia telah nyata disifati dengan sifat-sifat tersebut,berarti Dia tidak baru. Kalau Dia tidak baru, Dia tidak membutuhkan pada mukhossis. Dengan demikian Dia kaya mutlak ( tidak membutuhkan zat dan mukhossis ), berbeda dengan makhluk yang kaya mukoyyad/tidak membutuhkan dari salah satu tapi butuh yang lain. Kini nyatalah bahwa Dia disifati dengan qiyamuhu binafsihi.

6. Wahdaniyyah
Wahdaaniyat artinya tidak terbilang/terhitung atau arti singkatnya tunggal. Allah disifati wahdaaniyat artinya keberadaanNya hanya tunggal.  Allah itu tunggal/esa pada tiga bagian : zat, sifat dan af’al.

A. Zat
Wahdaniyat fii zat ini ada 2 makna,  yaitu ;

1. Zat Allah tidak tersusun dari bagian atau unsur. Berbeda dengan tunggalnya makhluk atau sesuatu. Sudah pasti ia akan tersusun dari beberapa bagian, contoh jam tangan itu ada unsur-unsurnya seperti tali, bak jam, jarum second, jarum panjang, jarum pendek, putaran dll. Kalau salah satu  unsur ini tidak ada, maka akan mengakibatkan kurang sempurnanya jam tangan tadi. Begitupun dengan Allah. Kalau Dia tersusun dari bagian-bagian akan menimbulkan kurang sempurna. Sedang Dia itu Maha Sempurna.  Makanya Dia harus tunggal. Dengan arti yang pertama ini, hilanglah kam muttasil fiz zat artinya suatu zat tersusun dari beberapa bagian.

2. Tidak ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Dengan arti yang kedua ini maka hilanglah kam munfasil fis sifat artinya ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Dengan wahdaniyyah fiz zat, hilanglah dua kam ( muttasil dan munfasil fiz zat )

B. Sifat
Wahdaniyyat ini mengandung dua makna;

1. Satu sifat yang sama jenis dan namanya tidak tersusun dari bagian yang lain . Seperti 2 qudrot. 2 irodat dll. Jadi qudrot Allah itu hanya satu, begitupun irodat, ilmu. Hayat, sama’, bashor dan kalam-Nya. Ini berarti bawa qudrot yang dipakai menciptakan langit, qodrot itu pula yang dipakai menciptakan bumi, gunung, manusia, jin, binatang, tumbuh-tumbuhan dll. Jadi tidak menggunakan qudrot yang lain. Dengan arti yang pertama ini, maka hilanglah kam muttasil fis sifat artinya sifat yang sama jenis dan namanya  tersusun dari beberapa  bagian.

2. Tidak ada satupun sifat-sifat makhluk yang menyamai sifat-sifat Allah dalam hakekatnya. Makhluk tidak mempunyai qudrot seperti qudrotnya Allah. Begitupun sifat-sifat yang lainnya. Yang sama hanya nama saja tapi hakekatnya tidak akan pernah sama. Dengan arti yang pertama ini, maka hilanglah kam munfasil fis sifat artinya adanya sifat makhluk yang menyamai sifatnya Allah.

C. Af’al (perbuatan)
Wahdaaniyat fiil af’al ini artinya hanya Allah yang berbuat ( mengadakan atau meniadakan ) dengan kehendak-Nya pada segala sesuatu yang mungkin. Tidak ada sesuatupun yang menyekutui kepada-Nya. Oleh karena itu tidak ada satupun perbuatan  bagi makhluk seperti para nabi, malaikat dan lainnya. Adapun celaka atau matinya seseorang ketika menentang seorang wali adalah murni perbuatan Allah yang terjadi saat wali itu marah. Kata “ wahdah/tunggal “ tidak ditafsirkan dengan bahwa tidak ada perbuatan bagi selain Allah yang seperti Allah, karena hal itu akan mengesankan bahwa selain Allahpun bisa berbuat tapi tidak seperti perbuatan Allah. Ini salah besar. Ingat hanya Allah yang dapat membuat/menciptakan amal/aktivitas makhluk. Oleh karena itu gerakan tanganmu saat memukul si Jaid adalah dibuat/diciptakan Allah. Dengan adanya wahdaniyat fiil af’al maka hilanglah kam munfasil fil af’al artinya adanya amal yang tidak diciptakan oleh Allah.

Jadi wahdaaniyat itu menafikan/meniadakan adanya 5 kam yang mustahil bagi Allah. Kam muttasil fiz zat adalah zat itu tersusun dari bagian. Kam munfasil fiz zat ada zat lain yang menyerupai zat Allah. Kam muttasil fis sifat artinya Allah memiliki 2 sifat yang sama nama dan maknanya. Kam munfasil fis sifat adalah ada sifat lain yang menyerupai sifat Allah. Kam munfasil fil af’al adalah selain Allah dapat berbuat. Kelima Kam ini dinafikan oleh wahdaniyyah yang wajib bagi Allah.
Dalil sifat wahdaniyyah adalah adanya alam. Bila ada Tuhan lebih satu selain Allah, pasti alam ini tiada. Sedangkan alam ini ada. Bila ada, pasti tuhan itu hanya satu yakni Allah saja. Sebagai bukti alam ini tiada bila tuhan lebih satu, ada kemungkinan kedua-duanya bersepakat  atau berselisih.

Jika kedua-duanya bersepakat mengadakan alam, ada tiga kemungkinan.

Pertama, Kedua-duanya mengaku bahwa alam ini diadakan oleh keduanya secara bersamaan dalam kwalitas dan kwantitas yang sama, maka akan timbul ijtimau muatsiroeni ala atsari wahidin (berkumpulnya dua yang berpengaruh atas satu hasil/perbuatan). Contoh ; apabila ada 2 orang mengangkat karung yang berisi beras seberat 100 Kg mengaku telah mengangkat beras itu masing 100 Kg. Pengakuan  Ini mustahil. Oleh karena ijtimau muatsiroeni ala atsari wahidin mustahil, maka mustahil pula ada dua Tuhan atau lebih mengadakan alam secara bersamaan. Dengan demikian Tuhan itu wajib hanya satu.

Kedua, Keduanya mengadakan  dalam waktu berurutan, maka akan timbul tahsilul haasil (menghasilkan sesuatu yang sudah hasil). Contohnya; menanak nasi yang sudah jadi nasi supaya menjadi nasi. Mustahil menghasilkan nasi yang sudah jadi nasi. Oleh karena tahsilul hasil hukumnya mustahil menurut akal, maka mustahil pula ada dua Tuhan atau lebih mengadakan alam secara berurutan. Dengan demikian Tuhan itu wajib satu.

Ketiga, Keduanya atau lebih mengadakan alam secara bersekutu dengan cara Tuhan yang satu mengadakan sebagian alam. Sedangkan tuhan yang lain mengadakan sebagian yang lain, maka keduanya ada kelemahannya. Karena tidak memiliki kemampuan yang menyeluruh. Sedangkan adanya kelemahan pada tuhan itu mustahil. Dengan demikian harus punya kekuatan yang menyeluruh, tidak sepotong-potong. Jadi bagaimanapun tuhan itu harus satu.

Jika kedua-duanya berselisih dalam  hal mengadakan alam, maka akan timbul juga tiga kemungkinan :

Pertama, jika maksud kedua Tuhan itu berhasil ( Tuhan A berhasil mengadakan alam dan Tuhan B berhasil meniadakannya )  maka akan timbullah ijtimaun naqidoen (berkumpulnya dua perkara yang saling bertentangan mis: berkumpulnya si Kholid berdiri dengan si Kholid tidak berdiri ). Sedangkan hukum ijtima’ul naqidoin mustahil. Oleh karena itu mustahil pula berhasilnya maksud kedua Tuhan tadi. Dengan demikian karena hal ini mustahil, maka mustahil pula Tuhan ada dua. Jadi Tuhan itu harus satu.

Kedua, jika maksud salah satu Tuhan tadi berhasil, sedang yang satunya lagi tidak. Misalnya Tuhan A berhasil mengadakan alam, sedangkan Tuhan B tidak berhasil mengadakannya, maka pasti Tuhan B ada kelemahan. Sedangkan sifat asalnya Tuhan A pun adalah Tuhan juga. Oleh karena Tuhan B punya kelemahan, maka Tuhan A pun punya kelemahan seperti Tuhan B. Karena berdasarkan kaidah :  maa tsabata li ahadi amroeni, tsabata lilakhor ( sesuatu yang tetap bagi yang semisal, tetap juga bagi yang laninya ) Kelemahan pada zat Tuhan itu mustahil. Dengan demikian Tuhan wajib berkuasa dan hanya satu.

Ketiga, jika maksud kedua Tuhan tadi tidak berhasil, maka pasti kedua-duanya ada kelemahan. Sedangkan tadi sudah dijelaskan bahwa Tuhan itu mustahil punya kelemahan.

Dari dalil ini dapat diketahui bahwa “ tidak ada sedikitpun pengaruh dari api dapat membakar, pisau dapat memotong, makanan dapat mengenyangkan. Hanya Allah yang membuat terbakarnya sesuatu ketika disentuh api, membuat putusnya sesuatu ketika terkena pisau, membuat kenyang ketika makan dan segar ketika minum “.
Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa  tabiat api bisa membakar, air bisa menyegarkan tenggorokan, pisau bisa memotong, nasi bisa mengenyangkan, obat bisa menyembuhkan. Intinya sesuatu yang ada selain Allah  tabiatnya ada pengaruh pada yang lainnya, maka orang itu telah kufur.

Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa Allah telah memberikan kekuatan pada sebab adat  ( api , air , pisau, obat dll ) sehingga dengan kekuatan itulah api bisa membakar, air bisa menyegarkan, pisau bisa memotong, obat bisa menyembuhkan, maka orang itu adalah fasik serta mubtadi’ (ahli bid’ah)

Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsir (yang mempengaruhi) adalah Allah dan hubungan antara sabab adat dan musabbabnya tidak akan lepas menurut akal ( talajum aqli ). Hingga apabila ada api, pasti Allah membuat barang yang ditempelinya terbakar, ada obat pasti Allah menciptakan kesembuhan badan, maka orang tersebut adalah Jahil (bodoh) akan hakeka sifat wahdaniyyat.

Barang siapa yang mengi’tikadkan bahwa muatsirnya hanya Allah dan hubungan antara sebab adat dan musabbabnya adalah yang tidak semestinya. Jadi sah saja bila ada sebab adat tapi  tidak ada musabbab   ( talajum adie ).Hingga apabila ada api biasanya Allah menciptakan kertas itu terbakar dan sah juga bagi Allah ketika ada api namun musabbanya tidak ada seperti yang terjadi pada Nabi Ibrohim AS yang tidak terbakar padahal sebab adatnya ada yaitu api, maka orang tersebut adalah mu’min sejati yang selamat di akhirat dari api neraka, Insya Allah. Oleh karena itu  Allah wajib disifati wahdaniyyah.

Inilah dalil ijmalie yang wajib diketahui oleh seluruh mukallaf baik laki-laki maupun perempuan. Barang siapa yang tak mengetahuinya, dia kafir menurut Imam Sanusi dan Ibnu Arbi. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberi petunjuk padamu. Amiiin.

Sifat qidam, baqo, mukholafatuhu lil hawadist, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniyyah disebut sifat salbiyyah ( sifat yang menafikan sesuatu yang tidak layak bagi Allah ).

7. Qudrot
Qudrot ; sifat yang berpengaruh pada yang mungkin ada atau tiada. Tatkala berta’aluk  kepada yang tiada, ia akan mengadakannya seperti berta’aluk kepada kita sebelum kita ada dan tatkala berta’aluk kepada yang ada, ia akan meniadakannya seperti berta’aluk kepada jisim yang dikehendaki  Allah tiadanya yang kahirnya menjadi tiada.

Ta’aluk ini disebut ta’aluk tanjizi  yaitu langsung bertindak. Ta’aluk  ini baru. Di samping itu ada juga ta’aluk  shuluhi. Ta’aluq shuluhi adalah kepatutannya di azali untuk mengadakan dan meniadakan  sesuatu yang mungkin ada dan tiadanya di waktu mungkin seperti patut mengadakan  si Jaid tinggi atau pendek atau lebar atau ilmu dll. Dengan demikian sifat qudrot memiliki 2 ta’aluk; ta’aluk  shuluhi dan tanjizi ( keterkaitan kepada yang tiada lalu mengadakan dan kepada yang tiada lalu meniadakan ). Ta’aluk tanjizi  ini  disebut ta’aluk hakeki. Di samping itu ada juga ada ta’aluk  majazi  yaitu : ta’aluq qobdhoh artinya yang ada atau tiada berada dalam genggaman kekuasaan  Allah. Ta’aluq ini ada tiga kelompok, yaitu;

Pertama, yaitu; berta’aluqnya pada sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya setelah tiada seperti berta’aluq pada kita saat ini. Jika Dia menghendaki  ada, maka dia akan ada terus, sebaliknya jika menghendaki tiada, pasti akan tiada.

Kedua, yaitu berta’aluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin adanya seperti berta’alluq pada si Jaid di zaman topan ( zaman Nabi Nuh ); Jika Dia menghendaki  tiada, maka dia akan tiada terus, sebaliknya jika menghendaki  ada, pasti akan ada.

Ketiga, yaitu, berta’aluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam terus ketiadaannya setelah ada seperti berta’aluqnya pada kita saat kita berada di alam barzah nanti.

Dengan perincian di atas dapat diketahui bahwa sifat qudrot memiliki 7 ( tujuh ) ta’aluk;

1. Ta’aluk shuluhi qodim
2. Ta’aluk  qobdhoh 1 (berta’aluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggengam terus ketiadanya pada waktu mungkin adanya);
3. Ta’aluk tanjizi hadist 1 ( Allah mengadakan sesuatu yang tiada tadi )
4. Ta’aluk  qobdhoh 2 (pada sesuatu yang ada dengan menggenggam terus keberadaannya setelah tiada );
5. Ta’aluk tanjizi hadist 2 (berta’aluk meniadakan yang tadinya ada seperti meniadakan kita yang tadinya ada(mematikan);
6. Ta’aluk  qobdhoh 3 ( berta’aluqnya pada sesuatu yang tiada dengan menggenggam terus ketiadaannya sebelum dibangkitkan dari kubur ) dan
7. Ta’aluk tanjizi hadist  3 (mengadakan yang tadinya tiada seperti mengadakan kita  dengan membangkitkan dari alam barzah ke tempat masing-masing, yaitu surga atau neraka).

Inilah ta’luk sifat qudrot secara terperinci ada 7 dan  secara geobal/ijmali hanya memiliki  2 ta’aluk, yaitu; ta’aluk shuluhi qodim dan tanjizi hadist namun ta’luk tanjizi khusus mengadakan  dan meniadakan. Adapun ta’aluk qobdhoh tidak dapat  sifati dengan  tanjizi dan shuluhi.

Masalah ta’luk  sifat qudrot kepada yang ada dan tiada adalah menurut pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan sebagian ulama berpendapat “ sifat Qudrot tidak berta’aluk kepada yang yang ada. Bila Allah menghendaki seseorang tiada/mati,  maka Allah hentikan karuniaNya  yang menjadi sebab tetap hidupnya “.

8. Irodat
Irodat menurut bahasa  artinya berkehendak. Sifat irodah adalah “ sifat yang menentukan segala yang mungkin ada dan tiadanya  atas sebagian yang  wenang dari beberapa yang mungkin yang saling berbandingan dengan sebagian yang lain atas sesuatu yang telah diketahui oleh Allah”.

Sebagai gambaran dari didefinisi di atas misalnya si Jaid – sebelum diciptakan – wenang berbadan tinggi atau pendek, kemudian sifat irodat menentukan tinggi misalnya. Adapun sifat qudrot berfungsi merealisakannya dari tiada menjadi ada. Jadi irodat menentukan dan qudrot menanmpaknya.

Hal-hal yang mungkin ada dan tiada yang saling berbandingan itu ada 6 ( enam ) :

1. Ada dan tiada  dengan cara menentukan ada sebagai bandingan dari tiada begitupun sebaliknya. Jadi yang menentukan adanya alam ini sebagai bandingan dari tiada adalah sifat irodah. Alam dan segala isinya ada dan nantinya akan tiada itu adalah irodah (kehendak )Allah.

2. Sifat seperti dengan cara menentukan seseorang pintar sebagai bandingan dari bodoh, begitupun sebaliknya. Hitam sebagai bandingan dari yang lainnya. Jadi bila ada seseorang pintar berkulit putih itu sudah merupakan ketentuan Allah dan kehendak-Nya.

3. Masa seperti dengan cara menentukan seseorang berada pada masa/jaman Nabi Nuh As atau masa Nabi muhammad SAW atau masa yang lainnya sebagai bandingan dari masa yang lain. Jadi bila seseorang berada pada suatu masa tertentu seperti kita berada pada masa sekarang(2000 s/d 2100 ) itu sudah merupakan irodah/kehendak Allah.

4. Tempat seperti dengan cara menentukan seseorang menjadi penduduk kampung, daerah, propinsi, negara tertentu tidak pada tempat yang lainnya. Jadi keberadaan kita berdomisili di kampung Sukagalih Rt 10/Rw 04, desa Telukjambe, kecamatan Telukjambe Timur, kabupaten Karawang dan seterusnya adalah merupakan irodah/ketentuan Allah semata.

5. Arah seperti menentukan seseorang berada di arah selatan  sebagai bandingan dari arah utara atau di timur bandingan dari barat dan sebagainya. Jadi ketika kita berada di arah selatan, utara, timur, barat dan sebagainya itu sudah irodah/ketentuan Allah semata.

6. Ukuran seperti dengan cara menentukan panjang sebagai bandingan dari pendek, berat 100 Kg sebagai bandingan dari selain 100 Kg. Jadi manakala ada makhluk yang tinggi/ panjangnya 2 meter dan berat 100 Kg itu sudah merupakan ketentuan Allah dan kehendak-Nya.

Qudrot dan irodah adalah 2 sifat yang tetap pada zat Allah serta ada, hingga jika hijab hati kita dibuka olehNya  tentu kita akan dapat melihatnya. Dengan demikian sifat qudrot dan irodat sama-sama berta’alluq pada sesuatu yang mungkin .Jadi kedua sifat ini tidak akan pernah berta’alluk pada hal-hal yang wajib dan mustahil. Karena jika keduanya berta’alluk pada yang wajib, maka akan terjadi; mengadakan/menentukan  yang wajib sama dengan tahsilulhasil (menghasilkan yang sudah hasil), meniadakannya/menentukannya akan mengakibatkan membalikan hakekat yaitu wajib menjadi  jaiz. Sedangkan mengadakan/menentukan yang mustahil akan mengakibatkan membalikan hakekat mustahil menjadi jaiz. Begitupun meniadakan/menentukan yang mustahil akan mengakibatkan tahsilul hasil (menghasilkan yang hasil).Yang berbeda antara keduanya adalah dalam hal cara ta’alluknya ; qudrot berfungsi  mengadakan dan meniadakan  sedangkan irodat  berfungsi menentukan.

Sebagian dari perkataan orang bodoh :” Allah mampu menciptakan anak untukNya “. Perkataan ini sangat tolol, karena masalah ada anak bagiNya – Maha Suci Dia dan Maha Tinggi – termasuk dalam katagori  mustahil, sedangkan  qudrot tidak berta’aluk kepada yang mustahil. Hal ini jangan sampai dikatakan “ Bila  Allah  tidak mampu menciptakan anak berarti Dia lemah “, karena sesuatu atau seseorang dapat dikatakan lemah jika tidak mampu menggarap  seseuatu yang jadi garapannya. itu muncul pada Sifat irodah ini hanya mempunyai dua ta’aluq,yaitu :

1. Ta’aluq shuluhi qodim yaitu kepatutannya di zaman azali untuk menentukan seluruh yang mungkin ada dan tiadanya misalnya: si Jaid yang badannya tinggi atau pendek, sah-sah saja tidak disifati kedua-duanya. Atau dia patut atau sah-sah saja jadi Sultan atau jadi tukang kebersihan WC berdasarkan ta’aluk shuluhi.

2. Ta’aluq tanjizi qodim  yaitu menentukannya Allah di zaman azali akan sesuatu  dengan sifa-sifat tertentu yang akan terjadi. Si Jaid sekarang berilmu sudah ditentukan oleh Allah di azali. Dengan demikian berilmunya si Jaid dianami ta’aluk tanjizi. Sedangkan patutnya berilmu atau tidak tanpa melirik pada salah satunya dinamai ta’aluk shuluhi.

Sebagian ulama berpendapat “ irodat mempunyai ta’aluk tanjizi hadist misalnya menentukan si Jaid berbadan tinggi ketika sudah ada “. Dengan demikian irodat mempunyai 3 ta’aluk ( Ta’aluk shuluhi qodim, tanjizi qodim dan tanjizi hadist ). Namun yang ketiga ini bukan ta’aluk tapi memperlihatkan ta’aluk tanjizi qodim. Ta’aluk qudrot dan irodat itu umum bagi setiap yang mungkin hingga apa saja yang terlintas  di dalam hati seseorang itu sudah ditentukan dengan kehendak Allah dan dibuat oleh kekuasaanNya sebagaimana dinyatakan oleh Syaik Malawie dalam sebagian kitabnya.

Perlu diketahui bahwa menisbahkan takhsis/menentukan kepada irodah dan mengadakan kepada qudrot merupakan kata kiasan/majaz, karena yang sebenarnya yang menentukan dan yang mengadakan adalah Allah dengan sebab keduanya. Adapun ucapan orang awam yang berkata “ qudrot yang berbuat kepada sesuatu “, jika maksudnya bahwa sebenarnya berbuat adalah qudrot saja atau zat saja, ia telah kufur. Pernyataan yang benar adalah “ perbuatan itu oleh zat dengan sebab qudrotNya “.

9. Ilmu
Ilmu adalah sifat yang bangsa ada yang jadi terbuka dengannya segala yang ma’lum dengan sempurna dan menyeluruh tanpa didahului samar.

Sifat ilmu berta’aluk kepada yang wajib, jaiz dan mustahil. Oleh karena itu, Allah SWT mengetahui zat dan sifat-sifatNya dengan ilmuNya, hal-hal yang mungkin ada dan tiada dan juga hal-hal yang mustahil. Artinya hal-hal yang mustahil diketahui kepastian tiadanya olehNya  misalnya Dia mengetahui bahwa sukutu bagiNya itu pasti tiadanya dan jika ada, pasti akan terjadi keruksakan/ketiadaan alam. Maha suci Allah dan Maha Tinggi darinya. Sifat ilmu hanya memiliki ta’aluk tanjizi qodim.

Allah mengetahui yang wajib, jaiz dan mustahil tersebut di atas sejak di azali dengan sempurna bukan secara dhon dan syak, karena keduanya mustahil bagiNya.

Adapun makna “ min ghoeri sabqi khofai “ bahwanya Allah mengetahui segala yang tersebut tadi  di azali/dahulu kala sebelum makhluk ada. Bukan berarti asalnya Dia tidak mengetahui lalu mengetahuinya. Maha Suci Dia dari semua itu. Adapun makhluk asalnya tidak mengetahui sesuatu lalu mengetahuinya.

Sifat ilmu tidak mempunyai ta’aluk shuluhi artinya sesuatu yang wajib, jaiz dan mustahil patut diketahui Allah. Ini berarti sesuatu itu tidak diketahui seketika. Ketidakdiketahui seketika menandakan kebodohan bagiNya. Ini mustahil. Maha Suci Allah dari itu.

10. Hayat
Hayat adalah sifat yang mensahkan bagi zat untuk disifati idhrok seperti sifat ilmu, sama danbashor dan tidak identik adanya memastikan ada idhrok seketika. Ia tidak berta’aluk kepada apapun baik yang ada maupun tiada.

Dalil atas wajib sifat qudrot, irodat, ilmu dan hayat bagi Allah adalah adanya alam ini, karena jika keempat sifat ini tiada dariNya, pasti tiadak akan ada makhluk. Tatkala ada, kita tahu bahwa Allah disifati keempat sifat tersebut. Alasan keberadaan makhluk tergantung pada keempat sifat tersebut adalah seseorang yang berbuat sesuatu tidak akan berbuat kecuali mengetahuinya terlebih dahulu, lalu menghendaki membuatnya, setelah itu barulah dia langsung membuatnya. Dari sini harus dimaklumi bahwa pembuatnya pasti ada dan dia pasti hidup.

Sifat ilmu, irodat dan qudrot dinamai sifat  ta’tsir/pengaruh, karena keberpengaruhan sesuatu tergantung padanya. Logikanya seseorang yang akan menghendaki sesuatu, pasti dia harus ada dan berilmu sebelumnya. Kemudian kehendak itu langsung direalisasikan. Misalnya bila di rumahmu ada sesuatu dan kamu berkeinginan mengambilnya, maka pengetahuanmu akan adanya sesuatu lebih dahulu ada sebelum kehendakmu untuk mengambilnya, lalu setelahnya kau mengambilnya langsung.

Ketertiban hubungan keempat sifat tersebut hanya berlaku pada makhluk. Pertama-tama mengetahui sesuatu lalu menghendakinya dan akhirnya langsung melakukannya. Sementara pada hak Allah tidak berlaku kecuali hanya ta’aqul/menurut logika saja – ilmu dahulu irodat lalu qudrot -. Adapun dalam kenyataan yang sebenarnya tidak akan berlaku. Makanya tidak dapat dikatakan :” sifat ilmu berta’aluk terlebih dahulu lalu irodat lalu qudrot “, karena hal ini hanya terjadi  pada makhluk. Sedangkan tertib susunan hanya menurut logika saja.

11-12. Sama dan Bashor
Sama’ dan Bashor adalah sifat yang tetap pada zat Allah yang berhubungan erat dengan yang ada. Artinya  segala yang ada baik yang sifatnya pasti adanya seperti  zat dan sifat-sifat Allah maupun yang mungkin adanya seperti makhluk dapat terbuka bagiNya. Oleh karenanya sama’ dan bashor berhubungan dengan zat dan sifat-sifat Allah. Artinya zat dan sifat-sifatNya terbuka bagiNya dengan sebab sama’ dan bashorNya  sebagai tambahan keterbukaan dengan ilmuNya.

Allah SWT dapat mendengar dan melihat zat si Zaid,  si Amer dan dinding misalnya. Dia dapat mendengar suara sekaligus penyuaranya dan juga dapat melihat keduanya.

Jika ada pernyataan “ mendengar suara itu sudah maklum dan jelas. Namun mendengar si Zaid dan dinding tidak bisa dimaklumi dan jelas. Begitupun tidak bisa dimaklumi dan jelas suara dapat terlihat, karena suara hanya terdengar saja. Jawabanku “ kita wajib mengimani bahwa kedua sifat itu berta’aluk kepada yang ada dan caranya tidak perlu kita ketahui “.

Allah dapat mendengar zat si Zaid. Ini bukan berarti Dia dapat mendengar berjalannya si Zaid, karena mendengar berjalannya masuk dalam mendengar suara. Sedangkan Allah mendengar seluruh suara. Tetapi yang dimaksud Dia mendengar zat si Zaid sebagai tambahan atas mendengar berjalannya. Namun kita tidak perlu tahu cara Allah mendengar zat. Inilah taklif/beban yang harus dipikul setiap laki-laki dan perempuan.

Dalil sifat sama’ dan bashor adalah;

إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat [ QS Alhajj; 75 ]

Perlu diketahui bahwasanya ta’aluk sifat sama’ dan bashor kepada makhluk sebelum adanya adalah shuluhi qodim dan setalah adanya tanjizi hadist. Artinya makhluk itu sudah terbuka bagiNya dengan pendengaran dan penglihatanNya sebagai tambahan atas terbuka dengan ilmuNya.

Adapun jika ta’luk itu dihubungkan kepada Allah dan sifat-sifatNya, tanjizi qodim. Artinya zat dan Sifat-sifatNya terbuka bagiNya di azali dengan sama’ dan bashorNya. Oleh karenanya, Dia dapat mendengar zatNya dan seluruh sifat yang bangsa ada – qudrot, irodat, ilmu dan lainnya – dan kita - tidak perlu tahu - cara ta’aluknya. Dia juga dapat melihat zat dan seluruh sifat-sifatNya yang bangsa ada tadi dan kitapun - tidak perlu - tahu bagaimana cara ta’aluknya.

Berta’auknya sifat sama’ dan bashor kepada yang bangsa ada adalah pendapat Imam Sanusi dan para pengikutnya. Inilah yang kuat. Ada juga yang berpendapat bahwasanya sama’ tuidak berta’aluk kecuali kepada suara dan bashor tidak berta’aluk kecuali kepada yang dilihat saja. Selanjutnya Allah mendengar tidak dengan telinga dan daun telinga dan juga Dia tidak melihat dengan mata dan pelupuk mata. Maha Suci Allah dari semua itu.

13. Kalam
Kalam adalah sifat terdahulu yang tetap zat Allah yang tak berhuruf, tak bersuara, dibersihkan dari awalan, akhiran, i’rab dan bina’. Ini berbeda dengan kalam makhluk.

Yang dimaksud kalam Allah bukanlah lafadz-lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, karena lajdz-lafadz ini baru, sedangkan sifat yang tetap pada zat Allah qodim/terdahulu. Juga lafadz-lafadz ini berawalan, berakhiran, beri’rab, bersurat, berayat-ayat, sedangkan sifat yang tetap  pada zat Allah  lagi terdahulu  kosong  dari semuanya. Oleh karena itu dalam sifat yang tetap pada zat Allah tidak ada ayat, surat, i’rab, karena ini hanya untuk kalam yang meliputi kepada huruf dan suara, sedangkan sifat yang terdahulu dibersihkan dari huruf dan suara sebagaimana tadi.

Lafadz-lafadz yang mulia ini tidak menunjukan kepada sifat yang terdahulu. Artinya sifat yang terdahulu bukan difahami darinya. Bahkan apa yang difahami dari lafadz-lafadz ini sama dengan yang difahami dari sifat yang terdahulu hingga jika hijab/pengahalang itu dibuka dari hati kita, tentu kita dapat mendengarnya.

Kesimpulan ladafz-lafadz yang mulia menunjukan pada suatu ma’na. Ma’na ini menyamai suatu ma’na yang difahami dari sifat yang terdahulu lagi tetap pada zat Allah. Hati-hatilah atas perbedaan ini, karena banyak orang yang salah kaprah.

Sifat yang terdahulu lagi tetap pada zat Allah dan lafadz-lafadz yang mulia disebut kalamullah dan Al Qur’an. Hanya saja lafadz-lafadz  yang mulia itu makhluk yang tertulis di lauhil mahfudz yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Malaikat Jibril As kepada Nabi Muhammad SAW setelah diturunkan pada lailatul qodar sekaligus di Baitul ‘Izaah, yaitu suatu tempat yang ada di langit dunia yang tertulis dalam beberapa lembar dan diletakan di sana.

Ada juga yang berpendapat lafadz-lafadz  yang mulia itu diturunkan di Baitul izzah sekaligus kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama 20 tahun, bisa jadi 23 tahun bisa jadi pula 25 tahun. Ada juga yang berpendapat turun di Baitul izzah pada lailatul qodar seukuran turun setiap tahun dan tidak turun di Baitul izzah sekaligus dan yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah lafadz dan ma’na.

Ada juga yang berpendapat yang turun ma’na saja, lalu – menurut sebagian ulama – Nabi Muhammad SAW mengibaratkan ma’na tersebut dengan lafadz darinya. Ada juga pendapat “ Malaikat Jibril yang mengibaratkan lafadz-lafadz tersebut” lalu diturunkan kepada beliau. Pendapat  yang paling tepat dibandingkan kedua pendapat di atas “ lafadz-lafadz itu turun beserta ma’nanya”.

Kesimpulannya sifat yang tetap pada zat Allah tidak berhuruf dan bersuara. Namun golongan Mu’tazilah menilai sulit ada kalam tanpa huruf dan suara. Dalam hal ini Ahlus Sunah wal Jama’ah menjawab :” perkataan hati adalah kalam yang tak berhuruf dan bersuara yang dikatakan oleh seseorang pada hatinya. Di sini ada kalam tanpa ada huruf dan suara “.

Perlu dicermati bahwa maksud perumpamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di atas bukan berarti menyamakan kalamullah dengan kata hati, karena kalamullah terdahulu sedangkan kata hati baru, tetapi maksud mereka adalah menyanggah pernyataan Mu’tazilah yang menyatakan “ tidak ada kalam tanpa huruf dan suara “.

Dalil sifat kalam bagi Allah adalah firman Allah:

وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا

......dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung[QS An Nisa’ ; 164]. Dalam firman  Allah ini, Dia telah menetapkan adanya kalam bagiNya.

Sifat kalam sama ta’aluknya dengan sifat ilmu, yaitu ; kepada yang wajib, jaiz dan mustahil. Namun sifat ta’luk ilmu adalah inkisaf/terbuka. Artinya yang wajib, jaiz dan mustahil terbuka bagiNya. Sedangkan ta’aluk sifat kalam adalah ta’aluk dilalah/menunjukan. Artinya jika hijab hati kita dibuka dan kita mendengarnya, tentu kita akan memahaminya darinya.

14. Kaunuhu Qodiron
Kaunuhu qodiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan tiada, serta bukan sifat qudrot. Antara keduanya ada keterikatan. Ini berarti tatkala sifat qudrot tetap pada zat, lazimnya tetap pula sifat yang dinamai kaunuhu qodiron, baik pada zat yang qodim/zat Allah ataupun zat hadist/makhluk walaupun kelaziman antara yang qodim dan hadist berbeda. Oleh karena itu jika Allah menciptakan qudrot pada zat si Zaid, maka Diapun lazim/biasanya menciptakan sifat kaunuhu qodiron yang dinamakan sifat haal, sedangkan sifat qudrot sebagai illat/sebab – kelaziman yang tak berpengaruh- bagi kaunuhu qodiron. Kelaziman menciptakan ini hanya berlaku pada zat makhluk.

Adapun bagi hak Allah tidak boleh dikatakan :” sifat qudrot sebagai illat pada kaunuhu qodiron”. Tapi harus dikatakan antara qudrot dan kaunuhu qodiron ada hubungan yang sangat erat hingga tak dapat dipisahkan. Golongan Mu’tazilah berpendapat :” hubungan yang erat inipun terjadi pula  antara qudrot dan kaunuhu qodiron pada makhluk”. Hanya saja mereka tidak mengatakan :” Allah telah menciptakan kaunuhu qodiron bahkan tatkala Allah menciptakan qudrot pada makhluk, secara otomatis muncul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan Allah”.

Kesimpulan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah kelaziman antara anatara qudrot dan kaunhu qodiron pada makhluk adalah kelaziman menurut adat/talazum addi – manakala ada sifat qudrot biasanya Allah menciptakan kaunuhu qodiron -. Sedangkan pada Allah adalah kelaziman menurut akal/talazum aqli- manakala ada sifat qudrot pasti ada kaunuhu qodiron-. Sedangkan Mu’tazilah berpendapat kelaziman pada makhluk  adalah kelaziman menurut akal/talazum aqli. Artinya Allah menciptkan sifat qudrot pada makhluk, kemudian darinya timbul sifat kaunuhu qodiron tanpa diciptakan oleh Allah


15. Kaunuhu Muridan
Kaunuhu muridan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada. Sifat ini dinamakan haal dan bukan sifat irodat baik pada zat yang qodim ataupun yang hadist. Oleh karenanya, bila Allah menciptkan irodat pada zat si Zaid, lazimnya Dia menciptakan kaunuhu muridan padanya.

Perbedaan yang terjadi antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah dalam hal sifat kaunuhu qodiron, terjadi pula dalam sifat kaunuhu muridan.


16. Kaunuhu ‘Aliman
Kaunuhu ‘aliman adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan  sifat ilmu. Ini berlaku pada yang hadist. Dan seumpanya berlaku pula daam ilmu - bila Allah menciptkan ilmu pada zat si Zaid, lazimnya Dia menciptakan kaunuhu ‘aliman padanya.
Perbedaan yang terjadi antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Mu’tazilah  berlaku pula di sini.

17. Kaunuhu Hayyan
Kaunuhu Hayyan adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan  sifat hayat. Apa yang sudah dijelaskan di atas – perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah - berlaku pula di sini.

18. Kaunuhu Sami’an
Kaunuhu Sami’an adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan  sifat sama’. Apa yang sudah dijelaskan di atas – perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah - berlaku pula di sini.

19. Kaunuhu Bashiron
Kaunuhu bashiron adalah sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan  sifat bashor. Apa yang sudah dijelaskan di atas – perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah - berlaku pula di sini.

20. Kaunuhu Mutakalliman
Kaunuhu Mutakalliman adalah - sifat ke 20 yang jadi penyempurna sifat-sifat yang wajib bagi Allah secara terperinci - sifat yang tetap pada zat Allah, tidak ada dan juga tidak tiada dan bukan  sifat kalam. Apa yang sudah dijelaskan di atas – perbedaan antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah - berlaku pula di sini.
Tanbih/peringatan:

Sifat qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan kalam yang sudah diterangkan di atas dinamai sifat ma’ani dari mengidhofatkan lafadz umum kepada yang khusus atau idhofat bayaniyyah. Sedangkan sifat-sifat setelahnya, yaitu; kaunuhu qodiron, muridan, ‘aliman, hayyan, sami’an, bashiron dan mutakalliman dinamai sifat ma’nawiyyah, suatu nisbah/berhubungan dengan ma’ani, karena ada kelaziman diantara keduanya baik pada zat qodim atau hadist.

Para pengikut Imam el Mathurudhi telah menambah sifat kedelapan dalam sifat ma’ani. Mereka menamainya dengan sifat takwin. Sifat ini termasuk bangsa ada seperti sifat ma’mi lainnya hingga jika hijab kita dibuka, pasti kita dapat melihatnya sebagaimana kita dapat melihat sifat ma’ani.

Namun para pengikut Imam AsSy’ari menyanggahnya dengan pernyataan :” Apa fungsi sifat qudrot setelah ada sifat takwin ?”. mereka menyatakan demikian, karena pengikut Imam Mathurudi menyatakan :” Bahwasanya Allah mengadakan dan meniadakan dengan sifat takwin”. Kemudian sanggapan para pengikut Imam AsSya’ari disanggah oleh pengikut Imam Mathurudi :” bahwa sifat qudrot berfungsi menyiapkan sesuatu yang mungkin untuk ada yakni sifat qudrot menjadikan yang mungkin dapat menerima ada yang sebelumnya tiada, kemudian sifat takwin mengadakannya.

Jawaban pengikut Imam Mathurudi ini disanggah oleh para pengikut Imam As Sya’ri :” bahwa sesuatu hal yang mungkin, bisa menerima ada tanpa  diperpersiapkan terlebih dahulu oleh sifat qudrot ”.

Dikarenakan pengikut Imam Mathurudi menambah sifat ma’ni dengan sifat takwin, mereka berkata :” bahwa sifat af’al seperti menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan mematikan adalah qodim, karena lafadz-lafadz ini adalah nama bagi sifat takwin yang bangsa ada dan qodim, oleh karena itu sifat af’al qodim, maka sifat af’al jadi qodim pula “. Sedangkan menurut  pengikut Imam AsSy’ari :” Sifat af’al itu hadist, karena sifat itu adalah nama bagi ta’luk sifat qudrot. Dengan demikian menghidupkan adalah nama bagi ta’luk sifat qudrot kepada yang dihidupkan, memberi rizki adalah nama bagi ta’aluknya sifat qudrot kepada yang diberi rizki, menciptakan adalah nama bagi ta’luk sifat qudrot kepada yang yang diciptakan dan mematikan adalah nama bagi ta’luk sifat qudrot kepada yang yang dimatikan “. Jadi - menurut  pengikut Imam AsSy’ari - ta’aluk sifat qudrot hadist.

B. Sifat-Sifat Mustahil Bagi Allah

Dan sebagian dari lima puluh akidah yang wajib diketahui adalah dua puluh lawan dari sifat yang wajib bagi Allah, yaitu;

1. Al ‘adam/tiada, lawan sifat wujud.

2. Al hudust/baru, lawan sifat qidam.

3. Al fana/binasa, lawan sifat baqo.

4. Al mumatsalah/menyamai, lawan sifat mukholatfatuhu lil hawadist. Makanya, mustahil Allah ta’ala menyerupai makhluk dalam apapun yang sifat yang ada pada makhluk. Oleh karena itu Allah tidak dilalui masa, tidak berada pada suatu tempat, tidak bergerak, tidak diam, tidak disifati warna, tidak berada pada salah satu arah yang enam. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan Dia berada di atas jirim atau di samping kanannya, Dia tidak memiliki arah. Dengan demikian, tidak bisa dikatakan aku berada di bawah Allah. Adapaun ucapan orang awam :” Aku di bawah Tuhan kami atau sesungguhnya Tuhanku di atasku “ adalah ucapan mungkar yang dikhawatirkan orang itu jadi kufur.

5. Al ikhtiyaj ila mahal au Mukhossis/membutuhkan zat atau pengada, lawan sifat qiyamuhu binafsihi

6. At Ta’addud/terbilang – tersusun pada zat, sifat atau ada pembanding dalam zat, sifat dan perbuatan-, lawan sifat wahdaniyyat;

7. Al ‘ajzu/lemah, lawan sifat qudrot. Makanya, mustahil Allah lemah dari berbuat atau tidak atas hal yang mungkin.

8. Al karohah/terpaksa, lawan sifat irodah. Makanya, mustahil bagi Allah mengadakan alam tanpa dikehendakinya. Setiap yang ada lagi mungkin diadakan Allah dengan kehendakNya dan pilihanNya. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwasanya keberadaan makhluk bukan dengan cara ta’lil/sebab dan bukan pula dengan cara thob’i/tabiat. Perbedaan kedua jalan tersebut, bahwa keberadaan dengan ta’lil adalah bila ada illat/sebab, pasti harus ada musabbab tanpa tergantung pada sesuatu yang lain seperti gerak jari jadi sebab bergeraknya cincin hingga jika jari bergerak, pasti dengannya cincin bergerak tanpa tergantung yang lainnya. Sedangkan dengan cara tabiat keberadaannya tergantung kepada adanya syarat dan tiadanya mani’/penghalang seperti api tidak dapat membakar sesuatu, kecuali dengan syarat menyentuh kayu bakar misalnya dan tiadanya penghalang pembakaran seperti basah. Dengan demikian menurut pendapat ini  :” api dapat membakar dengan tabia’tnya- semoga Allah melaknatnya - . Tetapi pendapat yang benar, hanya Allah yang menciptakan terbakarnya kayu bakar tatkala bersentuhan dengan api sebagaimana Allah menciptakan gerak cincin tatkala jari bergerak. Makanya, tidak ada satupun yang benar dari kedua cara tersebut. Berbeda dengan yang berpendapat dengan keduanya. Kesimpulannya “ Mustahil Allah sebagai illat pada keberadaan alam hingga alam timbul dariNya setelah kehendakNya atau mustahil Allah sebagai tabia’at hingga diktakan keberadaan alam dengan tabiatnya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi.

9. Al jahl/bodoh, mustahil Allah bodoh dengan apapun yang mungkin, baik jahlu basith, yaitu ketidaktahuan akan sesuatu maupun jahlu murokkab, yaitu memprediksi sesuatu tidak sesuai dengan kenyataan dan mjustahil pula Allah disifati lupa. Jahlu adalah lawan sifat ilmu.

10. Al maut/mati, lawan sifat hayat;

11. Al shomam/tuli, lawan sifat sama’;

12. Al ‘umyu/buta, lawan sifat bashor;

13. Al khirs/bisu dan al bukm yang semakna denganya, lawan sifat kalam;

14. Kanuhu ta’ala ‘ajizan/terbukti yang lemah, lawan kaunuhu ta’ala qodiron;

15. Kanuhu ta’ala karihan/terbukti yang terpaksa, lawan kanuhu ta’ala muidan;

16. Kanuhu ta’ala jahilan/terbukti yang bodoh, lawan kanuhu ta’ala ‘aliman;

17. Kanuhu ta’ala mayyitan/terbukti yang mati, lawan kanuhu ta’ala hayyan;

18. Kanuhu ta’ala ashomma/terbukti yang tuli, lawan kanuhu ta’ala samia’n;

19. Kanuhu ta’ala a’ma/terbukti yang buta, lawan kanuhu ta’ala bashiron;

20. Kanuhu ta’ala abkama/terbukti yang bisu, lawan kanuhu ta’ala mutakalliman. Inilah dua puluh sifat yang mustahil bagi Allah.

Perlu diketahui sesungguhnya dalil-dalil sifat 20 yang wajib bagi Allah dapat menetapkannya dan menafikan lawannya. Dalil-dalil sifat ma’ani yang tujuh jadi dalil pula bagi tujuh sifat ma’nawiyyah. Inilah 40 akidah dengan perincian 20 sifat yang wajib bagi Allah , 20 yang dinafikan dariNya  dan 20 dalil ijmali  yang menetapkan suatu sifat dan menafikan lawannya.

Tanbih/Peringatan

Sebagian ulama berpendapat :” al asyya’/perkara atau sesuatu itu ada empat :

1. Maujud/yang ada; yaitu sesuatu yang dapat terdeteksi panca indera atau akal seperti zat si Zaid yang kau lihat;

2. Ma’dum/tiada; yaitu sebaliknya maujud seperti anakmu sebelum diciptakan;

3. Haal/sifat tengah-tengah antara ada dan tiada seperti kaunuhu qodiron ( terbukti yang berkuasa ) dan

4. I’tibar/sesuatu yang dapat dimengerti keberadaannya dalam hati sebagai tambahan atas dimengertinya zat seperti tetapnya berdiri pada si Zaid.

Dengan pembagian di atas tadi, Imam Sanusi menetapkan adanya sifat haal dan menjadikan sifat yang wajib bagi Allah ada 20. Sementara yang lainnya berpendapat tidak ada sifat haal. Inilah yang paling tepat. Dengan demikian sifat yang wajib bagi Allah hanya 13 dengan menggugurkan sifat ma’nawiyyah, karena sifat-sifat itu termasuk haal. Makanya, tidak ada sifat yang dinamai kaunuhu qodiron, muridan dan seterusnya, karena yang benar tidak ada sifat haal. Ini berarti al assyya itu ada  tiga, yaitu majud, ma’dum dan i’tibar.

Bila gugur 7 sifat ma’nawiyyah, gugur pula lawannya. Makanya, tidak ada yang namanya kaunuhu ‘ajizan dan seterusnya dari lawan sifat ma’nawiyyah. Dengan demikian hal-hal yang mustahil ada 13, jika wujud dikatakan sifat menurut selain pendapat Imam As Sy’ari.

Adapun menurut Imam As Sy’ari “ wujud itu ‘ain maujud “.  Jadi wujud Allah SWT adalah ‘ain zatNya. Di sini wujud bukan sifat. Berarti sifat yang wajib itu ada 12, yaitu ; qidam, baqo’, mukholafatuhu lil hawadist, qiyamuhu binafsihi atau al istigna’ mutlaq/tidak membutuhkan apapun, wahdaniyyah, qudrot, irodat, ilmu, hayat, sama’, bashor dan kalam. Kemudian sifat ma’nawiyyah gugur, karena ketetapannya berdasarkan pendapat adanya sifat haal. Sedangkan pendapat yang benar berbeda ( idak ada sifat haal ).

Jika kau akan mengajarkan sifat-sifat Allah kepada orang awam, ajarkanlah kepada mereka dengan menggunakan isim mustaq dari sifat-sifat tersebut dengan mengatakan :” Sesungguhnya Allah ada, yang terdahulu, yang kekal, yang berbeda dengan makhluk, yang tidak membutuhkan apapun, yang mampu, yang berkehendak, yang mengetahui, yang hidup, yang mendengar, yang melihat, yang berbicara dan mengajarkan mereka akan lawan-lawan sifat tersebut dengan hal yang sama.

Perlu diketahui bahwasanya sebagian syaik/ulama-ulama  memisahkan pengertian antara haal dan i’tibari. Kata mereka : “ haal dan i’tibari itu bukan yang ada dan tiada tetapi keduanya nyata sendirinya hanya saja kalau haal ada ta’aluk/keterkaitan dan tetap pada zat, sedangkan i’tibari ada sifat tidak ada keterkaitan pada zat dan juga nyata adanya pada selain hati. Pendapat ini perlu disanggah :” i’tibari itu sifat. Bila ia tidak ta’aluk pada zat dan nyata pada selain hati, dimana mausuf/zat yang disifati, sedangkan sifat tidak ada dengan sendirinya bahkan harus ada mausufnya “.

Pendapat  yang benar bahwasanya i’tibari tidak nyata kecuali hanya pada hati. Dia terbagi dua;

1. I’tibari ikhtiro’i dan
2. I’tibari intiza’i

I’tibari ikhtiro’i adalah sesuatu yang tak ada asalnya seperti perkiaraanmu pada orang pemurah sebagai orang bakhir/kikir atau orang bodoh sebagai orang pintar.

I’tibari intiza’i adalah sesuatu yang ada asalnya pada kenyataannya seperti tetapnya berdiri pada si Zaid yang diambil dari ucapanmu : "si Zaid yang berdiri ". Disifatinya si Zaid dengan berdiri tetap pada kenyataannya.

C. Sifat Jaiz Bagi Allah

Diwajibkan bagi setiap mukallaf mengi’tikadkan bahwasanya akidah ke 41 bagi Allah SWT, yaitu jaiz/ wenang menciptakan yang baik dan buruk. Oleh karena itu, wenang bagiNya menciptakan Islam pada si Zaid, kufur pada si ’Amer, ilmu pada salah seorang dan bodoh pada salah satu yang lain.

D. Hal-Hal Yang Wajib Di’tikadkan

Sebagian dari yang wajib di’tikadkan oleh seluruh mukallaf bahwa;

1. Qodho dan Qodar

Setiap mukallaf wajib mengi’tikadkan bahwa baik dan buruk sudah ditentukan dengan qodho dan qhodar Allah.

Para ulama berselisih paham dalam memaknai qodho dan qodar. Sebagian ada yang berpendapat qodo adalah kehendak Allah di azali. Sedangkan qodar adalah pengadaan Allah atas perkara yang sudah ditentukan di azali tadi.  Dengan demikian, ketentuan Allah di azali yang bertalian bahwasanya kau akan jadi orang berilmu atau raja, itu namanya qodho. Sedangkan pengadaan ilmu dan kerajaan padamu setelah keberadaanmu yang sesuai dengan kehendakNya dinamakan qodar.

Ada juga yang berpendapat qodo adalah pengetahuan Allah di azali dan berkaitan dengan yang diketahui. Sedangkan qodar adalah pengadaan Allah akan sesuatu sesuai dengan pengetahuan. Oleh karena itu, pengetahuan Allah yang bertalian di azali bahwasanya seseorang akan jadi orang berilmu setelah keberadaannya, dinamakan qodo. Sedangkan pengadaan ilmu setelah keberadaannya dinamakan qodar. Atas dua pendapat tadi, maka qodo itu qodim, karena ia suatu sifat dari sifat-sifat Allah baik irodat maupun ilmu. Sedangkan qodar itu hadist/baru, karena ia mengadakan yang termasuk dari bagian ta’luk sifat qudrot. Sedangkan ta’aluk sifat qudrot adalah baru.

Dalil bahwasanya hal-hal yang mungkin itu jaiz bagi Allah adalah, karena  hal yang mungkin tadi telah disepakati kewenangannya. Andaikata wajib/pasti bagi Allah membuat sesuatu yang mungkin tadi, tentu akan terbalik hakikat jaiz manjadi wajib. Begitupun andaikata mustahil bagiNya membuat sesuatu yang mungkin tadi, tentu akan terbalik pula yang jaiz menjadi mustahil. Sedangkan hakekat wajib dan mustahil terbalik menjadi jaiz adalah suatu kebatilan.

Dengan penjelasan di atas tadi dapat diketahui, bahwasanya tidak pasti bagi Allah membuat sesuatu apapun. Hal ini berbeda dengan pendapat Mu’tazilah yang menyatakan :”  Allah pasti akan melakukan yang baik kepada hambaNya. Dengan demikian, Allah pasti memberi rizki hamba-hambaNya “. Ini suatu kesalahan besar dan pendustaan. Maha Suci Allah dari semua itu. Oleh karena itu, penciptaan iman dan pemberian ilmu pada si Zaid oleh Allah adalah merupakan karuniaNya yang tidak pasti adanya.

Sebagian atas bantahan kepada pendapat mu’tazilah di atas adalah  bahwasanya anak kecil yang terkena penyakit dan menderita dengannya tidak memiliki sholah/kebaikan baginya. Jika Allah pasti membuat sholah kepada si anak, tentu tidak akan ada penyakit dan penderitaan padanya. Bantahan ini sangat perlu dikemukakan kepada Mu’tazilah, karena mereka berkeyakinan bahwsa :” Allah tidak meninggalkan yang pasti bagiNya, karena meninggalkan yang pasti adalah suatu kekurangan bagiNya, sedangkan mustahil Dia ada kekurangan berdasarkan ijma’ “.

Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah menyangkal pendapat Mu’tazilah bahwa :” Pemberian pahala kepada orang yang taat merupakan karunia Allah kepada hambaNya dan penyiksaan kepadanya adalah keadilanNya ", karena tidak ada satupun ketaatan yang dapat bermamfaat bagiNya dan tidak satupun kemaksiatan yang merugikannya, karena Dia pemberi mamfaat dan mudhorot. Sementara ketaatan tanda bahwasanya Allah akan memberi pahala dan kema’siyatan adalah tanda bahwasanya Dia akan menyiksanya. Barang siapa yag dikehendaki Allah untuk dekat kepadaNya,  Dia akan memberi taufiq padanya dan barang siapa yang dikehendaki dihinakan dan dijauhkan dariNya, Dia akan menciptakan maksiat padanya. Kesimpulannya seluruh amal baik atau jahat itu diciptakan Allah, karena Dia pencipta hamba dan amalnya berdasarkan firmanNya.

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". [QS Ashoffat ;96 ]

2. Melihat Allah

Setiap mukallaf harus mengi’tikadkan bahwasanya :” Allah dapat dilihat oleh setiap mukmin dan mukminat di akhirat “, karena Allah mengaitkan melihatNya kepada tetapnya gunung dalam firmanNya;

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku [ QS Al A’raf ; 143 ]

Gunung tetap di tempatnya (seperti sediakala) adalah jaiz/wenang. Makanya, melihat Allah yang dikaitkan padanya wenang pula, karena yang dikaitkan pada yang wenang, hukumnya wenang pula. Namun kewenangan kita dapat melihat Allah bukan seperti cara di antara kita misalnya berhadap-hadapan satu dengan lainnya. Oleh karena itu Allah tidak dapat dilihat berada pada suatu arah, berwarna, berjisim dll. Maha Suci Allah dari semua itu lagi Maha Tinggi. Namun lain lagi dengan Mu’tazilah – semoga Allah menjauhkan mereka dari rahmatNya -  yang menafikan melihat Allah. Inilah sebagian akidah mereka yang menyimpang lagi batil.

Sebagian dari akidah Mu’tazilah yang ruksak juga, ucapan mereka “ Sesungguhnya seorang hamba dapat menciptakan amal dirinya “. Dari ucapan inilah mereka dinamakan kaum Qodariyyah, karena mereka berkata : ”amal-amal hamba dengan qudrot/kekuasaannya“, sebagaimana golongan yang berkata :” seorang hamba terpaksa beramal atas amalnya “ dinamai golongan Jabariyyah  suatu nisbat pada ucapan mereka :” seorang hamba terpaksa dan tidak berdaya”. Inilah akidah yang batil. Yang paling benar bahwa :” seorang hamba tidak menciptakan amalnya dan tidak terpaksa bahkan Allah saja yang menciptakan amal yang muncul dari hamba disertai kehendaknya “.

Imam Sa’ad berkata dalam syarh aqoid :” kehendak ini tidak mungkin diungkap dengan ibarat namun seorang hamba dapat menemukan perbedaan antara gerak tangan yang digerakannya dan digerakan udara secara terpaksa “.

3. Mengutus Para Rosul

Mengutus  para rosul  termasuk dari sebagian  hal yang jaiz bagi Allah. Pengutusan mereka – semoga sholat yang paling utama dan salam tercurahkan kepada mereka – murni sebagai karuniaNya, bukan merupakan keniscayaan, karena tidak ada yang niscaya/pasti bagiNya.

4. Makhluk Yang Utama

Setiap mukallaf wajib mengi’tikadkan bahwa makhluk yang paling utama secara mutlak adalah Nabi Muhammad SAW – semoga sholawat dan salam tercurah baginya, keluarganya dan istri-istrinya -. Kemudian diikuti ulul azmi lainnya, yaitu ; Nabi Ibrohim, lalu Nabi Musa, lalu Nabi Isa dan terakhir Nabi Nuh. Keunggulan mereka sesuai dengan urutan tadi. Jumlah mereka jadi 5 rosul, yaitu Nabi Muhammad SAW dan 4 setelahnya adalah pendapat yang benar.

Ada juga yang berpendapat jumlah mereka lebih banyak dari itu. Kemudian keunggulan ulul azmi diikuti oleh para rosul lainnya, kemudian diikuti oleh para nabi, kemudian mereka diikuti para malaikat. Selanjutnya setiap mukallaf wajib mengi’tikadkan bahwasanya Allah telah mendukung para rosul dengan mu’jizat.

Allah telah mengistimewakan Nabi Muhammad SAW  sebagai penutup para rosul dan syari’atnya tidak akan dihapus oleh syariat manapun sampai akhir zaman. Menurut sebagian ulama Nabi Isa AS akan turun dengan memutuskan hukum sesuai dengan syari’at Nabi Muhammad SAW. Ada juga yang berpendapat Nabi Isa mengambilnya dari Al Quran dan hadist. Ada juga yang berpendapat beliau pergi ke makam Nabi Muhammad SAW lalu belajar darinya.

Perlu diketahui bahwa syaria’at Nabi Muhammad SAW dapat dinasakh/dihapus  dengan sebagian syariatnya yang lain seperti menasakh kewajiban iddah 1 tahun kepada istri yang ditinggal wafat suaminya menjadi hanya 4 bulan 10 hari ( 130 hari ). Tidak ada pertentangan dalam hal ini.

Begitupun diwajibkan kepada setiap mukallaf baik laki-laki maupun wanita mengetahui nama-nama para rosul yang tercantum dalam al Qur’an secara terperinci dan membenarkan  dengan terperinci pula. Adapun selain mereka  yang terperinci, wajib diketahui secara umum. Namun Imam Sa’ad telah menukil dalam kitab syarh el Maqosid :” cukup secara umum “, namun pendapat ini jangan diikuti. Sebagian ulama telah membuat syair/nadhom tetantang nama-nama para rosul;

Wajib atas setiap mukallaf  mengetahui nama para nabi terpeinci Yang sudah diketahui dalam   firman Allah “ tilka hujjatuna”

Ada 18 belas dan sisanya 7  Idris, Hud, Syu’aib, Soleh, dzulkifli, Adam dan dikahiri dengan  Nabi terpilih, Muhammad namanya.


5. Masa-Masa Cemerlang

Sebagian yang harus di’tikadkan bahwa masa kehidupan para sahabat Nabi Muhammad SAW dengan beliau adalah sebaik-baiknya masa. Kemudian diikuti oleh para tabi’in, lalu diikuti oleh pengikut tabi’in. Sahabat rosul yang paling utama adalah Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khotob, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abu Tholib. Keunggulan mereka berdasarkan urutan  tersebut. Namun Imam el Alqomi berkata :” Sayyidatuna Fatimah dan saudaranya, yaitu ; Sayyidina Ibrohim adalah sahabat yang paling utama dari yang lain hingga dari khilafur Rosidin “. Imam Malik berkata :” tidak ada yang paling unggul dari turunan Nabi Muhammad SAW “.

6. Kelahiran Dan Silsilah Nabi Muhammad SAW

Sebagian yang harus di’tikadkan bahwa Nabi Muhammad SAW dilahirkan di Mekkah lalu wafat di Madinah dan diwajibkan kepada setiap orang tua terutama bapak mengajarkan anak-nak mereka tentang itu.

Menurut Imam Azhuri diwajibkan kepada setiap orang mengenal nama-nama putra-putri Nabi dari arah ayahnya dan ibunya. Insya Allah akan dijelaskan nanti dalam al khotimah. Para ulama berkata :” diwajibkan kepada setiap orang mengenal jumlah putra-putri Nabi dan urutannya dalam kelahirannya, karena diperlukan bagi setiap orang mengenal jungjungannya “. Namun mereka tidak menjelaskan hukum wajib atau sunahnya. Namun kalau diqiyaskan hukumnya wajib. Putra-putri Nabi ada tujuh orang, tiga laki-laki dan 4 perempuan menurut pendapat yang benar. Urutan mereka dalam kelahiran adalah Qosim – putra pertama – lalu Zainab, lalu Ruqoyah, lalu Fatimah, lalu Ummu Kulsum, lalu Abdullah yang dijuluki at thoyyib at thohir, itu julukan bagi Abdullah bukan dua nama yang berbeda. Seluruhnya terlahir dari Sayyidatuna Khodizah. Dan anak ketujuh Ibrohim terlahir dari Mariyah Qibtiyyah. Mari kita lanjutkan akidah penyempurna berikutnya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam