Bagian 1. Kesetaraan yang Indah



📚 Buku Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah



📚 1. Kesetaraan, Bukti Keadilan Islam 📚 2. Syariat yang Adil 📚 3. Kebebasan Menentukan Pilihan 📚 4. Tutup Kekurangan dengan Sedekah dan Istighfar 📚 5. Tulang Rusuk 📚 6. Tentang Waris 📚 7. Tentang Kepemimpinan 📚 8. Muslimah Harus Cerdas


📚 1. Kesetaraan, Bukti Keadilan Islam


Dari Aisyah: Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya kaum perempuan setara dengan kaum laki-laki.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Al-Darimi, dan Ibnu Majah).

Saudariku, sejak awal diturunkannya Islam sebagai agama pemungkas, Islam sudah banyak merombak peradaban jahiliah yang sangat diskriminatif kepada kaum Hawa. Perombakan tak hanya membela hak-hak kaum wanita yang saat itu masih menjadi kaum terzalimi, bahkan merombak sistem dan tata nilai di masyarakat Jahiliah, hingga perempuan dan laki-laki diposisikan setara. Penghormatan itu hadir sebagai bukti bahwa Islam adalah agama masa depan yang sejak kelahirannya mampu membaca zaman.

Pasti ada masanya di mana umat manusia memiliki pemahaman yang objektif terkait keadilan terhadap semua manusia tanpa membedakan jenis gender. Prinsip kesetaraan sudah diangkat dengan begitu jelas ratusan tahun, sebelum para perempuan reformis modern memperjuangkan haknya atas nama kesetaraan.

Memang, pada awalnya salah seorang sahabat dari kalangan muslimah, yaitu Ummu Salamah, pernah mempertanyakan tentang prinsip keadilan Islam terhadap kaum wanita. Dari Ummu Salamah ra., “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Mengapa kami (kaum perempuan) tidak disebutkan (keutamaannya) dalam Al-Qur’an sebagaimana kaum laki-laki?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak segera menjawab. Namun, pada waktu yang lain, aku (Ummu Salamah) melihat beliau berdiri di atas mimbar. Ketika itu, aku sedang menyisir rambut. Setelah selesai menggulung rambut, aku masuk ke salah satu kamar di rumahku. Kupasang pendengaranku di dekat atap masjid yang ketika itu masih terbuat dari pelepah kurma, dan posisinya dekat dengan mimbar masjid. Aku dengar Nabi mengatakan:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzab [33]: 35)” (HR. Ahmad, Al-Nasa’i. Sahih berdasarkan kriteria Imam Bukhari dan Muslim).

Sebelum datangnya Islam, kaum wanita tidak mendapatkan tempat semestinya di tengah masyarakat, bahkan kelahiran mereka tidak diharapkan oleh orangtuanya. Dalam sejarah kita pun menemukan perilaku yang sangat sadis kepada bayi perempuan. Ketika bayi perempuan terlahir ke dunia, nasibnya antara dua pilihan, pertama bayi tanpa dosa itu akan dikubur hidup-hidup.

Atau kalaupun dibiarkan hidup, ia seolah hidup sebagai manusia yang tanpa kasih sayang. Diacuhkan di komunitasnya, bahkan di keluarganya.

“Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58–59).

Agama Islam kemudian turun sebagai rahmatal lil’alamin, membawa rahmat bagi semesta. Islam secara revolusioner mampu menghapus seluruh bentuk kezaliman dan diskriminasi yang menimpa kaum wanita, bahkan mengangkat derajatnya pada tingkatan yang sebegitu tinggi. Islam dengan progresivitasnya memosisikan perempuan sebagai kaum yang memiliki harkat yang sangat tinggi.

Dengan pertanyaan yang tegas Islam hadir di tengah kaum jahiliah yang pemikirannya kacau oleh budaya moyang. Islam hadir dengan mempertanyakan, apa kesalahan bayi perempuan sehingga mereka dikubur hidup-hidup oleh darah daging yang menyebabkan sang jabang bayi lahir.

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir 8–9).

Di tengah peradaban yang masih dilingkupi kebodohan, dengan cahaya terangnya Islam sudah berani mempertanyakan kebiasaan sadis yang dilakukan masyarakatnya. Secara revolusioner Islam hendak mencerdaskan kaum Jahili dengan pertanyaan yang diungkap dari FirmanNya: karena dosa apakah bayi perempuan dibunuh? Bukankah bayi yang lahir tidak bisa memilih ia dilahirkan dengan jenis kelamin apa. Bukankah bayi hanyalah subjek yang terima jadi terhadap ketentuan Tuhan kepada dirinya. Lalu adilkah jika kita menghakimi seorang bayi yang lahir dengan jenis kelamin perempuan?

Sangat tidak adil. Karena bayi tetaplah makhluk Tuhan yang suci. Ia lahir ke dunia tidak membawa aib dan dosa apa pun. Ia tetaplah makhluk yang masih bersih jiwanya. Suci hatinya. Jernih pikirnya. Bayi tetaplah makhluk polos yang wajib dikasihi, yang berhak disayangi, dan layak diperlakukan sama sebagai manusia. Ia bagaikan lembaran kertas putih yang siap diisi dengan tulisan. Adapun yang bertanggung jawab penuh terhadap perilaku si anak adalah orangtua sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw., “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fi trah, kedua orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari).

Kerancuan berpikir masyarakat Jahiliah dihilangkan dengan kedatangan syariat Islam yang dengan sangat drastis mengangkat harkat dan derajat kaum wanita dari jurang kehinaan menjadi angkasa kehormatan. Islam melalui aturan dan syariatnya menerapkan ketentuan yang indah, bahwa harga diri seorang manusia tidak layak didiskriminasikan berdasarkan gender. Kualitas intelektual, kadar keimanan, tingkat ketakwaan, kecerdasan emosional, kesadaran sosial, merupakan beberapa hal yang lebih patut menjadi pembeda antara manusia yang satu dan manusia yang lain.

Bukankah sangat tidak adil jika ada aturan yang menerapkan harga diri seorang manusia ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Padahal kita tahu bahwa kita lahir ke dunia ini tidak bisa memesan kepada Tuhan agar ditakdirkan sebagai pria atau wanita. Kita tidak punya kuasa sedikit pun untuk mengusahakan lahir dengan jenis kelamin apa.

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS. At-Taubah: 72).

📚 2. Syariat yang Adil


Saudariku, memang benar Allah menetapkan beberapa aturan yang berbeda dalam ibadah mahdha antara laki-laki dengan perempuan. Memang ada beberapa perbedaan pada ibadah yang dilakukan oleh pria dan wanita. Misalnya, ketika sujud dalam shalat. Pria sujud, disunahkan meninggikan perutnya dari kedua pahanya, serta membuka kedua belah tangannya. Sedangkan ketika wanita bersujud, disunahkan merapatkan kedua sikunya sampai menutupi tubuhnya, menyangga dadanya, dan tidak merenggangkan sikunya seperti laki-laki.

Namun aturan itu tidak bisa dilihat sebagai bentuk diskriminasi gender. Dengan aturan-aturan itu tidak ada bentuk kezaliman yang ditujukan kepada kaum wanita. Aturan itu juga tidak membuat kaum pria diuntungkan.

Mari kita amati satu per satu aturan Allah yang berkaitan dengan ibadah mahdhah, insya Allah tidak akan kita temukan satu pun aturan ibadah yang merugikan kaum wanita dan menguntungkan kaum pria. Begitupun sebaliknya. Tidak ada satu pun aturan ibadah yang lebih menguntungkan kaum pria dan merugikan kaum wanita.

Tentu saja Allah lebih tahu alasan diterapkannya aturan-aturan tersebut. Kita sebagai manusia yang kadar kecerdasannya sangat terbatas, tentu hanya bisa menjalankan perintah Allah dengan sungguh-sungguh.

Lalu bagaimana dengan aturan tentang waris yang kaum wanita hanya mendapat separuh dari jatah kaum pria? Lalu bagaimana pula dengan aturan poligami yang seakan-akan kaum prialah yang enak, sedangkan kaum wanita seolah menjadi kaum yang terzalimi? Insya Allah bahasan ini akan kita diskusikan di bab yang lain dalam buku ini. Intinya, tidak ada satu pun syariat yang menzalimi manusia. Allah Maha Cerdas, Maha Adil, Maha Pengasih, Maha Pemurah, tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Islam membawa aturan yang sangat adil terhadap semua manusia dengan syariat yang menetapkan bahwa mulia hinanya manusia bukan dilihat dari jenis kelamin. Dalam Islam kemuliaan manusia hanya dinilai dari tingkat takwanya kepada Sang Pencipta. Hal ini dengan jelas diungkapkan dalam Firman-Nya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Lita’aarafuu. Supaya kalian saling mengenal. Masing-masing kita dicipta dengan kelebihan dan kekurangan. Kaum pria bukan manusia perkasa dan sempurna sehingga tidak butuh sedikit pun kepada wanita. Begitu pun kita kaum wanita, bukanlah makhluk lemah yang tak punya kelebihan apa pun. Pria dan wanita diciptakan untuk saling bantu. Ada kelebihan pria yang tidak dimiliki oleh kaum wanita. Ada kelebihan wanita yang tidak dimiliki kaum pria. Ada karakter tertentu yang khusus disertakan kepada kaum pria dan tak ada pada kaum wanita. Begitupun sebaliknya, ada karakter khusus yang hanya disertakan kepada kaum wanita dan tak dimiliki oleh kaum pria.

Kedua karakter itu kemudian dijadikan oleh Allah sebagai media untuk saling kenal dan saling bantu. Allah mempertemukan lelaki dan perempuan melalui ketidaksempurnaan dalam penciptaan masing-masing kita. Karena dengan begitu, seorang pria akan sangat mendambakan kehadiran kaum wanita untuk mendampingi hidupnya, dan kaum wanita akan mengharapkan kehadiran seorang pria yang bersedia menjadi pelengkap hidupnya.

“Sesungguhnya wanita adalah belahan tak terpisah dari kaum lelaki.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Subhanallah. Rasulullah begitu indah menggambarkan hubungan antara lelaki dan wanita sebagai belahan tak terpisah. Kebutuhan emosional maupun biologis terhadap lawan jenis adalah sebuah fi trah penciptaan yang tak bisa dielakkan. Oleh sebab itulah mengapa ajaran tabattul (ajaran yang mengharamkan diri untuk tidak menikah seumur hidup), adalah ajaran sesat yang tak dikehendaki dalam Islam. Mematikan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah salah satu tindakan untuk mematikan fitrah kemanusiaan. Sejak awal dicipta, manusia sudah dikaruniai sebuah harapan untuk memiliki pendamping hidup yang berasal dari lain jenis. Senikmat dan senyaman apa pun keadaan manusia, ia pasti akan mendambakan hadirnya kawan hidup yang bisa menemaninya. Itulah kenapa ketika Adam di surga, Adam merasa kurang nyaman ketika belum dihadirkan Hawa. Padahal kurang apa fasilitas surga. Segala kenyamanan dan kenikmatan hidup sudah tersedia di sana. Kalau di surga saja seorang Adam merasa kesepian tanpa Hawa, apa lagi di dunia yang penuh dengan liku masalah ini, kita butuh teman untuk berbagi. Kita butuh rekan untuk mengiringi perjalanan hidup. Kita butuh sahabat sejati yang bersedia menemani.

Pria dan wanita adalah belahan tak terpisah. Mereka ibarat puzzle, yang walaupun berbeda, namun hadirnya saling melengkapi. Saling menggenapi.

📚 3. Kebebasan Menentukan Pilihan


Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan. “Ada seorang wanita yang masih gadis mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia tidak menyukainya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (untuk melanjutkan pernikahan itu atau membatalkannya).” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Sejak awal perkembangannya, Islam sudah memperjuangkan hak wanita jauh sebelum zaman Siti Nurbaya. Paksaan untuk melangsungkan pernikahan dengan lelaki yang tak disukainya telah ditentang keras oleh Islam. Wanita diberi hak seluas-luasnya menentukan siapa pria yang paling berhak menemani hidupnya di masa mendatang.

Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu, “Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut,” ujarnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menyerahkan keputusan padanya, apakah ia meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya. Si wanita berkata, “Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja (dengan pengaduanku ini), aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki hak sedikit pun dalam memutuskan perkara seperti ini.” (HR. Ibnu Majah).

Ya, orangtua tidak memiliki hak sedikit pun untuk memaksa putrinya menikah dengan siapa. Peran orangtua hanya bertindak sebatas sebagai penasihat yang memberi gambaran tentang siapa yang cocok dan yang baik untuk mendampingi putrinya kelak.

Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang. Pemaksaan orangtua terhadap anaknya untuk melangsungkan pernikahan dengan orang yang tidak diinginkan oleh anaknya hukumnya adalah haram secara Syar’i. Mengapa? Karena perbuatan tersebut termasuk bentuk kezaliman dan pelanggaran terhadap hak-hak anaknya.

Dalam buku Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan bahwa hukum izin dari sang anak yang akan dinikahkan adalah wajib. Wajib bagi wali si wanita untuk meminta izin terlebih dahulu kepada anak gadisnya sebelum sang ayah memutuskan memilih lelaki yang akan ia nikahkan dengan putrinya. Hendaknya si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu (setara dengan si gadis) atau tidak. Karena pernikahan itu untuk kemaslahatan si wanita, bukan untuk kemaslahatan pribadi si wali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda, “Janganlah menikahkan seorang janda sebelum meminta pendapatnya, dan janganlah menikahkan perawan sebelum meminta persetujuannya.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa tanda persetujuannya?” Beliau menjawab, “Ia diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

📚 4. Tutup Kekurangan Dengan Sedekah dan Istighfar


Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah saw., bersabda, “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah dan perbanyaklah memohon ampun kepada Allah Swt., karena aku melihat (pada malam Isra’) kebanyakan penghuni neraka adalah dari jenis kalian.”

Seorang perempuan bertanya, “Apakah sebabnya kebanyakan penghuni neraka adalah dari jenis kami?”

Beliau menjawab, “Karena kalian sering melaknat dan meremehkan apa yang diberikan suami. Aku juga melihat kebanyakan kalian memiliki kekurangan dalam akal dan agama.”

Periwayat hadis ini bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan kekurangan akal dan agama?”

Beliau menjawab, “Kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki. Inilah yang dimaksud dengan kekurangan dalam akal. Selain itu, ketika sedang haid, perempuan tidak shalat dan tidak berpuasa selama beberapa hari, inilah kekurangan dalam agama.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Tuhan menciptakan makhluk dengan kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang dicipta dengan sempurna. Salah satu ketidaksempurnaan kaum Hawa adalah terkait masalah haid.

Sudah kodratnya wanita memiliki waktu haid sehingga tidak bisa memaksimalkan diri dalam melaksanakan ibadah mahdha. Ketika para lelaki bisa terus-menerus melaksanakan shalat lima waktu, kaum wanita memiliki waktu jeda setiap bulan sehingga terbebas dari perintah shalat. Begitupun pada bulan puasa, ada beberapa wanita yang tidak bisa sempurna melaksanakan ibadah di bulan yang mulia itu karena hadirnya darah haid.

Salah satu dampak dari liburnya pelaksanaan ibadah mahdha itu adalah kurang maksimalnya kaum wanita dalam meraup pahala yang berlimpah. Kita tahu Ramadha adalah bulan yang di dalamnya Allah mengaruniakan bermacam-macam keutamaan. Allah mengganjar ibadah sunah, hingga setara dengan ibadah wajib di bulan lain. Allah melipatgandakan ibadah wajib hingga puluhan kali lipat di bulan lain. Bahkan di dalamnya, Allah hadirkan malam istimewa yang keutamaannya setara seribu bulan.

Wajar jika Rasulullah mengingatkan kepada kaum wanita agar tidak terlampau jauh kadar ibadahnya dibanding lelaki dengan cara memperbanyak sedekah dan istighfar.

Sedekah

Mengapa sedekah dipilih sebagai salah satu ibadah untuk menggenapi kekurangan amalan pada wanita akibat haid? Karena sedekah menyimpan rahasia yang sangat besar terkait pelipatgandaan pahala. Sedekah termasuk amalan mulia yang balasannya berkali lipat dibanding amalan lain. Bukankah Allah sudah janji bahwa orang-orang yang melakukan amalan- amalan baik (sedekah, menolong orang, dan lain-lain), Allah akan membalasnya dengan pahala minimal 10 kali lipat. “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al- An’am: 60). Balasan 10 kali lipat adalah minimal. Lalu berapa balasan maksimalnya? 700 kali lipat bahkan tak terhingga.

Allah Swt., juga berfi rman:

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran).” (QS. Al-Baqarah: 261).

Diharapkan dengan amal sedekah ini para muslimah akan memperoleh ganjaran yang besar dari Allah guna menyusul ketertinggalannya dari kaum pria.

Biasanya perempuan sangat hemat dalam masalah uang. Hati-hati memang boleh, bahkan terkadang itulah yang menyebabkan mengapa kaum wanita lebih dipercaya sebagai pengatur keuangan, dibanding kaum pria yang kebanyakan kurang baik dalam pengelolaan keuangan. Tetapi hati-hati itu diterapkan saat mengatur keuangan yang konsumtif, bukan untuk keperluan akhirat.

Lalu mengapa istighfar? Jika sedekah dimaksudkan untuk melejitkan pahala kebajikan hingga meninggi, istighfar berfungsi untuk mengikis dosa-dosa hingga menipis. Sehingga kebaikan melejit dan dosa telah terkikis, maka jika diakumulasi menghasilkan timbunan pahala yang akan memperberat timbangan amal saleh kelak di Mahsyar.

📚 5. Tulang Rusuk


“Selalu wasiatkan kebaikan kepada para wanita. Karena mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian paling bengkok dari jalinan tulang rusuk adalah tulang rusuk bagian atas. Jika kalian paksa untuk meluruskannya, ia akan patah. Tetapi jika kalian mendiamkannya, ia akan tetap bengkok. Karena itu wasiatkanlah kebaikan kepada para wanita.” (HR. Bukhari, dari Abu Hurairah).

Saya harap Anda tidak salah memahami hadis di atas. Hadis ini bukan salah satu bentuk diskriminasi terhadap kaum wanita. Hadis itu bukan berarti kita kaum wanita banyak kekurangan sehingga wajib diwasiati.

Melalui hadis ini Allah menuntun kaum wanita dari kaum yang dulunya terbelakang, tidak banyak punya peran dalam fungsi sosial, tidak diperhatikan kualitas diri dan potensinya, diangkat menjadi kaum terhormat. Hadis di atas adalah salah satu bentuk pengangkatan derajat kaum wanita oleh Islam dari yang dulunya cakupan aktivitasnya tak jauh dari aktivitas di dapur, sumur, dan kasur, menjadi seorang manusia yang juga berhak menerima pengajaran, pendidikan, wasiat, untuk menjadi hamba Allah yang berkualitas di dunia dan akhirat.

Melalui ayat itu juga ditegaskan bahwa bukan hanya kaum pria saja yang berhak menerima wasiat, kaum wanita pun berhak menerimanya. Karena saling berwasiat dalam kebenaran adalah sebuah anjuran Allah kepada seluruh manusia. Tanpa membedakan jenis kelamin.

Bukankah di dalam Al-Qur’an pun telah disebutkan bahwa saling mewasiatkan kebaikan, saling menasihatkan kebenaran, adalah salah satu bentuk kasih sayang agar manusia tidak menjadi hamba yang merugi. Bahkan secara eksplisit Allah bersumpah, bahwa manusia yang tidak beriman, tidak beramal saleh, dan tidak saling berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran, mereka itulah manusia yang merugi.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1–3).

Masing-masing kita punya peran sosial. Allah mencipta laki-laki dan perempuan bukan untuk dibeda-bedakan, kemudian dizalimi keberadaannya di alam ini. Tujuan penciptaan laki-laki dan perempuan tak lain adalah salah satu prinsip keseimbangan yang selalu diterapkan oleh Allah. Ada peran tertentu yang hanya bisa ditangani kaum wanita. Ada juga peran tertentu yang hanya bisa ditangani pria. Masing-masing diberi tanggung jawab berdasarkan kodratnya sebagai makhluk Allah yang dikaruniai kelebihan dan kekurangan.

Lalu untuk apa Allah mencipta dua makhluk yang tidak memiliki kesamaan karakter? Mengapa Allah tidak menciptakan saja makhluk satu jenis saja?

Wallahu a’lam. Salah satu alasan yang paling logis adalah agar manusia bisa saling melengkapi. Diciptakanlah makhluk dengan sifat-sifat yang tidak sempurna agar mereka mau melengkapi kekurangannya dengan bantuan pasangannya.

Di sinilah hakikat keadilan Tuhan. Ada naluri untuk saling butuh dan saling bantu antar lawan jenis. Wanita adalah sahabat sejati kaum pria, dan kaum pria adalah sahabat sejati kaum wanita. Mereka saling membutuhkan satu sama lain.

📚 6. Tentang Wanita


Ini yang kerap kali dipersoalkan ketika membahas tentang kesetaraan gender dalam Islam. Mengapa di dalam Islam bagian yang diperoleh perempuan ditetapkan hanya setengah dari bagian yang diperoleh kaum pria? Bukankah ini merupakan diskriminasi terang-terangan terhadap kaum Hawa?

Saudariku. Islam adalah agama masa depan. Artinya, Islam sudah mampu menjawab tantangan zaman yang makin kritis terhadap berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Islam menjawab berbagai pertanyaan yang menyangkut syariat dengan sangat lugas dan tegas. Al-Qur’an mampu menyajikan bukti-bukti yang mempertegas aturan yang diterapkan kepada manusia. Termasuk masalah waris.

Saudariku. Kalau kita memandang secara hitung-hitungan materi, maka yang kita lihat, aturan pembagian waris ini memang sepertinya tak adil. Mungkin kita berpikir, aturan itu menjadi adil jika pria dan wanita mendapatkan bagian yang sama persis. Kalau pria mendapat bagian satu, wanita juga satu. Kalau pria dapat sepuluh juta, wanita pun mendapat sepuluh juta. Apakah benar demikian yang dinamakan keadilan?

Ternyata tidak. Selain Mahaadil, Allah juga jauh lebih cerdas dibanding seluruh makhluk-Nya. Semua aturan yang telah ditetapkan-Nya adalah merupakan implementasi atas sifat-sifat-Nya.

Untuk memahami hal ini, mari kita memahami terlebih dahulu tentang konsep keadilan dalam Islam. Apa sih defi nisi ‘adil’? Dalam Islam, adil dimaknai sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya, konsep keadilan dalam Islam bukanlah membagi sesuatu sama rata. Bukan itu yang namanya adil.

Sebagai contoh sederhana, misal, seorang ibu punya tiga orang anak. Anak pertama sudah menginjak bangku kuliah. Anak kedua menempuh SMP. Sedangkan anak terakhir, masih di TK. Bagaimana cara ibu itu menarapkan prinsip keadilan kepada anak-anaknya? Apakah dengan menyamaratakan uang saku bagi ketiganya? Tentu saja tidak. Uang saku yang diberikan kepada yang kuliah seharusnya lebih besar ketimbang yang diberikan kepada yang masih SMP. Uang saku yang didapatkan oleh anak kedua harus lebih besar daripada yang didapatkan oleh anak yang masih TK. Mengapa? Karena kebutuhan ketiga anaknya tidak sama. Kebutuhan anak yang sudah menempuh bangku perkuliahan tentu saja lebih besar dibanding kedua adiknya. Justru menjadi zalim apabila sang ibu menyamakan uang saku anak pertama dengan anak kedua dan ketiga.

Begitu jugalah aturan yang diterapkan oleh Islam dalam masalah waris ini. Allah memberi lelaki bagian yang lebih karena lelaki diberi beban tanggung jawab yang lebih besar daripada kaum perempuan. Allah sudah mengatur bahwa dalam rumah tangga, yang wajib menafkahi keluarga adalah kaum pria. Kebutuhan kaum pria, mutlak lebih besar daripada kaum wanita.

Kita juga tahu, ketika menikah, kaum prialah yang berkewajiban memberi mahar kepada calon istrinya. Sedangkan istri, tidak punya kewajiban sedikit pun untuk memberi mahar kepada calon suaminya. Bahkan ketika terpaksa harus bercerai, mantan suami masih berkewajiban menafkahi anak yang lahir dari rahim mantan istrinya. Sedangkan perempuan tidak.

Justru menjadi kezaliman jika Tuhan menerapkan aturan, bagian kaum pria harus sama persis dengan bagian kaum wanita. Karena tanggung jawab yang dibebankan kepada kaum pria lebih besar dibandingkan tanggung jawab yang dibebankan kepada kaum wanita.

Sungguh, aturan waris di dalam Islam, adalah aturan yang sangat tepat untuk diterapkan jika ingin memper- juangkan prinsip-prinsip keadilan di masyarakat.

📚 7. Tentang Kepemimpinan


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisa’: 34).

Ayat yang saya kutip di atas kerap disalahpahami sebagai bentuk pelarangan kaum wanita untuk memimpin suatu komunitas, organisasi, wilayah, atau pada lingkup yang lebih luas, negara. Dalil ini kemudian diungkit setiap kali ada perempuan yang hendak mencalonkan diri sebagai pemimpin di komunitas tertentu. Ayat ini kadang dijadikan sebagai salah satu ‘alat’ untuk mengerdilkan Islam dengan menyebut Islam sebagai agama yang mendiskreditkan peran seorang wanita dalam wilayah kehidupan.

Apakah benar Islam melarang kaum Hawa memimpin komunitas tertentu? Apakah Islam menghendaki kaum wanita dicipta hanya sebagai anggota, dan tak punya sedikit pun hak untuk menjadi pemimpin di komunitasnya? Apakah benar kaum wanita hanya boleh sebagai pengikut dan tak layak menempatkan diri sebagai pelopor?

Tidak. Ternyata Islam dengan prinsip keadilannya tak pernah membuat aturan seperti itu. Islam sejak lama telah menempatkan wanita sebagai partner pria. Bukan bawahan yang hanya bisa sebagai pengikut. Bukan rendahan yang hanya boleh sebagai penganut. Ayat 34 dari An-Nisa’ tidak boleh kita potong-potong tanpa memperhatikan konteks dan arah pembicaraan ayat tersebut. Mari kita baca ayat itu dengan lebih lengkap,

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An-Nisa’: 34).

Mari kita perhatikan kalimat ‘karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka’. Dari kalimat ini saja sudah bisa kita tebak, pada konteks apa ayat ini hendak berbicara. Prof. Dr. Quraish Shihab mengemukakan bahwa surah An-Nisa’ ayat 34 tersebut berbicara tentang kepemimpinan lelaki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga.

Islam memang indah. Aturan-aturan, syariatnya, ketentuannya, semuanya indah. Mari kita amati. Kata qawwam sendiri sudah memberi arti lebih terhadap tanggung jawab lelaki atas keluarganya. Qawwam bukan berarti lelaki memiliki superioritas mutlak dalam wilayah keluarga, sehingga mengabaikan hak-hak istri dan anak. Qawwam justru bermakna pelindung. Lelaki dengan kekuatannya, dengan fungsi sosial dan tanggung jawabnya, memiliki kewajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya terhadap berbagai ancaman yang menimpa keluarganya. Qawwam menghendaki tanggung jawab lebih kaum pria atas apa yang terjadi di wilayah rumah tangganya.

Lalu bagaimana tanggung jawab istri terhadap keluarganya? Apakah keberlangsungan rumah tangga hanya dibebankan kepada suami dan mengabaikan peran istri? Ternyata tidak. Islam menghendaki kaum wanita juga aktif dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu dan istri dalam keluarganya. Islam tak menghendaki istri hanya pasif sebagai penonton yang tak punya minat membantu suami dalam penyelenggaraan rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Imam adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin di tengah keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Budak adalah pemimpin dalam harta majikannya dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan ditanyakan tentang kepemimpinannya’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Begitulah. Perintah untuk menjaga keluarga agar senantiasa berjalan dalam koridor Tuhan tak hanya kewajiban suami, tetapi juga seorang istri. Itulah juga alasan mengapa ketika Allah memerintahkan menjaga diri dan keluarga dari api neraka, Allah menyebut secara umum tanpa mengkhususkan pada suami atau istri.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).

Setiap orang beriman memiliki kewajiban untuk menjadi pemimpin, pelindung, penjaga diri dan keluarganya masing-masing terhadap dosa yang kelak menjadikannya terjatuh dalam jurang neraka.

📚 8. Muslimah Harus Cerdas


Ketika ada yang mempertanyakan urgensi pendidikan bagi muslimah, justru saya ingin mempertanyakan kepadanya tentang wawasannya terhadap sejarah perkembangan Islam. Karena sejak diturunkannya Islam, ternyata para shahabiyah sudah memberikan banyak sekali keteladanan bagi kita. Sebut saja nama Aisyah radhiyallu ‘anha, yang merupakan istri Rasulullah saw. Jarang yang tahu bahwa beliau sangat pandai dalam bidang kedokteran, pandai meriwayatkan hadis, serta ahli dalam ilmu perbintangan (falak). Sebut pula nama Ummu Kulsum binti Ali bin Abi Th alib. Jarang yang tahu jika beliau adalah seorang bidan muslimah. Tak lupa pula nama Asy-Syifa’ binti Abdullah, shahabiyah satu ini sampai mendapat gelar “guru wanita pertama dalam Islam”, bahkan istri-istri Rasulullah banyak yang berguru pada beliau, sebagaimana dikisahkan bahwa Hafsah juga pernah belajar tulis-menulis dan ilmu pengobatan kepada beliau.

Ini menunjukkan bahwa sejak belasan abad yang lalu Rasulullah dan para sahabatnya sudah memberikan teladan yang sangat bijak kepada umat yang lahir di masa depan. Bagaimana bisa kita meragukan urgensi pendidikan kepada para perempuan, sementara kita sendiri menyadari bahwa kaum wanita adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Bagaimana bisa kita masih meragukan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita, sementara kita tahu, bahwa yang paling berperan dan yang paling banyak berinteraksi dengan sang anak adalah ibunya.

Al-ummu madrosatul uula liaulaadihaa, ibu adalah sekolah pertama bagi putra-putrinya. Bagi kaum muslimah, silakan berpendidikan tinggi, berprestasilah yang hebat, perluas pergaulan, teruslah menggali wawasan. Jadikan semua itu sebagai bekal dan teladan untuk mendidik anak-anak kita di masa depan. Jangan sampai kita mengabaikan pendidikan kita hanya karena anggapan dan asumsi masyarakat yang masih menganggap para perempuan kelak tugasnya hanyalah ibu rumah tangga. Jangan hiraukan mereka yang terus menyurutkan langkah kita untuk terus belajar dengan perkataan pesimis, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma ngurus anak.” Jangan terpengaruh dengan kalimat pesimis seperti itu. Sebagai wanita muslimah harusnya kita memiliki optimisme yang tinggi bahwa peran kita sangat diharapkan oleh sekitar kita. Kita memiliki po- tensi yang bisa dikembangkan jika kita bersedia meng- asahnya.

Mari kita baca buku-buku sejarah, maka kita pun akan menemukan banyak sekali sosok kaum perempuan yang memiliki peran luar biasa, tak hanya di lingkup keluarga, tetapi hingga pada lingkup negara. Sebut saja nama Dewi Sartika yang bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita, bahkan ia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang bernama Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1910. Tak kalah populernya nama Rohana Kudus yang juga mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia dan Rohana School. Tak hanya itu, Rohana Kudus bahkan adalah jurnalis wanita pertama di negeri ini. Kenanglah nama-nama pahlawan kemerdekaan yang hingga kini masih terkenang indah di hati rakyat: Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati, Cut Meutia, Pocut Baren, bahkan Tengku Fakinah, yang selain merupakan pejuang kemerdekaan, ternyata beliau juga seorang ulama wanita di negeri ini.

Hendaklah kita memiliki harapan yang tinggi untuk masa depan kita. Harusnya dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, dengan fasilitas hidup semudah saat ini, kita bisa menjadi lebih hebat dari para pahlawan yang meskipun hidup dalam tekanan dan keterbatasan, tetapi masih memiliki impian tinggi untuk menjadikan hidupnya tidak sekadar numpang lewat dalam sejarah. Mereka mempersembahkan hidup mereka bukan hanya untuk menyinari keluarganya, tetapi mencoba untuk memperluas pengaruhnya hingga ke tingkat nasional.

Saudariku muslimah, dalam bab ini saya ingin menyarankan, baik kelak kau berkarir atau pun bercita menjadi ibu rumah tangga full time, hendaklah seorang muslimah tak meremehkan pendidikannya. Berpendidikanlah yang tinggi. Berprestasilah sehebat mungkin. Paling tidak hal itu kelak bisa menjadi teladan dan bekal berharga bagi putera-puterimu.

Terakhir, saya ingin menutup bahasan ini dengan untaian kalimat indah dari Rohana Kudus, yang mencoba menasehatkan kepada kita untuk memperjuangkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik untuk masa depan. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan.” (Rohana Kudus 1884-1972).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam