Bagian (2). Kisah-Kisah Rasulullah Saw Bersama Keluarga Dan Anak-Anak



๐Ÿ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



๐Ÿ“š 18. Satu Uqiyah yang Membuat Resah
Suatu hari seseorang menemui Rasulullah Saw. dan meminta beliau mendoakannya. Beliau berkata, “Duduklah. Allah akan mengaruniakan rezeki kepadamu.”

Tidak lama kemudian, datang lagi orang kedua dan ketiga. Seperti kepada orang pertama, beliau berkata, “Duduklah. Allah akan mengaruniakan rezeki kepadamu.”

Terakhir, datang orang keempat sambil membawa empat uqiyah. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan sedekah.”

Rasulullah Saw. memanggil orang pertama dan memberinya satu uqiyah (40 dirham), begitu pula dengan orang kedua dan ketiga, masing-masing mendapatkan satu uqiyah. Masih tersisa satu uqiyah dan Rasulullah Saw. menawarkannya kepada semua yang hadir, tetapi tak seorang pun mau menerimanya.

Saat malam tiba, Rasulullah Saw. meletakkan satu uqiyah itu di bawah bantalnya. Namun, beliau tidak bisa memejamkan mata sehingga beliau bangkit dan mendirikan shalat. Usai shalat, istri beliau, Aisyah r.a., bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah sesuatu terjadi padamu?”

“Tidak,” jawab Rasulullah Saw.

“Apakah datang perintah dari Allah?”

“Tidak.”

“Malam ini aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah kaulakukan sebelumnya,” ujar Aisyah seraya mengeluarkan uqiyah itu.

“Itulah yang membuatku resah. Aku takut datang perintah dari Allah, sedangkan aku belum mengerjakan perintah sebelumnya.”

Pada kesempatan yang berbeda, Rasulullah Saw. memasuki rumah salah seorang istrinya, Ummu Salamah. Wajah beliau tampak muram. Ummu Salamah sangat khawatir dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apa gerangan yang terjadi sehingga wajahmu muram?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Karena masih ada tersisa tujuh dinar yang diberikan kepadaku kemarin, belum dibagikan dan masih tersimpan (di tempat tidurku).”


๐Ÿ“š 19. Makanan di Rumah Rasulullah
Sejak datang di Madinah, pernah selama tiga hari berturut-turut keluarga Rasulullah Saw. tidak makan kurma hingga mereka begitu menginginkannya. Namun, keinginan sederhana itu baru bisa terpenuhi setelah peristiwa penaklukan Khaibar.

Suatu hari Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah Saw. tidak pernah makan sampai kenyang. Suatu ketika, aku mendapatkan perut beliau berbunyi pertanda lapar. Aku mengusap perutnya seraya berkata, ‘Aku bersedia menjadi tebusanmu, kalau engkau menginginkan sesuatu yang dapat mengembalikan kesegaran dan membebaskanmu dari rasa lapar.’”

Rasulullah Saw. berkata, “Para sahabatku, kalangan ulul ‘azmi dari para nabi, mampu bersabar dalam situasi yang lebih sulit dari ini. Mereka berhasil melalui cobaan itu, kemudian menghadap ke hadirat Allah. Karena itulah mereka mendapatkan kemuliaan dan pahala yang berlimpah. Aku malu jika lalai dengan kehidupanku sehingga aku tidak dapat bertemu dengan mereka. Jadi, bersabar selama beberapa hari lebih kusukai daripada bagianku kelak berkurang. Tidak ada sesuatu yang lebih kusukai daripada pertemuan dengan para sahabatku.”

Suatu saat Rasulullah Saw. berkata, “Aku merasa lapar sehari dan kenyang sehari. Ketika lapar, aku bisa bersabar dan menahan diri. Di saat kenyang, aku bersyukur.”

Pernah suatu ketika selama 40 malam rumah Rasulullah Saw. tidak diterangi cahaya lampu. “Bagaimana kalian makan?” tanya orang-orang.

“Kami makan kurma dan minum air,” jawab Aisyah.

Untunglah Rasulullah Saw. memiliki seorang tetangga dari kalangan Anshar yang kerap memberikan makanan. Seorang tetangganya yang lain sering memberinya susu. “Karena itulah kami menikmati keduanya,” ujar Aisyah.


๐Ÿ“š 20. Minta Uang Belanja Lebih
Suatu hari semua istri Rasulullah Saw. berkumpul dan saling melontarkan keluhan. Mereka merasa tidak mendapatkan nafkah dan perhiasan yang laik. Mendengar keluhan mereka, Rasulullah Saw. memberi mereka dua pilihan: bersabar bersama beliau dengan kehidupan apa adanya, atau hidup serbamewah tetapi tanpa beliau (diceraikan).

Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, Rasulullah Saw. merasa gundah mendengar keluhan mereka. Perasaan ini tidak bisa beliau sembunyikan. Tidak lama setelah kejadian itu, Abu Bakar dan Umar memasuki rumah beliau.

Keduanya segera tanggap saat melihat Rasulullah Saw. berwajah muram dikelilingi istri-istrinya. Keduanya berpikir, kesedihan beliau pasti akibat ulah istri-istri beliau. Maka, keduanya berusaha meredakan kegundahan beliau.

Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, seandainya aku mendapati putriku menuntut nafkah kepadamu, aku pasti akan mencekik lehernya.”

Umar pun mengucapkan kata-kata yang sama berkaitan dengan putrinya, Hafshah. Setelah itu, mereka menemui putrinya masing- masing. Tanpa pikir panjang, kedua sahabat ini mencekik leher putrinya seraya menghardik, “Kamu menuntut sesuatu yang tidak sepatutnya kepada Rasulullah Saw.!”

“Demi Allah, kami tidak akan menuntut sesuatu yang tidak dimiliki Rasulullah Saw.,” jawab mereka.

Buntut dari peristiwa ini, Rasulullah Saw. meninggalkan istri-istrinya selama satu bulan hingga turun firman Allah tentang masalah ini (QS Al-Ahzรขb [33]: 28-29).

Setelah mendapatkan wahyu itu, Rasulullah Saw. mendatangi Aisyah dan berkata, “Aku ingin memberitahukan sebuah perkara dan aku ingin kau cepat-cepat meminta pendapat orangtuamu.”

“Perkara apakah gerangan, wahai Rasulullah?” tanya Aisyah.

Kemudian Rasulullah Saw. membacakan ayat yang baru saja diterimanya.

“Perlukah aku meminta pendapat orangtuaku, wahai Rasulullah? Tentu saja aku memilih Allah dan Rasul-Nya serta Hari Akhir,” jawab Aisyah tegas.

Kemudian, Rasulullah menemui istri-istri beliau yang lain dan mengajukan pilihan yang sama sebagaimana disebutkan dalam wahyu Allah itu. Ternyata, mereka semua memutuskan pilihan yang sama. Mereka memilih Allah, Rasul-Nya, dan Hari Akhir. Mereka merasa cukup dengan kebahagiaan yang dinikmati bersama Rasulullah Saw.

Kenyataannya memang demikian, kebahagiaan hidup bersama Rasulullah Saw. tidak bisa ditukar dengan materi, sebesar apa pun materi yang mereka dapatkan. Sebab, semua kekayaan itu tidak akan dapat menggantikan kemuliaan mereka sebagai istri Rasulullah Saw.


๐Ÿ“š 21. Nabi Saw. Bersama Fatimah r.a. dan Aisyah r.a
Suatu ketika Rasulullah Saw. beribadah selama beberapa hari tanpa makan sedikit pun hingga beliau merasa lapar dan kepayahan. Beliau Saw. mendatangi rumah istri-istrinya, tetapi tidak mendapatkan sesuatu pun untuk dimakan. Akhirnya, beliau mendatangi putrinya, Fatimah, dan berkata, “Putriku, apakah kau punya sesuatu yang bisa kumakan? Aku merasa lapar.”

Fatimah menjawab, “Demi Allah, engkau, dan ibuku, aku tidak punya apa-apa.”

Ketika Baginda Nabi keluar dari rumah Fatimah r.a., seorang tetangganya datang membawa dua potong roti dan sekerat daging. Fatimah mengambilnya dan meletakkannya pada sebuah mangkuk. Ia berkata, “Demi Allah, aku akan mendahulukan Rasulullah untuk menyantap makanan ini daripada diriku dan keluargaku meski mereka juga membutuhkannya.”

Kemudian, Fatimah mengutus Al-Hasan atau Al- Husain untuk mengundang Rasulullah Saw. Saat beliau datang, Fatimah berkata, “Demi ayah dan ibuku, Allah telah memberiku sesuatu, dan aku telah menyiapkannya untukmu.”

Nabi Saw. bersabda, “Bawalah ke sini, wahai Putriku.”

Fatimah bergegas mengambil mangkuk besar dan membukanya. Ternyata, mangkuk itu telah dipenuhi roti dan daging. Saat melihatnya, Fatimah terkejut dan sadar bahwa itu merupakan berkah dari Allah Swt. Fatimah memuji Allah dan memanjatkan shalawat kepada Nabi-Nya.

Kemudian, ia menghidangkan makanan itu di hadapan ayahnya. Saat melihatnya, beliau juga memuji Allah Swt. lalu bertanya, “Putriku, dari manakah engkau mendapatkan semua ini?”

Fatimah r.a. menjawab, “Ayah, semua ini berasal dari Allah Swt. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.”

Mendengar jawaban putrinya, Rasulullah Saw. kembali memanjatkan pujian kepada Allah Swt. dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikanmu, wahai Putriku, menyerupai pemimpin wanita Bani Israil.

Ketika Allah Swt. menganugerahkan sesuatu kepadanya, lalu ditanya tentang makanan itu, ia menjawab, ‘Semua ini berasal dari Allah Swt. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan.’”

Rasulullah Saw. memanggil Ali r.a., kemudian beliau dan keluarga Fatimah makan bersama hingga kenyang. Fatimah r.a. menuturkan, “Setelah kami makan, mangkuk itu masih penuh dengan makanan seperti sedia kala.” Karena masih banyak tersisa, Fatimah membagikan makanan itu kepada tetangga-tetangganya. Allah menjadikan makanan di mangkuk itu penuh berkah dan kebaikan.

Keutamaan dan kemuliaan Rasulullah juga diceritakan oleh istri beliau, Aisyah r.a. Diriwayatkan bahwa Abdullah ibn Umar dan dua orang kawannya menemui Aisyah r.a. dan memintanya bercerita tentang Rasulullah Saw.

Beberapa saat Aisyah termenung, kemudian menarik napas panjang beberapa kali. Air mata tampak tergenang di pelupuk matanya. Lalu ia berkata lirih, “Ah, semua perilakunya teramat memesona.”

“Ceritakan kepada kami yang paling memesona di antara semua yang pernah Ibu saksikan,” pinta Abdullah.

Maka, Aisyah menuturkan sepenggal kisahnya bersama Rasulullah Saw., “Suatu malam ketika beliau tidur bersamaku dan kulitnya bersentuhan dengan kulitku, beliau berkata, ‘Wahai Aisyah, apakah kamu rela jika di malam milikmu (giliranmu) ini aku beribadah?’ ‘Aku sungguh senang berada di sisimu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.’

Kemudian beliau bangun, mengambil wadah air, dan berwudhu. Aku mendengar beliau menangis dalam shalat. Suaranya terisak-isak. Setelah itu beliau duduk membaca ayat-ayat Al-Quran, juga sambil menangis hingga air mata membasahi janggutnya. Ketika beliau berbaring, air mata mengalir lewat pipinya membasahi bumi di bawahnya.

Di waktu fajar, Bilal datang dan masih melihat Rasulullah menangis. Bilal heran campur kaget melihat keadaan beliau. Saat itu aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan yang kemudian?’ Rasulullah menjawab, ‘Apakah kau tidak rela, aku menjadi hamba yang bersyukur? Aku menangis karena malam tadi turun wahyu kepadaku: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) Orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka” (QS ร‚li ‘Imrรขn [3]: 190-191).

Kemudian Rasulullah Saw. berpaling kepada Bilal dan berkata, ‘Hai Bilal, rugilah orang yang membaca ayat ini tetapi tidak menghayati kandungannya.’”


๐Ÿ“š 22. Mangkuk, Madu, dan Sehelai Rambut
Suatu ketika Rasulullah Saw. mengajak Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. bertamu ke rumah putrinya, Fatimah r.a. Di saat yang sama, Ali ibn Abi Thalib juga ada di sana. Setelah semua orang duduk, Fatimah r.a. menghidangkan madu pada sebuah mangkuk yang cantik. Namun, ketika madu itu dihidangkan, sehelai rambut jatuh ke dalamnya.

Rasulullah Saw. meminta semua sahabatnya untuk membuat satu kalimat perbandingan untuk ketiga benda itu (mangkuk yang cantik, madu, dan sehelai rambut). Rasulullah Saw. meminta Abu Bakar yang mulai berbicara, disusul para sahabatnya yang lain.

Abu Bakar r.a. berkata, “Iman itu lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Orang yang beriman itu lebih manis dibanding madu, dan mempertahankan iman itu lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Umar r.a. berkata, “Kerajaan itu lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Seorang raja itu lebih manis dari madu, dan memerintah dengan adil itu lebih sulit dibanding meniti sehelai rambut.”

Utsman r.a. tak mau kalah. Ia berujar, “Ilmu itu lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Orang yang menuntut ilmu itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ilmu yang dimiliki itu lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Dan kemudian Ali r.a. berkata, “Tamu itu lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Menjamu tamu itu lebih manis dari madu, dan membuat tamu senang sampai kembali pulang ke rumahnya jauh lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Rasulullah Saw. berpaling kepada putrinya, Fatimah r.a., memintanya membuat perbandingan. Dengan tenang Fatimah berkata, “Seorang wanita itu lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Wanita yang berjilbab itu lebih manis dari madu, dan mendapatkan wanita yang tak pernah dilihat orang lain kecuali muhrimnya lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Akhirnya, Rasulullah Saw. berkata, “Orang yang mendapat taufik untuk beramal adalah lebih cantik daripada mangkuk cantik ini. Beramal dengan amal yang baik itu lebih manis dari madu, dan beramal dengan ikhlas jauh lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Malaikat Jibril a.s. berkata, “Menegakkan pilar- pilar agama itu lebih cantik daripada mangkuk cantik. Menyerahkan diri, harta, dan waktu untuk agama lebih manis dari madu, dan mempertahankan agama hingga akhir hayat lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”

Dan, Allah berfirman, “Surga-Ku itu lebih cantik daripada mangkuk yang cantik itu. Nikmat surga-Ku lebih manis dari madu, dan menuju surga-Ku jauh lebih sulit daripada meniti sehelai rambut.”


๐Ÿ“š 23. Ide Cerdas Seorang Istri
Pada tahun keenam Hijriah Rasulullah Saw. dan kaum Muslim hendak menunaikan umrah ke Kota Makkah, tetapi mereka tak bisa menunaikannya karena ditahan di perbatasan oleh kaum Quraisy. Mereka tidak membiarkan kaum Muslim memasuki Makkah meskipun hanya untuk menunaikan ibadah umrah. Menghadapi situasi yang menegangkan itu, Rasulullah melakukan berbagai upaya agar mereka dibiarkan memasuki Makkah dan menjalankan umrah. Namun, para pemuka Quraisy bersikukuh melarang mereka. Maka, berlangsunglah proses negosiasi dan perundingan yang sangat alot hingga kedua pihak menyepakati perjanjian yang dikenal dalam sejarah sebagai “Perjanjian Hudaibiyah”.

Setelah kesepakatan dicapai antara Rasulullah dan utusan kaum Quraisy, banyak sahabat yang kecewa, karena beberapa butir perjanjian dianggap merugikan kaum Muslim. Mereka merasa, Rasulullah Saw. banyak mengalah terhadap kaum musyrik Quraisy sehingga Umar ibn Khaththab r.a. bertanya kepada Abu Bakar r.a. dengan nada kecewa, “Bukankah beliau adalah Rasulullah?”

“Ya, tentu saja,” jawab Abu Bakar.

“Bukankah kita ini kaum Muslim?”

“Ya!”

“Lalu, mengapa kita menerima begitu saja?”

Abu Bakar menjawab, “Hai Umar, tahanlah ucapanmu! Aku menjadi saksi bahwa beliau adalah utusan Allah.”

Tentu saja Rasulullah Saw. mengetahui sikap kaum Muslim yang kecewa karena beliau dianggap banyak mengalah kepada kaum musyrik. Namun, beliau tetap sabar dan berlapang dada. Beliau berkata, “Aku adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan aku tidak akan mengingkari perintah-Nya. Dia pun tidak akan membiarkan aku lenyap di jalan.”

Di antara butir Perjanjian Hudaibiyah yang dianggap merugikan kaum Muslim adalah bahwa tahun itu kaum Muslim tidak boleh menjalankan umrah dan baru boleh mengerjakannya tahun berikutnya. Lalu, jika ada orang Madinah (Muslim) yang murtad dan pergi ke Makkah, ia tidak boleh dikembalikan ke Madinah. Sebaliknya, jika ada orang Makkah yang hijrah ke Madinah dan memeluk Islam, ia harus dikembalikan ke Makkah jika keluarga orang itu menghendakinya.

Usai perundingan, Rasulullah Saw. menyuruh mereka menyembelih kurban, memotong rambut (tahalul), dan pulang ke Madinah. Namun, para sahabat mengacuhkan perintah beliau. Mereka masih dongkol dengan hasil Perundingan Hudaibiyah. Mereka enggan menjalankan perintah Rasulullah ini meskipun beliau menitahkannya berkali-kali.

Melihat keadaan itu, Rasulullah tampak berduka. Beliau memasuki kemah istrinya, Ummu Salamah. Dengan raut muka diliputi kesedihan, beliau menceritakan kegelisahannya. “Akan binasakah umatku ini?” tanya Rasulullah Saw.

Setelah mengetahui akar masalahnya, Ummu Salamah berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, bila kau ingin sahabatmu menjalankan semua yang engkau perintahkan maka keluarlah dan jangan katakan apa-apa. Lakukanlah tahalul, sembelih untamu, dan potonglah rambutmu!”

Rasulullah Saw. menerima usul istrinya. Beliau keluar dari kemahnya, tidak berbicara walau sepatah kata pun, lalu bertahalul, menyembelih untanya, dan mencukur rambutnya. Menyaksikan pimpinan mereka melakukan semua itu, para sahabat pun mengikutinya dengan lapang dada.

Kelak, sejarah membuktikan bahwa Perjanjian Hudaibiyah itu memberi banyak keuntungan kepada kaum Muslim. Ini menunjukkan betapa jauh visi politik Rasulullah Saw. ketika mengambil keputusan yang diragukan para sahabat.


๐Ÿ“š 24. Wirid Fatimah
Ali ibn Abi Thalib r.a. dan istrinya Fatimah r.a. hidup sangat sederhana. Ketika menikah, perlengkapan rumah tangga yang mereka miliki hanyalah dua buah batu penumbuk gandum, dua buah tempat air dari kulit kambing, bantal yang terbuat dari ijuk pohon kurma, dan sedikit minyak wangi.

Mereka juga tidak punya pembantu atau pelayan. Fatimah bekerja seorang diri hingga kedua tangannya kasar dan melepuh. Sering kali Ali r.a. membantu pekerjaan istrinya di rumah.

Suatu ketika Rasulullah Saw. pulang dari salah satu peperangan dengan membawa tawanan dan pampasan perang yang banyak. Ali r.a. menyarankan kepada istrinya untuk meminta seorang pembantu kepada beliau untuk meringankan pekerjaan rumah tangganya. Fatimah pun menyetujuinya.

Putri Rasulullah Saw. itu pergi menemui ayahnya. Tiba di hadapan Rasulullah Saw., Fatimah ditanya, “Apa keperluanmu, Putriku?”

Fatimah terdiam. Ia tidak kuasa mengatakan maksud kedatangannya. Ia hanya berkata, “Tidak ada, wahai Rasulullah. Aku ke sini hanya untuk menyampaikan salam kepadamu,” kemudian Fatimah beranjak pulang ke rumahnya.

Saat tiba di rumah, sang suami telah menunggunya. “Bagaimana hasilnya, wahai Istriku?” tanya Ali r.a. “Aku tak kuasa mengatakannya kepada Rasulullah. Aku merasa malu meminta seorang pembantu kepada- nya,” Fatimah menjawab pelan.

“Bagaimana kalau kita berdua mendatangi Rasulullah?”

Fatimah r.a. menganggukkan kepala, kemudian mereka pergi menghadap Rasulullah Saw. menyampaikan keinginan mereka. Namun, bagaimanakah tanggapan Rasulullah Saw.? Beliau berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memberi kalian, sementara banyak fakir miskin kaum Muslim dengan usus berbelit-belit karena kelaparan.”

Malam hari itu, Rasulullah Saw. mendatangi Fatimah dan Ali. Keduanya sudah berbaring di tempat tidur. Mereka berselimut sehelai kain pendek yang tidak cukup menutup tubuh mereka. Jika kepala tertutupi, kaki mereka tersingkap. Kalau kaki ditutupi, kepala mereka tersembul.

Mereka bangkit menyambut kedatangan ayahanda yang mulia. Namun, beliau berujar lembut, “Tetaplah di tempat kalian!”

Setelah diam beberapa kejap, Rasulullah Saw. bersabda, “Maukah kalian kuajari beberapa kalimat sebagaimana yang diajarkan Jibril kepadaku, sesuatu yang lebih berharga daripada yang kalian minta tadi siang?”

“Tentu saja, wahai Rasulullah,” jawab mereka.

“Jibril mengajariku beberapa kalimat. Bacalah tasbih (subhรขnallรขh) 10 kali, tahmid (al-hamdulillรขh) 10 kali, dan takbir (Allรขhu akbar) 10 kali, seusai shalat fardu. Dan bila kalian hendak tidur, bacalah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 33 kali!”

“Sejak malam itu,” Ali menuturkan, “aku tidak pernah meninggalkan wiridan yang diajarkan Rasulullah.”

Kelak di kemudian hari, wirid itu dikenal dengan nama “Wirid Fatimah”.

Pada kesempatan yang lain, Rasulullah Saw. mengunjungi rumah Fatimah Al-Zahra. Beliau melihat putrinya sedang menggiling gandum di penggilingan batu sambil menangis. Tentu saja Rasulullah heran dan bertanya, “Putriku, mengapa engkau menangis?”

“Duhai Ayah, aku menangis karena batu penggilingan ini, dan juga karena beratnya pekerjaan rumah,” ujar Fatimah, “bagaimana jika Ayah meminta kepada Ali untuk membelikanku seorang budak perempuan untuk membantu pekerjaan rumah?”

Rasulullah Saw. yang sedari tadi duduk di dekat Fatimah berjalan mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil setangkup gandum dengan tangannya yang penuh berkah, lalu meletakkan gandum itu kembali di penggilingan, seraya membaca bismillรขhir-rahmรขnir- rahรฎm. Dengan izin Allah, penggilingan itu berputar sendiri menggiling gandum. Bahkan, si batu itu bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang berbeda-beda.

Ketika dirasa sudah beres menggiling, Rasulullah Saw. berkata kepada batu itu, “Diamlah engkau, dengan izin Allah!” Seketika itu juga batu penggilingan itu tak bergerak. Namun, tak lama kemudian, si batu itu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih, “Wahai Rasulullah, demi Allah yang telah mengutusmu dengan benar sebagai nabi dan rasul, sekiranya engkau memerintahkanku untuk menggiling gandum yang ada di Timur dan Barat, niscaya akan kulakukan. Sungguh, aku telah mendengar firman Allah dalam kitab-Nya, Wahai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang dijaga malaikat yang kuat dan keras yang tidak pernah menyalahi semua perintah Allah kepada mereka. Mereka selalu melaksanakan semua perintah-Nya (QS Al-Tahrรฎm [66]: 6). Sungguh aku sangat takut, wahai Rasulullah, aku takut menjadi batu yang masuk neraka.”

Rasulullah Saw. menjawab, “Bergembiralah, karena kau termasuk batu yang akan menjadi bagian istana Fatimah kelak di surga.” Batu itu merasa gembira mendengarnya dan akhirnya ia diam.

Kemudian Baginda Nabi berkata kepada putrinya, “Wahai Fatimah, sekiranya Allah berkehendak, niscaya batu ini akan berputar sendiri untukmu. Tetapi, Allah ingin menuliskan kebaikan bagimu, menghapus kejelekanmu, dan mengangkat derajatmu, karena kau menggiling gandum dengan tanganmu sendiri. Putriku, siapa pun wanita yang memasak untuk suami dan anak- anaknya, Allah akan menuliskan baginya dari setiap biji yang dimasaknya satu kebaikan dan menghapus darinya satu keburukan serta mengangkat baginya satu derajat ….” Wallรขhu a‘lam.


๐Ÿ“š 25. Wanita Penghuni Surga
Seorang wanita datang menemui Rasulullah Saw. membawa anaknya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, anakku ini sakit dan aku takut kehilangan ia. Sungguh, aku telah kehilangan tiga anakku sebelumnya.”

Rasulullah Saw. berkata, “Sesungguhnya kamu terlindung dengan tabir yang amat kukuh dari panasnya api neraka.”

Sabda Nabi Saw. itu mengandung arti bahwa setiap wanita yang ditinggal mati anaknya, kemudian ia bersabar atas ketentuan Allah tersebut, niscaya Allah memasukkannya ke surga.

Di lain hari seorang wanita miskin menemui Aisyah r.a. sambil membawa dua anak perempuannya. Aisyah r.a. memberinya tiga butir kurma. Wanita itu memberi kedua anaknya masing-masing sebutir kurma, dan satu lagi untuk dirinya. Namun, ketika si wanita ini hendak memakannya, kedua anaknya itu memintanya lagi. Akhirnya, ia membelah kurma itu dan membagikannya kepada kedua anaknya.

Melihat pemandangan itu, Aisyah r.a. takjub dan mengagumi wanita itu. Kemudian, ia menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. dan beliau berkata, “Dengan perbuatannya itu, sungguh Allah akan menghadiahkan surga untuknya atau Dia akan membebaskannya dari siksa api neraka.”

Kisah berikut ini masih tentang wanita penghuni surga. Suatu hari Rasulullah Saw. shalat di masjid seorang diri. Tiba-tiba, seorang wanita Badui lewat dan melihatnya dan ia pun shalat di belakang Rasulullah Saw., tetapi beliau tidak mengetahuinya. Dalam shalatnya, Rasulullah Saw. membaca ayat: Jahanam itu memiliki tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka (QS Al-Hijr [15]: 44).

Mendengar ayat itu dibacakan, sontak wanita Badui itu jatuh pingsan dan Rasulullah Saw. mendengarnya terjatuh di tanah. Maka, usai shalat Rasulullah Saw. pergi dan meminta air, lalu dibasuhkan ke muka wanita itu hingga ia tersadar dan duduk.

Rasulullah Saw. bertanya, “Hai Wanita, apa yang terjadi padamu?” Ia menjawab, “Aku jatuh pingsan karena mendengar kitab Allah yang di turunkan. Apa kah masing-masing anggota tubuh ku akan disiksa di salah satu pintu itu?”

“Bahkan tiap-tiap pintu telah ditetapkan untuk golongan tertentu dari mereka. Penghuni tiap-tiap pintu disiksa berdasarkan amal mereka,” ujar Rasulullah Saw.

“Demi Allah, aku wanita yang miskin, hanya memiliki tujuh anak. Aku mempersaksikan kepadamu, wahai Rasulullah, bahwa masing-masing mereka yang ada di tiap-tiap pintu Neraka Jahanam dapat mengharap wajah Allah Taala.”

Jibril turun menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, berilah kabar gembira kepada wanita Badui ini, karena Allah telah mengampuninya dan mengharamkannya pintu-pintu Jahanam serta membukakan pintu surga.”


๐Ÿ“š 26. Rasulullah dan Anak Yatim
Suatu pagi, usai shalat Idul Fitri, seperti biasanya, Rasulullah Saw. mengunjungi rumah demi rumah untuk mendoakan kaum Muslim. Mereka semua tampak senang dan bahagia terutama anak-anak. Mereka bermain sambil berlari-lari mengenakan pakaian bagus. Tiba-tiba, Rasulullah Saw. melihat di ujung jalan seorang gadis kecil duduk bersedih. Ia terlihat memakai pakaian tambal-tambal dan sepatu usang.

Rasulullah Saw. bergegas menghampirinya. Gadis kecil ini menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya, lalu menangis tersedu-sedu. Rasulullah meletakkan tangannya dengan penuh kasih pada kepala gadis kecil itu seraya bertanya dengan suara yang lembut, “Anakku, mengapa kamu menangis? Ini adalah hari raya bukan?”

Gadis kecil itu terkejut. Tanpa berani mengangkat kepala dan melihat siapa yang bertanya, ia menjawab terbata-bata, “Di hari raya ini semua anak merayakannya penuh gembira bersama orangtuanya. Semua anak bermain senang. Namun, aku teringat ayahku yang telah tiada. Karena itulah aku menangis. Hari raya terakhir, ia masih ada bersamaku. Ia membelikanku gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Saat itu, aku sungguh berbahagia.

Lalu, suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah hingga ia terbunuh. Kini, ayahku tiada. Aku menjadi anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu untuk siapa lagi?”

Mendengar penuturan gadis itu, seketika hatinya diliputi duka yang mendalam. Dengan penuh kasih sayang, beliau membelai kepalanya seraya berkata, “Anakku, hapuslah air matamu … apakah kau ingin aku menjadi ayahmu? Apakah kau suka jika Fatimah menjadi kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu? Bagaimana, Anakku?”

Mendengar kata-kata itu, si gadis terhenyak dan berhenti menangis. Ia memandang takjub orang yang ada di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia adalah Rasulullah Saw., orang yang baru saja menjadi tempat curahan duka dan kesedihannya.

Tentu saja ia sangat senang mendengar penawaran Rasulullah, tetapi entah mengapa, ia tidak bisa berkata sepatah kata pun. Ia hanya bisa menganggukkan kepala perlahan sebagai tanda setuju.

Kemudian, ia berjalan bergandengan tangan dengan Rasulullah Saw. ke rumah beliau. Hatinya diliputi kebahagiaan yang sulit dilukiskan, karena ia diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah Saw. yang lembut bagai sutra.

Tiba di rumah, Fatimah membersihkan wajah dan kedua tangan gadis kecil itu lalu menyisir rambutnya. Ia dipakaikan gaun yang indah, diberi makanan, juga uang saku untuk hari raya. Kemudian ia diantar keluar, agar dapat bermain dengan anak-anak lain.

Tentu saja anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri itu. Dengan heran mereka bertanya, “Hai Gadis Kecil, apa yang terjadi padamu? Mengapa kau terlihat sangat senang?”

Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya, gadis kecil itu menjawab, “Akhirnya aku punya seorang ayah! Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya. Siapa yang tidak bahagia memiliki ayah seperti Rasulullah? Aku juga punya seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan memakaikan gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”


๐Ÿ“š 27. Dan, Rasulullah pun Menangis
Suatu hari Rasulullah Saw. dan beberapa sahabat berjalan untuk melihat putra beliau, Ibrahim, yang sedang sakit bersama ibu susuannya. Saat melihat putranya, beliau langsung memeluk dan menciuminya. Beberapa saat kemudian para sahabat memasuki kamar Ibrahim. Namun, mereka tak sempat bertemu dengannya karena Ibrahim yang mulia telah meninggal dunia. Kejadian ini me ninggalkan duka kepedihan yang sangat dalam di hati Rasulullah Saw. Kedua mata beliau terus meneteskan air mata.

Abdurrahman ibn Auf bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau menangis?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Sesungguhnya tangisan adalah rahmah … kedua mata ini menangis ketika hati berduka. Dan tidaklah kami mengatakan apa-apa kecuali apa-apa yang diridhai Tuhan kami. Wahai Ibrahim, kami sungguh berduka dengan kepergianmu.”

Rasulullah Saw. juga pernah menangis usai Perang Uhud. Setelah peperangan berakhir, dan pasukan Quraisy pulang ke Makkah, Rasulullah Saw. menyuruh para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur di medan perang. Ada banyak kaum Muslim yang gugur dalam peperangan hebat itu, salah seorang di antara mereka adalah Hamzah, paman Nabi Saw. Mereka kumpulkan jasad kaum Muslim untuk dikuburkan. Setelah beberapa saat, mereka menemukan jasad Hamzah di dasar lembah dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Mereka bergegas memberi tahu Rasulullah Saw. Beliau menangis sedih ketika melihat kondisi jasad pamannya yang sangat mengenaskan—perutnya berlubang ditembus lembing milik Wahsyi dan dadanya terkoyak lebar disobek pisau milik Hindun yang kemudian merenggut jantungnya, mengunyahnya, dan memuntahkannya lagi. Ibn Mas‘ud menuturkan suasana saat itu.

“Kami belum pernah melihat Rasulullah Saw. menangis sesedih itu. Beliau meletakkan jasad Hamzah ke arah kiblat. Lalu, beliau berdiri di sampingnya dan menangis tersedu-sedu.”

“Seandainya Shafiyyah, saudari Hamzah, tidak akan bersedih atau kalau saja aku tidak khawatir tindakanku akan menjadi Sunnah, pasti sudah kutinggalkan jenazahnya hingga dimakan binatang buas atau dimakan burung,” ujar Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw. berkata seperti itu karena tidak tahan melihat kondisi jenazah pamannya.

Ibn Mas‘ud juga menuturkan hadis lain tentang tangisan Rasulullah Saw. Suatu ketika Rasulullah Saw. duduk bersama Abdullah ibn Mas‘ud, lalu beliau berkata, “Bacakanlah Al-Quran untukku!”

“Bagaimana aku membacakannya kepada Tuan, sedangkan Al-Quran diturunkan kepada Tuan?” tanya Ibn Mas‘ud.

“Aku senang mendengarnya dari orang lain,” jelas Rasulullah Saw.

Maka, Abdullah ibn Mas‘ud pun membacakan Surah Al-Nisรข’ dari awal surah hingga ayat 41: Maka bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkanmu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)?

Saat mendengar ayat itu dibacakan, Rasulullah Saw. berujar, “Cukup!”

Ibn Mas‘ud menghentikan bacaannya dan melihat kedua mata beliau meneteskan air mata.


๐Ÿ“š 28. Sayangilah, Niscaya Kau Disayangi
Suatu ketika Rasulullah Saw. mencium cucunya, Al-Hasan ibn Ali r.a. Saat itu, seorang sahabat, Al-Aqra’ ibn Harits Al-Tamimi ada di samping beliau. Menyaksikan betapa Rasulullah sangat mengasihi cucunya, Al-Aqra’ berkata, “Aku punya sepuluh anak, tetapi tidak pernah aku mencium seorang pun di antara mereka.”

Rasulullah Saw. berujar, “Barangsiapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.”

Dalam kesempatan yang lain, seorang Arab Badui menemui Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku melihatmu menciumi anak-anak kecil, sementara kami tidak pernah melakukannya!”

Rasulullah Saw. berkata, “Sungguh aku tidak punya kuasa sedikit pun untuk menolongmu seandainya Allah mencabut rahmat dari hatimu.”

Rasulullah Saw. merupakan sosok yang penuh kasih sayang. Setiap kali seseorang datang menemui beliau, pasti beliau memberinya harapan dan akan memenuhi harapannya jika beliau mampu dan memiliki apa yang diinginkan orang itu.

Salah seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis beliau, yakni Anas ibn Malik r.a. mengatakan, “Tidak pernah aku melihat orang yang paling mengasihi fakir miskin dibanding Rasulullah Saw.”

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang punya rahmat pasti akan dirahmati Al-Rahmรขn Tabรขraka wa Ta‘รขlรข. Rahmatilah makhluk di bumi, niscaya kalian akan dirahmati Dia yang di atas langit” (HR Ahmad).


๐Ÿ“š 29. Kasih Sayang Allah Lebih Besar
Setelah Perang Hawazin berakhir, sejumlah tawanan yang terdiri atas anak-anak dan para wanita dihadapkan kepada Rasulullah Saw. dan beliau memperhatikan mereka.

Lalu, beliau dan para sahabat melihat seorang tawanan wanita tampak sibuk sendiri. Ia melangkah ke sana kemari mencari-cari putranya, belahan jiwanya. Ia tampak terguncang, berteriak-teriak, dan bertingkah seperti orang gila. Ia datangi setiap anak kecil yang sedang disusui ibunya.

Ia periksa wajah mereka satu per satu. Payudaranya hampir saja pecah karena air susu yang tertahan. Ia berharap putranya ada di sisinya sehingga ia bisa memeluk dan menciuminya sepuas-puasnya, meskipun untuk itu ia harus korbankan nyawanya.

Beberapa saat kemudian, sang ibu menemukan putranya. Seketika, air matanya mengering, akal sehatnya kembali lagi. Ia langsung meraih dan mendekapkannya ke dadanya. Tangisan anak itu membuat kasih sayangnya meluap-luap. Sang anak dipeluk dan dicium dengan lembut, lalu dirapatkan ke dadanya dan ia sodorkan payudaranya.

Rasulullah Saw. yang sangat penyayang dan pengasih melihatnya dengan tatapan penuh kasih. Beliau melihat sang ibu sangat letih. Begitu lama ia menanggung kerinduan yang sangat dalam kepada putranya. Derita ibu dan anak itu sungguh teramat besar. Para sahabat yang duduk bersama Rasulullah Saw. pun melihat tingkah ibu dan anak itu. Setelah si ibu terlihat tenang, Rasulullah berpaling kepada para sahabat dan bertanya, “Menurut kalian, apakah ibu itu akan rela jika anaknya dilemparkan ke dalam kobaran api?”

Para sahabat terkejut mendengar pertanyaan Rasulullah Saw. Bagaimana mungkin si ibu melempar anaknya ke dalam api? Bukankah anaknya itu adalah belahan jiwanya? Bagaimana bisa ia lemparkan anaknya ke dalam siksa? Mereka melihat ibu itu sangat mengasihi putranya sehingga mengabaikan penderitaan dirinya sendiri. Ia menciumi, memeluk, dan membasahi wajah anaknya dengan cucuran air matanya. Bagaimana mungkin ia melemparkan anaknya ke dalam api, padahal ia adalah ibu yang penuh kasih sayang?

Mereka menjawab, “Tentu saja tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah, ibu itu pasti tidak akan rela. Ia tidak akan pernah bisa melakukannya.”

Rasulullah Saw. berkata, “Nah, kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya lebih besar dibanding kasih sayang ibu itu kepada anaknya.”


๐Ÿ“š 30. Memenuhi Undangan Tetangga
Setelah pernikahan Rasulullah Saw. dan Aisyah r.a. diresmikan pada tahun kedua Hijriah, pasangan suami-istri itu pindah ke rumah (lebih tepatnya bilik) baru, yaitu ke salah satu bilik di samping Masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah Saw. dari tanah liat dan beratapkan anyaman pelepah kurma. Tidak ada perlengkapan berharga di dalam bilik itu. Di dalamnya hanya ada sebuah tempat tidur dari kulit yang disamak, diisi bulu, dan di pintu bilik digantungkan tirai dari bulu.

Suatu hari, Rasulullah Saw. sedang bersama Aisyah r.a. di rumahnya. Ketika mengetahui bahwa Rasulullah Saw. ada di rumah Aisyah r.a., salah seorang tetangganya, yang berasal dari Persia dan dikenal piawai memasak segera menyiapkan hidangan. Setelah hidangan siap, ia lalu menemui dan mengundang Rasulullah Saw. untuk menyantap hidangan masakannya. Karena saat itu sedang bersama istri tercinta, beliau bertanya kepada orang Persia itu, “Saudaraku, apakah Aisyah istriku, juga diundang?”

“Tidak, wahai Rasulullah,” jawab orang Persia itu. Ternyata, ia menyiapkan hidangan itu hanya untuk beliau.

Mendengar jawaban orang Persia itu, Rasulullah Saw. berkata kepada sang istri tercinta, “Wahai Aisyah, engkau tidak diundang.”

Merasa sungkan menerima undangan tanpa mengajak istri tercinta, Rasulullah Saw. lantas menolak dengan halus undangan tetangganya itu. Merasa ingin sekali rumahnya didatangi Rasulullah Saw., orang itu mengundang lagi beliau untuk mencicipi hidangan yang telah disiapkan di rumahnya.

Rasulullah Saw. yang tidak biasa menolak undangan, bertanya kepada orang Persia itu dengan ramah dan santun, “Wahai Saudaraku, apakah Aisyah, istriku, juga diundang?”

“Tidak, wahai Rasulullah,” jawaban orang Persia itu sama seperti sebelumnya. Ia sama sekali tidak peka terhadap perasaan Rasulullah Saw. kepada istrinya tercinta. Beliau enggan memenuhi undangan tetangganya itu dan meninggalkan istrinya seorang diri di rumah.

Mendengar jawaban tetangga Persia tersebut, Rasulullah Saw. berkata kepada sang istri tercinta, “Wahai Aisyah, engkau tidak diundang.” Untuk kali kedua, beliau pun menolak dengan halus undangan itu. Rasulullah Saw. enggan menerima undangan tanpa mengajak Aisyah.

Namun, orang Persia ini bersikukuh ingin dikunjungi Rasulullah Saw., karena kedatangan beliau menjadi kehormatan baginya. Maka, untuk kali ketiga, ia mengundang lagi Rasulullah Saw. agar berkenan mencicipi hidangan yang telah disiapkannya.

Dan, untuk ketiga kalinya pula Rasulullah Saw. bertanya kepada orang Persia itu dengan ramah dan santun, “Apakah Aisyah, istriku, juga diundang?”

“Ya, wahai Rasulullah!” Tetangga Persia itu merasa bersalah dan menyesali kebodohannya.

Mendengar jawaban si tetangga Persia itu, Rasulullah Saw. langsung mengiyakan dan menyatakan akan segera mengunjungi rumah tetangganya itu. Beberapa saat kemudian, Rasulullah dan istrinya, Aisyah r.a. berjalan menuju rumah orang Persia itu.


๐Ÿ“š 31. Pemberian Nama yang Indah
Betapa senang Abu Usaid di hari itu, karena ia baru saja dikaruniai oleh Allah Swt. seorang putra. Saat bayinya lahir dengan selamat, Abu Usaid langsung ingat apa yang dilakukan Al-Zubair ibn Al-Awwam dan istrinya, Asma binti Abu Bakar. Suami-istri ini dikaruniai seorang putra bernama Abdullah, yang kelahirannya disambut penuh suka cita oleh kaum Muslim. Mereka bergembira karena kelahiran Abdullah mematahkan ramalan yang disebarluaskan kaum Yahudi bahwa kaum Muslim tidak akan pernah memiliki keturunan selama menetap di Madinah.

Abu Usaid pun ingat bagaimana pasangan itu membawa bayi mereka kepada Rasulullah Saw. agar beliau menyuapkan makanan awal dari kunyahan beliau kepada bayi mereka, kemudian memberinya nama yang indah.

Maka, Abu Usaid bergegas membawa bayinya kepada Rasulullah Saw. Kebetulan saat itu beliau sedang ada di masjid bersama para sahabat. Betapa gembira beliau melihat Abu Usaid yang datang membawa bayinya. Rasulullah Saw. langsung mengambil bayi itu dan meletakkan di pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk di samping beliau.

Namun, tidak lama kemudian tiba-tiba Rasulullah Saw. menyerahkan kembali sang bayi kepada Abu Usaid. Beliau berdiri dan meninggalkan masjid menuju rumah salah seorang istrinya. Tentu saja, Abu Usaid bingung melihat tindakan beliau. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan apa yang beliau kehendaki. Ia terpaku diam ketika salah seorang sahabat menggendong bayinya.

Belum lenyap kebingungannya, tiba-tiba Rasulullah Saw. datang lagi ke masjid, mendekatinya, dan berkata, “Wahai Abu Usaid, di mana bayi tadi?”

“Itu, wahai Rasulullah,” ujar Abu Usaid.

Setelah menerima kembali bayi itu, Rasulullah Saw. menyuapinya dengan kunyahan kurma yang beliau ambil dari rumah salah seorang istri beliau, kemudian mengusap bayi itu dan mendoakannya.

“Siapa nama bayi ini?” tanya Rasulullah Saw.

“Fulan, wahai Rasulullah,” jawab Abu Usaid.

“Jangan! Berilah ia nama ‘Al-Mundzir’,” saran Rasulullah Saw.

Maka, Abu Usaid pun memberi nama putranya itu dengan nama indah yang diberikan Rasulullah Saw.: “Al- Mundzir”.


๐Ÿ“š 32. Cinta Rasulullah kepada Keluarganya
Ummul Mukminin, Aisyah r.a. menuturkan, “Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling mirip keadaannya dengan Rasulullah Saw. dalam cara berdiri dan cara duduknya seperti Fatimah, putri beliau. Bila ia datang, Rasulullah segera berdiri menyambutnya, menciumnya, dan mendudukkannya di tempat duduknya.”

Begitu sering Rasulullah Saw. mencium Fatimah sehingga Aisyah r.a. pernah menegurnya. Namun, Rasulullah yang mulia menjawab, “Wahai Aisyah, kalau aku merindukan surga, aku akan mencium Fatimah.”

Bahkan, Rasulullah Saw. mengungkapkan kecintaannya kepada putrinya di hadapan para sahabatnya. Beliau sering berujar, “Sesungguhnya Fatimah adalah belahan jiwaku. Siapa pun menyakitinya, berarti ia menyakitiku.

Siapa pun membuatnya marah, berarti ia membuatku marah.”

Rasulullah Saw. juga sangat mencintai cucu kesayangannya, Al-Hasan dan Al-Husain. Ibn Abbas r.a. bercerita, “Suatu hari, ketika kami berkumpul bersama Rasulullah, Fatimah datang sambil menangis. Tentu saja, Rasulullah kaget dan bertanya, ‘Biarlah Ayahmu ini menjadi tebusanmu, mengapa engkau menangis Putriku?’ Fatimah menjawab, ‘Al-Hasan dan Al-Husain pergi keluar rumah dan aku tidak tahu di mana mereka saat ini.’

Rasulullah berkata, ‘Jangan menangis, karena pencipta mereka lebih menyayangi mereka daripada engkau dan aku.’ Jibril pun turun dan berkata, ‘Wahai Muhammad, jangan berduka. Mereka ada di perkampungan Bani Najjar. Keduanya tertidur. Allah telah mengutus malaikat untuk menjaganya.’

Kemudian Rasulullah Saw. beserta beberapa sahabat berangkat menuju perkampungan Bani Najjar. Mereka mendapati keduanya tidur berpelukan dan malaikat menaungi mereka dengan kedua sayapnya. Rasulullah Saw. mengambil mereka dan memeluknya hingga mereka terbangun. Beliau meletakkan Al-Hasan di bahu kanannya dan Al-Husain di bahu kirinya. Abu Bakar yang melihatnya berkata, ‘Wahai Rasulullah, berikan salah seorang anak itu untuk kugendong.’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Alangkah indahnya kendaraan mereka dan alangkah indahnya para penunggangnya.’

Tiba di masjid, beliau berdiri dengan Al-Hasan dan Al-Husain masih berada di kedua bahunya. Kemudian beliau berkata, ‘Wahai Muslim, maukah kutunjukkan kepada kalian orang yang paling baik, kakek dan neneknya?’ Mereka menjawab, ‘Tentu saja, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Al-Hasan dan Al-Husain. Kakek mereka Rasulullah, penutup para rasul, dan nenek mereka Khadijah binti Khuwailid, penghulu wanita ahli surga.’”

Suatu hari, Al-Hasan dan Al-Husain melihat rombongan kafilah lewat dan mereka melihat seorang anak kecil di atas seekor unta. Mereka pun merengek kepada sang kakek, Rasulullah Saw., agar bisa naik unta. Maka, Rasulullah Saw. membungkuk menjadikan tubuh beliau bagaikan unta dan menyuruh keduanya naik ke punggung. Kemudian, beliau merangkak keliling ruangan sehingga mereka tertawa-tawa senang. Kelak, beliau mengatakan betapa bahagianya menjadi tunggangan anak-anak yang sangat dicintainya.

Di lain kesempatan, Rasulullah Saw. pernah memanjangkan sujud ketika shalat isya sehingga jamaah menyangka beliau sedang menerima wahyu. Usai shalat, beliau menjelaskan, “Tidak, bukan karena itu. Anakku menunggangi punggungku. Aku tidak ingin menyegerakan sujudku sebelum ia memenuhi hajatnya.”


๐Ÿ“š 33. Tempat Orang Kikir dan Dermawan
Aisyah r.a. menuturkan bahwa seorang wanita muda menghadap Rasulullah Saw. mengeluhkan tangan kanannya yang kaku tak dapat digerakkan. Ia berkata,

“Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar tanganku sembuh seperti sedia kala.”

“Apa yang menyebabkan tanganmu seperti ini?” tanya Rasulullah Saw.

“Aku bermimpi Kiamat tiba. Neraka Jahanam menyala-nyala. Pintu-pintu surga telah dibuka. Lalu, aku melihat ibuku berada di tepi Neraka Jahanam. Pada salah satu tangannya ada sepotong lemak hewan, dan di tangan lainnya sepotong kain yang dipakai untuk menangkis kobaran api yang menyambar-nyambar. ‘Mengapa Ibu berada di tepi neraka? Padahal, Ibu taat kepada Allah dan ayah ridha kepadamu,’ aku bertanya kepada ibuku. ‘Anakku, ketika di dunia aku adalah orang yang kikir! Tempat ini diperuntukkan bagi orang yang kikir,’ begitu ibuku menjawab. ‘Apakah lemak dan kain yang ada di tanganmu itu?‘Kedua benda inilah yang pernah ibu sedekahkan selama di dunia. Hanya kedua benda inilah yang pernah kusedekahkan sepanjang hidupku.’ ‘Lalu, di manakah Ayah?’

‘Ayahmu berada di surga. Ia orang yang dermawan. Surga diperuntukkan bagi orang dermawan.’ Lalu, aku pergi ke surga menemui ayahku. Ternyata, ia sedang berdiri di sisi telaga, memberi minum orang-orang.

Lantas aku berkata, ‘Ayah, ibuku adalah istrimu yang taat kepada Allah dan engkau ridha kepadanya. Sekarang, ia berada di tepi Jahanam. Api berkobar-kobar menyambar tubuhnya, sedangkan di sini Ayah memberi minum orang lain dari telaga Nabi. Berilah ibu seteguk air dari telaga ini!’

‘Wahai Putriku, Allah telah mengharamkan telaga Nabi ini untuk orang yang kikir dan berdosa,’ jawab ayahku.

Lalu, aku mengambil segelas air telaga itu tanpa seizin ayahku dan membawanya ke Neraka Jahanam. Aku meminumkannya kepada ibuku yang sangat kehausan.

Tiba-tiba, aku mendengar suara, ‘Mudah-mudahan Allah menjadikan kaku tangan orang yang memberi minum orang kikir dengan air dari telaga Nabi!’

Sejak saat itulah tanganku menjadi kaku, wahai Rasulullah.”

Mendengar kisah wanita itu, Rasulullah Saw. meletakkan serbannya ke tangan wanita itu dan mendoakannya, “Ya Allah, demi kebenaran mimpi yang diceritakannya, sembuhkanlah tangan wanita ini!” Seketika, tangan wanita itu kembali bisa digerakkan.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam