Bagian 3. Pernikahan Barokah



📚 Buku Ya Allah, Bimbing Hamba Menjadi Wanita Salehah



📚 16. Pernikahan, Buah Cinta Sejati 📚 17. Tiga Ciri Wanita Penuh Berkah 📚 18. Menawarkan Diri untuk Lelaki Saleh 📚 19. Ta’aruf 📚 20. Nazhar 📚 21. Khitbah 📚 22. Akad Nikah 📚 23. Resepsi Pernikahan (Walimatul ‘Urs)


📚 16. Pernikahan, Buah Cinta Sejati


Suatu hari, seorang lelaki menemuiku. Sejak SMP kami saling mengenal. Tetapi hanya saling mengenal sebagai kawan. Tak lebih. Hingga di pertengahan kuliahku, kami kembali dipertemukan oleh Allah. Ia mengungkapkan sebuah kalimat yang sangat mengagetkanku.

“Aisy, ana uhibbuki fillah.” (Aisy, aku mencintaimu karena Allah.)

Glek. Saya benar-benar kaget. Namun ku tak menunjukkan ekspresi apa pun padanya. Datar. Sungguh-sungguh wajahku datar. Meskipun dalam hati, aku girang bukan main, karena sejak lama aku juga menyimpan perasaan yang sama sepertinya. Tak lama, sebuah kalimat kemudian meluncur begitu saja dari lidahku,

“Kok bilangnya ke aku? Kalau serius, bilang donk ke ayahku.”

Usai mengatakan kalimat itu, jujur, aku nyesel bukan main. Penyesalanku makin menjadi-jadi ketika kutahu, ia langsung meninggalkanku tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Aduh, kenapa kubilang kayak gitu. Bukankah ini kesempatan untuk dekat dengannya. Apa aku menyinggungnya dengan kalimat itu.” Otakku terus mengumandangkan kalimat-kalimat penyesalan.

Tapi penyesalan itu tak bertahan lama ketika aku segera tersadar, bahwa cinta sejati harus dibuktikan. Pembuktian cinta itu tak cukup hanya dengan mengatakan ‘I Love You’, meski kalimatnya sudah diganti olehnya menjadi ‘Ana uhibbuki fi llah’, tapi intinya kan sama saja: pengungkapan cinta. Karena ayahku pernah berpesan, “Aisy, kalau ada lelaki yang benar-benar menyayangi Aisy, pasti ia akan datang untuk melamar Aisy. Jadi nggak usah bingung mencari tahu mana lelaki yang serius dan yang tidak.” Alhamdulillah, aku bersyukur karena telah mengamalkan petuah bijak ayahku.

Esok harinya, bertepatan dengan hari Sabtu. Ketika kami sekeluarga berkumpul di rumah, (karena kuliahku libur, ayahku juga libur kerja), lelaki itu tiba-tiba datang ke rumah. Dia berhasil mengagetkanku untuk kedua kalinya. Usai kupersilakan dia masuk, seperti biasa, ayahku selalu menemaniku saat menerima tamu laki-laki.

Setelah beberapa saat ngobrol basa-basi, ia kemudian mengganti ekspresi wajahnya dengan tampang yang serius. Sangat dewasa.

“Maaf, Pak sebelumnya. Jika Bapak tak keberatan, saya minta izin untuk menikahi putri Bapak.”

Ya Allah, nih anak, suka sekali bikin jantungku copot. Tiga kali sudah dia mengagetkanku. Ayahku tersenyum. Kuyakin dalam benaknya timbul rasa kagum pada pemuda ini. Ya, pemuda itu usianya baru 22 tahun. Ia telah berani mengambil sikap yang melampaui kakak-kakak kelasku yang lebih suka menghabiskan jatah umurnya dalam bingkai pacaran. Pemuda ini melamarku.

Saudariku. Bagaimana menurutmu cara seorang pria membuktikan bahwa ia benar-benar serius mencintai kita? Apakah dengan mengatakan kalimat klise ‘aku sayang kamu’? Atau dengan tawaran penuh rayu ‘apakah kamu mau jadi pacarku?’

Tidak. Islam tak mengajari umatnya untuk mengambil langkah salah dalam mengekspresikan perasaan cinta. Cinta itu fi trah yang sudah melekat pada diri manusia. Cinta itu suci, karena berasal dari Zat yang Mahasuci.

Jangan sampai kita menodai kesucian cinta dengan cara melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan batasan syar’i.

Cinta yang hanya terimplementasi melalui cara-cara yang tidak sesuai dengan aturan Islam hanya akan berakhir dalam lubang dosa. Budaya pacaran yang selama ini dijadikan sebagai kebiasaan bagi para remaja bukanlah sebuah tradisi yang diajarkan dalam Islam. Islam begitu menjaga pergaulan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan untuk menyelamatkan umatnya dari jaring-jaring setan yang terkadang sangat halus hingga tak terasa sedikit pun, kalau kita sudah tergoda.

Sungguh disayangkan, masih begitu banyak orang yang salah paham mengenai proses menjadi jodoh yang benar. Mereka mengabaikan aturan Islam yang sempurna ini. Mereka lupa bahwa Islam telah mengajarkan sikap-sikap yang sangat indah dalam rangka meraih jodoh yang diridhai-Nya.

Mari kita ingat, beberapa saat yang lalu pertelevisian kita menyajikan sebuah acara pencarian jodoh yang tak wajar. Bayangkan, 30 perempuan berusia 20–40 tahun single, datang ke stasiun televisi untuk mencari pasangan, bisa untuk suami, pacar, atau sekadar coba-coba. Di setiap episodenya, ada 7 pria single yang keluar satu demi satu untuk dipilih dan memilih para perempuan itu.

Acara ini cukup sukses di Indonesia. Ratingnya terbilang tinggi. Iklannya juga cukup membludak. Suksesnya acara ini, kemudian memunculkan acara serupa yang berisi kebalikannya, yakni 30 pria single dan 7 perempuan single di setiap episodenya.

Lalu apa yang janggal? Lihat saja gaya berbusana para perempuan di acara itu. Atas bawah terbuka semua. Hanya di bulan Ramadhan dan awal Idul Fitri saja mereka berpakaian yang agak tertutup.

Itu baru dilihat dari segi gaya busana. Tak hanya itu. Cara memilih pasangan, juga dilakukan secara primitif. Kok bisa? Silakan amati, bagaimana cara mereka memilih jodoh. Apa kriteria utamanya? Fisik, itu yang utama pria memilih perempuan. Meskipun yang perempuan cerdas, tapi kalau nggak cantik dan langsing, jangan harap perempuan itu bakal terpilih. Selain itu, jenis pekerjaan, itu pilihan utama perempuan dalam memilih si pria. Profesi direktur dan pemilik sebuah perusahaan, bisa dipastikan hampir semua perempuan menyalakan lampunya agar dipilih oleh si pria. Lalu bagaimana dengan kriteria iman dan takwa? Tak sedikit pun mendapat perhatian.

Ada pula yang sudah tunangan dan menganggap bahwa tunangan adalah masa di mana sepasang kekasih dibebaskan bergaul tanpa batas. Mereka memperlama masa tunangan karena kekurangsiapannya dalam berumah tangga. Menurut mereka, mencari jodoh itu perlu interaksi langsung yang tidak sebentar, bahkan bertahun-tahun untuk lebih mengetahui lebih detail mengenai calon suami. Berlalulah waktu tunangan atau pacaran yang panjang itu dalam kubangan dosa dan tanpa kejelasan. Mungkin pada akhirnya ada yang berhasil menjadi pasangan suami istri, tapi percayalah, pernikahan yang sejak awal dibangun dengan dosa, keberkahannya akan berkurang. Bahkan bisa jadi akan hilang bobot ibadah dari sebuah pernikahan.

Mulai kini, mari kita pegang prinsip ini baik-baik: Seorang lelaki yang serius mencintaiku adalah lelaki yang datang menemui waliku untuk melamarku.

📚 17. Tiga Ciri Wanita Penuh Berkah


Rasulullah bersabda, “Salah satu tanda keberkahan wanita itu ialah cepat perkawinannya, cepat pula kehamilannya, dan ringan pula maharnya (mas kawinnya).” (HR. Ahmad Baihaqi).

Mempercepat Pernikahan

Pernikahan adalah fi trah kemanusiaan. Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, di khawatirkan akan mencari jalan-jalan yang diselewengkan oleh iblis.

Islam telah menjadikan ikatan pernikahan sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Tak hanya itu, bahkan penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan sangatlah besar, hingga ikatan nikah disebandingkan dengan separuh agama.

Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi.’” (Hadis Riwayat Th abrani dan Hakim).

Menikah adalah sunah terbaik dari sunah yang baik. Ketika seseorang menikah, berarti ia telah menjalankan sebuah sunah yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nikah merupakan jalan paling baik dan paling afdhal dalam rangka menjaga kehormatan diri. Melalui nikah inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Rasulullah saw., bersabda, “Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian telah mampu menikah, hendaklah ia menikah, yang demikian itu lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan.”

Rasulullah juga bersabda, “Ada tiga orang yang patut (berhak) ditolong oleh Allah, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk memerdekakan diri dengan membayar sejumlah tebusan, dan orang yang menikah karena hendak menjaga kehormatannya.” (HR. Tirmidzi)

Oleh sebab itulah Rasulullah sangat menganjurkan untuk mempercepat jalannya pernikahan, mempermudah menujunya, serta berupaya memberantas kendalanya. Akan tetapi, jika mereka belum memperoleh jalan untuk menikah karena berbagai kendala, hendaknya mereka berpegang pada tali kesucian dan kehormatan. Allah berfi rman,

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nur: 33).

Pernah suatu ketika tiga orang sahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau. Kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka.

Salah seorang berkata, “Saya akan puasa sepanjang masa tanpa putus.” Yang lain berkata, “Saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya.”

Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda, “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu? Sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan paling takwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur, dan aku juga mengawini perempuan. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, ia tidak termasuk golonganku.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Tidak Menunda Kehamilan

Pada dasarnya tujuan pernikahan adalah mewujudkan keluarga sakinah dan menjaga kedua pelah pihak dari perbuatan yang dilarang agama. Sedangkan untuk urusan anak, Islam menyerahkan keputusan tersebut kepada suami istri.

Di masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa sahabat ada yang menunda kehamilan. Rasulullah melarangnya. Dari sinilah para ulama mengambil istinbath bahwa usaha menunda kehamilan halal hukumnya. Yang dilarang adalah menggugurkan bayi yang telah bernyawa.

Hanya saja, yang perlu kita ingat bahwa anak merupakan karunia dari Allah tidak seharusnya ditunda kelahirannya. Ada begitu banyak orang yang bertahun-tahun mengharap kehadirannya tetapi tidak kunjung hadir, tetapi di sisi lain ada orang yang menundanya dengan berbagai alasan.

Memang ada beberapa pertimbangan pasangan yang baru menikah untuk menunda kelahiran anaknya, tapi yakinlah, masalah rezeki akan dibukakan pintu oleh Allah asalkan kita berusaha. Anak lahir membawa jatah rezekinya masing-masing. Allah pasti akan menolong hamba-hamba-Nya yang berikhtiar dan bertawakal kepadaNya.

Meringankan Maskawin

Islam sangat memudahkan umatnya untuk melaksanakan ajarannya. Sayangnya masih ada saja saudari-saudari kita yang mungkin karena gengsi ataupun adat, mereka mempersyaratkan mahar yang begitu mahal kepada calon suaminya. Padahal perilaku seperti itu tidak sejalan dengan apa yang telah digariskan oleh Rasulullah kepada umatnya. Beliau sangat meringankan umatnya untuk berbuat kebaikan, dan nikah adalah salah satu ibadah yang utama. Rasulullah bersabda, “Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridha terhadap akhlak dan agamanya, nikahkanlah ia (dengan anak gadis kalian).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya itu saja syarat dari Rasul. Kalau sudah ridha dengan akhlak dan agamanya, jangan mencari alasan lain untuk menundanya. Bahkan dengan kalimat ekstrem Rasul mengatakan, “Carilah mahar meski hanya sebuah cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kualitas seorang muslimah tidak dinilai dari besar kecilnya mahal yang diterimanya. Mahar hanyalah sebagai salah satu rukun nikah yang tidak perlu dijadikan sebagai rukun yang merepotkan. Hendaknya wanita salehah justru meringankan maharnya.

Rasulullah juga telah memberi pengarahan kepada para wanita, beliau bersabda, “Sesungguhnya termasuk di antara wanita terbaik adalah yang paling ringan maharnya.” (HR. Ibnu Hibban dalam sahihnya)

Dalam kehidupan ulama masa lampau, pernikahan bukanlah perkara yang rumit. Bukan harta yang menjadi acuan untuk menerima atau menolak lamaran seseorang. Said bin Musayyab dengan ikhlas menikahkan putrinya yang sangat cantik dengan salah seorang muridnya yang miskin. Abdullah bin Abu Wada’ah, hanya dengan mahar tiga dirham. Mengapa? Karena beliau mengetahui si murid sekufu (setara) dengan putrinya dalam sisi agama, akhlak, dan ilmunya. Padahal sebelumnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengajukan pinangan untuk putra mahkotanya, Alwalid bin Abdul Malik. Namun, Sa’id bin Al-Musayyab menolak pinangan tersebut kendati beliau tahu pihak yang meminang mempunyai kedudukan dan kekayaan yang demikian besar. Akibat penolakan tersebut, beliau harus menanggung derita dan berbagai bentuk intimidasi dari penguasa zaman itu.

Jika para perempuan dan walinya tidak memperumit pernikahan dengan mahalnya mahar, semoga para lelaki saleh yang kebetulan berasal dari keluarga tidak mampu berani meminang dan melaksanakan ibadah yang mulia itu.

📚 18. Menawarkan Diri untuk Lelaki Saleh


Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan dirinya dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tertarik denganku?”

Putri Anas berkata, “Betapa sedikit rasa malu wanita itu.”

Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ia lebih baik daripadamu, ia tertarik kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia menawarkan dirinya.” (HR. Bukhari)

Ada sebuah cerita bagus dari Abdul Halim Abu Syuqqah dalam buku beliau, ‘Kebebasan Wanita’. Beliau menceritakan salah seorang temannya dari Al Jazair, ketika ia berkunjung ke Mauritania, ada seorang wanita yang datang kepadanya menawarkan diri untuk nikah dengannya.

Ketika dia merasa terkejut dan heran, wanita itu bertanya, “Apakah saya mengajak Anda untuk berbuat yang haram? Saya hanya mengajak Anda untuk menikah sesuai dengan sunah Allah dan Rasul-Nya.” Berangkatlah kami ke qadhi (pengadilan), dan terjadilah akad nikah dengan dihadiri dua orang saksi.

Menawarkan diri kepada pemuda saleh adalah perbuatan yang baik. Insya Allah jika pemuda yang dilamar itu tidak berkenan, ia pasti sangat menghormati usaha dan keberanian pihak wanita.

Jika kita membaca sirah nabawi, pernikahan Khadijah dengan Rasulullah justru berawal dari inisiatif Khadijah. Ia mengusulkan pernikahan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan menurut riwayat, mahar pernikahan agung itu juga berasal dari harta Khadijah.

Khadijah, satu di antara empat perempuan yang dimuliakan oleh Allah di surga ini, bukanlah janda yang jarang peminat. Awalnya Khadijah telah dilamar oleh raja-raja, para bangsawan, dan para hartawan. Tetapi Khadijah menolaknya dan justru memilih nikah dengan Muhammad yang miskin dan yatim. Keindahan akhlak Muhammad-lah yang telah mendorong Khadijah sehingga berinisiatif melamarnya.

Rabi’ah binti Ismail Asy-Syamiyah adalah salah satu istri dari Ahmad bin Abu Al-Huwari. Sebelum menikah dengan Ahmad bin Abu Al-Huwari, Rabi’ah telah menikah dengan seorang suami yang kaya. Setelah ditinggal wafat oleh suaminya, Rabi’ah memperoleh peninggalan harta warisan yang sangat besar. Ia merasa kesulitan menasharufkan (membelanjakan) hartanya untuk kemanfaatan Islam.

Nah, setelah beberapa lama menyaksikan akhlak Ahmad bin Abu Al-Huwari, Rabia’ah berpikir bahwa beliaulah orang yang tepat untuk menjalankan amanah. Rabi’ah memutuskan untuk meminang Syekh Ahmad bin Abu Al-Huwari agar berkenan memperistri dirinya.

Ketika mendapatkan pinangan dari Rabi’ah, Syekh Ahmad awalnya menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak berminat lagi untuk menikah. Sebab aku ingin berkonsentrasi dalam beribadah.”

Mendapat jawaban tersebut Rabi’ah kemudian berkata, “Syekh Ahmad, sesungguhnya konsentrasiku dalam beribadah lebih tinggi daripada engkau. Aku sendiri sudah memutuskan keinginan untuk tidak menikah. Tetapi tujuanku menikah kali ini tidak lain agar dapat menasharufkan harta kekayaan yang kumiliki kepada saudara-saudara yang muslim, dan untuk kepentingan Islam sendiri. Aku pun mengerti bahwa engkau adalah lelaki saleh. Tetapi, justru dengan begitu aku akan memperoleh keridhaan dari Allah Subhanallahu ta’ala.”

Mendengar jawaban dari Rabi’ah, Ahmad bin Abu Al-Huwari tidak segera memberikan jawaban. Ia memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu kepada gurunya, yakni Abu Sulaiman Ad-Darani. Usai mendengarkan penjelasan dari Syekh Ahmad, Ad-Darani berkata, “Baik lah, kalau begitu nikahilah dia. Karena perempuan itu adalah seorang wali.”

Ada lagi kisah. Kali ini tentang salah satu ummahatul mu’minin, Hafsah binti Umar. Sebelumnya ia pernah menikah dengan Khunnais bin Hadzafah as-Sami’. Ketika suaminya meninggal dalam perang Uhud, Umar menawarkan Hafsah kepada Abu Bakar dan Utsman, namun mereka menolak pinangan tersebut karena Rasulullah pernah menyebut-nyebutnya. Ketika Umar mengadukannya kepada Rasulullah, Rasulullah mengutarakan bahwa beliau akan menikahinya.

Para sahabat tidak mementingkan gengsi diri. Dalam fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebajikan), ulama-ulama masa lampau memberi teladan agar tidak usah malu. Malu hanya jika yang dilakukan merupakan perbuatan dosa.

📚 19. Ta' Aruf


Islam melalui tuntunan Rasulullah dan para sahabat telah meneladankan sebuah konsep yang sangat jelas mengenai tata cara ataupun proses menuju sebuah pernikahan barokah. Tuntunan itu telah sukses mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahma dalam bingkai rumah tangga Islami. Adakah tuntunan yang lebih baik dibanding tuntunan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah?

Tidak ada. Allah yang menciptakan kita, tahu benar apa kebutuhan kita. Melalui Al-Qur’an dan Sunah, Allah mengajari manusia untuk hidup di atas jalur yang sudah diteladankan oleh manusia-manusia mulia.

Sungguh, Islam tak pernah merepotkan hamba-hambaNya dengan beragam amalan yang memberatkan. Islam justru hadir sebagai pengatur yang memudahkan semua umatnya menjalani berbagai aktivitas di muka bumi ini. Termasuk perihal nikah.

Apakah tahap-tahap yang harus dilalui oleh seorang muslim yang hendak melangsungkan sebuah pernikahan? Paling tidak, dapat dirangkum menjadi empat tahap.

1. Ta’aruf
2. Nazhar
3. Khitbah
4. Akad

Selesai. Hanya itulah tahapan menuju pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Mari kita bahas satu per satu.

Ta’aruf, Saatnya Mengenal Calon Suami/Istri

Sebelum kita menetapkan untuk menikah dengan seorang pria atau wanita, salah satu hal yang paling penting untuk kita lakukan yaitu mengenal terlebih dahulu siapa pria atau wanita yang hendak kita nikahi itu. Ada yang mengatakan pacaran adalah jalan yang ditempuh dalam rangka mengetahui bagaimana karakter calon pendamping yang akan menemani kita seumur hidup. Mereka berpendapat, bagaimana kita bisa tahu bahwa calon suami atau istri kita itu sifatnya baik kalau tanpa melewati proses pacaran. Bagaimana kita tahu karakter calon kekasih yang kelak menjadi kekasih seumur hidup kalau tanpa melalui proses hubungan yang biasa disebut pacaran.

Alasan-alasan seperti itu saat ini masih banyak disepakati oleh masyarakat kita. Orangtua banyak yang memaklumi anak remajanya melakukan pacaran. Padahal, sungguh, Rasulullah tak pernah sedikit pun mengajarkan proses perkenalan seperti itu.

Proses pengenalan sangatlah penting. Namun bukan dengan jalan yang ditempuh kebanyakan anak muda kita saat ini, yang sepertinya menganut petuah “coba dulu baru beli” kemudian “habis manis sepah dibuang”. Sebagai wanita yang ingin menjaga dirinya dari beragam pintu maksiat, tentunya sangat memahami bahwa proses untuk lebih mengenal calon suami atau istri tidaklah dijalani sebagaimana kaum wanita yang belum paham tentang Islam. Jangan sampai kita ikut-ikutan menghalalkan proses pacaran atau pertunangan yang sengaja dilakukan dengan niatan menjajaki calon pendamping hidup.

Mengenal calon suami atau istri sangatlah penting sebelum rumah tangga kita mulai dibangun. Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah “membeli kucing dalam karung”, yang tanpa proses pengenalan, lalu mendadak dinikahkan. Praktik seperti ini tidak dibenarkan dalam agama. Karena hal tersebut hanya akan menimbulkan dampak buruk untuk ke depannya. Bisa jadi hal ini berujung pada penyesalan yang bakal terjadi usai pernikahan. Tentu ini tak diharapkan dalam upaya membangun rumah tangga yang Islami.

Perantara

Selama menuju proses pernikahan, kita mutlak membutuhkan sumber informasi tentang calon suami atau istri yang hendak kita nikahi. Salah satunya melalui jalan perantara, atau biasa kita menyebutnya comblang. Comblang yang saya maksud di sini tentu bukan perantara untuk menyatukan pria dan wanita agar mereka berpacaran, tetapi jauh dari maksud itu. Comblang di sini adalah orang yang menjadi perantara untuk menyatukan pria dan wanita dalam bingkai suci bernama pernikahan.

Perantara bertugas sebagai pemberi informasi bagi kita. Sumber informasi itu paling tidak memberi beberapa manfaat. Pertama, untuk memperoleh keterangan mengenai kepribadian calon suami/istri. Tentu kita tidak mau kecolongan dengan calon pendamping hidup kita nantinya. Karena orang yang akan kita nikahi adalah sahabat yang bakal mengiringi kita dalam jangka panjang. Tidak hanya satu dua tahun, tapi bisa puluhan, atau bahkan seumur hidup.

Manfaat kedua dari sumber informasi yaitu kemungkinan adanya beberapa persoalan yang akan berpengaruh terhadap proses menuju maupun setelah pernikahan. Misalnya, adanya penyakit yang diderita oleh calon suami atau istri, yang memungkinkan adanya dampak terhadap rumah tangga kita nantinya.

Memperantarai dua orang untuk menikah mendapat kedudukan cukup mulia dalam Islam. Karena menyatukan dua orang agar segera melangsungkan pernikahan berarti menolong saudara muslim dalam hal kebaikan. Ini merupakan salah satu wujud dari pengamalan Firman Allah, “Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Jangan bertolong-tolongan dalam keburukan dan kesesatan.” Pernikahan adalah jalan mulia yang dianjurkan oleh Rasulullah. Inilah ibadah yang nilainya setara dengan separuh agama. Membantu orang untuk melaksanakan nikah, tentu mendekatkan pada ridha Allah. Sayyidinina ‘Ali bin Abi Th alib karamallahu wajhahu mengatakan, “Sebaik-baik syafaat adalah memperantarai dua orang untuk menikah, di mana dengan itu Allah mengumpulkan mereka berdua.”

Lalu bagaimana seyogianya informasi yang disampaikan oleh sang perantara atau comblang kepada calon pengantin? Informan harus objektif. Kita tentu memilih orang yang hendak kita jadikan perantara adalah orang dekat yang sangat tahu perilaku dan keseharian calon kita. Maka, otomatis orang yang layak kita pilih sebagai perantara adalah orang yang sangat akrab dengan calon kita. Bisa berasal dari keluarga calon, atau mungkin sahabat calon. Kedekatan personal memang sangat memengaruhi informasi yang disampaikan oleh sang perantara. Tetapi masalah kemudian bisa saja timbul karena ternyata kedekatan personal terkadang sangat memengaruhi informasi yang disampaikan oleh sang perantara kepada kita. Biasanya seorang sahabat hanya mengatakan sisi baik dari sahabatnya, dan kurang mau membuka sisi negatifnya. Jauh-jauh hari kita hendaknya bisa memilih perantara yang tepat.

Siapakah yang Layak Kita Percaya sebagai Perantara?

Mari kita belajar dari sebuah kisah tentang Umar. Suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ra., ingin menilai seorang laki-laki yang datang kepada beliau untuk memohon agar diberi jabatan dalam pemerintahan. Umar ra., berkata kepadanya, “Bawa orang yang mengenalmu ke sini!”

Lelaki itu pulang dan kembali membawa seorang teman. Lalu Umar ra., bertanya kepada orang itu, “Apakah kau kenal orang ini?”

“Ya.”

“Apakah kau tetangganya, dan tahu keadaan yang sebenarnya?” Umar ra., bertanya.

“Tidak,” kata orang itu.

“Apakah kau pernah menemaninya dalam perjalanan, sehingga kau tahu pasti perangai dan akhlaknya...”

“Tidak.”

“Apakah kau pernah berhubungan masalah uang dengan orang itu, sehingga kau tahu bahwa dia sangat takut memakan barang yang haram?”

“Tidak.”

“Apakah kau hanya mengenalnya di masjid ketika dia berdiri dan duduk di masjid?”

“Ya.”

“Enyahlah kau dari sini. Kau tidak mengenalnya...!”

Lalu Umar ra., menoleh kepada laki-laki yang datang kepadanya dan berkata,

“Bawa lagi orang yang benar-benar mengenalmu ke sini.”

Dalam riwayat lain dikatakan, ada seseorang berkata kepada Amirul Mukminin Umar ra., bahwa si fulan itu orang yang jujur. Amirul Mukminin bertanya,

“Apakah kau pernah menempuh perjalanan bersamanya?”

“Tidak.”

“Apakah pernah terjadi permusuhan antara kau dan dia?” tanya Umar bin Khaththab.

“Tidak.”

“Apakah kau pernah memberinya amanat?”

“Tidak.”

“Kalau begitu,” kata Umar ra., “kau tidak mengenalnya selain melihatnya mengangkat dan menundukkan kepalanya di masjid.”

Dalam kisah tersebut kita tahu bahwa Umar sedang menyeleksi apakah orang yang diajukan itu layak dijadikan sebagai sumber informasi. Begitu pula dalam pernikahan, sumber informasi harusnya orang yang benar-benar berinteraksi secara intens dengan calon kita. Karena dari interaksi yang lama itu, si informan bisa merasakan bagaimana sifat sesungguhnya dari calon kita dalam menyikapi berbagai kejadian. Bagaimana responsnya ketika ditimpa masalah. Bagaimana perilakunya ketika dikaruniai keberhasilan. Bagaimana sifatnya mengendalikan amarah. Bagaimana ibadahnya. Bagaimana ia bersikap kepada orang lain. Dan sebagainya. Informasi mendetail mengenai itu semua baru bisa kita dapatkan ketika informan kita cukup lama berinteraksi dengan calon kita.

Batas Pengenalan

Meskipun mengenali calon suami atau istri adalah salah satu tahap yang diperkenankan dalam Islam, tetapi tetap ada batas-batas tertentu yang harus dipatuhi terkait apa saja informasi yang dibutuhkan untuk menunjang berlangsungnya pernikahan yang berkah. Mengenali calon pendamping hidup dimaksudkan hanya untuk mengetahui informasi yang dibutuhkan sehingga nantinya saat berumah tangga, tidak ada informasi penting yang kabur.

Lalu apa sajakah informasi penting yang diperlukan untuk melangsungkan sebuah rumah tangga yang barokah?

1. Mengetahui siapa namanya
2. Mengetahui dari mana asalnya
3. Mengetahui keturunan dan asal usul keluarganya
4. Mengetahui bagaimana akhlaknya
5. Mengetahui bagaimana ilmu agamanya
6. Dan beberapa informasi lain yang memang dibutuhkan oleh masing-masing pasangan, asal yang masih terkait untuk membangun rumah tangga yang Islami.

Tahap pengenalan ini rawan juga terhadap fi tnah. Karena rayuan setan terhadap pasangan yang hendak melangsungkan pernikahan secara syar’i cukup hebat. Maka yang perlu menjadi perhatian, hendaknya pasangan yang hendak menikah sekuat tenaga menjauhi hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fi tnah (godaan setan). Tahap ta’aruf memang menyimpan peluang yang besar sebagai alasan untuk saling kenal satu sama lain. Beragam komunikasi yang intens kerap dilakukan, baik melalui hubungan telepon, SMS, jejaring sosial, surah menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon suami/istri. Padahal pintu ta’aruf belumlah pintu aman untuk berhubungan antara calon suami dengan calon istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi melakukan khitbah atau meminang saja masih tetap harus menjaga dirinya dari fi tnah.

Memang ada beragam pendapat mengenai boleh tidaknya berhubungan telepon antara pria dan wanita dalam rangka saling kenal. Syaikh Saleh bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafi zhahullah ketika ditanya tentang pembicaraan melalui telepon antara seorang pria dan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan yang ada, tanpa adanya fi tnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara wali si wanita, maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fi tnah. Adapun pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar, haram, bisa mengarah kepada fi tnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu wa ta’ala berfi rman, “Maka janganlah kalian tunduk (lembut mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang makruf” (QS. Al-Ahzab: 32). Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara dengan laki-laki bukan mahram kecuali bila ada kebutuhan. Itu pun tetap dengan syarat dengan mengucapkan perkataan yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya, dan tidak ada keraguan (yang membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy, Syaikh Saleh bin Fauzan)

📚 20. Nazhar


Proses ta’aruf lebih menekankan pada proses pengenalan karakter dan asal usul calon pendamping hidup. Dari ta’aruf akan diperoleh informasi mengenai bagaimana sifat, ilmu. Sedangkan nazhar, lebih menekankan pada proses pengenalan secara fi sik yang diatur dan terbatas pada yang diperbolehkan oleh syariat. Seorang pemuda yang hendak menikahi seorang wanita diperbolehkan memandang wanita tersebut, namun pada batasan dan saat tertentu saja. Inilah yang disebut sebagai proses nazhar.

Ada sebuah hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan seorang lelaki yang datang dan mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia telah melamar seorang wanita dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada lelaki itu, “Apakah engkau telah melihatnya?” Lelaki itu menjawab, “Belum.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hendaklah engkau melihat terlebih dahulu karena pada mata wanita-wanita Anshar ada sesuatu.” “Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR. Muslim).

Memang, di kalangan ulama sendiri ada perbedaan pen- dapat mengenai nazhar ini. Ada yang menghukuminya sebagai amalan mubah, yakni dilakukan atau tidak, ti- dak akan mendapat pahala. Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa hukum nazhar adalah sunah. Salah seorang ulama yang menganut pendapat ini adalah Asy- Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu. Dalam Asy-Sya- rhul Mumti’ beliau berkata, “Yang benar dalam masalah ini hukumnya sunah. Jika seseorang telah mengenal tanpa melakukan nazhar, tidak ada hajat baginya untuk melakukan nazhar. Seperti bila dia mengutus seorang wanita yang benar-benar dia percayai untuk mengenali wanita yang hendak dipinang. Meskipun demikian pada hakikatnya nazhar yang dilakukan dengan perantara orang lain tidak cukup mewakili nazhar yang dilakukan sendiri. Boleh jadi wanita itu cantik di mata orang lain, namun belum tentu cantik di mata sendiri. Boleh jadi wanita itu di-nazhar dalam keadaan gembira dan riang yang tentu saja berbeda jika di-nazhar dalam keadaan sedih. Juga terkadang wanita yang di-nazhar berusaha tampil cantik dengan berdandan menggunakan make up sehingga disangka cantik padahal tidak demikian hakikatnya.”

Ada sebuah kisah. Suatu hari, seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata, “Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita. Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita, dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya dan mengamatinya. Tetapi mengamatinya seperlunya saja. Jika dengan melihat sekilas saja sudah cukup menginformasikan bahwa kita tertarik dengan sang calon, cukuplah itu dijadikan sebagai batasan nazhar.

Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu meminang seorang wanita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?”

“Belum,” jawab Al-Mughirah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).” (HR. An-Nasa`i, At-Tirmidzi. Disahihkan Al-Imam Al-Albani dalam Ash-Sahihah)

Dengan penjelasan yang lebih detail, Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu mengungkapkan bahwa dalam sabda Rasulullah kepada Al-Mughirah secara eksplisit menginformasikan adanya dalil yang menegaskan bahwa melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran) adalah sunah. Ini sangat bermanfaat bagi terlaksananya pernikahan, juga mengantisipasi agar saat khitbah, kedua mempelai sudah bisa memutuskan, akan melanjutkan proses khitbah ke jenjang pernikahan, atau membatalkannya.

Lalu mengapa nazhar dilakukan sebelum proses khitbah? Mengapa tidak pada saat khitbah saja kedua calon mempelai diizinkan saling bertemu satu sama lain?

Dalam Al-Minhaj Syarhu Sahih Muslim dijelaskan, bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Atau sebaliknya, si lelaki bisa jadi merasa si wanita bakal menerima lamarannya. Padahal mungkin ketika kedua calon saling melihat ternyata tidak tertarik hatinya, lalu membatalkan lamarannya, hingga akhirnya salah satu di antaranya kecewa dan sakit hati.

Ada beragam cara dalam ber-nazhar. Bisa dengan bertemu secara langsung dengan ditemani keluarga, atau dengan melihat secara sembunyi-sembunyi. Seperti yang dilakukan oleh beberapa sahabat di zaman Rasul.

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.”

Kemudian ada yang bertanya kepada Muhammad bin Maslamah, “Bagaimana mungkin engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Kata Muhammad bin Maslamah, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menautkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita, tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu juga menasihatkan bahwa diperbolehkan melihat wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak menyadarinya. Dalil ini sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita, tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang dilihat).” (HR. Ath-Th ahawi, Ahmad, dan At-Th abrani)

Disertai Mahram

Sekali lagi, mungkin hal ini masih dirasa asing pada sebagian umat Islam dalam negeri. Karena pemakluman terhadap pelanggaran batas-batas Islami sudah sedemikian melekat pada pribadi masyarakat kita. Termasuk masalah melihat calon suami atau istri ini.

Mungkin akan ada banyak dari perempuan muslim Indonesia yang merasa aneh saat membaca bagian ini. Karena tradisi bangsa kita sudah sangat erat dengan budaya kebebasan yang dielu-elukan hampir tanpa batas. Jangankan budaya Islam, bahkan budaya bangsa ketimuran saja sudah banyak yang dilanggar.

Saudariku, semoga dengan pemahaman Islam yang lebih baik dibanding kebanyakan masyarakat kita tak membuat kita merasa terasing di tengah masyarakat yang masih tak paham. Bahkan kalaupun terpaksa terasing, biarlah. Bukankah Rasulullah dulu pernah mensabdakan sebuah nasihat, “Islam dulu asing, dan kelak akan kembali asing. Beruntunglah bagi mereka yang terasing.” Itulah motivasi dari Rasulullah. Panutan kita. Idola kita. Mari kita teladani beliau. Karena kelak, hanya beliau yang sanggup memberi syafaat di hari kiamat.

Rasanya akan berbeda mungkin ketika melihat calon suami atau istri kita dengan ditemani mahram dibanding dengan berduaan saja. Mungkin banyak dari kita yang ingin mengenal calon kita dengan lebih bebas tanpa sungkan dengan adanya mahram yang mendampingi. Tetapi sebagai catatan yang harus menjadi perhatian kita bersama, bahwa ketika nazhar tidak diperbolehkan sepa-sang calon tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram (berkhalwat). Karena sudah masyhur sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, “Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita, kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Batasan yang Boleh Dilihat Saat Nazhar

Melihat calon suami atau istri sebelum nikah tetap ada batasnya. Ketika nazhar, yang boleh melihat si wanita pada bagian tubuh yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud nomor 2082 dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Sahihah nomor 99).

Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat, melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib. Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat, karena tidak mungkin yang dibolehkan hanya melihat wajah saja, padahal ketika itu tampak pula bagian tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan melihat wajah. Juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap syariat, berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan kepada mahram-mahram si wanita.” (Al-Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil Makhthubah)

Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama. Tetapi pendapat yang lebih hati-hati dianut oleh beberapa imam mazhab, seperti Hanafi yyah, Malikiyyah, dan Syafi ’iyyah, yang diperbolehkan untuk dilihat saat nazhar adalah wajah dan kedua telapak tangan wanita. Kedua bagian tubuh inilah kebanyakan Imam Mazhab sepakat boleh ditampakkan kepada bukan mahram. Orang yang nazhar statusnya jelas, masih belum berstatus sebagai suami istri karena belum adanya akad nikah. Bagian yang diperbolehkan sama dengan bagian yang biasa boleh tampak di depan umum.

📚 21. Khithbah


Setelah melalui proses nazhar, tahap selanjutnya untuk menyongsong pernikahan yaitu khitbah. Inilah proses yang dilakukan setelah seorang pria telah yakin bahwa perempuan yang akan dikhitbah itu adalah perempuan yang kelak bisa mendampingi selama hidupnya. Yang layak menemani dalam mengarungi bahtera rumah tangganya.

Khitbah menjadi bagian penting dalam proses menuju jenjang pernikahan karena inilah momen untuk menetapkan persetujuan dari kedua belah pihak untuk terus melanjutkan ke akad nikah atau tidak. Peminangan inilah tahap yang bisa menjadi penentu, pernikahan berlanjut atau dibatalkan.

Ada aturan dalam Islam yang menetapkan bahwa apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain, dan pinangan itu diterima, haram baginya meminang wanita tersebut. Hal ini pernah diungkapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadis,

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya, hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya (membatalkan pinangannya)” (HR. Al-Bukhari). Atau dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, “Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh saudaranya, dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya, hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”

Mengapa Aturan Ini Perlu Diterapkan?

Pertama, ini adalah bentuk penghormatan terhadap peminang pertama. Orang yang telah memberanikan diri meminang seorang perempuan tentu memiliki harapan yang besar untuk serius melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apabila ada peminang kedua yang datang kepada perempuan yang dipinang, dikhawatirkan peminang kedua ini akan membuat perempuan yang sudah dipinang itu bimbang hatinya. Bisa jadi peminang kedua dirasa memiliki kelebihan dibanding peminang pertama, sehingga perempuan yang telah dipinang itu memutuskan untuk memilih yang kedua. Tentu saja hal ini sangat merugikan peminang pertama.

Proses peminangan ini paling tidak sudah hampir dipastikan proses menuju akad akan terlaksana atau tidak. Setelah pinangan diterima, tentunya akan ada kelanjutan pembicaraan mengenai kapan akan diselenggarakan akad nikahnya.

Yang Perlu Diperhatikan oleh Wali

Ketika seorang wali dari perempuan menerima pinangan dari seorang pria, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai pertimbangan apakah lelaki itu nantinya akan diterima atau ditolok pinangannya. Beberapa hal yang menjadi dasar diterima tidaknya pinangan pria tersebut antara lain:

• Agama Calon Suami

Suatu hari ada seorang bertanya kepada Al-Hasan ra., mengenai calon suami putrinya. Kemudian Al-Hasan ra., menjawab, “Kamu harus memilih calon suami (putrimu) yang taat beragama. Sebab, jika dia mencintai putrimu, dia akan memuliakannya. Jika dia kurang menyukai (memarahinya), dia tidak akan menghinakannya.”

Dalam sebuah hadis yang sangat terkenal, Rasulullah juga bersabda, “Jika datang kepada kalian (hai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fi tnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”

Kemudian ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai cacat atau kekurangan?”

Rasulullah saw., menjawab, dengan mengulangnya sampai tiga kali, “Jika datang kepada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, nikahkanlah dia (dengan putrimu)!” (HR. Imam Tirmidzi dari Abu Hatim Al-Mazni)

Suatu hari seorang teman pernah bertanya kepada saya, “Bukankah ada yang ilmu agamanya bagus tapi memperlakukan istri secara tidak baik. Kurang bisa menghormati orang lain. Ucapannya kasar, perilakunya buruk. Mengapa Islam menetapkan agama sebagai kriteria untuk memilih calon suami atau istri?”

Saudariku, yang dimaksud dengan baik agamanya adalah ia taat dalam menjalankan ajaran Islam. Jadi ini lebih erat kaitannya dengan akhlak, bukan pada keilmuannya dalam bidang agama. Benar sekali, ada begitu banyak orang yang ilmunya tinggi tapi tidak juga mengamalkan apa yang diketahuinya.

Sebagai dasar pemilihan, lihatlah akhlaknya. Bukankah Rasulullah sering kali mengingatkan, yang terbaik di antara kita adalah yang paling baik akhlaknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Dalam hadis lain yang bersumber dari ‘Aisyah ra., dari Nabi dikatakan, “Sesungguhnya kelembutan tidak menghinggapi sesuatu kecuali memperindahnya, dan tiada dicabut dari sesuatu melainkan memperburuknya.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw., juga bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik akan mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi di akhirat, walau ibadahnya sedikit.” (HR. Th abrani)

Jadikan akhlak sebagai tolok ukur menetapkan sang pria yang melamar layak atau tidak dijadikan sebagai pendamping hidup. Mustahil pria yang akhlaknya bagus akan menyakiti kita.

• Meminta Pendapat Putrinya

Tidak boleh ada pemaksaan dalam menentukan calon suami dalam sebuah pernikahan yang Islami. Kisah Siti Nurbaya cukuplah hanya berakhir sebagai kisah masa lalu yang dipetik hikmahnya, bahwa pernikahan hasil pemaksaan tak akan membuahkan ujung yang indah dan bahagia. Hanya akan membuat penyesalan yang berkepanjangan.

Ketika ada seorang pria yang melamar seorang gadis, walinya harus meminta pendapat putrinya, setuju atau tidak. Kalau setuju, proses bisa dilanjutkan, dan kalau tidak, proses harus dibatalkan. Karena yang akan menjalani proses pernikahan nantinya adalah sang putri. Demi keberlangsungan rumah tangga, persetujuan dari si putri adalah penentu.

Tapi terkadang ada ekspresi jawaban dari si gadis ketika ditanya setuju atau tidak dengan calon yang meminang. Ada rasa malu yang hadir. Ada rasa enggan yang muncul. Ada kebimbangan mungkin dalam menjawab setujunya secara langsung. Rasulullah menetapkan, persetujuan seorang gadis adalah dengan diamnya karena biasanya ia malu. Sebagaimana Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasul pernah bertutur, “Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.”

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya seorang gadis?”

“Izinnya dengan diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

📚 22. Akad nikah


Setelah khitbah (peminangan) dilaksanakan, lalu kapan harus dilaksanakan akad nikah? Tidak ada batas minimal ataupun maksimal untuk melaksanakan akad nikah. Seandainya acara khitbah langsung diteruskan dengan akad nikah, itu boleh saja dilakukan, walaupun untuk masyarakat Indonesia hal itu tidak lazim dilakukan. Biasanya ada jarak antara lamaran dengan akad nikah.

Namun ada hal yang menjadi keprihatinan kita bersama. Ketika pelaksanaan akad nikah terlalu jauh jaraknya dengan pelaksanaan khitbah, peluang timbulnya fi tnah akan lebih besar. Risikonya besar untuk kedua calon mempelai melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Selain itu di satu sisi ia tidak boleh menerima pinangan dari orang lain, sedangkan di sisi lain ia belum menjadi seorang istri.

Hendaknya jarak antara akad nikah dengan khitbah ditetapkan tidak terlalu lama. Konon, banyak saudara saya yang cerita kalau setelah khitbah, biasanya kita mengalami kebimbangan baru. Ada kekhawatiran yang muncul, ada ketakutan yang sebelumnya tidak terpikir. Untuk mengantisipasi itu semua, cara paling bijak yakni mendekatkan antara akad dengan khitbah.

Syarat dan Rukun Nikah

Dalam Islam, setiap ibadah yang diperintahkan oleh Allah hampir selalu ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Kata syarat dan rukun selalu muncul untuk menilai sah atau tidaknya ibadah yang kita kerjakan. Misalkan, kalau kita sedang berwudu, ada syarat wudu dan ada juga rukun wudu. Saat kita sedang melaksanakan shalat, ada syarat shalat dan juga ada rukun shalat. Begitu pula peribadahan lainnya juga ada syarat dan rukun yang harus kita laksanakan. Termasuk dalam pernikahan. Karena pernikahan dalam Islam termasuk salah satu ibadah yang luar biasa besar pahalanya dihadapan Allah.

Lalu apa bedanya antara syarat dengan rukun? Pengertian syarat adalah “ma aujaba wastamarra”, yang artinya suatu perkara yang diwajibkan dan terus-menerus. Maksudnya, syarat merupakan sesuatu yang wajib kita laksanakan sebagai tolok ukur sah atau tidaknya ibadah kita dan dalam melaksanakannya harus terus-menerus.

Misalnya, saat kita wudu, ada syarat yang harus kita penuhi di antaranya, Islam, sudah baligh (laki-laki sudah berumur 15 tahun, dan perempuan sudah berumur 9 tahun), tidak mempunyai hadas besar, memakai air yang mutlak (air yang suci dan dapat menyucikan), tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit. Kita harus memenuhi kelima syarat tersebut secara keseluruhan dalam satu waktu ketika hendak melaksanakan wudu.

Sedangkan pengertian rukun adalah “ma aujaba wanqhata’a” yang artinya suatu perkara yang diwajibkan dan terputus-putus. Maksudnya, rukun merupakan sesuatu yang wajib kita laksanakan sebagai tolok ukur sah atau tidaknya ibadah yang kita kerjakan dan sifatnya terputus-putus. Contoh, saat melaksanakan wudu, ada syarat yang harus kita penuhi di antaranya, berniat untuk wudu dan melafalkan, membasuh muka, membasuh kedua tangan sampai ke siku-siku, mengusap sebagian kepala, membasuh ke dua kaki sampai mata kaki, dan tertib (beurutan).

Lalu apa rukun dan syarat nikah?

Rukun Nikah

Yang harus ada dalam sebuah akad nikah adalah sebagai berikut:

1. Calon mempelai pria 2. Calon mempelai wanita 3. Wali 4. Dua orang saksi (laki-laki) 5. Ijab (dari wali calon mempelai perempuan atau wakilnya), dan qabul (dari calon mempelai laki-laki atau wakilnya)

Syarat Nikah

Menurut syariat Islam syarat nikah sebagai berikut:

1. Syarat calon pengantin pria

• Beragama Islam • Terang prianya (bukan banci) • Tidak dipaksa • Tidak beristri empat orang • Bukan mahram calon istri • Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan bakal istri • Mengetahui bakal istri yang haram dinikahinya • Tidak dalam ihram haji atau umroh

2. Syarat calon pengantin wanita

• Beragama Islam • Terang wanitanya (bukan banci) • Telah memberi izin pada wali untuk menikahkanya • Tidak bersuami dan tidak dalam keadaan iddah • Bukan mahrom bakal suami • Belum pernah di li’an (sumpah li’an) oleh bakal suami • Terang orangnya • Tidak dalam ihram haji atau umroh

3. Syarat wali nikah

• Baragama Islam • Baligh • Berakal • Tidak dipaksa • Terang lelakinya • Adil (bukan fasiq) • Tidak sedang ihram haji atau umroh • Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah (mahjur bissafah) • Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya

4. Syarat saksi nikah

• Baragama Islam • Laki-laki • Baligh • Berakal • Adil • Mendengar • Bisa bercakap-cakap (tidak bisu) • Tidak pelupa (mughoff al) • Menjaga harga diri ( menjaga muru’ah) • Mengerti ijab dan qabul • Tidak merangkap menjadi wali

Ijab dan Kabul

Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan kabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama yang dilakukan oleh wali dari pihak mempelai perempuan, misalnya dengan kalimat, “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah Al-Qur’an.” Sedangkan kabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah Al-Qur’an.”

Ijab dan Kabul Bahasa Indonesia

• Ijab:

Ananda.... Bin.... Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan

Yang bernama: ..... Dengan maskawinnya berupa:.... tunai.

• Kabul:

Saya terima nikahnya dan kawinnya..... Binti..... Dengan maskawinnya yang tersebut tunai.

📚 23. Resepsi Pernikahan (Walimatul ‘Urs)


Islam tidak menghendaki umatnya mengadakan akad nikah secara diam-diam. Islam menghendaki, setelah akad nikah, seorang muslim perlu mengumumkan pernikahannya.

Walimatul ‘ursy atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai resepsi pernikahan, adalah pengumuman atau pesta pernikahan yang diselenggarakan ketika akad nikah sudah selesai dilaksanakan. Walimatul ‘ursy dilakukan dalam rangka mengumumkan adanya akad nikah yang baru saja dilaksanakan.

Qarzhah bin Ka’ab dan Abu Mas’ud al-Anshari pernah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah memberi keringanan kepada kami untuk bersenang-senang pada saat pesta pernikahan.” (HR. At-Tirmidzi).

Memang benar bahwa resepsi nikah bukanlah sebuah kewajiban dalam pernikahan. Ketika akad nikah sudah terlaksana, maka sahlah hubungan antara kedua pasangan. Tetapi resepsi nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah, mengingat ada begitu banyak hikmah yang bisa diperoleh dari pelaksanaan resepsi pernikahan. Dengan diumumkannya pernikahan, tidak akan timbul prasangka dari masyarakat terhadap dua pasangan yang mungkin sedang bermesraan atau hidup dalam satu rumah. Kalau masyarakat tidak tahu, bukankah hal itu malah menjadikan timbul masalah dan fitnah nantinya.

Resepsi pernikahan hendaknya dilaksanakan secara sederhana dan sekadarnya saja. Tidak pesta pora atau bermewah-mewahan. Sesuai tujuannya, walimah hanyalah media untuk:

• Mengabarkan pernikahan kepada masyarakat.
• Mensyukuri karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada mempelai.
• Meminta doa agar pernikahan yang baru saja dilaksanakan diberkahi oleh Allah dan rumah tangga baru yang tercipta nantinya dikaruniai kelancaran dan kebahagiaan dunia akhirat.

Sesuai dengan tujuan tersebut, pesta pernikahan yang dilakukan secara berlebihan tentunya tidak dikehendaki dalam Islam. Cukup menghidangkan makanan untuk tamu-tamu yang datang dengan hidangan yang sesuai dengan kemampuan, walau sekadar memotong seekor kambing (mungkin kalau Indonesia bisa dikategorikan 1 ekor ayam kali yah).

Suatu ketika Nabi Muhammad melihat wajah Abdul Rahman bin ‘Auf yang masih ada bekas kuning. Nabi bertanya, “Ada apa ini?”

Abdurrahman berkata, “Saya baru mengawini seorang perempuan dengan maharnya lima dirham.”

Nabi bersabda, “Semoga Allah memberkatimu. Adakan walimah, walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.” (Muttafaq’ alaih)

Bahkan kalau dilihat dari hadis sejarah pada masa Rasul, para tetangga boleh memberikan sumbangan makanan demi terlaksananya walimah pernikahan. Seperti yang diperintahkan Rasulullah kepada Abdurrahman bin Auf, dan berdasarkan hadis yang disampaikan Buraidah Ibnul Khashif, “Ketika Ali Bin Abi Th alib meminang Fatimah binti Muhammad Rasulullah, Rasulullah bersabda, ‘Perkawinan harus mengadakan pesta perkawinan (walimah)’.”

Kemudian Sa’ad berkata, “Saya akan menyumbang seekor kambing.”

Yang lain menyahut, “Saya akan menyumbangkan gandum sekian.”

Dalam riwayat lain, “Terkumpullah dari kelompok kaum Anshor sekian gandum.” (Riwayat Ahmad dan Th abrani)

Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunah menurut sebagian besar ahlul ilmi. Rasulullah sendiri menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadis Anas radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tempat Walimah

Walimah bisa dilaksanakan di masjid, rumah, ataupun menyewa suatu gedung. Tetapi berdasarkan hadis Rasulullah, ternyata Rasul menyarankan untuk dilaksanakan di masjid. Meskipun pada masa sahabat juga ada yang dilaksanakan di rumah mereka masing-masing. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Umumkanlah pernikahan ini, jadikanlah ia di masjid dan pukullah rebana.” (HR. Tirmidzi melalui Aisyah)

Ketika Abu Usaid As Sa`adi menikah, dia mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ke rumahnya.

Waktu Walimah

Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul, karena demikian yang dinukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Shafi yyah dan beliau jadikan kemerdekaan Shafi yyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.”

Hidangan Walimah

Dari Anas ibn Malik, radhiyallahu Anhu berkata, “Dalam walimah tersebut tidak terhidang roti maupun daging, saya hanya disuruh Rasulullah untuk mengambil alas makan dari lembaran kulit yang disamak rapi, lalu saya hamparkan. Kemudian saya meletakkan karma, keju, dan minyak samin di atas alas makan itu.”

Namun, sayang sekali, masyarakat saat ini banyak yang salah memaknai walimah ‘ursy tersebut dengan menjadikannya sebagai media untuk memamerkan kekayaannya. Mulai dari busana yang wah agar mendapat pujian dari orang-orang yang melihatnya. Desain tempat acara yang terlalu mewah. Makanan yang dihidangkan juga terkesan foya-foya. Tentu saja praktik seperti ini tak dikehendaki oleh Islam. Sebagaimana dikatakan ayat berikut ini,

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141)

Tamu yang Diundang

Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut orang-orang yang saleh, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin. Kalau yang dipentingkan hanya orang kaya, sementara orang miskinnya tidak diundang, makanan walimah tersebut dianggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah, di mana yang diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wajib Mendatangi Undangan Walimah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa tidak memenuhi undangan walimah sungguh dia telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw., juga bersabda, “Bila salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri jamuan makanan, hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Jika tidak sedang berpuasa, hendaklah ia ikut makan, dan jika sedang berpuasa, hendaklah ia ikut mendoakan.”

Disunahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mendoakan seseorang yang menikah, beliau mengatakan, ‘Semoga Allah memberkahi untukmu dan memberkahi atasmu serta mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan’.” (HR. At- Tirmidzi)

Hiburan Pernikahan

Pada hari resepsi pernikahan disunahkan menabuh rebana. Rebana ini awalnya memang dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah duff dan shaut dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i, Ibnu Majah)

Duff adalah sejenis rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya yang menimbulkan suara gemerincing. Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan, lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di tengah manusia.

“Ketika itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata menyenandungkan pujian untuk bapak-bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkannya.” (HR. Al-Bukhari)

Sebuah hadis disampaikan oleh Ummul mu’minin Aisyah ra., Suatu hari, Aisyah membawa seorang wanita kepada seorang pria Anshar, maka nabi bersabda, “Wahai Aisyah, apakah ada nyanyian yang menyertai kalian? Sesungguhnya kaum Anshar menyukai nyanyian.”

Dalam suatu riwayat lain disebutkan, ”Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis kecil untuk memukul rebana dan menyanyi?” Aisyah bertanya, “Ia akan mengucapkan apa (nanti)?” Rasul menjawab, “Ia akan mengucapkan;

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami, maka kami akan menghormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya kampung kalian tidak memesona Seandainya bukan kerena gandum yang berwarna cokelat Niscaya gadis-gadis kalian tidak menjadi gemuk”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam