Bagian (6). Kisah-Kisah Rasulullah Saw Dalam Peperangan



๐Ÿ“š 115 Kisah-Kisah Menakjubkan Dalam Kehidupan Rasulullah Saw



๐Ÿ“š 84. Memata-matai Musuh
Menjelang terjadinya Perang Badar, Rasulullah Saw. bersama Abu Bakar keluar dari tempat peristirahatan untuk mencari kabar tentang kekuatan dan persiapan pasukan Quraisy. Setelah berjalan agak jauh, mereka bertemu dengan seorang laki-laki tua bernama Sufyan Al-Dhamari. Rasulullah Saw. pura-pura bertanya tentang pasukan Quraisy dan pasukan Muhammad.

“Aku tidak akan memberi tahu sebelum kalian bilang siapa dan dari mana kalian datang!” kata orang tua itu.

Rasulullah Saw. menjawab, “Bila kau memberitahu- kannya maka kami akan katakan kepadamu siapa kami.”

“Benarkah begitu?”

“Ya, betul.”

“Aku mendengar Muhammad dan para sahabatnya telah keluar pada hari anu. Jika kabar itu benar, tentu sekarang mereka sudah berada di tempat anu. Aku juga mendengar pasukan Quraisy telah keluar pada hari anu. Jika ini benar maka kini mereka berada di tempat anu.”

Ia menerangkan keadaan pasukan Muhammad dan pasukan Quraisy, lalu bertanya, “Nah, sekarang, dari pihak manakah kalian berdua?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Kami dari ma’ (air).”

Kemudian, beliau dan Abu Bakar pergi meninggalkan orang tua itu yang diam terpaku mendengar jawaban Rasulullah Saw.

Saat tiba waktu sore, Rasulullah Saw. mengutus Ali ibn Abi Thalib, Al-Zubair ibn Al-Awwam dan Sa‘d ibn Abi Waqqash untuk memata-matai musuh. Ketiganya menjumpai dua orang yang sedang mengambil air untuk pasukan Quraisy. Kedua orang ini dibawa untuk menghadap Rasulullah Saw., tetapi dihadang kaum Muslim yang langsung menginterogasi keduanya. Ketika ditanya berbagai pertanyaan, mereka menjawab, “Kami hanya pemberi minum kaum Quraisy.” Namun, orang-orang tidak memercayai ucapan mereka sehingga terus mendesak bahkan memukuli mereka.

Ketika itu terjadi, Rasulullah Saw. sedang mendirikan shalat. Usai shalat, beliau segera menemui mereka dan berkata, “Jika kalian benar, kalian boleh memukul keduanya. Namun, jika kalian salah, tinggalkan mereka. Demi Allah, mereka berdua hanyalah pemberi minum untuk kaum Quraisy.” Kemudian Rasulullah Saw. berpaling kepada kedua orang itu dan berkata, “Sekarang, ceritakanlah tentang kaum Quraisy!”

Mereka menjawab, “Pasukan Quraisy ada di balik bukit ini.”

“Berapa jumlah mereka?”

“Banyak.”

“Kira-kira berapa?”

“Kami tidak tahu.”

“Berapa mereka menyembelih unta setiap hari?”

“Sembilan hingga sepuluh ekor!”

“Kalau begitu, jumlah mereka antara 900 hingga seribu orang.”

“Siapa para pemimpin Quraisy yang ikut?”

“Utbah ibn Rabiah, Saibah ibn Rabiah, Abu Al-Bukhturi ibn Hisyam, Hakim ibn Hizam .…”

Kemudian Rasulullah Saw. berkata kepada semua orang, “Perhatikanlah! Pasukan Makkah telah datang kepada kalian.”


๐Ÿ“š 85. Membuat Tuhan Tersenyum
Menjelang Perang Badar, kaum Muslim tidak merasa gentar sedikit pun meskipun mereka tahu bahwa Makkah datang membawa pasukan yang jauh lebih besar dibanding pasukan Muslim dan perlengkapan perang yang lebih sempurna. Kaum Muslim bersiap-siap menghadapi peperangan dengan hati dipenuhi keimanan serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Salah seorang sahabat, Auf ibn Al-Harits, bertanya kepada Rasulullah sebelum perang berkecamuk, “Wahai Rasulullah, apakah perbuatan seorang hamba yang akan membuat Tuhan tersenyum?”

Maksudnya, perbuatan apakah yang paling disukai Allah sehingga Dia tersenyum saat seorang hamba melakukannya?

Rasulullah menjawab, “Jika seorang hamba menyerang musuh tanpa tameng pelindung (perisai dan baju perang).”

Mendengar jawaban Rasulullah, Auf langsung menanggalkan baju zirahnya dan membuangnya jauh-jauh. Kemudian, ia menghunus pedangnya dan terjun ke medan perang tanpa pelindung.

Ia berperang dengan keberanian luar biasa. Allah pun mengabulkan cita-citanya untuk mati syahid dalam keadaan tanpa baju perang. Ia gugur setelah membunuh sekian banyak orang musyrik.

Dalam setiap peperangan, kaum Muslim berlomba-lomba meraih kesyahidan. Mereka menghendaki kematian yang indah sebagai syahid di medan perang, termasuk di antaranya Umair ibn Himam. Sesaat sebelum Perang Badar dimulai, Rasulullah Saw. sebagai panglima perang memeriksa pasukan Muslim.

“Luruskan barisan kalian dan bersiaplah untuk berperang. Demi Allah, seseorang yang berperang di hari ini dengan sabar, mengharap ridha Allah, dan tidak lari dari medan perang, Allah akan memasukkannya ke surga.”

Rasulullah Saw. terus membangkitkan semangat mereka, “Raihlah surga yang luasnya seluas langit dan bumi!”

“Bakh! ... Bakh!!” teriak Umair ibn Himam menjawab seruan Rasulullah.

“Apa yang membuatmu berteriak, ‘Bakh! ... bakh!!’?” tanya Rasulullah Saw.

“Tidak, wahai Rasulullah. Demi Allah, aku hanya berharap menjadi salah seorang penghuni surga.”

“Demi Allah, kau akan menjadi penghuni surga.”

Kemudian Umair mengeluarkan beberapa butir kurma dari kantongnya dan berniat memakannya, tetapi tiba-tiba ia berubah pikiran: “Jarak antara aku dan saat memasuki surga adalah ketika aku memerangi kaum musyrik. Demi Allah, waktu untuk makan kurma ini sangat lama!” ujar Umair sambil melemparkan kurma- kurma itu. Lalu, ia melangkah cepat merangsek ke medan perang sambil bersyair:

“Aku melompat ke surga Allah tanpa bekal Aku hanya berbekal ketaatan dan kebaikan serta kesabaran untuk berjihad karena Allah. Sesungguhnya segala perbekalan akan habis, kecuali perbekalan kebaikan dan kebenaran.”

Suatu hari Rasulullah Saw. bersabda, “Allah tertawa kepada dua orang yang saling membunuh dan keduanya masuk surga.”

Para sahabat bertanya, “Apakah maksudnya, wahai Rasulullah?”

“Orang pertama (Muslim) terbunuh (dalam perang di jalan Allah), lalu masuk surga. Kemudian orang kedua (kafir), bertobat dan tobatnya diterima Allah, lalu ditunjukkan oleh Allah ke dalam Islam, kemudian ia berjihad di jalan Allah, dan mati syahid.”


๐Ÿ“š 86. Tewasnya Abu Jahal
Dikisahkan bahwa ada dua orang remaja yang bersemangat terjun ke medan Perang Badar. Mereka adalah Muaz ibn Amr ibn Jamuh dan Mu’awwaz ibn Afra.

Abdurrahman ibn Auf menuturkan kisah tentang mereka: “Aku berada dalam barisan kaum Muslim pada Perang Badar. Tiba-tiba, aku melihat dua remaja belia di sebelah kanan dan kiriku. Aku nyaris tidak memercayai penglihatanku. Salah seorang dari mereka berbisik kepadaku, ‘Hai Paman, tunjukkan kepadaku, mana orang yang bernama Abu Jahal?’

‘Wahai Anakku, apa yang akan kamu lakukan kepadanya?’

‘Aku mendapat kabar, ia telah menghina Rasulullah. Aku telah bersumpah, jika melihatnya, aku pasti akan menyerangnya sampai mati.’

Tentu saja aku sangat mengagumi semangat dan keberaniannya. Lalu, remaja lainnya mengatakan ucapan yang sama. Tak lama kemudian, aku melihat Abu Jahal di antara kerumunan musuh. ‘Kalian lihat orang itu? Ialah orang yang kalian tanyakan tadi,’ kataku kepada keduanya.

Maka, kedua remaja itu mencabut pedang masing-masing dan merangsek maju mendekati Abu Jahal dan bersama-sama menyerangnya hingga ia tewas.

Seusai perang, Rasulullah Saw. memerintahkan kaum Muslim untuk mencari mayat Abu Jahal. Ibn Mas’ud membawa kepala Abu Jahal ke hadapan Rasulullah Saw. seraya meneriakkan takbir. ‘Inilah Fir‘aun umat ini,’ tegas Rasulullah Saw. ‘Siapakah yang telah membunuhnya?’ ‘Kudengar, ada dua orang remaja yang mengaku telah membunuhnya, yaitu Muaz dan Mu’awwaz,’ jawab salah seorang sahabat.

‘Suruh kedua remaja itu menghadap kepadaku sekarang juga!’ perintah Rasulullah Saw.

Mereka pun dihadapkan kepada Rasulullah Saw. dan kemudian menceritakan apa yang telah mereka lakukan. ‘Siapakah di antara kalian yang telah membunuhnya?’ tanya Rasulullah Saw.

Masing-masing mengaku bahwa ialah yang telah membunuh Abu Jahal.

‘Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian?’

‘Belum!’ jawab keduanya serentak.

‘Kalian berdua telah membunuhnya,’ ujar Rasulullah Saw. setelah memeriksa pedang mereka.”


๐Ÿ“š 87. Ingin Berjihad Lagi
Jabir ibn Abdullah menangis sambil memandangi wajah ayahnya yang terbunuh pada Perang Badar. Para sahabat melarang Jabir menangis, sementara Rasulullah Saw. tidak berkomentar. Bibinya juga menangisi kematian ayah Jabir. Setelah beberapa saat, Rasulullah Saw. mendekati Jabir dan menghiburnya: “Engkau tangisi atau tidak, malaikat tetap akan menaungi ayahmu dengan sayap-sayapnya hingga kalian mengangkatnya.”

Jabir berujar, “Wahai Rasulullah, ayahku baru saja syahid di Badar. Ia meninggalkan keluarga dan utang yang banyak.”

Beliau berujar, “Maukah kau menerima kabar gembira tentang bagaimana Allah menyambut ayahmu?”

“Tentu, wahai Rasulullah!” jawab Jabir senang.

“Allah tidak pernah berbicara dengan makhlukNya kecuali melalui tirai. Dia menghidupkan ayahmu dan berbicara dengannya berhadap-hadapan. Dia berfirman, ‘Hai hamba-Ku, mintalah kepada-Ku, Aku akan memberimu.’

Ayahmu berkata, ‘Tuhanku, hidupkan aku lagi, biar aku berjihad di jalan-Mu untuk kedua kalinya.’

Allah berfirman, ‘Sudah berlaku ketentuan-Ku, orang yang sudah terbunuh tidak akan kembali lagi ke dunia.’ Ayahmu berkata, ‘Jika begitu, sampaikan, duhai Tuhanku, kepada orang yang di belakangku tentang kebahagiaan yang kuperoleh.’”

Lalu turunlah ayat: Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka hidup di hadapan Tuhan mereka dan diberi rezeki. Mereka bergembira dengan apa yang Allah berikan sebagai anugerah-Nya kepada mereka. Mereka berbahagia demi orang yang belum menyusul mereka di belakang mereka. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidaklah mereka berduka cita (QS ร‚li ‘Imrรขn [3]: 169-170).

Itulah kenikmatan yang diperoleh Abdullah ibn Haram, ayahanda Jabir.


๐Ÿ“š 88. Hak Pedang Rasulullah
Ketika pasukan Muslim yang dipimpin Rasulullah Saw. telah siap menghadapi pasukan musuh dalam Perang Uhud, beliau berseru, “Siapakah yang siap mengambil pedangku ini dan memenuhi haknya?”

Beberapa orang sahabat bangkit untuk menyambut amanah tersebut, tetapi Rasulullah Saw. tidak juga menyerahkan pedangnya. Lalu, bangkitlah Abu Dujanah seraya bertanya, “Apakah hak pedang ini, wahai Rasulullah?”

“Pergunakan pedang ini untuk menebas musuh sampai mereka menyingkir.”

Abu Dujanah, alias Samak ibn Kharsyah berkata, “Aku yang akan mengambil pedang ini dan memenuhi haknya.”

Rasulullah Saw. pun menyerahkan pedangnya kepada Abu Dujanah. Ia dikenal sebagai lelaki pemberani yang terlihat angkuh ketika berjalan, dan kukuh dalam peperangan. Rasulullah Saw. mengomentari cara berjalannya Abu Dujanah yang terlihat angkuh, “Cara berjalan seperti itu sangat dibenci Allah, tetapi dibolehkan dalam situasi perang seperti ini.”

Zubair ibn Al-Awwam yang hadir di sana, merasa kecewa karena Rasulullah Saw. enggan memberikan pedang kepadanya, malah menyerahkannya kepada Abu Dujanah. Zubair berbisik dalam hati, “Demi Allah, aku akan memperhatikan apa yang ia (Abu Dujanah) perbuat dengan pedang itu.”

Kemudian Zubair mengikuti gerak-gerik Abu Dujanah dengan ujung matanya. Ia memperhatikan bagaimana Abu Dujanah mengambil ikat kepala merah lalu memakainya di kepala. Orang Anshar berkata, “Abu Dujanah telah mengeluarkan ikat kepala kematian!”

Lalu Abu Dujanah berjalan gagah sambil bersenandung:

Akulah orang yang telah berjanji kepada sang kekasih, Ketika kami beristirahat di bawah sebatang pohon kurma Aku berjanji takkan ada di barisan akhir sepanjang masa, Aku akan menyerang dengan pedang Allah dan Rasul-Nya

Lalu, ia terjun ke medan perang dengan gagah berani, menebas dan menyerang setiap musuh yang ditemuinya. Tidak terlihat gentar atau takut sedikit pun pada setiap gerak dan sorot matanya.

Ibn Ishak meriwayatkan bahwa setelah pulang dari medan Perang Uhud Rasulullah Saw. memberikan pedangnya kepada Fatimah, sang putri tercinta, seraya berkata, “Putriku, cucilah darah pada pedang ini!” Dan Ali (suami Fatimah) juga memberikan pedangnya kepada Fatimah seraya berkata, “Wahai Fatimah, bersihkan darah dari pedang ini. Demi Allah, sesungguhnya pedang ini telah berbuat jujur kepadaku hari ini.”

Mendengar ujaran Ali, Rasulullah Saw. bersabda,

“Jika hari ini kau berlaku jujur dalam berperang maka sesungguhnya Sahl ibn Hanif dan Abu Dujanah pun berbuat jujur.”


๐Ÿ“š 89. Jangan Salahi Perintah Rasul!
Rasulullah Saw. merupakan teladan utama bagi semua Muslim tidak hanya dari sisi akhlak dan keutamaan ibadahnya, tetapi juga dalam keberanian, ketangkasan, dan kecerdikannya. Dalam berbagai peperangan, beliau tak pernah menunjukkan rasa gentar sedikit pun. Beliau menjadi teladan dalam keberanian dan kewiraan. Tidak pernah sekalipun Nabi Saw. melarikan diri dari medan perang. Sikap dan perilakunya selalu menampilkan ketenangan dan kewaspadaan. Semua itu bersumber dari keyakinan dan ketakwaannya kepada Allah Swt. Beliau selalu yakin, jika kaum Muslim memegang teguh keimanan dan kesabaran, kekuatan mereka pasti akan melebihi kekuatan musuh meskipun musuh lebih banyak dan peralatan perangnya lebih lengkap.

Tidak hanya itu, kepintaran dan kecerdikan beliau telah teruji dalam berbagai medan perang. Karena itulah, Rasulullah dikenal sebagai ahli perang yang istimewa dan perancang strategi militer yang ulung. Medan Perang Badar telah menjadi bukti nyata keistimewaan sang panglima yang mulia. Begitu pula medan perang berikutnya, yaitu di Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijriah.

Dalam Perang Uhud, pasukan Muslim yang hanya berjumlah 750 orang harus berhadapan dengan tiga ribu pasukan musuh. Maka, Rasulullah Saw. segera mengatur posisi dan strategi perang yang terbukti efektif. Beliau menempatkan 50 orang pemanah di atas sebuah bukit di garis belakang pasukan Islam, seraya berpesan kepada mereka:

“Lindungilah punggung kami, dan tetaplah bertahan di pos kalian. Meskipun kalian melihat kami berhasil memorak-porandakan barisan musuh dan mereka lari tunggang-langgang, jangan tinggalkan posisi kalian.

Sebaliknya, walaupun kalian melihat musuh berhasil menerobos dan membuat kami porak-poranda, jangan pernah mencoba-coba turun untuk menolong kami. Tetaplah pada tugas kalian: hujani mereka dengan anak panah kalian. Bidik kuda mereka, karena pasukan berkuda tak akan sanggup melawan hujan panah.”

Pada awalnya pasukan Muslim berhasil memukul mundur pasukan Quraisy. Namun, pasukan pemanah yang ditempatkan Rasulullah Saw. di bukit sebagai kunci strategi tidak menaati perintah Rasulullah Saw. Ketika melihat pasukan Muslim berhasil menerobos dan memorak-porandakan barisan musuh, mereka menuruni bukit mengikuti kawan-kawan mereka yang sibuk mengumpulkan pampasan perang yang ditinggalkan pasukan Quraisy.

Mereka sama sekali tidak sadar bahwa posisi pasukan Muslim belum sepenuhnya aman. Mereka tinggalkan pos yang sangat strategis itu demi mengejar pampasan perang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di balik bukit, kavaleri musuh di bawah pimpinan Khalid ibn Walid tengah mengintai kelengahan mereka. Khalid tahu, barisan Quraisy porak-poranda bukan hanya akibat serangan pasukan infanteri kaum Muslim, tetapi juga karena hujan anak panah yang dilontarkan dari atas bukit. Maka, saat melihat sebagian besar pemanah menuruni bukit, Khalid memerintahkan pasukannya untuk menyerang mereka dari belakang. Tentu saja dengan langkah mudah, pasukan Khalid berhasil menyapu bersih pasukan pemanah yang telah bubar.

Dalam waktu yang singkat, kavaleri Quraisy berbalik menguasai bukit dan menyerang pasukan Muslim yang tengah sibuk mengumpulkan pampasan perang. Tentu saja, pasukan muslim yang sama sekali tidak mengira akan mendapat tikaman dari belakang, langsung kocar-kacir. Akhirnya, dalam waktu sekejap, pihak pemenang berubah menjadi pihak yang kalah dan porak-poranda.

Kini, kita mengetahui penyebab kekalahan Muslim dalam Perang Uhud. Di babak awal, mereka memenangi perang dan menghancurkan barisan musuh sehingga mereka lari tunggang langgang. Mereka menang karena patuh dan taat kepada komando panglima perang. Sebaliknya, ketika mereka menyalahi perintah pimpinan, yaitu menuruni bukit sebagai pos yang harus dipertahankan, seketika itu juga mereka dilanda kekalahan dan kehancuran.


๐Ÿ“š 90. Pahlawan-Pahlawan Uhud
Akibat pasukan pemanah yang tidak mematuhi perintah Rasulullah Saw., pasukan musyrik Quraisy dapat memukul mundur pasukan Muslim pada Perang Uhud. Kavaleri Quraisy menghantam pasukan Muslim dari belakang, dan pasukan infanteri Quraisy, yang sebelumnya melarikan diri berbalik menghadang pasukan Muslim ketika melihat pasukan Khalid menyerang pasukan Muslim. Akibatnya, pasuk Muslim terjepit di tengah-tengah. Saat itu, banyak pasukan Muslim yang terbunuh dan sebagian lainnya lari menghindari musuh. Hanya sembilan orang sahabat yang tersisa di sekitar Rasulullah Saw. Tujuh orang Anshar dan dua orang Muhajirin. Melihat kaum Muslim melarikan diri, Rasulullah Saw. berteriak, “Kemarilah, hai kaum Muslim.

Aku, Rasulullah, di sini!” Mendengar teriakan Rasulullah Saw., kaum kafir segera menyerang beliau. Mereka terus melancarkan serangan sebelum pasukan Muslim berbalik kembali ke medan perang.

Sembilan orang sahabat berusaha melindungi Rasulullah Saw. dari gempuran pasukan kafir Quraisy. “Siapa yang berani melindungiku dari serangan mereka, ia berhak mendapatkan surga! Ia akan menjadi temanku di surga!” seru Rasulullah Saw. kepada para sahabatnya.

Lalu, tampil ke muka seorang laki-laki dari Anshar. Ia maju dan bertempur dengan sengit hingga terbunuh. Begitulah seterusnya, satu demi satu kaum Anshar maju menjadi tameng pelindung Rasulullah hingga semuanya gugur sebagai syuhada. Orang yang terakhir adalah Umarah ibn Yazid ibn Al-Sakan.

Kini yang tersisa hanya dua orang Muhajirin di sisi Rasulullah Saw., yaitu Thalhah ibn Ubaidillah dan Sa‘d ibn Abi Waqqash. Kaum musyrik tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Utbah ibn Abi Waqqash melemparkan batu ke arah Rasulullah Saw. hingga mengenai wajah beliau dan menanggalkan gigi geraham dan melukai bibir bawah beliau. Lalu, serangan berikutnya dilancarkan Abdullah ibn Syihab Al-Zuhri yang berhasil melukai kening Rasulullah Saw.

Kemudian seorang penunggang kuda dari Quraisy, Abdullah ibn Qum‘ah, menghantam pundak Rasulullah Saw. dengan pedangnya. Namun, beliau tidak terluka parah karena memakai baju zirah. Ia juga memukul pipi Rasulullah Saw. bagian atas dengan keras. “Terimalah itu. Aku adalah Ibn Qum‘ah,” sesumbar Abdullah dengan sombong.

Rasulullah Saw. lalu mengusap darah dari wajahnya sambil berseru, “Semoga Allah menghinakanmu!”

Doa Rasulullah Saw. ini terbukti di kemudian hari. Ketika Abdullah keluar rumah menuju ternaknya di bukit, ia terjatuh ke lembah dan tewas.

Dua orang sahabat Muhajirin yang melindungi Rasulullah Saw. bertarung sekuat tenaga. Mereka terus berperang dengan gagah berani. Bahkan, Thalhah sampai tidak menyadari jari-jari tangannya putus dan mendapat luka lebih dari 35 tikaman pedang serta lembing. Kelak, Thalhah terkenal dengan sebutan “Syahid yang hidup.”

Sementara, Sa‘d ibn Abi Waqqash dikenal sebagai pemanah ulung. Ia melindungi Rasulullah Saw. dengan melontarkan anak panah kepada setiap musuh yang mendekat dan menyerang beliau. Di saat genting itulah, pertolongan Allah datang. Sa‘d menceritakan apa yang dilihatnya saat itu: “Aku melihat Rasulullah pada Perang Uhud ditemani dua orang laki-laki berpakaian putih. Keduanya berperang dengan hebat. Keberanian dan ketangkasan keduanya belum pernah kulihat sebelum atau sesudah peristiwa itu.”

Mereka adalah Malaikat Jibril dan Mikail. Jibril berperang di sebelah kanan Rasulullah Saw. dan Mikail di sebelah kiri beliau.

Beberapa saat kemudian, mulailah para sahabat yang lain berkumpul di sekitar Rasulullah Saw., termasuk di antaranya Abu Dujanah, si pemilik ikat kepala merah dan pemegang pedang Rasulullah Saw. Ia melindungi beliau dengan punggungnya. Ia terus bertarung tidak memedulikan rasa sakit, meskipun beberapa anak panah menancap di tubuhnya. Ada juga Hatib ibn Abi Balta’ah yang membunuh Utbah ibn Abi Waqqash dengan pedangnya.

Sahabat lainnya adalah Sahl ibn Hanif, pemanah ulung. Juga ada Abdurrahman ibn Auf, yang mendapatkan lebih dari dua puluh luka. Tak kalah hebatnya, Malik ibn Sinan, atau Abu Sa‘id Al-Khudri. Ia membersihkan darah dari pipi Rasulullah Saw., kemudian berperang dengan hebat hingga gugur sebagai syahid.

“Siapa yang ingin melihat seorang lelaki penduduk surga, lihatlah orang ini,” kata Rasulullah Saw. tentang Malik ibn Sinan.

Mush‘ab ibn Umair juga tampil melindungi Rasulullah Saw. dari serangan kaum musyrik. Saat itu, ia memegang panji pasukan Muslim. Ketika tangan kanannya putus, ia pegang bendera dengan tangan kirinya sambil memukulkannya ke arah orang kafir. Saat tangan kirinya juga putus, ia mendekap panji itu dengan kedua pangkal lengannya hingga akhirnya ia terbunuh. Selanjutnya, Rasulullah Saw. memberikan bendera itu kepada Ali ibn Abi Thalib.

Setelah itu, datanglah Utsman ibn Abdullah ibn Al-Mughirah, seorang penunggang kuda musyrik. Ia menyerang Rasulullah Saw., tetapi kuda yang ditungganginya terperosok ke lubang. Saat itulah, Al-Harits ibn Al-Shamit menyergapnya dan berhasil melukai kakinya.

Melihat hal itu, Abdullah ibn Jabir, penunggang kuda terakhir kaum musyrik, memacu kudanya mendekati Al- Harits dan memukul pundaknya hingga terluka. Namun, dengan sigap Abu Dujanah menghadang Ibn Jabir, bertarung, dan membunuhnya.

Seusai perang, para sahabat mengumpulkan syuhada yang gugur maupun yang terluka .…

“Hai Zaid, carilah Sa‘d ibn Rabi! Jika kau menemukannya, sampaikan salam dariku! Katakan kepadanya, Rasulullah menanyakan keadaannya,” pesan Rasulullah Saw. kepada Zaid ibn Tsabit.

Maka, Zaid bergegas mencari Sa‘d ibn Rabi di antara syuhada. Akhirnya, Sa‘d ditemukan dalam keadaan terluka parah. Ia mendapatkan tujuh puluh luka, baik akibat sabetan pedang, lemparan lembing, maupun lontaran anak panah musuh. “Hai Sa‘d, Rasulullah menyampaikan salam untukmu. Beliau juga menanyakan keadaanmu,” ujar Zaid dengan lembut.

“Semoga Rasulullah senantiasa mendapatkan keselamatan. Katakan kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, aku telah mencium wangi surga.’ Katakan juga kepada kaumku, orang-orang Anshar, ‘Jangan kalian ragu. Kalian tidak pantas melarikan diri dari peperangan jika mencintai Rasulullah dengan tulus meskipun kalian punya pilihan!’” ujar Sa‘d.

Setelah itu, ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Ruhnya terbang menuju surga yang penuh kenikmatan.

Para sahabat juga menemukan Amr ibn Tsabit di antara orang-orang yang terluka. Ia sedang menghadapi sakratulmaut. Ia adalah orang Madinah yang ikut berperang, tetapi belum masuk Islam. Hingga saat itu, ia masih menolak untuk masuk Islam. Karena itulah, Rasulullah Saw. menyuruh orang untuk menanyainya: “Apakah yang membuatmu berperang bersama kami? Apakah karena kaummu atau karena Islam?” tanya sahabat.

“Aku berperang karena Islam. Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu aku berperang bersama Rasulullah hingga terluka seperti yang kalian lihat,” jawab Amr. Tidak lama kemudian, ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Para sahabat melaporkan keadaannya kepada Rasulullah Saw. sehingga beliau bersabda, “Ia termasuk ahli surga.”

“Padahal, ia belum pernah shalat sekali pun,” tutur Abu Hurairah.


๐Ÿ“š 91. Jasad yang Dimandikan Malaikat
Salah seorang sahabat yang juga gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud adalah Hanzhalah. Ketika perang usai, para sahabat menemukan jasadnya basah dan masih meneteskan air. Para sahabat segera melaporkan keadaannya kepada Rasulullah Saw.

“Jasadnya dimandikan malaikat. Tanyakanlah kepada istrinya, mengapa bisa demikian?” ujar Rasulullah Saw.

Maka, tiba di Madinah, para sahabat menceritakan keadaan Hanzhalah kepada istrinya, Jamilah binti Ubay ibn Salul:

“Suamimu telah gugur sebagai syahid di medan perang kemarin. Bersabarlah, karena Allah tidak akan menyia-nyiakan suamimu. Allah akan membalasnya dengan surga.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan suamiku syahid di medan perang. Insya Allah, aku bersabar,” ujar Jamilah tegar.

“Kami ingin bertanya kepadamu tentang suamimu.”

“Memangnya, ada apa dengan suamiku?”

“Kami menemukan jasad suamimu basah dan masih meneteskan air. Lalu, kami laporkan kepada Rasulullah dan beliau bilang, suamimu telah dimandikan malaikat. Selanjutnya, Rasulullah menyuruh kami untuk menanyakannya kepadamu, mengapa bisa demikian?”

“Oh … itu,” kata Jamilah agak malu, “sebenarnya, aku dan suamiku baru saja menikah. Sebagai pengantin baru, kami lalui malam-malam laiknya orang yang baru menikah. Beberapa hari kemudian, kami mendengar seruan untuk berjihad. Tanpa pikir panjang, suamiku bergegas bangun, mengenakan baju zirah, mengambil pedang, lalu keluar menuju medan perang dalam keadaan junub.”

“Sekarang, kami tahu mengapa suamimu dimandikan malaikat setelah ia berperang dengan gagah berani dan akhirnya gugur sebagai syahid,” kata para sahabat. “Ini adalah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Allah adalah pemilik karunia yang besar,” tutur Jamilah dengan wajah berseri.


๐Ÿ“š 92. Prajurit yang Menjadi Ahli Neraka
Suatu ketika pasukan Muslim yang dipimpin Rasulullah Saw. berhadapan dengan pasukan musyrik dalam sebuah peperangan. Ketika sebagian orang beristirahat, Rasulullah pergi ke markas pasukan Muslim. Di antara pasukan Muslim saat itu ada seorang laki-laki yang tampak sangat bersemangat dalam peperangan. Ia tidak membiarkan seorang musuh pun lepas dari sabetan pedangnya. Para sahabat berkomentar tentang orang ini, “Betapa besar pahala si fulan itu pada hari ini dibandingkan kita.”

Mendengar komentar mereka, Rasulullah Saw. menanggapinya, “Sesungguhnya ia termasuk ahli neraka.” Karena heran mendengar ucapan Rasulullah, salah seorang sahabat berkata, “Aku adalah temannya dan aku akan mengikuti gerak-geriknya.”

Kemudian, ia pergi memperhatikan segala gerak-gerik orang yang disebut sebagai ahli neraka itu. Jika orang itu maju, ia pun maju, dan jika temannya itu berhenti, ia juga berhenti.

Selang beberapa waktu, orang yang disebut ahli neraka itu mendapat luka yang sangat parah akibat tebasan musuh. Namun, alih-alih bersabar, ia malah mempercepat kematiannya dengan menancapkan pangkal pedangnya ke tanah dan mengarahkan hulu pedangnya yang runcing ke ulu hatinya, dan ia hempaskan tubuhnya ke pedang itu. Ternyata, ia memilih jalan pintas: bunuh diri.

Setelah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang dilakukan orang itu, sahabat yang tadi mengawasi dan mengikutinya segera menghadap Rasulullah Saw. dan berkata, “Aku bersaksi, engkau adalah utusan Allah.”

Rasulullah Saw. bertanya, “Ada apa?”

“Tentang laki-laki yang engkau sebutkan sebagai ahli neraka tadi sehingga orang-orang terkejut mendengarnya. Aku mengatakan kepada mereka bahwa aku akan mengikutinya dan mengabarkan keadaannya.

Maka, aku mengawasi gerak-geriknya hingga ia terluka parah. Namun, ia mempercepat kematiannya dengan cara menancapkan tungkai pedangnya ke tanah dan mengarahkan hulunya ke ulu hatinya, lalu menghempaskan tubuhnya ke pedang itu hingga ia tewas akibat bunuh diri.”

Mendengar cerita sahabat itu Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya ada laki-laki yang tampak oleh manusia melakukan amal ahli surga, tetapi sebenarnya ia termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya ada laki-laki yang tampak oleh manusia melakukan amal ahli neraka, tetapi sebenarnya ia termasuk ahli surga.”


๐Ÿ“š 93. Rasulullah Kehilangan Julaibib
Julaibib adalah seorang sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal berani. Suatu hari Rasulullah Saw. menempuh perjalanan menuju satu peperangan bersama kaum Muslim. Kemudian, Allah memberikan karunia berupa pampasan perang kepada pasukan Muslim.

“Apakah kalian kehilangan salah seorang teman kalian?” tanya Rasulullah Saw. kepada para sahabat.

Para sahabat menjawab, “Benar, kami kehilangan fulan, fulan, dan fulan .…”

Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Apakah kalian kehilangan salah seorang teman?”

“Benar, kami kehilangan fulan, fulan, dan fulan …,” jawab para sahabat.

Untuk kali ketiga, Rasulullah Saw. bertanya lagi,

“Apakah kalian kehilangan salah seorang teman?”

“Tidak,” ujar para sahabat.

Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Akan tetapi, aku kehilangan Julaibib. Jadi, kalian carilah ia sampai ketemu!”

Para sahabat segera mencari Julaibib dan mereka menemukannya tergeletak bersama tujuh orang musuh yang berhasil ia bunuh. Mereka bergegas melaporkan keadaannya kepada Rasulullah Saw. yang melangkah cepat mendatangi tempatnya, lalu berkata, “Julaibib telah membunuh tujuh musuh kemudian ia terbunuh. Ia merupakan bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya.”

Selanjutnya, Rasulullah Saw. mengangkat Julaibib dengan kedua tangan beliau dan menguburkannya tanpa memandikan jenazahnya terlebih dahulu.


๐Ÿ“š 94. Dikafani dengan Baju Zirah Nabi
Ada seorang laki-laki Badui (pedalaman Arab, yang tinggal nomaden di kemah-kemah) datang menemui Rasulullah Saw., lalu menyatakan beriman dan mengikuti beliau. Ia berkata, “Aku akan berhijrah bersamamu.” Rasulullah Saw. dan para sahabat memberikan nasihat agama kepadanya.

Tidak lama setelah menyatakan keislamannya, orang Arab Badui ini ikut berperang bersama Rasulullah Saw. daam Perang Khaibar. Ketika kaum Muslim menang dan mendapatkan ganimah, Rasulullah Saw. membagikannya ke pada para sahabat, termasuk laki-laki Badui itu.

Semua sahabat yang kebagian ganimah tentu saja bergembira, tetapi tidak dengan laki-laki Badui itu. Ia bertanya, “Apa ini?”

Para sahabat menjawab, “Ini adalah bagian ganimah untukmu dari Rasulullah.”

Ia menerima bagian ganimahnya, tetapi kemudian menghadap Rasulullah Saw. seraya berkata, “Harta apakah ini?”

“Ini adalah bagian ganimah yang kuberikan sebagai bagianmu,” jawab Rasulullah Saw.

“Ya Rasulullah, bukan karena urusan ini aku mengikutimu. Tetapi aku ingin agar suatu saat nanti aku terkena tancapan di sini—sambil menunjuk ke lehernya— sehingga aku terbunuh dan masuk surga.”

“Jika kau menepati janjimu kepada Allah, Dia juga akan menepati janji-Nya kepadamu,” tegas Rasulullah Saw.

Setelah kaum Muslim beristirahat, mereka kemudian bangkit untuk melanjutkan penyerbuan. Di tengah kecamuk peperangan, para sahabat menggotong laki-laki Badui ini menghadap Rasulullah Saw. Lehernya terkena anak panah–di tempat yang sesuai dengan yang ia tunjukkan sebelumnya.

Melihat keadaan laki-laki itu, Rasulullah Saw. bertanya, “Apakah ini orang yang kemarin?”

“Benar,” jawab para sahabat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Ia telah menepati janjinya kepada Allah. Maka, Allah pun menepati janjiNya kepada laki-laki ini.”

Kemudian, Rasulullah Saw. mengafaninya dengan baju zirah milik beliau.

“Ya Allah, ini adalah hamba-Mu. Ia keluar untuk hijrah di jalan-Mu dan terbunuh sebagai syahid. Maka, akulah yang menjadi saksi atasnya,” ujar Rasulullah Saw. usai menguburkannya.

Lain lagi nasib yang dialami seorang penggembala milik Jabir. Ia syahid setelah minta didoakan oleh Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan melawan Bani Amar.

Di tengah perjalanan, para sahabat beristirahat sejenak di bawah sebatang pohon. Tiba-tiba, Rasulullah Saw. menghampiri mereka. Jabir, yang duduk bersama para sahabat lain saat itu berkata kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah, mari berteduh.”

Beliau berjalan mendekat, memberi salam, dan berteduh di sana. Kemudian Jabir mengeluarkan mentimun kecil dan menghaturkannya kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya, “Dari mana kalian mendapatkan ini?”

“Kami membawanya dari Madinah,” ujar Jabir.

Tidak lama kemudian, seorang penggembala milik Jabir datang dengan mengenakan dua burdah yang telah usang. Rasulullah Saw. melihat kepadanya, kemudian bertanya kepada Jabir, “Bukankah ia punya baju selain yang dipakainya itu?”

“Betul, ia punya dua kain yang kuberikan kepadanya,” jawab Jabir.

“Panggil ia, dan suruh memakai dua pakaian itu!” pinta Rasulullah Saw.

Maka penggembala itu pun mendatangi Rasulullah, lalu memakai dua pakaian itu dan beranjak pergi. Rasulullah Saw. bertanya, “Bagaimana keadaannya sekarang? Semoga Allah memuliakannya! Bukankah ini lebih baik?”

Si penggembala itu mendengar ucapan Rasulullah Saw. Ia mengharapkan kebaikan sehingga berkata, “Di jalan Allah, wahai Rasulullah.”

“Di jalan Allah,” timpal beliau.

Dan, laki-laki penggembala itu pun akhirnya ter- bunuh di jalan Allah.


๐Ÿ“š 95. Seorang Badui Beristri Bidadari
Suatu hari Rasulullah Saw. berjalan melewati tenda seorang Arab Badui. Saat itu, beliau tengah menempuh perjalanan bersama para sahabat menuju Khaibar untuk berperang. Mendengar ada orang yang lewat di dekat tendanya, orang Badui itu segera membuka penutup tenda dan bertanya, “Siapakah kalian?”

Seorang sahabat menjawab, “Rasulullah dan para sahabatnya dalam perjalanan untuk berperang.”

“Apakah jika aku bergabung, aku akan mendapatkan sesuatu dari keuntungan dunia?” tanya Badui itu.

“Benar, siapa pun yang ikut serta akan mendapatkan bagian ganimah yang dibagi di antara kaum Muslim,” ujar seorang sahabat.

Mendengar jawaban itu, ia bergegas menuju unta nya yang terikat, lalu menungganginya, dan bergabung dengan pasukan Islam. Dalam perjalanan, ia mendekatkan untanya di samping unta Rasulullah Saw.

Melihat perbuatannya, para sahabat yang bersikap waspada, berusaha menghalaunya dari sisi Rasulullah Saw. Namun, beliau menahan mereka seraya berkata, “Biarkan ia mendekatiku. Demi Dia yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya ia adalah salah seorang penghuni surga.”

Dalam riwayat lain diceritakan bahwa orang Badui itu berasal dari Habsyi dan berkulit hitam. Ia bekerja sebagai penggembala kambing milik seorang Yahudi. Ketika bertemu Rasulullah, ia tertarik pada Islam, lalu menyatakan keimanannya. Rasulullah Saw. pun menerangkan Islam kepadanya dan beliau tidak pernah meremehkan siapa pun yang memeluk Islam.

Kemudian, terjadilah peperangan antara kaum Muslim melawan Yahudi Khaibar. Orang Badui itu pun tak mau ketinggalan. Ia ikut berperang di pihak Islam. Tak lama kemudian, ia mendapatkan anugerah syahid, terkena lemparan batu yang menewaskannya, padahal ia belum pernah mendirikan shalat sekali pun. Peristiwa syahidnya orang Badui itu disampaikan kepada Rasulullah Saw., yang bergegas mendatanginya, dan duduk di sisi kepalanya. Rasulullah Saw. tersenyum dan tampak gembira … tetapi kemudian beliau memalingkan wajahnya.

Para sahabat heran, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, kami melihatmu tersenyum, tetapi kenapa setelah itu engkau berpaling?”

Rasulullah Saw. menjawab, “Apabila kalian melihatku bergembira, itu karena kemuliaan ruhnya di hadapan Allah Swt. Aku memalingkan kepala karena saat ini istrinya dari kalangan bidadari sedang berada di dekat kepalanya.”

Kisah hampir sama dialami Jabir. Ia lebih memlilih 72 bidadari surga daripada wanita dunia. Mari kita simak kisah kepahlawanannya!

Suatu hari, pada musim semi yang cerah, Jabir duduk-duduk di samping shuffah, yaitu rumah di samping masjid yang khusus disediakan bagi kaum fakir tunawisma, dan Jabir adalah salah seorang penghuninya. Ketika ia khusyuk mengasah pedangnya, seseorang datang dan bertanya, “Assalamu‘alaikum, hai Jabir. Apa yang sedang kamu lakukan?”

“Wa‘alaikumussalam, wahai Rasulullah. Aku sedang mengasah pedang,” jawab Jabir terkejut karena yang datang adalah Rasulullah Saw.

“Aku tahu, kamu masih sendirian.”

“Allah bersama kita.”

“Tentu. Tapi, yang kumaksud, mungkin kau membutuhkan seorang pendamping hidup,” ujar Rasulullah Saw.

Jabir heran mendengar ujaran Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, di kota ini, mana ada orang yang mau memberikan putrinya kepada orang yang miskin, jelek, hitam, dan tunawisma seperti aku ini?”

“Allah bersama kita. Kau adalah seorang pemuda Muslim dan pemberani. Di dalam Islam, derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya. Nah, atas namaku, pergilah temui Ziad ibn Labid dan pinanglah putrinya yang bernama Zulfah untukmu.”

Maka, Jabir segera pergi ke rumah Ziad untuk meminang putrinya atas nama Rasulullah Saw. untuk dirinya. “Rasulullah menyuruhku datang ke sini menemui Tuan dan, atas nama beliau, meminang putri Tuan, Zulfah, untukku,” ujar Jabir.

Tentu saja Ziad terkejut. Ia tak menyangka bahwa Rasulullah Saw. berpesan seperti itu. Ia tampak kebingungan. Bagaimana mungkin Zulfah, putrinya yang cantik jelita, menikah dengan Jabir yang kondisinya seperti itu? Begitulah jeritan hatinya.

Maka, ia bertanya meyakinkan dirinya, “Apakah Rasulullah sendiri yang mengatakan itu kepadamu?” “Semua orang tahu siapa aku,” ujar Jabir, “aku adalah seorang Muslim dan tak pernah sekali pun berdusta.”

“Aneh. Menurut adat istiadat, kita hanya mengawinkan putri-putri kita dengan laki-laki yang sederajat. Rasulullah pasti mengetahui hal ini. Baiklah, sekarang, pergilah dulu, dan aku akan menemui Rasulullah sendiri,” ucap Ziad.

Zulfah, yang mendengarkan percakapan ayahnya dengan Jabir dari dalam kamar, segera menjumpai ayahnya. “Ayah, mungkin ia berkata jujur. Jika ia benar jujur, penolakan Ayah berarti penolakan terhadap Rasulullah. Ayah, segera susul ia sebelum pergi jauh. Dan, segeralah Ayah temui Rasulullah.”

Ziad bergegas menyusul Jabir dan memintanya kembali. Ia juga meminta Jabir untuk menunggu di rumah hingga ia menemui Rasulullah Saw. dan membicarakan pinangannya. Setelah bertemu Rasulullah, Ziad berkata, “Ya Rasulullah, tadi Jabir datang ke rumahku. Atas nama engkau, ia meminang putriku. Bukankah menurut adat, kita menikahkan putri-putri kita hanya dengan laki-laki yang sederajat?”

“Hai Ziad, Jabir adalah orang yang bertakwa. Apa yang kamu pikirkan tentang derajat itu tidak ada hubungannya dengan Islam. Dalam Islam, laki-laki takwa sama sederajat dengan wanita takwa,” ujar Rasulullah Saw.

Pada awalnya Ziad enggan menikahkan putrinya, Zulfah, dengan Jabir. Tetapi setelah mendengar penjelasan Rasulullah Saw., Ziad ridha menerima pinangan Jabir.

Namun, sesaat sebelum akad nikah dilangsungkan, tiba-tiba Bilal ibn Rabah berseru agar kaum Muslim bersiap-siap pergi ke medan perang. Jabir yang mendengar seruan ini tidak berpikir panjang. Ia langsung bergabung bersama Rasulullah Saw. beserta para sahabat lainnya untuk berjihad dan meninggalkan calon pengantinnya.

Jabir pergi ke medan perang bersama pasukan Muslim. Di medan perang, ia bertempur gagah berani. Pedangnya yang tajam mengilat berkelebat ke sana kemari mencari mangsa. Akhirnya, Jabir terkena sabetan pedang musuh yang mengantarkannya pada kesyahidan.

Usai peperangan, para sahabat menemukan Jabir, sang pengantin, terbujur kaku sebagai syahid di antara para syuhada lain. Sungguh, Jabir lebih memilih 72 bidadari surga yang dijanjikan Allah bagi para syuhada daripada wanita di dunia.


๐Ÿ“š 96. Benteng Terakhir Khaibar
Setelah pasukan Quraisy dan sekutu mereka pulang dengan wajah tertunduk karena tidak bisa menyerang Madinah dalam Perang Ahzab, Rasulullah memerintahkan kaum Muslim untuk bergerak menuju Khaibar. Beliau memerintahkan kaum Muslim untuk mengepung dan menyerang perkampungan Yahudi itu karena berkhianat dan menikam kaum Muslim dari belakang.

Maka, selama beberapa hari kaum Muslim mengepung Khaibar dan menjatuhkan benteng-benteng mereka. Setelah beberapa hari pengepungan, semua Benteng Khaibar telah dikuasai kaum Muslim kecuali Benteng Al-Wathih dan Al-Sulalim. Inilah benteng Yahudi terbesar di Khaibar, yang paling sulit ditembus. Rasulullah Saw. beserta kaum Muslim mengepung benteng ini hingga dua minggu lamanya.

Suatu hari, seorang Yahudi bernama Marhab keluar dari benteng itu menantang duel, “Siapakah di antara kalian berani berduel melawanku?!”

“Siapakah yang berani menghadapinya?” tanya Rasulullah Saw. kepada pasukan Muslim.

“Aku yang akan menghadapinya, wahai Rasulullah,”

tegas Muhammad ibn Maslamah, “Demi Allah, aku akan mengalahkannya. Kemarin saudaraku telah gugur.”

Maka, Rasulullah Saw. berkata, “Hadapilah ia. Ya Allah, tolonglah Muhammad untuk mengalahkannya!”

Muhammad pun melangkah cepat menyambut kedatangan Mahrab. Keduanya bertarung dengan sengit dan Muhammad ibn Maslamah berhasil membunuh musuhnya.

Tidak lama kemudian saudaranya Marhab, Yasir, keluar dan berteriak, “Siapakah di antara kalian yang berani berduel melawanku?!”

Zubair ibn Al-Awwam, langsung menyambutnya tegas, “Aku akan menghadapimu!”

Namun, ibunda Zubair, Shafiyyah, yang merupakan bibi Rasulullah Saw. berkata, “Jangan, wahai Rasulullah. Ia akan membunuh anakku.”

Rasulullah Saw. menukas, “Bahkan anakmulah yang akan membunuhnya, insya Allah.” Rasulullah memberi isyarat kepada Zubair untuk maju melayani tantangan Yahudi itu. Zubair pun maju, bertarung, dan membunuh Yasir. Setelah duel itu, perang pun berkecamuk hebat antara pasukan Muslim dan pasukan Yahudi Khaibar.

Panji perang pasukan Muslim dipegang oleh Abu Bakar yang sekaligus menjadi komandan perang. Abu bakar berperang dengan hebat, tetapi sejauh ini belum berhasil menaklukkan benteng itu. Hari kedua, Umar mengambil alih bendera dan maju berperang dengan hebat, lebih hebat dari hari pertama. Namun, Umar pun tidak berhasil menembus benteng itu.

Malamnya, Rasulullah Saw. berkata kepada para sahabat, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini besok pagi kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan dicintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberikan kemenangan lewat tangannya dan ia tidak akan lari dari medan perang.” Tentu saja, semua sahabat berharap ialah orang yang dimaksud Rasulullah Saw.

Keesokan harinya semua Muslim berkumpul menanti titah Rasulullah Saw. Setelah semua bersiap-siap, beliau bertanya, “Di manakah Ali ibn Abi Thalib?” Orang-orang menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.”

Beliau meminta mereka untuk membawa Ali ke hadapan beliau. Setelah berhadapan, Rasulullah membalurkan ludahnya ke mata Ali dan mendoakannya. Seketika itu juga kedua mata Ali sembuh seakan tidak pernah sakit sebelumnya.

Kemudian, Rasulullah Saw. memberikan bendera kepada Ali seraya berpesan, “Ambillah bendera ini dan berperanglah. Jangan pernah sekali pun kau berpaling hingga Allah memberimu kemenangan!”

Ali segera menyiapkan pasukannya dengan tangkas dan terjun ke medan perang dengan gagah berani. Ia tancapkan bendera pasukan Muslim di sela-sela batu di bawah benteng Yahudi. Dalam satu perang tanding, perisai Ali terlepas sehingga ia menyentakkan salah satu pintu Benteng Khaibar yang dipakainya sebagai tameng. Ali mengangkat pintu gerbang dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang pedang. Ia terus bertarung hingga berhasil membunuh Salam ibn Misykam dan Al-Harits ibn Abi Zainab, dua pimpinan pasukan Yahudi. Ali terus memegang erat tameng dari pintu gerbang itu hingga Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muslim.

Usai perang, sepuluh orang sahabat mencoba mengangkat pintu gerbang benteng yang dijadikan tameng oleh Ali ibn Abi Thalib. Namun, mereka tak mampu mengangkatnya. Wallรขhul musta‘รขn.


๐Ÿ“š 97. Ya Allah, Ridhailah Ia!
Seorang pemuda bergelar Dzul Bajadain (pemilik baju yang dibelah dua), datang ke Madinah setelah melewati warqon—sebuah gunung di kanan jalan antara Madinah dan Makkah. Ia tiba di Madinah pada waktu sahur dan langsung beristirahat di masjid. Pagi hari itu, seperti biasa, Rasulullah Saw. memperhatikan setiap orang yang hadir di masjid setelah mereka menunaikan shalat shubuh. Lalu pandangan beliau jatuh pada wajah pemuda ini sehingga beliau bertanya, “Hai Anak Muda, siapakah engkau?” Ia menyebutkan nasabnya, lalu menyebutkan namanya: Abdul Uzza.

Setelah pemuda itu menyebutkan namanya, Rasulullah langsung menegurnya dan mengatakan, “Tidak! Namamu adalah Abdullah (hamba Allah), Dzul Bajadain.” Kemudian beliau melanjutkan, “Tinggallah di sebelah rumahku!”

Sejak hari itu, si pemuda menjadi tamu Rasulullah Saw. Ia menjadi Muslim yang saleh dan tekun belajar. Ia juga rajin menghafal Al-Quran. Para sahabat memanggilnya “Abdullah” seperti nama yang diberikan Nabi Saw.

Ketika kaum Muslim bersiap-siap menuju medan perang Tabuk, Dzul Bajadain berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar memberiku kesyahidan!”

Rasulullah Saw. mengikatkan seutas tali berwarna coklat (terbuat dari kulit pohon), lalu berdoa, “Ya Allah, aku mengharamkan darahnya untuk orang kafir!”

Namun, Dzul Bajadain berkata, “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah, bukan itu yang kuinginkan!”

Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya jika kau telah bertekad keluar untuk berperang, lalu kau jatuh sakit hingga mati, atau terlempar dari hewan tungganganmu hingga lehermu patah dan mati, kau adalah syahid.”

Dalam ekspedisi itu, kaum Muslim berkemah di Tabuk selama beberapa hari. Di hari-hari itulah Dzul Bajadain jatuh sakit, dilanda demam tinggi, hingga akhirnya meninggal dunia di sana.

Bilal ibn Harits berkata, “Aku menyertai Rasulullah bersama Bilal ibn Rabah di samping kuburnya. Waktu itu Bilal membawa lampu. Kami berdiri di sana. Tiba-tiba, Rasulullah berkata, ‘Dekatkan jenazah saudara kalian kepadaku!’”

Saat hendak meletakkannya di liang lahat, beliau berkata, “Ya Allah, sesungguhnya sore tadi aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah ia.”

Ibn Mas‘ud yang menyaksikan pemakaman Dzul Bajadain berkomentar, “Demi Allah, sungguh aku berangan-angan seandainya aku berada di posisinya. Padahal, aku masuk Islam 15 tahun lebih dulu dibanding pemuda itu.”


๐Ÿ“š 98. Kalimat yang Menjadi Cahaya
Rasulullah Saw. pernah mengirim satu unit pasukan. Di antara mereka ada seseorang bernama Hudhair. Lantaran tahun itu paceklik (sedikitnya persediaan makanan), Rasulullah Saw. memberikan bekal kepada setiap personil pasukan, tetapi beliau lupa memberikan bekal kepada Hudhair, karena ia berada di barisan paling belakang.

Meski demikian, Hudhair tetap ikut berangkat sambil mengharap pahala dari Allah dan bersabar. Ia terus mengulang-ulang kalimat thayyibah, “Lรข ilรขha illallรขh wallรขhu akbar wa al-hamdu lillรขh wa subhรขna allรขh wa lรข hawla wa lรข quwwata illรข billรขh (Tiada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah, Mahasuci Allah, dan tiada daya serta kekuatan kecuali bersama Allah)”. Hudhair juga melafalkan, “Ya Allah, Tuhanku, inilah sebaik-baik bekal.”

Lantaran wiridannya itulah, Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah Saw. seraya berkata, “Rabbku mengutusku menemuimu, untuk menyampaikan bahwa engkau memberi bekal semua sahabatmu, tetapi lupa membekali Hudhair. Ia berada di barisan paling belakang dan terus mengucapkan, ‘Lรข ilรขha illallรขh wallรขhu akbar wa al-hamdu lillรขh wa subhรขna allรขh wa lรข hawla wa lรข quwwata illรข billรขh’. Ia juga berkata, ‘Ya Allah, Tuhanku, inilah sebaik-baik bekal.’”

Jibril melanjutkan, “Sungguh, ucapannya itu akan menjadi cahaya baginya pada Hari Kiamat yang terbentang antara langit dan bumi. Maka, kirimkanlah bekal kepadanya.”

Mendengar penuturan Jibril, Rasulullah Saw. langsung memanggil seseorang dan menyuruhnya memberikan bekal kepada Hudhair. Beliau berpesan kepada si utusan agar jika telah menemuinya, hendaklah ia menghafal kalimat-kalimat yang diwiridkan Hudhair. Beliau juga berpesan agar utusan itu menyampaikan salam darinya dan mengatakan bahwa beliau lupa memberinya bekal, dan Allah mengutus Jibril untuk mengingatkannya. Jibril memberi tahu Rasulullah Saw. tentang posisi Hudhair yang masih tetap melafalkan kalimat-kalimat itu.

Setelah bertemu, utusan Rasulullah itu mendekatinya dan berkata, “Rasulullah menyampaikan salam untukmu. Beliau mengutusku untuk memberikan bekal ini kepadamu. Beliau lupa memberimu bekal, lalu Jibril datang kepada beliau mengingatkan hal itu.”

Hudhair hanya bisa memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah Saw., lalu berujar, “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Rabbku mengingatku dari atas tujuh lapis langit sana dan dari atas Arasy-Nya. Dia mengasihani rasa lapar dan kelemahanku. Ya Rabb, sebagaimana Engkau tidak melupakan Hudhair, jangan jadikan Hudhair lupa kepada-Mu!”

Si utusan menghafal apa yang diucapkan Hudhair, lalu bergegas kembali menghadap Rasulullah Saw. dan menyampaikan apa yang didengarnya dari Hudhair.

Maka, Rasulullah Saw. bersabda, “Kalau saja saat itu kau tengadahkan kepalamu ke langit, pasti kau akan menyaksikan kata-katanya itu terbang seperti cahaya yang terang, terbentang antara langit dan bumi.”


๐Ÿ“š 99. Rasulullah Sang Pemberani
Setelah penaklukan Makkah, Rasulullah Saw. tinggal beberapa waktu di kota itu. Tak lama kemudian, beliau mendengar bahwa suku Hawazin yang dipimpin Malik ibn Auf Al-Nashri telah menghimpun pasukan untuk menyerang Rasulullah Saw. didukung suku Tsaqif dan beberapa suku lainnya di sekitar Makkah.

Maka, Rasulullah segera memobilisasi pasukan dan segera bergerak meninggalkan Makkah. Pasukan Muslim saat itu berjumlah sekitar 12.000 orang. Dua ribu orang dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam dan 10.000 lagi pasukan Muslim dari Madinah, dari Muhajirin dan Anshar.

Kedua pasukan bertemu di daerah Hunain, sebuah lembah di jalan menuju Thaif. Ketika pasukan Islam bergerak melintasi sebuah lembah yang dihimpit bukit-bukit, pasukan Hawazin menyergap mereka tiba-tiba. Pasukan Muslim dihujani anak panah di tengah kegelapan di pagi buta itu sehingga barisan umat Islam kocar-kacir dan banyak di antara mereka yang lari dari medan perang.

Melihat pasukan Islam lari berhamburan, beberapa orang Quraisy—yang masih kafir dan membenci Islam—yang bergabung dalam pasukan Islam karena menginginkan ganimah berkata, “Kini, sihir si juru tenung itu telah batal!” Sebagian lainnya berkata, “Ooooh, mereka akan terus melarikan diri. Mereka baru akan berhenti berlari jika telah sampai di laut.”

Lalu, apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ketika menyaksikan pasukannya kocar-kacir? Apa yang beliau lakukan saat 12.000 orang pasukannya, hasil perjuangan puluhan tahun itu nyaris hancur dan musnah?

Rasulullah Saw. tetap bertahan! Beliau berusaha menyadarkan pasukannya yang kehilangan keseimbangan karena sergapan musuh yang datang tiba-tiba. Ketika pasukan Muslim kocar-kacir melarikan diri ke berbagai arah, pasukan Hawazin mulai bergerak menuruni bukit untuk menghancurkan pasukan Muslim. Rasulullah Saw. berseru, “Hai manusia, kembalilah! Akulah Rasulullah, aku Muhammad ibn Abdullah!”

Kemudian beliau meminta Al-Abbas memanggil orang-orang yang lari, karena Al-Abbas memiliki suara yang kuat dan keras. Maka, Al-Abbas pun berseru lantang, “Hai orang-orang Anshar! Hai para pejuang Badar! Hai ahli baiat Al-Ridhwan! Kemarilah, Muhammad ada di sini!”

Dari sini kita bisa mengetahui keteguhan dan keberanian Rasulullah Saw. Dalam keadaan apa pun beliau tetap bertahan, tabah, dan gagah berani. Setelah seruan Al-Abbas, sedikit demi sedikit pasukan Muslim kembali ke dalam barisan. Jika hewan tunggangannya tidak mau dibelokkan, si penunggang turun dan menghelanya menuju Rasulullah Saw. sambil berseru, “Labbaika, yรข Rasรปlullรขh! Labbaika, yรข Rasรปlullรขh! (Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah).”

Selanjutnya, peperangan berlangsung sengit. Konon, dalam peperangan ini dua suku bangsa Arab punah seluruhnya. Pasukan Islam memenangi perang dan menahan ribuan orang, 22.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing, dan 4.000 ons emas. Semuanya digiring ke Lembah Ji’ranah.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam