Bekerjalah



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Sungguh, langit tidak akan menurunkan emas dan perak. Maka, bekerjalah!” (Sayidina Umar bin Khathab ra.)

Suatu ketika, seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. Laki-laki itu meminta sedekah kepada Rasulullah saw., untuk dirinya dan keluarganya yang menjadi tanggungannya. Tidak seperti biasanya yang jika diminta langsung memberi, kali ini Rasulullah tidak segera memberi. Tampaknya, Rasulullah ingin memberikan pelajaran kepada laki-laki itu.

“Apakah engkau masih memiliki sesuatu di rumahmu?” tanya Rasulullah saw.

“Ya, sebuah tempat air untuk minum dan beberapa selimut tebal untuk menahan dingin,” jawab laki-laki itu.

Rasulullah saw., menyuruh laki-laki itu membawa barang-barang tersebut, kemudian Rasulullah saw., melelangnya. Hasil pelelangan sebesar dua dirham. Satu dirham dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga laki-laki itu, satu dirham lagi dibelikan kapak. Rasulullah saw., sendiri yang membuatkan gagang kapaknya.

“Ambillah kapak ini dan pergilah mencari kayu bakar. Jangan menampakkan wajahmu lagi kepadaku kecuali setelah lima belas hari,” tegas Rasulullah saw.

Setelah lima belas hari, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah saw., dengan membawa uang lima belas dirham yang merupakan sisa setelah digunakan untuk berbelanja kebutuhan keluarganya. Jika sebelumnya laki-laki itu datang kepada Rasulullah saw., dengan wajah murung, kali ini dia datang dengan wajah berseri-seri.

Rasulullah saw., bersabda, “Ini lebih baik bagimu daripada kelak kamu datang pada hari kiamat dan bayangan meminta-minta tergambar di wajahmu.”

*****

Sahabat, kisah tersebut memberikan satu pesan utama, yaitu Islam menghendaki umatnya gigih bekerja menjemput rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ikhlas menerima keadaan hidup bukan berarti bermalas-malasan, tidak be kerja, dan hanya meminta-minta. Salah satu makna ikhlas adalah meyakini jaminan Allah. Dalam hal ini, Allah telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya (QS. Hud [11]: 6). Jemputlah rezeki Allah tersebut dengan gigih bekerja.

Islam sangat melarang umatnya bermalas-malasan, berdiam diri, dan menggantungkan hidup kepada orangtua atau mengharap belas kasihan orang lain. Itu adalah perbuatan tidak terpuji. Orang yang menggantungkan hidupnya kepada orang lain sama hakikatnya dengan peminta-minta. Peminta-minta adalah pekerjaan paling hina.

Seseorang yang bekerja mencari kayu bakar atau memulung sampah sekalipun masih lebih mulia daripada orang yang berdiam diri dan mengharap belas kasihan orang lain.

Rasulullah saw., bersabda, “Seseorang yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lalu membawanya ke pasar untuk dijual dan menggunakan uangnya untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada seseorang yang meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi kadang ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah menciptakan siang agar kita bisa bekerja mencari penghidupan (QS. An-Naba [78]: 11). Allah juga memerintahkan hamba-Nya agar bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia-Nya setelah selesai menunaikan shalat.

Al-Qur’an menerangkan, “Apabila shalat telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di muka bumi. Carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah [63]: 10)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw., juga menegaskan, “Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat dan puasa).” (HR. Thabrani dan Baihaqi)

Oleh karena itu, jangan bermalas-malasan. Rezeki tidak akan datang sendiri tanpa diusahakan. Jangan pernah berharap rezeki turun dari langit. Ia harus dijemput dengan ikhtiar yang optimal. Bangkitlah! Singsingkan lengan baju dan bekerjalah untuk masa depan di dunia dan akhirat.

Kerahkan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk menjemput jatah rezeki kita dengan cara-cara terbaik dan diridai Allah. Insya Allah, ini semua bernilai ibadah di sisiNya dan akan menjadi kafarat atas dosa-dosa kita.

Abu Hurairah ra., meriwayatkan bahwa Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya ada dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan melakukan shalat, puasa, haji, dan umrah.”

Para sahabat bertanya, “Lalu apa yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Bersemangat dalam mencari nafkah.”

Dalam hadis lain, Aisyah ra., menuturkan bahwa Rasulullah saw., bersabda, “Barangsiapa bekerja seharian sampai merasa lelah untuk mencari rezeki yang halal, niscaya diampuni dosa-dosanya.”

Sayidina Umar bin Khathab ra., pernah menegur seorang pemuda yang hanya berdiam diri di masjid, berdoa memohon rezeki tanpa berusaha. Sayidina Umar ra., mengatakan, “Sesungguhnya langit tidak akan menurunkan emas dan perak. Bekerjalah!”

Demikian pula dengan Imam Hanafi . Beliau pernah menasihati seorang pemuda yang hanya berdiam diri di rumahnya dan berharap rezeki turun dari langit. Begini kisahnya.

Suatu ketika, saat hari menjelang sore, Imam Abu Hanifah berjalan-jalan di penjuru kota Bagdad. Saat melewati sebuah rumah sederhana, beliau mendengar rintihan seorang laki-laki yang diiringi tangisan tersedu.

“Oh… alangkah malang nasibku ini. Sejak pagi aku belum makan sesuap nasi pun sehingga tubuhku menjadi lemas lunglai. Adakah orang yang mau memberiku walau sesuap nasi?”

Mendengar rintihan itu, Imam Abu Hanifah melemparkan sekantong uang disertai selembar kertas berisi nasihat kepada laki-laki itu. Ia melemparkannya melalui jendela rumah yang terbuka.

Laki-laki itu terkejut karena ada sebuah kantong di hadapannya yang entah dari mana datangnya. Ia segera membuka kantong itu. Ternyata isinya uang. Laki-laki itu sangat senang. Di dalamnya juga ada selembar kertas bertuliskan, “Hai Manusia, sungguh tidak wajar kamu mengeluh seperti itu. Kamu tidak perlu mengeluh dengan nasibmu. Ingatlah kemurahan Allah dan jangan berhenti memohon kepada-Nya dengan sungguh-sungguh. Jangan berputus asa, hai Kawan! Berusahalah terus.”

Esok harinya, Imam Abu Hanifah kembali melewati rumah itu. Ia mendengar keluhan dari suara orang yang sama. “Ya Tuhanku, berikanlah aku sekantong uang seperti kemarin agar hidupku senang. Sungguh, jika tidak diberi, sengsaralah hidupku ini.”

Imam Abu Hanifah kembali melemparkan sekantong uang dan selembar kertas berisi nasihat. Laki-laki itu girang mendapatkan sekantong uang lagi. Ia segera membuka kantong itu dan membaca suratnya.

“Hai Kawan, bukan demikian cara memohon. Bukan begitu cara berikhtiar. Perbuatan demikian adalah bermalas-malasan dan berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh, Allah tidak suka kepada orang yang pemalas dan berputus asa. Engkau jangan demikian. Hendaklah engkau giat bekerja dan berusaha karena kesenangan itu tidak bisa datang sendiri tanpa diusahakan.

Orang hidup tidak boleh hanya berdiam diri tanpa berusaha. Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang malas bekerja. Allah juga tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah semaksimal mungkin dengan bekal pertolongan Allah. Insya Allah kamu akan mendapat rezeki selama kamu tidak berhenti berbuat dan tidak berputus asa. Nah, carilah pekerjaan. Saya berdoa semoga engkau sukses.”

Setelah membaca surat tersebut, laki-laki itu termenung. Ia memikirkan dalam-dalam makna surat itu. Ia menyadari kekeliruannya. Selama ini ia hanya bermalas-malasan. Ia bertekad untuk giat bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kisah tersebut memberikan pelajaran berharga kepada kita. Jangan membuang-buang waktu untuk bermalas-malasan. Hanya menunggu pemberian orang dan mengharap nasib baik akan datang tanpa berikhtiar adalah perbuatan tercela. Tidak pantas bagi seorang muslim bersikap seperti itu.

Pergunakanlah waktu yang dimiliki untuk berjuang mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Jangan membuang-buang waktu yang dimiliki dengan melakukan hal-hal tidak berguna, seperti bermalas-malasan, ngobrol ngalor-ngidul, atau kongkow di kafe dan mal.

Salah satu hal yang membedakan orang sukses dengan pecundang adalah dalam hal menghargai dan memanfaatkan waktu. Ketika para pecundang sedang duduk ongkang-ongkang kaki dan bermalas-malasan, orang-orang sukses telah mulai menabur “benih” serta bekerja keras dengan cerdas.

Itulah sebabnya ketika orang-orang sukses menuai “hasil panen”, para pecundang hanya gigit jari, bahkan merasa iri dan menyalahkan Tuhan atas kesusahan yang mereka alami.

Oleh karena itu, tunjukkanlah etos kerja yang tinggi. Produktivitas seseorang dapat diukur dari etos kerjanya. Allah dan Rasul-Nya akan melihat, menilai, dan memberikan penghargaan atas kinerja kita.

“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS. At-Taubah [9]: 105).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam