BAB 9. Tanda-Tanda Akhlak yang Baik



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


📚 Beberapa Sifat Orang yang Berakhlak Baik 📚 Beberapa Anjuran untuk Bersabar Menahan Gangguan

Tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui tentang cacat-cacat dirinya. Karenanya, jika dia telah melakukan sedikit perjuangan (mujahadah) melawan dirinya, sehingga sempat meninggalkan perbuatan-perbuatan keji, mungkin saja dia mengira telah berhasil membaikkan akhlaknya dan menyempurnakan dirinya. Lalu, dia akan merasa tidak perlu lagi melakukan mujahadah selanjutnya. Oleh sebab itu, kiranya diperlukan penjelasan tentang apa itu tanda-tanda akhlak yang baik? Yaitu sebagai berikut:

Akhlak yang baik adalah identik dengan keimanan, sedangkan akhlak yang buruk adalah identik dengan kemunafikan. Dalam Al-Quran, Allah Swt. telah melukiskan sifat-sifat kaum mukmin maupun kaum munafik. Sifat-sifat itu, secara umum, adalah buah dari akhlak yang baik maupun yang buruk. Untuk itu, sebaiknya disajikan beberapa di antara ayat-ayat Al-Quran, agar diketahui tanda-tanda yang menunjuk pada akhlak yang baik.

Firman-firman Allah Swt. antara lain:

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yang khusyuk dalam shalatnya, yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan ucapan) yang tidak berguna, yang menunaikan zakat, yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela, tetapi barangsiapa mencari di balik itu (zina dan sebagainya), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat- amanat dan janjinya, serta yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi (Surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Mukminun: 1-11)

Mereka itu (yakni orang-orang mukmin yang berjihad) adalah orang-orang yang bertobat, beribadah, memuji Allah, mengembara (demi ilmu dan agama), ruku‘, sujud, menyuruh berbuat ma‘ruf, mencegah berbuat mungkar, dan memelihara hukum-hukum Allah. Maka, gembirakanlah orang-orang yang beriman. (QS Al-Taubah: 112)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut Allah, gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Allah-lah mereka bertawakal .... Itulah orang-orang yang benar-benar beriman .... (QS Al-Anfal: 2-4)

Adapun, hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata yang menghina), mereka mengucapkan, "Salam." (QS Al- Furqan: 63 sampai akhir surat tersebut)

Demikianlah, barangsiapa yang keadaan dirinya meragukannya, hendaklah dia mencocokkan sifat-sifatnya dengan ayat-ayat ini. Adanya semua sifat ini dalam dirinya, merupakan tanda akhlak yang baik, sedangkan tiadanya semua sifat ini, adalah tanda akhlak yang buruk. Apabila adanya sebagian saja, bukan semuanya, menunjukkan adanya sebagian dari akhlak yang baik, dan bukan semuanya. Karenanya, hendaklah dia berupaya sungguh-sungguh agar mendapatkan apa yang belum dipunyainya, dan memelihara baik-baik apa yang telah ada kepadanya.

Rasulullah Saw. juga telah melukiskan orang mukmin dengan pelbagai sifat, dan menunjuk kepada semua itu dengan sebutan “akhlak yang baik dan indah”. Di antaranya beliau bersabda:

“Seorang mukmin mencintai saudaranya, seperti apa yang dicintai bagi dirinya sendiri.”

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia menghormati tamunya.”

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia menghormati tetangganya.”

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia mengucapkan kata-kata yang baik atau hendaklah dia diam.”

Beliau juga menegaskan, secara umum, bahwa sifat-sifat yang merupakan ciri orang mukmin adalah akhlak yang baik. Seperti dalam sabdanya:

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.”

“Apabila kau lihat seorang mukmin tidak banyak bicaranya dan senantiasa menjaga sopan santunnya, mendekatlah kepadanya, sebab pasti dia telah memperoleh pengajaran hikmah.”

“Barangsiapa merasa gembira dengan perbuatan kebajikannya dan merasa sedih dengan perbuatan buruknya, dia adalah seorang mukmin sebenarnya.”

“Tidaklah halal bagi seorang mukmin menujukan kepada saudaranya pandangan yang mengganggunya.”

“Tidaklah halal bagi seorang Muslim menakut-nakuti seorang Muslim lainnya.”

“Duduknya dua orang bersama-sama adalah dengan amanat Allah maka tidaklah halal bagi seseorang dari mereka menyampaikan kepada temannya suatu rahasia yang dapat membuatnya merasa terganggu.”

📚 Beberapa Sifat Orang yang Berakhlak Baik


Seorang pengamat menulis tentang tanda-tanda orang yang baik akhlaknya, sebagai berikut:

“Dia haruslah seorang pemalu, sangat jarang gangguannya, banyak kebaikannya, senantiasa benar ucapannya, sedikit berbicara, banyak berbuat, sedikit kesalahannya, tak suka mencampuri hal-hal yang bukan urusannya, suka berbuat kebajikan, menjaga hubungan persaudaraan, berwibawa, penyabar, selalu berterima kasih, berpuas hati, penyantun, lemah lembut, menahan diri, serta penyayang. Bukan kebiasaannya untuk melaknat, memaki-maki, memitnah, menggunjing, atau bersikap tergesa-gesa, dengki, bakhil, ataupun penghasut. Selalu berwajah cerah, ramah tamah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, ridha demi Allah dan marah demi Allah juga. Begitulah perwujudan akhlak yang baik.

Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang tanda orang mukmin dan tanda orang munafik, beliau menjawab:

“Himmah serta kegiatan seorang mukmin senantiasa dalam shalat, puasa, dan ibadah. Sementara himmah seorang munafik dalam makanan dan minuman, seperti halnya binatang.”

Dan telah berkata Hatim Al-Asham, “Seorang mukmin senantiasa disibukkan dengan merenung dan mengambil pelajaran, sementara seorang munafik disibukkan dengan ketamakan dan angan-angan kosong. Seorang mukmin berputus asa dari siapa saja kecuali Allah, seorang munafik mengharap dari siapa saja kecuali Allah. Seorang mukmin merasa aman (tidak merasa takut) dari siapa saja kecuali Allah, sementara seorang munafik merasa takut dari siapa saja kecuali Allah. Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya, sementara seorang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan hartanya. Seorang mukmin menangis (karena malunya kepada Allah) meskipun berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun berbuat keburukan. Seorang mukmin senang berkhalwat dan menyendiri, sementara seorang munafik senang berkumpul-kumpul dan bercampur-baur dengan khalayak (tanpa seleksi). Seorang mukmin menanam seraya merasa takut merusak, sementara seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panenan. Seorang mukmin memerintah dan melarang sebagai siasat, sehingga berhasil memperbaiki, sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan, sehingga merusak.

📚 Beberapa Anjuran untuk Bersabar Menahan Gangguan


Bersabar dalam menghadapi gangguan atau sikap bermusuhan (dari seorang kawan atau kerabat) merupakan ujian paling utama bagi akhlak yang baik. Karena itu, barangsiapa mengadukan keburukan akhlak seseorang, hal itu menunjukkan keburukan akhlaknya sendiri, sebab sikap menahan gangguan adalah bagian dari akhlak yang baik.

Anas meriwayatkan bahwa pada suatu hari, dia sedang berjalan bersama Rasulullah Saw., ketika seorang A‘rabiy (seorang Arab pegunungan) mendatangi beliau dari arah belakang, lalu menarik baju mantel beliau yang tebal dan keras tepinya. “Kulihat goresan bekas tepi mantel itu pada leher beliau, akibat kerasnya tarikan orang tersebut,” kata Anas. Lalu orang itu berkata, “Hai Muhammad, berilah aku sebagian dari harta Allah yang berada di tanganmu,” mendengar itu, Rasulullah Saw. menoleh kepadanya seraya tersenyum, lalu memerintahkan agar dia diberi sesuatu.

Demikian pula ketika orang-orang Quraisy makin keras serangannya terhadap beliau, sampai-sampai menyakiti beliau secara isik. Pada saat itu, beliau berdoa: (Ini terjadi pada peristiwa Uhud)

“Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka sungguh tak mengetahui.”

Karena itulah, Allah Swt. menurunkan wahyu-Nya:

Sungguh engkau memiliki akhlak yang mulia dan agung. (QS Al-Qalam: 4)

Dikisahkan bahwa, pada suatu hari, Ibrahim bin Adzam pergi ke suatu tempat di padang pasir, dan berjumpa dengan seorang tentara yang menegurnya, “Engkau seorang hamba?” “Ya”, jawab Ibrahim. Orang itu bertanya lagi, “Di mana tempat yang dihuni orang banyak?” Mendengar itu, Ibrahim menunjuk ke tempat pekuburan. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya, “Yang saya tanyakan adalah tempat yang banyak penghuninya!” Jawab Ibrahim, “Itulah pekuburan.” Merasa dipermainkan, tentara itu menjadi marah dan memukul kepala Ibrahim dengan sebuah cambuk, sehingga menyebabkannya terluka dan berdarah. Lalu dikembalikannya ke kota dan berjumpa dengan para pengikutnya. Mereka menanyakan, “Apa yang terjadi?” Tentara itu memberi tahu mereka mengenai pertanyaannya serta jawaban yang diterimanya. Orang-orang itu menjelaskan, “Ini adalah Ibrahim bin Adzam!” Mendengar itu, si tentara terkejut dan segera turun dari kudanya, lalu mencium kedua tangan dan kaki Ibrahim, sambil meminta maaf darinya. Setelah itu, beberapa orang menanyakan kepada Ibrahim, “Mengapa Anda mengatakan kepadanya bahwa Anda seorang hamba?” Jawab Ibrahim, “Dia tidak menanyakan kepadaku, hamba siapa Anda? Tetapi dia bertanya, ‘Apakah Anda seorang hamba?’ Maka, aku pun menjawanb ‘Ya’. Karena aku adalah hamba Allah. Dan ketika dia memukul kepalaku, kumintakan surga baginya dari Allah Swt.,” seorang dari mereka bertanya, “Mengapa? Bukankah dia telah menzalimi Anda?” Jawab Ibrahim, “Aku tahu bahwa aku akan beroleh pahala karena perbuatannya itu. Maka, aku tak mau bagian yang kuperoleh darinya berupa kebaikan, sedangkan bagian yang diperolehnya dariku berupa keburukan.”

Suatu ketika, Abu Utsman Al-Hijriy diajak makan oleh seorang yang sengaja ingin mengujinya. Maka ketika sampai di rumahnya, orang itu berkata, “Tak ada urusanku denganmu!” Mendengar itu, Abu Utsman segera pulang. Tetapi belum begitu jauh dia melangkah, si pemilik rumah memanggilnya kembali. Dia pun menurut. Namun ketika sampai di depan rumahnya, orang itu berkata lagi, “Hai Ustadz, pulanglah!” Dia pun melangkah untuk pulang, sedangkan si pemilik rumah membiarkannya pergi sebentar, lalu memanggilnya kembali, untuk ketiga kalinya. Abu Utsman menurut saja, dan kembali mendatangi orang itu. Ketika sampai di depan pintunya, orang itu berkata, “Aku tak punya waktu untukmu!” Dan sekali lagi Abu Utsman melangkah pulang, tetapi orang itu memanggilnya lagi. Begitulah seterusnya, berulang kali dia memperlakukan Abu Utsman seperti itu, sementara Abu Utsman tidak menunjukkan kekesalan hatinya, sedikit pun. Sampai akhirnya, si pemilik rumah bersimpuh di bawah kedua kaki Abu Utsman, seraya berkata, “Wahai Ustadz, sesungguhnya aku hanya ingin menguji kesabaranmu. Betapa mulianya akhlak Anda!” Maka berkatalah Abu Utsman, “Sesungguhnya yang Anda lihat dariku itu, tak lebih dari perangai seekor anjing, apabila dipanggil, dia segera datang, dan apabila dibentak, dia pun terdiam.”

Dikisahkan pula tentang Abu Utsman tersebut, bahwa pada suatu ketika, dia sedang berjalan di sebuah lorong sempit, ketika seseorang—dari atap sebuah rumah—melemparkan sebuah baskom penuh abu di atas kepalanya. Segera dia turun dari tunggangannya dan melakukan sujud syukur, kemudian menepiskan abu itu dari pakaiannya. Dia pun melanjutkan perjalanannya tanpa mengatakan sesuatu. Beberapa di antara kawan-kawannya berkata kepadanya, “Tidakkah seharusnya Anda memarahi mereka?” Dia menjawab, “Orang yang layak baginya memperoleh hukuman api neraka lalu diberi keringanan dengan hanya menerima hukuman dengan abu, tidaklah patut baginya untuk marah!”

Telah diriwayatkan bahwa Imam Ali Al-Ridha r.a., warna kulitnya kehitam-hitaman, bawaan dari ibundanya (seorang hamba sahaya) yang juga berkulit hitam. Pada waktu itu, ada sebuah tempat mandi umum di depan rumahnya di Naisapur. Dan telah menjadi kebiasaannya, manakala dia hendak memasukinya, si penjaga mengosongkan tempat itu untuknya. Maka di suatu hari, dia masuk ke sana lalu si penjaga merapatkan pintunya agar tak ada lagi orang lain yang masuk. Setelah itu, dia pergi menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Tak lama kemudian, seorang asing dari pinggiran kota itu, datang dan membuka pintu, lalu masuk. Dia segera menanggalkan bajunya dan hendak masuk ke kolam. Ketika melihat Ali Ridha r.a. dan mengiranya seorang di antara pelayan-pelayan tempat tersebut maka dia memerintahkan kepadanya, “Cepat, ambilkan air untukku!” Mendengar itu, Ali Ridha bangkit, dan tanpa mengucapkan apa pun segera mengerjakan semua yang diperintahkan oleh orang itu. Tak lama setelah itu, si penjaga datang kembali dan melihat pakaian si orang asing, dan juga mendengar pembicaraannya dengan Ali Ridha. Dia merasa telah melakukan kesalahan besar dan merasa amat takut, sehingga pergi melarikan diri dan meninggalkan kedua orang itu. Tak lama kemudian, Ali Ridha keluar dari tempat itu dan menanyakan tentang si penjaga. Maka, disampaikanlah kepadanya bahwa dia merasa takut atas kejadian itu, dan segera melarikan diri. Mendengar itu, Ali Ridha berkata, “Dia tidak seharusnya lari, sebab ‘dosa’ yang sebenarnya adalah tanggung jawab orang yang menumpahkan ‘air’-nya pada seorang budak perempuan berkulit hitam.”

Dikisahkan pula bahwa Abu Abdullah Al-Khayyath, seorang penjahit, sehari-hari duduk di warungnya. Dia biasa menerima upah jahitan dari seorang Majusi. Setiap kali menyelesaikan pekerjaannya, si Majusi itu memberinya upah dengan uang palsu. Namun, Abdullah selalu menerimanya dengan tidak pernah memberitahunya tentang uangnya yang palsu itu, ataupun menolak pembayarannya. Suatu hari, dia sedang keluar untuk beberapa keperluannya dan tidak menjumpainya. Lalu dia membayarkan upahnya kepada seorang murid Abdullah yang sedang menunggui warung itu, dan meminta agar diberikan kepadanya barang jahitannya. Tetapi, si murid mendapati bahwa uang itu ternyata palsu dan menolak menerimanya dari Majusi itu. Tak lama kemudian, Abdullah datang dan segera diberi tahu oleh muridnya tentang apa yang terjadi sebelumnya. Abdullah berkata kepadanya, “Sungguh buruk apa yang telah kau lakukan! Si Majusi itu telah melakukan penipuannya itu terhadapku, sejak setahun lalu. Namun, aku senantiasa bersabar atas kelakuannya itu, menerima uang palsunya, dan langsung membuangnya ke sumur, agar dia tidak membayarkannya ke tangan seorang Muslim selainku.”

Telah berkata Yusuf bin Asbath, “Ada sepuluh tanda orang yang berakhlak baik, yaitu jarang bertengkar, selalu memperlakukan orang lain dengan adil, tidak mencari-cari kesalahannya, berprasangka baik terhadap keburukan yang timbul darinya, mencarikan dalih atas kesalahannya, bersabar atas gangguannya, selalu menyalahkan diri sendiri, berupaya mengetahui cacat-cacat dirinya sendiri dan bukannya cacat-cacat orang lain, bersikap ramah tamah terhadap siapa saja, baik orang dewasa maupun kanak-kanak, dan bersopan santun di hadapan orang yang lebih rendah kedudukannya maupun yang lebih tinggi.

Sahl (Al-Tusturi) pernah ditanya tentang akhlak yang baik. Maka jawabnya, “Tingkatan paling rendah darinya adalah bersabar terhadap gangguan orang lain, tidak menzaliminya, memohonkan ampunan Allah baginya dan menujukan kasih sayang kepadanya.

Pernah ditanyakan kepada Ahnaf bin Qais, “Dari siapakah Anda belajar menjadi seorang penyantun (penyabar dan pemaaf?)”

“Dari Qais bin ‘Ashim”, jawab Ahnaf.

“Sampai seberapa jauh kesantunannya itu?” Tanya orang itu.

“Pada suatu ketika, dia sedang duduk di rumahnya, ketika seorang budak perempuan membawakan untuknya daging bakar di atas sebuah nampan yang panas. Malang baginya, nampan itu terjatuh di atas kepala seorang bayi, putra Qais, yang menyebabkan kematiannya. Si budak itu menjadi amat ketakutan, tetapi Qais berkata kepadanya, “Tidak usah kamu merasa takut, sejak kini kumerdekakan kamu, semata-mata demi mengharap keridhaan Allah Swt.!”

Dikisahkan pula bahwa Uqais Al-Qarniy sering dilempari batu oleh sekelompok anak-anak, setiap kali mereka melihatnya. Lalu katanya kepada mereka, “Hai saudara-saudaraku, kalau memang harus kalian melempari aku, tolong lempari aku dengan batu kecil-kecil saja. Agar kalian tak melukai kakiku, dan merintangiku berdiri untuk shalat.”

Seorang laki-laki pernah mencaci Ahnaf bin Qais, sementara dia tidak menjawabnya. Akan tetapi, orang itu terus mengikutinya sambil menujukan caciannya. Sehingga, ketika telah berada dekat dengan kampung tempat tinggalnya, Ahnaf berhenti dan berkata kepada orang itu, “Kalau masih ada yang tersisa dari cacian Anda, katakanlah sekarang. Agar tak terdengar oleh beberapa di antara anak-anak nakal di kampungku, dan mengganggu Anda karenanya.”

Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi halib pernah memanggil seorang budaknya, tetapi tak dijawab olehnya. Maka, diulanginya memanggil budaknya itu, dua tiga kali, tetapi tetap tak ada jawabannya. Maka dicarinya si budak, lalu dilihatnya sedang berbaring. Dia berkata kepadanya, “Apakah engkau tak mendengar?” Jawab si budak, “Ya, sebetulnya saya mendengar panggilan Tuan.” Lalu mengapa engkau tak menjawab?” Tanya Ali r.a. Dia pun menjawab, “Karena saya yakin bahwa Tuan takkan menghukumku!” Mendengar jawabannya itu, Ali r.a. berkata kepadanya, “Pergilah, engkau kumerdekakan demi keridhaan Allah Swt.!”

Seorang perempuan pernah mencaci Malik bin Dinar dan berkata kepadanya, “Hai, engkau si Pencari Pujian!” Maka dijawabnya, “Wahai perempuan, sungguh engkau telah menyebut namaku yang tepat, yang tak diketahui oleh penduduk Basra.”

Diriwayatklan bahwa Yahya bin Ziyad memiliki seorang budak yang buruk perilakunya. Lalu seorang bertanya kepadanya, “Mengapa Anda pertahankan dia?” Jawabnya, “Agar aku dapat belajar darinya, bagaimana menjadi seorang penyantun.”

Demikianlah beberapa contoh dari jiwa-jiwa yang telah ditundukkan dengan riyadhah (latihan-latihan ruhani), sehingga akhlaknya menjadi lurus, bersih dari noda-noda kelicikan, keirian dan kedengkian. Dan karenanya, telah ridha sepenuhnya atas apa yang telah diperuntukkan baginya oleh Allah Swt. Itulah puncak dari akhlak yang baik dan mulia. Sebab, siapa saja yang tidak menyukai tindakan Allah dan tidak ridha kepadanya, dia adalah seorang yang amat buruk akhlaknya.

Adapun orang-orang yang telah disebutkan kisahnya di atas adalah mereka yang dibuktikan oleh perbuatan-perbuatannya, bahwa mereka adalah orang-orang yang benar-benar berakhlak baik, sebagaimana telah kami uraikan.

Maka, barangsiapa tidak mendapati tanda-tanda ini pada dirinya sendiri, hendaklah dia tidak tertipu, lalu menyangka bahwa dia juga adalah seorang yang baik akhlaknya. Tetapi sebaliknya, hendaklah dia menyibukkan dirinya dengan melaksanakan riyadhah dan mujahadah. Sampai berhasil mencapai derajat akhlak yang baik. Sebab, itu adalah derajat amat tinggi. Takkan mencapainya kecuali orang-orang yang benar-benar tulus (al-shiddiqun), dan yang didekatkan kepada Allah Swt. (al- muqarrabun) disebabkan akhlak dan amalannya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam