BAB 2. Hakikat Akhlak yang Baik dan yang Buruk



📚 Buku Mengobati Penyakit Hati Membentuk Akhlak Mulia


📚 Perbedaan antara Khuluq dan Khalq 📚 Arti Kata Khuluq atau Akhlaq 📚 Pokok-Pokok Akhlak dan Maknanya 📚 Kekuatan Akal dan Kedua Ujungnya 📚 Keberanian dan Kedua Ujungnya 📚 ‘Ifah dan Kedua Ujungnya

Banyak orang telah mencoba berbicara tentang apa hakikatnya akhlak yang baik itu? Namun, sebenarnya mereka belum sampai pada hakikatnya. Mereka hanya berbicara tentang buahnya. Itu pun belum mencakup semua buahnya. Sebab, setiap orang dari mereka hanya menyebutkan tentang salah satu di antara buah-buahnya. Yaitu, yang terlintas dalam pikirannya, atau kebetulan hadir dalam ingatannya. Mereka tidak berupaya sungguh-sungguh untuk menyebutkan batasan-batasannya, serta hakikatnya yang meliputi semua buahnya, secara rinci dan menyeluruh.

Misalnya, seperti yang dinyatakan oleh Al-Hasan, “Akhlak yang baik adalah menghadapi manusia dengan wajah cerah, memberi bantuan setiap kali diperlukan, serta menjaga diri sendiri dari mengganggu orang lain.”

Menurut Al-Washithy, “Akhlak yang baik adalah keadaan seseorang yang tidak mau bertengkar ataupun diajak bertengkar oleh siapa pun, disebabkan makrifatnya yang mendalam berkaitan dengan Allah Swt.”

Syah Al-Karmaniy berkata, “Akhlak yang baik adalah mencegah diri sendiri daripada mengganggu orang lain, serta bersabar dalam melaksanakan kewajiban, betapa pun beratnya.”

Sebagian orang berkata, “Seseorang dapat disebut sebagai berakhlak baik apabila dia berada dengan manusia, tetapi dia sendiri bagaikan seorang asing di antara mereka.”

Al-Washity juga pernah berkata, “Berakhlak baik adalah dengan membuat orang lain merasa puas, baik di kala sedang kesusahan maupun kesenangan.”

Menurut Abu Utsman, “Berakhlak baik adalah senantiasa merasa ridha (puas dan pasrah sepenuhnya) kepada Allah Swt.”

Sahl At-Tustury pernah ditanya tentang akhlak yang baik, lalu dia menjawab, “Sedikitnya, seorang yang berakhlak baik akan selalu tabah menghadapi kesulitan, tidak mengharapkan balasan atas apa yang dilakukannya, mengasihani orang yang melakukan kezaliman terhadapnya, dan memohonkan ampunan baginya serta mengasihaninya.”

Di lain kesempatan, dia juga menyatakan bahwa seorang yang baik akhlaknya tidak sekali-kali akan meragukan Allah Swt. mengenai rezeki yang Dia berikan kepadanya. Bahkan, dia percaya sepenuhnya kepada Allah Swt., dan senantiasa memenuhi kewajibannya berkenaan dengan rezeki yang telah dijaminkan Allah baginya. Kemudian, dia akan selalu taat kepada-Nya dan takkan membangkang terhadap-Nya mengenai apa saja yang berkaitan antara dia dan Allah Swt., dan antara dia dan orang-orang sekitarnya.

Ali r.a. pernah berkata, “Akhlak yang baik terkandung dalam tiga hal: menjauhi segala yang diharamkan, mencari yang halal dan menyenangkan para anggota keluarga.”

Husain bin Manshur berkata, “Akhlak yang baik ialah apabila engkau takkan terpengaruh oleh ketidakramahan manusia kepadamu, setelah engkau berhasil mendekat ke arah Dia Yang Mahabenar.”

Abu Sa‘id Al-Kharraz pernah berkata, “Akhlak yang baik ialah apabila engkau tak lagi memedulikan sesuatu kecuali Allah Swt.”

Contoh-contoh seperti itu amat banyak. Namun, semua itu hanya ucapan tentang “buah-buah akhlak yang baik”, dan bukannya tentang hakikat atau “esensi akhlak baik” itu sendiri.

Di samping itu, ia tidak pula meliputi semua buahnya. Maka, upaya penyingkapan tentang hakikat itu lebih utama daripada penyajian ucapan-ucapan manusia yang bermacam-macam.

📚 Perbedaan Antara Khuluq Dan Khalq


Khuluq (kata tunggal dari akhlaq) dan khalq (yakni bentuk ciptaan atau isik) adalah dua kata yang sering digunakan bersama-sama. Orang biasa mengatakan, “Si Fulan adalah orang yang baik, khuluq-nya maupun khalq-nya.” Artinya, dia adalah seorang yang baik, lahir dan batin. Jadi, yang dimaksud dengan khalq adalah bentuk lahiriah, sedangkan yang dimaksud dengan khuluq adalah sifat batiniah. Hal ini mengingat bahwa manusia terdiri atas tubuh yang dilihat dan dicerap oleh penglihatan mata (bashar), dan ruh (atau jiwa) yang hanya dapat dicerap oleh penglihatan batin (bashirah). Masing-masing dari keduanya mempunyai bentuk atau rupa, adakalanya buruk dan adakalanya baik.

Tentunya, ruh atau jiwa yang (hanya) dapat dicerap oleh bashirah (penglihatan batin) lebih tinggi derajatnya daripada tubuh yang dapat dicerap oleh bashar (penglihatan mata). Karena itulah, Allah Swt. memuliakan ruh dengan menisbahkannya kepada diri-Nya, seperti dalam firman-Nya:

Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh-Ku; maka tunduklah kamu dengan bersujud kepadanya. (QS Shad: 71-72)

Dalam firman-Nya itu, ditegaskan bahwa tubuh dinisbahkan pada tanah, sedangkan ruh dinisbahkan kepada Allah Swt., Tuhan semesta alam. Adapun yang dimaksud dengan ruh dan nafs (jiwa) dalam ungkapan seperti ini, adalah sama saja

📚 Arti Kata Khuluq Atau Akhlaq


Kata khuluq berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Maka, apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan- perbuatan yang baik dan yang terpuji menurut akal sehat dan syariat, dapatlah ia disebut sebagai perangai atau khuluq yang baik. Sebaliknya, apabila yang timbul darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, ia disebut sebagai khuluq yang buruk pula.

Kami menyebutnya sebagai perangai atau watak yang menetap kuat dalam jiwa, karena seseorang yang jarang atau hanya sesekali saja menyumbangkan hartanya untuk keperluan tertentu, tidak dapat disebut sebagai seorang yang berwatak dermawan. Yaitu, sepanjang hal itu tidak merupakan sesuatu yang menetap kuat dalam jiwanya. Karena itu, kami mempersyaratkan bahwa ia harus merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa harus dipikirkan atau direncanakan sebelumnya—atau—ketika menahan amarah hatinya—melakukan semua itu dengan berat hati atau dengan susah payah maka tidaklah dapat dikatakan bahwa orang itu berwatak dermawan atau pemaaf.

Oleh sebab itu, haruslah dipenuhi empat persyaratan, yaitu:

1. Adanya perbuatan yang baik dan buruk.
2. Adanya kemampuan untuk melakukan kedua-duanya.
3. Pengetahuan seseorang tentang kedua-duanya.
4. Adanya sesuatu dalam jiwa, yang membuatnya cenderung pada salah satu dari kedua-duanya, serta dengan mudah dapat dikerjakan yang baik atau yang buruk.

Jelas bahwa suatu khuluq (perangai, watak, tabiat) tidaklah identik dengan perbuatan. Sebab, adakalanya seseorang berwatak dermawan, tetapi dia tidak menyumbangkan sesuatu. Baik karena dia tidak memiliki sesuatu ataupun karena adanya hambatan lainnya. Sebaliknya, adakalanya dia berwatak kikir, tetapi dia menyumbang, baik karena terdorong oleh suatu kepentingan dirinya ataupun karena ingin dipuji.

Dia juga tidak identik dengan kemampuan (atau kuasa diri). Sebab, kaitan kemampuan seseorang dalam hal memberi atau tidak memberi, itu sama saja. Setiap orang—secara naluriah— memiliki kemampuan atau kuasa untuk memberi ataupun tidak. Hal itu tidak mengharuskan adanya watak kekikiran ataupun kedermawanan dalam dirinya.

Dia juga tidak identik dengan pengetahuan tentang sesuatu. Sebab, pengetahuan berkaitan dengan yang baik maupun yang buruk. Keduanya sama saja.

Yang benar adalah bahwa apa yang disebut perangai atau watak (khuluq) ialah sesuatu yang dengannya jiwa manusia memiliki kesiapan bagi timbulnya kedermawanan ataupun kekikiran. Dengan kata lain, ia adalah bentuk atau rupa batiniah dari jiwa seseorang.

Sudah tentu, keindahan bentuk lahiriah tak mungkin terwujud dengan keindahan bentuk kedua mata saja, misalnya, tanpa keindahan bentuk hidung, mulut, dan pipi. Tetapi hanya dengan keindahan semua itu, secara keseluruhan, akan terwujud keindahan lahiriah seseorang secara sempurna.

Demikian pula yang berkaitan dengan batin seseorang. Diperlukan adanya empat hal potensial yang kesemuanya harus dalam keadaan baik, sehingga dengannya akhlak baik seseorang dapat menjadi sempurna. Keempat hal potensial ini adalah: kemampuan dasar atau kekuatan pengetahuan, kekuatan emosi (ghadhab), kekuatan ambisi (syahwat), dan kekuatan yang menyeimbangkan antara ketiga potensi tersebut. Maka, apabila keempat hal potensial ini ada pada diri seseorang, secara seimbang dan serasi, dapatlah dikatakan bahwa dia memiliki akhlak atau perangai yang baik.

Dengan demikian, kemampuan atau kekuatan pengetahuan akan menjadi naik dan sempurna bagi seseorang, apabila hal itu mampu memudahkan baginya untuk membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang hak dan yang batil dalam hal kepercayaan, antara yang baik dan yang buruk dalam hal perbuatan. Maka, jika kekuatan ini dalam keadaan sempurna, niscaya akan membuahkan hikmah (kearifan). Sebab, hikmah adalah puncak dari akhlak yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam irman Allah Swt.

Barangsiapa diberi hikmah, sungguh dia telah diberi kebaikan yang banyak. (QS Al-Baqarah [2]: 269)

Adapun kekuatan emosi (ghadhab), ia menjadi baik apabila tetap berada di dalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu sedang memuncak ataupun mereda.

Adapun yang dimaksud dengan kekuatan keseimbangan adalah dikendalikannya ambisi dan emosi oleh akal dan syariat. Akal dapat diumpamakan sebagai seorang pemberi nasihat dan arahan. Sedangkan kekuatan keseimbangan adalah sesuatu yang mampu bertindak dan yang melaksanakan apa yang diarahkan atau diperintahkan oleh akal. Adapun emosi adalah objek yang padanya perintah tersebut ditujukan. Ia dapat diumpamakan sebagai anjing berburu yang perlu dilatih sedemikian rupa, sehingga melakukan pengejaran atau berhenti sesuai dengan yang diperintahkan, dan bukannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya sendiri. Adapun kekuatan ambisi dapat diumpamakan sebagai seekor kuda yang ditunggangi dalam suatu perburuan. Adakalanya ia terlatih baik dan jinak, dan adakalanya ia bersifat liar dan tak terkendali.

Barangsiapa memiliki semua sifat ini dalam keadaan sedang, moderat, dan seimbang maka dia—tak diragukan lagi—adalah seorang yang berakhlak sempurna. Barangsiapa memiliki sebagiannya saja—bukan semuanya—dalam keadaan sedang dan seimbang, dia dapat dianggap berakhlak baik dalam kaitannya dengan sifat tersebut secara khusus. Sama halnya seperti seorang yang memiliki keindahan pada bagian-bagian tertentu saja dari wajahnya, bukan pada wajahnya secara keseluruhan.

Adanya kebaikan, sifat “sedang”, dan moderat dalam kekuatan emosional (kemarahan, ghadhabiyah) disebut “keberanian”, sedangkan kebaikan dalam kekuatan ambisi (hawa nafsu, syahwat) disebut ‘ifah (penahanan nafsu dari perbuatan tercela). Manakala kekuatan emosional menyimpang dari sifat moderatnya dan lebih cenderung ke arah yang ekstrem atau berlebihan, hal itu disebut “kenekatan”. Sebaliknya, jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, hal itu disebut “kepengecutan”.

Jika kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) lebih cenderung ke arah berlebihan, hal itu disebut “kerakusan”. Adapun jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, hal itu disebut “kebekuan” atau “kejumudan”.

Hal yang paling dipujikan adalah keadaan “tengah-tengah”, dan itulah yang disebut fadhilah (kebajikan). Sedangkan kedua ujung yang ekstrem adalah keburukan yang tercela.

Jika sifat keseimbangan (keadilan) telah hilang, tak ada lagi ujung yang berlebihan ataupun yang berkurangan. Yang ada hanyalah sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kezaliman.

Adapun jika sifat hikmah digunakan secara gegabah dan berlebihan dalam tujuan-tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan. Sedangkan jika digunakan secara berkurangan, hal itu disebut kedunguan. Pada hakikatnya, posisi yang tengah-tengah itulah yang layak dan khusus disebut hikmah.

📚 Pokok-pokok Akhlak Dan Maknanya


Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pokok-pokok atau dasar-dasar akhlak ada empat, yakni kearifan (hikmah), keberanian, penahanan nafsu (‘ifah), dan keadilan atau keseimbangan (dalam ketiga pokok tersebut).

Yang dimaksud dengan hikmah adalah keadaan jiwa seseorang yang dengannya ia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam setiap perbuatan.

“Keadilan” atau keseimbangan adalah keadaan jiwa seseorang yang mampu membatasi gerak kedua kekuatan: emosi dan ambisi, serta mengendalikannya dalam keaktifan dan ketidakaktifannya, agar sejalan dengan nilai-nilai hikmah. Keberanian adalah dipatuhinya akal oleh kekuatan emosi (amarah, ghadhab), baik dalam tindakannya ataupun keengganannya untuk bertindak.

Adapun yang dimaksud dengan penahanan hawa nafsu (‘ifah) adalah terdidiknya kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) oleh didikan akal dan syariat.

Dari sikap moderat dan keseimbangan pokok-pokok inilah timbul semua unsur akhlak yang baik.

📚 Kekuatan Akal dan Kedua Ujungnya


Dari kekuatan akal yang dalam keadaan sedang, proporsional, dan moderat akan timbul sifat-sifat ketelitian dalam pengelolaan, kejernihan dalam pemikiran, ketajaman pandangan, ketepatan perkiraan, dan kecermatan dalam mengamati pelbagai pekerjaan yang pelik dan rumit, serta ketepatan pendiagnosaan terhadap penyakit-penyakit kejiwaan yang tersembunyi.

Akan tetapi, penggunaan kekuatan akal yang berlebihan akan menimbulkan pelbagai sifat buruk, seperti kelicikan, kecurangan, penipuan, dan keculasan. Sebaliknya, kekurangan dalam penggunaan kekuatan akal akan menimbulkan kebodohan, keluguan, kecerobohan, kedunguan dan kegilaan. Perbedaan antara kedunguan dan kegilaan adalah bahwa seorang dungu mungkin mempunyai tujuan yang benar, tetapi dia menempuh jalan yang salah. Hal ini disebabkan dia tidak memiliki pemikiran yang benar dalam menempuh jalan yang akan menyampaikannya pada tujuan. Sedangkan seorang gila, biasanya memilih sesuatu yang tidak patut dipilih. Oleh sebab itu, sejak semula, pilihannya itu merupakan sesuatu yang buruk.

📚 Keberanian dan Kedua Ujungnya


Perangai keberanian adalah sumber dari pelbagai sifat kedermawanan, kesigapan untuk menolong, kemuliaan hati, pengendalian hawa nafsu, ketabahan dalam menghadapi kesulitan, kemurahhatian, keteguhan hati, kekuatan dalam menahan marah, kewibawaan, kepiawaian mengambil hati orang lain, dan sebagainya. Itu semua termasuk akhlak yang terpuji. Sedangkan apabila kekuatan keberanian digunakan secara berlebihan, ia akan menimbulkan kenekatan.

Dari kenekatan itu akan timbul sifat-sifat kesombongan, penonjolan diri dalam bergagah-gagahan, keberingasan, kebrutalan, ketakaburan, dan kecongkakan. Sebaliknya, kekurangan dalam keberanian menimbulkan kehinaan dan kerendahdirian, kepengecutan, kehilangan kehormatan diri, ketertutupan, serta keengganan menuntut hak yang seharusnya dituntut.

📚 ‘Iffah dan Kedua Ujungnya


Dari perangai ‘ifah (menahan nafsu dari segala yang dapat menimbulkan celaan) akan timbul sifat-sifat kedermawanan, perasaan malu, kesabaran, kepemaafan, qana‘ah (pemuasan diri dengan apa adanya, walau sedikit), wara‘ (menjauhkan diri dari apa saja yang mencurigakan), kesopanan, kesiapan membantu orang lain, kesantunan, dan penghindaran diri dari ketamakan.

Adapun kecenderungan perangai ‘ifah ini ke arah berlebihan ataupun kekurangan, akan membuahkan sifat-sifat kekikiran, kerakusan, kekurangajaran, kejahatan, pemborosan, penyelewengan, riya, pelanggaran moral, kesewenangan, kemunaikan, kedengkian, kegembiraan melihat kesengsaraan orang lain, perendahan diri di hadapan kaum hartawan, penghinaan terhadap kaum fakir miskin, dan sebagainya.

Singkatnya, pokok-pokok utama akhlak yang baik adalah keempat perangai luhur ini: kearifan (hikmah), keberanian, penahanan nafsu (‘ifah) dan keseimbangan (adil, moderasi) pada ketiga sifat ini semuanya. Sedangkan selebihnya adalah cabang-cabang baginya.

Dalam kenyataannya, tak seorang pun mampu mencapai keseimbangan yang benar-benar sempurna dalam keempat perangai ini, selain Rasulullah Saw. Adapun manusia selain beliau, berbeda-beda tingkatan dalam hal kedekatan ataupun kejauhan dari beliau. Siapa saja yang dekat kepada beliau dalam keempat-empatnya, dekat pula kepada Allah Swt., sekadar kedekatannya kepada Rasulullah Saw.

Setiap orang yang dalam dirinya terhimpun kesempurnaan akhlak ini, berhak menjadi bagaikan malaikat yang ditaati, dan yang kepadanya manusia semuanya patut menujunya dan meneladaninya dalam setiap perbuatan. Sebaliknya, siapa saja yang terlepas sama sekali dari akhlak ini semuanya, lalu menyandang sifat-sifat yang berlawanan dengannya, patutlah dia diusir dari seantero negeri dan dikucilkan dari semua manusia. Sebab, dia sudah menjadi amat dekat kepada setan yang terkutuk dan terusir. Karena itu, dia pun layak dijauhkan. Hal ini berlawanan dengan orang yang disebutkan sebelumnya; dia dekat kepada malaikat yang muqarrab (didekatkan kepada Allah Swt.). Karena itu, dia patut diteladani dan didekati. Sedangkan Rasulullah Saw. tidaklah diutus kecuali menyempurnakan akhlak yang luhur, sebagaimana pernah beliau sabdakan.

Al-Quran pun telah mengisyaratkan akhlak seperti ini berkenaan dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dalam firman Allah Swt., Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS Al-Hujurat: 15).

Demikianlah, keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa sedikit pun dicampuri keraguan, menunjukkan kekuatan keyakinan, dan itulah buah akal dan puncak hikmah.

Adapun jihad dengan harta adalah manifestasi kedermawanan yang bersumber pada pengendalian kekuatan ambisi (syahwat, hasrat nafsu). Sedangkan jihad dengan jiwa raga adalah manifestasi keberanian yang bersumber pada penggunaan kekuatan emosi (amarah, ghadhab) sesuai dengan persyaratan akal serta batas keseimbangan dan secara proporsional. Mengenai ini, Allah Swt. telah memuji para sahabat dalam firman-Nya:

Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS Al-Fath: 29)

Firman tersebut mengisyaratkan bahwa untuk sikap tegas ada tempatnya, dan untuk sikap kasih sayang ada tempatnya pula. Hal ini berarti bahwa kesempurnaan akhlak sama sekali bukan dengan bersikap tegas selalu, dan juga bukan dengan berkasih sayang selalu.

Demikianlah keterangan tentang makna akhlak, yang baik maupun yang buruk, serta tentang pokok-pokoknya, buah- buahnya, dan cabang-cabangnya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam