Hancurkan Belenggu Keterbatasan



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Pikiran kitalah yang sesungguhnya membatasi potensi diri untuk berkembang.”

Masih ingatkah Anda dengan kisah Bilal bin Rabah? Ia adalah sahabat Rasulullah saw., yang berkulit hitam. Bilal yang bertelanjang dada disiksa oleh majikannya dengan ditindih batu besar di tengah padang pasir panas. Bilal dipaksa untuk meninggalkan agama Islam yang dianutnya dan kembali ke ajaran nenek moyang (menyembah berhala). Namun, keteguhan hatinya dalam ber-Islam mampu membuatnya bertahan dan hanya berucap, “Ahad, ahad, ahad.”

Umayyah bin Khalaf, majikan Bilal, tak pernah bisa merampas kemerdekaan hati Bilal meski ia adalah seorang budak yang tak merdeka secara fisik. Bilal mampu memisahkan antara fisik yang terbatas dan terbelenggu, dengan hati yang bebas dan merdeka.

Batu besar itu memang mampu mengimpit tubuhnya, namun tidak menekan jiwanya yang merdeka. Bahkan, Bilal tidak pernah mengizinkan pikirannya tertekan. Bilal adalah raja atas pikiran dan hatinya sendiri. Ia telah mampu menguasai jiwanya. Inilah makna ahad. Merdeka dari tunduk kepada selain Allah. Bilal hanya tunduk kepada Sang Pencipta Yang Mahaagung, Allah Swt.

*****

Kisah tersebut memberikan pelajaran berharga bagi kita. Dalam kehidupan, kita sering kali menjadikan keterbatasan yang kita miliki sebagai justifikasi untuk tidak melakukan hal apa pun yang bermanfaat bagi diri sendiri dan sesama. Keterbatasan ekonomi sering dijadikan dalih untuk bermalas-malasan dan bergantung kepada orang lain. Keterbatasan fisik sering kali dijadikan alasan untuk mengasihani diri sendiri. Keterbatasan pendidikan juga kerap dijadikan pembenaran atas sikap hidup yang amburadul.

Jika kita orang yang memiliki keterbatasan ekonomi, mari becermin pada Baginda Rasulullah saw. Sejak berumur 6 tahun, beliau telah menjadi yatim piatu. Saat itu beliau diasuh oleh kakek beliau, Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian, ketika Muhammad saw., berusia 8 tahun, sang kakek meninggal dunia. Sejak saat itu beliau diasuh oleh paman beliau, Abu Thalib. Paman beliau bukanlah orang berada (kaya).

Oleh karena itu, Muhammad saw., telah membiasakan diri hidup mandiri. Beliau menggembalakan kambing milik orang-orang kaya di Mekah. Dari pekerjaannya itu beliau memperoleh upah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau. Ketika berusia 12 tahun, beliau ikut berdagang bersama sang paman ke Syam (sekarang Suriah).

Itulah perjalanan pertama Muhammad saw., ke luar negeri untuk berbisnis. Pada usia 25 tahun beliau telah melakukan perjalanan ke luar negeri sebanyak 18 kali dengan membawa keuntungan melimpah dari bisnisnya, dan berhasil menjadi seorang miliarder muda.

Menurut KH. Abdullah Gymnastiar, saat beliau menikah dengan Khadijah Al-Kubra pada usia 25 tahun, beliau memberikan mahar (mas kawin) 100 ekor unta kepada Khadijah Al- Kubra. Harga satu ekor unta sekitar Rp20 juta. Jika 100 ekor unta, berarti 20 juta dikali 100, maka hasilnya adalah 2 miliar rupiah. Luar biasa!

Jika kita orang yang memiliki keterbatasan pendidikan, mari belajar kepada Soichiro Honda. Soichiro Honda tidak pernah menyelesaikan sekolah dasarnya. Ia dikeluarkan dari sekolah karena beberapa kali tidak naik kelas. Akan tetapi, Soichiro Honda adalah orang yang gigih dan ulet. Dikeluarkan dari sekolah bukan berarti berhenti belajar.

Setelah tidak lagi bersekolah, setiap hari Soichiro Honda menghabiskan waktunya untuk “bermain” di sebuah bengkel motor dan memperhatikan aktivitas para montir di sana, kemudian mempraktikkannya di rumah. Dari serangkaian percobaan yang dilakukannya, Soichiro Honda berhasil merakit sebuah mesin yang diberi nama Honda, sesuai namanya. Kini, kendaraan bermotor merek Honda memenuhi jalan-jalan di dunia.

Jika kita orang yang memiliki keterbatasan fisik, mari berkaca kepada Julius Caesar yang menderita penyakit ayan (epilepsi) tapi berhasil menjadi seorang kaisar yang disegani. Plato, sang filsuf besar, adalah orang yang bungkuk. Akan tetapi, keterbatasan fisik sama sekali tidak menghalanginya untuk menjadi orang besar dan bermanfaat.

Jadi, mengapa kita pesimistis dalam menjalani kehidupan hanya karena keterbatasan yang kita miliki? Jadilah orang merdeka. Jangan pernah terbelenggu oleh keterbatasan yang menghalangi kita untuk menjadi orang sukses dan bermanfaat.

Boleh jadi kita memiliki keterbatasan fisik, ekonomi, pendidikan, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya, tapi hati dan pikiran kita harus merdeka dari keterbatan-keterbatasan itu. Selama tekad kita untuk menjadi manusia bermanfaat tetap membara, maka keterbatasan apa pun yang ada pada diri kita bukanlah suatu penghalang.

Hidup adalah nikmat luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada kita. Mari kita pergunakan nikmat hidup ini untuk berbuat kebaikan dan menebar manfaat sebanyak-banyaknya. Hidup hanya sekali, maka hiduplah yang berarti.

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian, Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At-Tin [95]: 4–6)

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam