Bab 1. Cinta Hamba Pada Allah



📚 Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)



📚 Cinta Hamba Pada Allah 📚 Tingkatan-tingkatan Cinta Allah 📚 Begitulah Seharusnya Cinta kepada Allah 📚 Keteladanan Nabi-nabi Pecinta Allah 📚 Keteladanan Sahabat Pecinta Allah 📚 Bagaimana Cara Menggapai Cinta Allah?

📚 Cinta Hamba Pada Allah


Tidak ada seorangpun yang dapat hidup di dunia ini tanpa cinta. Hidup tanpa cinta adalah kehidupan semu yang tidak bernilai. Hati yang kosong dari cinta adalah hati yang beku dan keras. Jasad yang hidup tanpa cinta adalah jasad yang hidup segan, mati tak mau mati. Setiap manusia harus hidup dengan cinta. Karena itulah manusia yang kehilangan rasa cinta biasanya akan menjadi jasad yang mati dan menderita depresi serta gangguan kejiwaan karena ia telah kehilangan gairah hidup.

Semakin besar rasa cinta, semakin bertambah pula nilai dan detak kehidupan. Maksudnya, semakin besar keterikatan seseorang dengan cinta, maka detak nadi kehidupannya pun akan semakin bertambah serta menjadi menjadi lebih baik dan romantis. Pertanyaannya, apa yang kita cintai dan apa yang dicintai kebanyakan orang?

Orang-orang lebih mencintai harta kekayaan, padahal harta kekayaan akan menyusut dan musnah. Pada saat mati, kita juga tidak akan membawanya, melainkan akan dibagi-bagi sebagai warisan. Ada juga yang tergila-gila jabatan dan kekuasaan. Padahal keduanya mudah luntur dan sering berubah-ubah.

Ada pula yang tergila-gila pada wanita bagi yang laki-laki atau pada laki-laki bagi yang wanita. Padahal syahwat ini mudah luntur dan cepat habis, atau akan berakhir tragis jika tanpa dilandasi ketaatan kepada Allah. Ini juga akan berakhir dan habis bersamaan dengan kematian salah satu pihak jika cinta yang dibangun hanya di permukaan saja, atau akan meretak dengan pengkhianatan salah satu pihak. Semua hubungan percintaan seperti ini akan berakhir pada kebinasaan.

Karena itu, cinta yang seyogianya kita kejar adalah cinta abadi yang dijamin tidak akan luntur, cinta yang menambah kekuatan kita, dan tidak membuat kita khawatir bakal berakhir dengan kekerasan, kemangkiran, pengkhianatan, atau keretakan. Cinta yang tiada pernah habis-habisnya.

Apakah kita telah mencintai Allah dengan sungguh- sungguh? Apakah mencintai Allah kita rasakan sebagai kewajiban atau sebagai anugerah kehormatan? Apakah kita mencintai anak-anak kita melebihi cinta kita pada Allah? Apakah kita mencintai istri kita melebihi cinta kita pada Allah?

Ini baru soal cinta yang mubah (diperbolehkan). Bagaimana dengan orang yang menyukai kemaksiatan daripada Allah? Bagaimana dengan orang yang tergila-gila dengan seorang gadis yang tidak memiliki hubungan apapun dengannya dan mendapati cintanya berbalas cinta? Bagaimana dengan orang yang melakukan kemaksiatan? Bagaimana dengan orang yang kecanduan narkoba dan obat- obat terlarang? Dimana gerangan cinta Allah?

Cinta memang persoalan yang sangat bias. Sekarang marilah kita fokus membicarakan cinta yang halal, mengenai orang yang mencintai kekayaan dan harta benda yang halal melebihi kecintaannya pada Allah.

Renungkanlah ayat suci berikut yang memang membutuhkan pemikiran dan perenungan yang mendalam. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (Qs. At-Taubah (9): 24)

Di ayat ini Allah SWT membuat delapan permisalan, lalu Dia letakkan kedelapan permisalan itu dalam satu piring timbangan melawan cinta Allah dan Rasul-Nya di piring timbangan lain, seraya mengukurnya. Jikalau piring kedelapan hal itu lebih unggul, meski hanya seberat atom atau sebiji gandum, maka tunggulah apa yang bakal menimpa kalian. "Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik". Orang fasik mengacu konteks ayat ini adalah orang yang mencintai salah satu dari kedelapan hal tersebut melebihi kecintaannya pada Allah, padahal mencintai kedelapan hal ini adalah sesuatu yang mubah dan tidak terlarang.

Kedelapan hal tersebut yang diperintahkan Allah untuk dicintai dalam batas-batas kewajaran adalah sebagai berikut:

  • Ayah kalian: kepada mereka Allah memerintahkan untuk berbakti (birrul waalidain).
  • Anak-anak kalian: terhadap mereka Allah memerintahkan untuk memelihara dan merawat mereka, begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW. 
  • Saudara-saudara kalian.
  • Istri kalian: terhadap mereka Nabi mewasiatkan: "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
  • Keluarga besar kalian.
  • Harta kekayaan yang kamu usahakan; perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya; dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai. Ketiga hal ini mubah dan Islam pun memerintahkan dan memberikan wasiat terkait dengan hal tersebut.

Ayat ini bukanlah seruan untuk meninggalkan kedelapan permisalan ini, akan tetapi ayat ini hanya ingin membuat perbandingan. Allah tidak memerintahkan kita sekedar mencintainya begitu saja dan selesai urusan, akan tetapi Dia menuntut kita untuk mencintai-Nya melebihi kecintaan kita pada apapun. Jika kita ingin mengetahui kesungguhan dan kebohongan cinta kita kepada Allah, mari kita renungi satu per satu kedelapan permisalan ini, dan mari kita lihat, apakah kita lebih mencintainya ataukah lebih mencintai Allah?

”Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. Kita yang bekerja siang dan malam tanpa pernah melaksanakan shalat tepat waktu dan sering menunda- nunda pelaksanaan shalat hingga mendekati waktu shalat berikutnya: misalnya shalat Zhuhur dua menit sebelum waktu shalat Ashar, shalat Ashar dua menit sebelum shalat Maghrib, permisalan di atas bisa menjadi timbangan manakah yang kita cintai melebihi ketaatan kepada Allah. Ketaatan pada siapa yang kita dahulukan? Ucapan siapa yang lebih kita dengar? Siapa yang lebih kita sukai? Ayat ini sesungguhnya sangat keras menohok dan menunjuk kita.

Ayat ini menegaskan bahwa mengenal dan mencintai Allah adalah fardhu 'ain [kewajiban individu] bagi setiap muslim. Setiap muslim berkewajiban mengenal Allah, sebab manusia memang diciptakan untuk mengenal dan mencintai Allah. Apakah masuk akal jika kita lebih menyibukkan diri dengan sesuatu yang sekunder: istri, anak-anak, harta kekayaan, dan keluarga besar dan menyisihkan yang pokok: Allah? Padahal Allah-lah yang memberi kita kemampuan untuk mencintai. Allah-lah yang menanamkan cinta ini dalam hati kita. Dia pun telah memberitahu kita bahwa yang pokok adalah mencintai Allah sekaligus mengancam kita untuk jangan sekali-kali mencintai item-item sekunder ini sebelum mencintai Allah SWT.

Di mana posisi kita dalam lingkar pembicaraan ini?

Apakah kita termasuk orang-orang yang mencintai harta kekayaan mereka melebihi kecintaan mereka pada Allah? Terhadap kalangan ini Nabi SAW menyatakan: "Celakalah budak penyembah dirham (uang)". Beliau menyebut kalangan yang mencintai harta kekayaan melebihi Allah sebagai "budak dirham". Ataukah kita juga termasuk sebagian orang yang lebih mencintai istri-istri daripada Allah?

Allah SWT berfirman, "Dan di antara manusia ada orang- orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Qs. Al-Baqarah (2): 165). Di sini Allah memberikan pilihan bahwa ada kalangan dan bisa jadi mereka adalah orang-orang muslim yang "menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah" dan ada lagi kalangan yang "amat sangat cintanya kepada Allah".

Tandingan-tandingan di sini bukanlah tandingan akidah, maupun tandingan ketuhanan, ataupun tandingan penciptaan. Kalangan yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah tidak mengatakan: Saya menyembah Fulan bersamaan dengan penyembahan saya kepada Allah, atau Fulan menciptakan sebagaimana Allah. Akan tetapi, tandingan yang dimaksud adalah tandingan cinta, bukan tandingan ketuhanan. Namun, tandingan cinta pun tetap ditolak, karena Allah adalah sosok pencemburu yang tidak mau diduakan dalam cinta sebagaimana keberangannya ketika diduakan dalam penuhanan.

Para ulama bertanya-tanya mengenai maksud firman "mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah". Kelompok pertama tidak mencintai Allah sama sekali, melainkan hanya mencintai tandingan-tandingan yang mereka sembah sebagaimana kaum Muslimin mencintai Allah SWT. Kelompok kedua, mereka mencintai Allah namun sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah, mereka pun juga larut mencintai tandingan-tandingan mereka. Manakah di antara kedua kelompok yang sesungguhnya menjadi maksud ayat ini?

Para ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ayat ini adalah kelompok kedua. Orang-orang ini memang mencintai Allah SWT, namun mereka menduakan Allah dengan mencintai obyek-obyek selain Allah dan menyamakan bobot cinta mereka pada item-item ini dengan bobot cinta mereka kepada Allah. Misalnya, ia bilang: Allah dan keluargaku. Ia laksanakan shalat lima waktu, namun ia juga mengambil harta haram untuk memperbaiki taraf hidup dan anak-anaknya. Ia telah menyembah tandingan selain Allah, namun tandingan ini juga tidak ia syirikkan dengan Allah dalam ritus penyembahan, melainkan hanya tandingan cinta. Ia samakan antara cintanya kepada Allah dengan kecintaannya pada anak-anaknya. Dan didorong kecintaannya pada istri dan anak-anak ia pun mengambil harta haram yang tidak diridhai oleh Allah. Inilah yang dimaksud menyembah tandingan selain Allah dalam ayat di atas.

Namun, jangan asumsikan pula dari pernyataan ini bahwa orang yang melakukan tindakan penduaan seperti ini bisa dituding sebagai menyembah tandingan. Pernyataan ini tidak berlaku bagi kesalahan-kesalahan berulang, sebab semua manusia sering terjebak pada kesalahan-kesalahan seperti ini. Akan tetapi yang dimaksud adalah jika hal itu sudah menjadi ciri [simmah] hidup kita.

Yang pokok dalam hidup kita adalah seyogianya hal-hal keduniaan dan segala kesibukan tidak bertabrakan dengan waktu-waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, misalnya untuk shalat. Jangan sampai juga, waktu-waktu Allah bertabrakan dengan pola hidup –ia bisa saja menjadi tandingan dan prioritas. Namun jika masih sebatas kesalahan-kesalahan, dan bukan menjadi pola hidup, maka belum dianggap sebagai tandingan.

Jadi yang dimaksud dengan orang yang menyembah tandingan selain Allah adalah orang yang menjalani kehidupannya dengan ciri dan pola hidup meletakkan perintah-perintah Allah di satu piringan dan hawa-hawa nafsunya di piringan yang lain, sehingga keduanya menjadi sama dan sejajar baginya dan ia pun tidak mampu mengunggulkan perintah-perintah Allah di atas hawa-hawa nafsunya.

Orang yang menghabiskan sepuluh tahun tanpa menundukkan pandangannya tentu saja tidak sama dengan orang yang biasa menundukkan pandangan dan pernah berdosa menjelalatkan pandangannya namun ia kemudian menyesal, lalu bersalah sekali lagi, lantas menyesal. Orang yang memandang jelalatan kemudian menyesal tidak bisa divonis dengan ayat ini, sebab ia tidak menyembah tandingan, namun terus berjihad melawan nafsu dirinya. Berbeda dengan yang orang yang membiarkan hawa nafsunya mengendalikan dirinya dan bandel mempertahankannya, sehingga lambat laun menjadi kebiasaan dan ia pun tidak mencelanya lagi. Inilah yang dimaksud dengan ayat di atas dan yang dituntut adalah takut pada nafsu dirinya.

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagai–mana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah." (Qs. Al-Baqarah (2): 165)

Orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah melebihi kecintaan tandingan dan tandingan mereka. Karena itu, orang yang menghabiskan umurnya dengan menyamakan antara perintah Allah dan hawa nafsunya, bahkan lebih memprioritaskan hawa nafsunya, maka apapun perintah Allah akan ia nomor-duakan dan ia sisihkan.

Allah melukiskan kondisi orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah saat masuk neraka sebagai berikut: "Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka:; "demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata; karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam." (Qs. Asy-Syu'araa` (26): 96-98).

Saat Nabi SAW masuk Madinah dan semua orang memegang tali kekang onta masing-masing, kalimat pertama yang beliau ucapkan adalah, "Wahai manusia, cintailah Allah dengan segenap hati kalian!" Artinya, jangan biarkan ada sebiji sawi pun cinta untuk selain Allah di dalam hati, sehingga ketika kita disuruh memilih, maka kita pun memilih cinta Allah sebagai prioritas pertama. Dan inilah bukti cinta. "Wahai manusia, cintailah Allah dengan segenap hati kalian!" Dalam hadits lain disebutkan Nabi SAW bersabda: "Wahai manusia, cintailah Allah atas apa yang telah Dia sediakan untuk kalian dari segala jenis nikmat." Cintailah Allah sesuai dengan nikmat yang telah Dia berikan pada kalian. Cintailah Allah karena kesempurnaan-Nya. Cintailah Allah karena tumpah nikmat-Nya atas kalian. Cintailah Allah karena curah karunia-Nya atas kalian. Cintailah Allah karena kelembutan-Nya pada kalian. Cintailah Allah karena hidayah-Nya untuk kalian. Cintailah Allah karena telah mengirimkan Rasul-rasul utusan-Nya pada kalian.

Ada suatu pengalaman yang sangat berharga yang pasti bisa dipraktekkan oleh siapapun dan akan membuatnya mencintai Allah secara riil. Sediakan selembar kertas dan pena, lalu buatlah garis yang membagi halaman kertas yang dua bagian, kanan dan kiri. Tulislah pojok kanan atas kertas "Curahan nikmat Allah pada saya" dan mulailah menulis deretan nikmat-nikmat Allah yang kita rasakan. Kita pasti membutuhkan banyak lembaran dan tidak cukup hanya dengan satu kertas saja. Selanjutnya, tulislah di pojok kiri atas kertas "Maksiat yang pernah aku lakukan pada Allah", kemudian tulislah semuanya dan jangan tinggalkan satupun. Jujurlah dengan diri kita sendiri. Selesai itu, perhatikan isi kertas dan akan kita lihat hadits ini di depan mata kita: "Cintailah Allah atas apa yang telah Dia sediakan untuk kalian dari segala jenis nikmat".

Nabi SAW bersabda: "Ada tiga hal yang jika ada diri seseorang maka ia akan menemukan kemanisan iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang karena Allah, dan enggan kembali kafir sebagaimana kebenciannya dilemparkan ke dalam neraka."

Penyakit terparah yang diidap hati adalah jika ia enggan menjalankan tugas yang telah menjadi misi penciptaannya. Hati diciptakan untuk mengenal Allah dan mencintaiNya. Jika kita mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia dan menguasai segala kemahiran yang ada di dunia, namun kita tidak mampu mengetahui Allah dan mencintainya, maka hati kita jelas sakit dan tidak mengetahui apa-apa. Sebab puncak pengetahuan dan dasar pengetahuan adalah mengetahui Tuhan kita dan mencintai-Nya.

Jika kita bisa mengenyam segala kenikmatan dunia, bisa merasakan kesenangan dunia, namun tak pernah kita nikmati dalam hidup kita bagaimana rasa mengetahui Allah dan mencintai-Nya, maka kita hanya sedang merasakan kenikmatan dunia dan tidak mencicipi kegembiraan dunia.

Sebagaimana kenikmatan surga yang tidak sebanding dengan kelezatan memandang wajah Allah SWT, maka kenikmatan dunia pun tidak ada bandingannya sama sekali dengan kenikmatan mencintai Allah SWT.

Semua orang bisa mengatakan: Saya mencintai Allah, maka ketika pengakuan semakin banyak dan setiap orang mengaku mencintai Allah, Allah pun lantas menguji mereka. Ujian ini berupa satu ayat dalam Alquran yang disebut "ayat ujian". Ia menguji dan memperlihatkan mana yang sungguh-sungguh dan mana yang bohong-bohongan dalam klaim-klaim ini. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi..." (Qs. Aali 'Imraan (3): 31).

Jangan hanya mengaku-aku mencintai Allah dengan sekedar ucapan, akan tetapi buktikanlah dengan amalan- amalan kita. Orang yang sungguh-sungguh mencintai Allah adalah orang yang tingkah lakunya menyuarakan: aku cinta Allah! Persis sebagaimana suami yang berkata pada istrinya: "Saya Cinta Padamu" dan terus mengulang-ulanginya setiap kali melihatnya, namun ia juga terus-menerus melecehkan dan menyiksa sang istri. Apakah si istri akan mempercayainya? Tentu saja ia tidak akan mungkin mempercayainya.

Hal yang sama berlaku bagi orang yang mengaku mencintai Allah. Yang terpenting adalah apa yang disuarakan tingkah lakunya dan kesungguhan hubungan–nya dengan Tuhannya, sehingga bicara saja tidak cukup. Karena itu, jika kita ingin mengetahui cinta kita pada Allah, maka ukurlah diri kita dengan ayat ini "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi..." (Qs. Aali 'Imraan (3): 31). Sudahkah kita laksanakan sunnah Nabi atau belum? Kita tidak rajin shalat sunnah dan tidak pula bergairah menaati Allah. Apalagi jika kita tidak melaksanakan shalat fardhu. Kita suka menunda-nunda pelaksanaan shalat hingga akhir waktu dan berpuasa Ramadhan dengan angin-anginan. Maka bagaimana mungkin kita mengaku mencintai Allah. Jika kita sampai mengaku-aku mencintai Allah, maka kita jelas-jelas bohong besar. "Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi..." (Qs. Aali 'Imraan (3): 31)

📚 Tingkatan-tingkatan Cinta Allah


Sesungguhnya cinta Allah memiliki permisalan, seperti seorang pria yang mencintai seseorang wanita yang biasanya diawali dengan rasa tertarik. Si pria mulai tidak bisa tidur memikirkan dan melamunkan si wanita (dan sebaliknya), sampai-sampai jika ada orang yang berbicara dengannya, ia tidak menanggapi karena larut dalam lamunan. Seluruh fokus pikirannya tertuju pada wanita tersebut. Ketika orang-orang menanyainya, apa yang kamu lakukan, ia pun tidak menemukan dirinya tengah berbuat sesuatu yang salah. Ia hanya tergila-gila dengannya.

Setelah tahap ketertarikan, ia pun semakin mencenderunginya hingga sampai pada taraf mengukur segala sesuatu yang hendak dilakukannya selera orang yang dicintainya: Apakah hal yang dilakukannya ini disukai orang yang ditaksirnya atau tidak.

Selanjutnya, rasa cintanya akan bertambah hingga ia menyebutnya sebagai kekasih atau meminjam istilah para penyair Shabbaabah (Curahan Hati). Ia pun kehilangan kendali atas hatinya sebagaimana kucuran air dari atas ke bawah yang tak mampu dibendung. Orang yang terlalu mencintai seseorang (tergila-gila kepadanya) tidak akan bisa lagi mengontrol hatinya. Ia misalnya siap menunggui gadis yang dicintainya di depan pagar rumahnya hingga enam atau tujuh jam, juga siap bepergian ke mana saja selama di tempat itu ada orang yang dicintainya, layaknya Qais dan Laila. Karena saking cintanya pada Laila, hanya sekedar lewat di depan rumah yang didiami Laila, Qais pun sampai mati-matian menenangkan hatinya. Ia bilang:

Aku lewat di depan rumah rumah Laila aku ciumi dinding demi dindingnya bukan cinta rumah yang menggebu-gebu hatiku namun cinta pada orang yang mendiaminya

Setelah itu, cinta akan semakin bertambah subur hingga taraf cinta mati (gharaam), di mana hati sudah tidak bisa lagi berpisah dengan kekasih yang dicintainya dalam segala kondisi.

Karena itu, ketika Allah berbicara pada kita mengenai kondisi orang-orang kafir ketika masuk neraka Jahannam, Dia menggambarkan: "sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasan yang kekal." (Qs. Al-Furqaan (25): 65). Sebab orang yang sudah masuk neraka Jahannam tidak akan lepas dari siksa untuk selama-lamanya sebagaimana kelekatan cinta mereka pada kehidupan dunia.

Ketika seorang pecinta sampai pada taraf cinta mati, maka meski ia sadar bahwa berjalan-jalan dengan seorang cewek yang bukan muhrim adalah dilarang, begitu juga si cewek, mereka tetap tidak mampu menahan diri dari perbuatan ini. Hati mereka telah saling lekat dengan cinta dan cinta mereka pun tidak akan bisa lepas dari hati mereka, selama-lamanya.

Kondisi ini akan semakin bertambah hingga mencapai taraf cinta yang mendalam (syaghaf), dan ini adalah tingkatan cinta yang tertinggi. Cinta yang mendalam berarti ia telah mengakar kokoh di dalam relung hati yang terdalam. "Dan wanita-wanita di kota berkata: Istri Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesung– guhnya cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam..." (Qs. Yuusuf (12):30). Saking cintanya Zulaikha pada Yusuf sampai-sampai ia pun terseret melakukan sesuatu yang sangat berani untuk ukuran perempuan. Ia bilang pada Yusuf: Marilah ke sini, sembari mengunci pintu-pintu. Bahkan Zulaikha pun sampai pada taraf keberanian yang tidak akan ia capai kecuali karena kecintaan yang sangat mendalam, dengan memaksa dan menarik Yusuf yang mencoba melarikan diri dari godaan nafsunya hingga baju belakangnya robek.

📚 Begitulah Seharusnya Cinta kepada Allah


Pernahkah suatu hari kita terus-menerus memikirkan Allah? Bukankah ini merupakan tahap pertama cinta konvensional? Apakah kita telah memberikan sesuatu pada hamba-Nya, tapi tidak kita berikan pada Allah? Kita curahkan seluruh cinta dan kepatuhan kita pada hambaNya, tapi seperempatnya pun tidak kita berikan kepada Allah. Lalu kita mau mengaku mencintai-Nya? Siapa yang begadang semalaman membaca Alquran dan memikirkan Allah SWT?

Inilah tahap pertama cinta kepada Allah: jaga malam dan membaca Alquran. Setelah itu, orang yang benar-benar mencintai Allah hatinya akan semakin cenderung kepada Allah. Ia pun mulai rajin menghadiri pengajian dan rela duduk berdesak-desakan demi mendengarkan pengajian, karena cinta mulai tumbuh subur dan hati semakin tertarik.

Selanjutnya cinta akan semakin bersemi dan sebagaimana pada permisalan di atas, si pecinta pun mulai menimbang-nimbang apa yang ia sukai dan apa yang disukai kekasihnya. Seorang hamba musti juga berlaku demikian, sebelum memulai melakukan suatu perbuatan apapun akan bertanya-tanya: Apakah perbuatan ini diridhai Allah atau tidak. Berikutnya, cinta akan memenuhi hati si hamba, sehingga ia ingin selalu mengikuti Tuhannya. Dan inilah puncak cinta, yaitu ketika keinginan kita untuk selalu mengikuti keridhaan Allah SWT.

Cinta akan semakin bertambah dan bertambah lagi hingga taraf mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan ridha Allah. Jika pada permisalan di atas si pecinta rela menunggu berjam-jam, pergi ke manapun untuk menjumpai kekasihnya, dan tegar menanggung segala resiko demi menyenangkannya, maka hamba yang mencintai Allah pun akan rela begadang sampai larut malam, mencurahkan segala upaya, belajar Alquran, dan menghafalnya.

Lebih dalam lagi, ia akan sampai pada kegila-gilaan hasrat hati kepada Allah. Apapun yang dilakukannya di dunia ia dedikasikan sepenuhnya demi memperoleh ridha Allah. Ia pun praktis hidup di dunia hanya untuk mendapatkan ridha Allah, menjalankan perintah-perintah-Nya, dan melaksanakan semua yang disukai-Nya. Hatinya seolah-olah telah diberi stempel: ”Diwakafkan untuk Allah SWT”. Ia sudah tidak merasakan kenikmatan kegembiraan, kesedihan, maupun perbuatan, kecuali demi meraih ridha Allah SWT. Ia bekerja, menikah, dan beraktivitas apapun dengan niatan demi meraih ridha Allah dan menegakkan agama-Nya.

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya konon ada seorang laki-laki yang tetap menyembah Allah di negeri yang semua penghuninya adalah pemaksiat. Allah bertitah pada Jibril: "Tenggelamkan negeri itu ke bumi!" Ia menjawab: "Tuhan, di negeri itu ada hamba-Mu si Fulan yang terus-menerus ruku' dan sujud." Allah berfirman: "Hai Jibril, mulailah dengannya. Sesungguhnya wajahnya tidak akan berubah memandang-Ku sedetikpun."

Di antara manifestasi cinta Allah tertinggi adalah ketika seorang tidak kuasa lagi melihat manusia bersalah pada Allah SWT. Ia ingin semua manusia mencintai Allah, sebab ia tahu bahwa mencintai-Nya adalah sangat-sangat indah.

Tangga cinta Allah semakin naik hingga taraf tadzallul (menistakan diri). Karena itu, setiap kali berbicara tentang Nabi SAW di dalam Alquran, Allah selalu membicarakannya dengan predikat hamba. "Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya." (Qs. Al-Israa` (17): 1). Sebab nilai tertinggi baginya adalah ketika ia dipanggil Allah dengan lafal kehambaan sebab inilah puncak cinta.

Lebih tinggi lagi adalah ketika seorang hamba benar- benar bisa menjadi hamba. Ia khusu' di mihrabnya dan shalat malam sambil bercucuran air matanya seraya menengadahkan tangan ke langit dan merasa sangat membutuhkan Allah sekaligus merasa sangat dekat denganNya. "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qs. Qaaf (50): 16). Ia merasakan kedekatan yang menakjubkan dan mampu merasakan kenikmatan kenistaannya di hadapan Allah.

Semua orang pasti pernah mengalami hal-hal seperti ini meski hanya sesaat saja dalam rentang panjang hidupnya, di mana Allah mengenalkannya dengan kelezatan berdekatan dengan-Nya. Namun seorang mukmin sejati bisa merasakan hal ini setiap hari. Setiap hari ia merasa menghamba, rendah, khusyu', dan dekat dengan Allah SWT.

Kemudian, grafik cinta Allah semakin naik meninggi hingga mencapai taraf menjadi Khaliilurrahman (Kesayangan Yang Maha Penyayang). Namun ini bukan level kita. Bahkan hanya ada dua orang saja yang mampu mencapai level ini, yaitu Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman, "Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya." (Qs. An-Nisaa` (4): 125). Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai kesayangan sebagaimana Dia jadikan Ibrahim sebagai kesayangan."

Di mana posisi kita dalam tangga-tangga tingkatan cinta Allah ini? Barangsiapa mencintai seseorang, maka ia akan menyukai segala sesuatu yang bisa mengingatkannya kepada sang kekasih yang dicinta. Lalu apakah kita mencintai kaum mukminin? Barangsiapa yang mencintai seseorang, maka ia akan membenci orang yang menjelek-jelekkan kekasihnya di depan matanya dan membenci orang yang melakukan sesuatu yang mengganggu kekasihnya. Lalu, mengapa kita masih suka berbuat fasiq? Mengapa kita mencintai orang-orang yang jauh dari ketaatan Allah? Mengapa kita berteman dengan orang-orang yang berperilaku buruk?

📚 Keteladanan Nabi-nabi Pecinta Allah


Lihat Nabi Musa as ketika mengatakan sebagaimana firman Alllah SWT: "dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)." (Qs. Thaahaa (20): 84). Coba kita renungkan posisi kesegeraan kepada Allah. Ini adalah manifestasi cinta tingkat tinggi, di mana begitu cintanya ia kepada Allah sampai-sampai menunggu barang sebentar pun ia sudah tak sanggup.

Begitu malam menjelang, hamba berdiri dan shalat di hadapan-Mu. Begitu panggilan shalat Shubuh datang, hamba meradang mengingat-ingat fajar hari kemarin yang hamba sia-siakan. Dan aku bersegera kepada-Mu. Siapa gerangan yang memiliki cinta seperti ini? Barangsiapa yang mencintai seseorang dan mengetahui ia berada di dekatnya, maka ia akan bersegera dan tak sabar menjumpainya. Lalu mana bukti cinta kita kepada Allah? Pernahkah suatu hari kita bersegera menghadap Allah begitu azan panggilanNya mengalun? Pernah sekali saja dalam hidup kita begitu kasmaran tatkala Imam shalat membaca ayat-ayat suci Alquran hingga kita pun bersujud meletakkan kepala kita di hadapan Allah? Apakah kita sekarang sudah mengerti posisi Nabi Musa as? Apakah kita sudah mengetahui apa itu cinta Allah? "Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Tuhanku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)." (Qs. Thaahaa (20): 84).

Tengok juga cinta Nabi Ibrahim as sebagaimana dilansir firman Allah SWT: "Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Qs. Ash-Shaaffaat (37): 99). Pernahkah suatu hari kita mengatakan: Oh Tuhan, aku datang kepada-Mu. Lihat, apa kata Nabi Ibrahim as: Oh Tuhan, aku sangat rindu ingin menghadap-Mu.

Lihat pula Nabi SAW ketika beliau mengatakan: "Dan dijadikanlah permata hatiku dalam shalat." Kedua mata beliau tidak dipenuhi apa-apa kecuali oleh shalat di hadapan Allah SWT. Perhatikan apa gerangan yang diucapkan Nabi SAW dalam ruku'nya: "Telah khusyu' kepada-Mu seluruh indera pendengaran hamba, penglihatan hamba, otak hamba, tulang hamba, dan urat nadi hamba."

Pernah suatu hari kita ruku' dan merasakan bahwa otak dan tulang kita khusyu' kepada Allah SWT? Nabi SAW tidak mengatakannya berlebihan, akan tetapi beliau benar-benar merasakan bahwa tulang tubuhnya ikut khusyu' kepada Allah SWT. Para sahabat menuturkan: "Saat Nabi SAW shalat kami mendengar sesunggukan dari dada beliau seperti sesunggukan laki-laki yang sedang menangis." Ini merupakan manifestasi kekhusyukan dan ketersambungan dengan Allah.

Hudzaifah bin al-Yaman ra juga menuturkan: Suatu hari saya shalat bersama Rasulullah. Beliau mengawali bacaan dengan surah Al-Baqarah. Beliau ruku' pada ayat ke seratus, kemudian berlanjut. Beliau shalat satu rakaat (lagi) dengan bacaan (surah) tersebut lalu melanjutkan, kemudian ruku'.

Berikutnya beliau membuka surah An-Nisaa` lantas membacanya. Kemudian beliau buka surah Aali 'Imraan lantas membacanya. Beliau membacanya dengan pelan- pelan. Jika melewati ayat yang di dalamnya ada tasbih, beliau bertasbih. Jika melewati ayat permohonan, beliau memohon. Jika melewati ayat ta'awwudz, beliau pun berta'awwudz. Kemudian beliau ruku' dan berucap: "Subhaana Rabbiya Al-'Azhiim" [Mahasuci Tuhanku yang Mahaagung]. (Lama) ruku' beliau sama seperti (lama) berdiri beliau. Kemudian beliau ucapkan: Sami'allaahu li man hamidahu" (Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Selanjutnya beliau berdiri lama mendekati lama ruku' beliau. Lalu beliau sujud sambil berucap: "Subahaana Rabbiya al-A'laa" (Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi). Lama sujud beliau pun mendekati lama berdiri beliau."

Kita tidak mungkin kuat berdiri dan melakukan shalat selama itu kecuali jika kita memang benar-benar menikmati. Tidak ada seorang pun yang kuat berdiri selama itu kecuali jika ia menikmati dan merasakan kedekatan dengan Allah SWT.

Rasulullah mengajarkan bahwa hal yang paling dicintai Allah adalah jika seorang manusia gugur syahid di jalan Allah. Beliau pun bersabda: "Demi Dzat yang diriku ada dalam genggaman kuasa-Nya, sungguh aku ingin sekali gugur di jalan Allah, kemudian hidup lalu gugur, kemudian hidup lalu gugur, kemudian hidup lalu gugur."

Amati munajat Nabi SAW saat beliau mengatakan: "Allaahumma –rzuqni hubbaka wa hubba man yanfa'uni hubbuhu 'indaka. Allaahumma ma razaqtani mimmaa uhibbu faj'alhu quwwatan lii fiima tuhibb. Allaahumma wa ma zawaita 'anni mimmaa uhibb faj'alhu firaaghan lii fii maa tuhibb" (Ya Allah, karuniailah aku cinta-Mu dan cinta orang yang cintanya bermanfaat bagiku di hadapan-Mu. Ya Allah, jadikanlah apa yang telah Kau karuniakan kepadaku dari hal-hal yang aku cintai kekuatan bagiku dalam melaksanakan apa yang Kau cintai. Ya Allah, jadikanlah apa yang Kau singkirkan dariku dari hal-hal yang aku cintai kekosongan bagiku dalam menjalankan apa yang Kau cintai).

Lihat juga salah satu doa Rasulullah: "Allaahumma inni as`aluka ladzdzata an-nadhr ilaa wajhika al-kariim wa as`aluka asy-syauq ilaa liqaa`ika" (Ya Allah, aku memohon kelezatan memandang wajah-Mu yang mulia dan aku memohon karunia kerinduan untuk bertemu dengan-Mu).

Adakah salah seorang dari kita yang rindu bertemu dengan Allah SWT? Inilah puncak cinta.

📚 Keteladanan Sahabat Pecinta Allah


Utsman bin Mazh'un

Ia bercerita tentang dirinya: Aku melihat para sahabat disiksa di Makkah. Manakala ada seorang sahabat yang disiksa, aku tahu bahwa ia semakin dekat pada Allah selangkah dan semakin dicintai Allah. Halnya diriku, tidak ada seorangpun yang berani memukulku karena aku berada dalam lindungan suaka Al-Walid bin al-Mughirah. Karena tahu demikian, aku mengeluh (dalam hati), "Mengapa mereka mendapatkan pahala dan semakin dekat dengan Allah berlangkah-langkah, sementara aku tidak?" Aku pun bergegas pergi menemui Al-Walid bin al-Mughirah dan aku bilang kepadanya, "Saya ingin mengembalikan suaka perlindungan Anda." Ia pun menukas, "Anakku, apakah kau telah menemukan perlindungan orang yang lebih baik dariku?" Aku jawab, "Ya." Ia tanya, "Siapa?" Aku jawab, "Perlindungan Allah 'azza wa jalla."

Setelah mengembalikan suaka perlindungannya, Utsman bin Mazh'un lantas masuk ke tengah-tengah komunitas Quraisy. Kala itu mereka sedang membaca syair. Seorang penyair yang menyebut dirinya Labid bersenandung: "Bukankah segala sesuatu selain Allah adalah bathil?" –Menurut tradisi Arab, mereka tidak diperbolehkan memotong senandung syair para penyair Namun karena Utsman bin Mazh'un ingin mencari gara- gara dan menyulut pertengkaran dengan mereka, ia pun memotongnya dengan mengatakan, "Anda benar."

Labid tidak menanggapinya dan terus melanjutkan senandungnya: "Segala kenikmatan tidak diragukan lagi pasti akan habis!" Utsman menginterupsi lagi, "Bohong! Kenikmatan surga tiada ada habisnya!" (Karena jengkel diinterupsi) Labid lantas berseru, "Wahai kaum Quraisy, sejak kapan para penyair dilecehkan di majelis kalian?" Mereka menjawab, "Biarkan saja dia, Labid. Ia berada dalam suaka perlindungan Al-Walid bin al-Mughirah." Utsman malah berseru, "Tidak. Aku telah mengembalikan suaka perlindungannya kepadanya." Serta-merta mereka pun langsung berdiri memukulinya hingga salah satu matanya terluka mengalirkan darah.

Al-Walid bin al-Mughirah yang datang dari kejauhan hanya tertawa sinis sambil berkata, "Nak, kau dulu berada dalam suaka perlindungan orang yang agung." Utsman bin Mazh'un menukas, "Tidak, demi Allah, suaka perlindungan Allah lebih agung. Satu mataku yang sehat justru merindukan apa yang menimpa mata sebelahnya di jalan Allah." Nabi SAW sekonyong-konyong datang, lalu meletakkan tangannya yang mulia di mata Utsman bin Mazh'uun sembari mendoakannya hingga langsung sembuh.

Abdullah bin Jahsy

Sebelum pecah Perang Uhud, semua sahabat berdoa kepada Allah agar memenangkan mereka atas bala tentara Quraisy. Namun ketika Abdullah bin Jahsy mulai berdoa, ia justru berujar: "Ya, Allah, hamba mohon, jika besok kami bertemu dengan musuh, maka karuniailah aku laki-laki yang kuat pukulannya dan tangguh koyakannya. Hamba akan berperang dengannya di jalan-Mu, lalu ia akan menewaskan hamba, kemudian ia seret hamba dan ia potong hidung dan telinga hamba, sehingga kelak jika hamba bertemu dengan-Mu, Kau akan mengatakan: Hai Abdullah, ke mana hidung dan telinga-Mu?" lalu akan kujawab: "Di jalan-Mu dan Rasul-Mu!", lantas Kau bilang: "Kamu benar!".

Abu ad-Dahdah

Abu ad-Dahdah adalah salah seorang sahabat Nabi yang memiliki kebun terbesar di Madinah, berisi enam ratus pohon kurma. Ketika sedang duduk di sisi Rasulullah, ia mendengar satu ayat, yaitu firman Allah SWT: "Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak." (Qs. Al-Baqarah (2): 245). Ia pun langsung berkata, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan ingin pinjaman yang baik dari kita?" Beliau jawab, "Benar, Abu ad-Dahdah." Ia menukas, "Wahai Rasulullah, mohon bentangkan tangan Anda." Nabi SAW lantas membentangkan tangannya dan Abu ad-Dahdah segera meletakkan tangannya di atas tangan Nabi SAW seraya berkata, "Wahai Rasulullah, saya pinjamkan kebun saya pada Tuhan."

Ia bergegas keluar dari sisi Nabi SAW menuju kebunnya untuk membawa pergi istri dan anaknya yang masih bayi dari sana. Kala itu, si istri berada di kebun bersama anaknya yang sedang memegang sebiji kurma dan hendak memasukkannya ke mulutnya. Tiba-tiba Abu ad-Dahdah berteriak dari luar kebun, "Hai Ummu ad-Dahdah, keluarlah bersama si bayi dari kebun ini. Kebun ini telah menjadi hak pinjam Allah SWT." Si istri yang memang seorang wanita mukminan menyahut, "Baik, Abu ad-Dahdah". Ia keluarkan kurma dari mulut bayinya sembari berujar kepadanya, "Muntahkan, muntahkan. Kurma itu milik Allah. Kurma itu milik Allah!"

Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi

Semasa kekhalifahan Amirul mukminin Umar bin Khatab ra, sepeninggal Nabi SAW, Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi ditawan oleh pasukan Romawi. Mereka membawanya menghadap Kaisar Romawi bersama dengan dua puluh kaum Muslimin yang juga ikut tertawan. Kaisar Romawi menanyainya, "Apakah kamu pemimpin orang- orang ini?" Abdullah bin Hudzafah menjawab, "Ya." Si Kaisar berkata lagi, "Saya tawari kamu masuk Kristen dan memeluk agamaku, lalu akan kubebaskan kau." Ia menjawab, "Demi Allah, jikalau kau potong aku sepotong-sepotong, niscaya tetap tak akan kutinggalkan agamaku." Kaisar Romawi menaikkan tawaran, "Aku tawari kau separo kerajaanku, dengan syarat kau mau masuk agamaku." Ia menjawab, "Demi Allah, kalaupun kau beri aku kerajaanmu dan semua kerajaan yang diberikan pada bangsa Arab, aku tetap tak akan meninggalkan agama Muhammad selangkah semutpun." Sang Kaisar menukas, "Kalau begitu kau akan kubunuh." Ia malah menantang, "Lakukan saja apa yang kau inginkan."

Prajurit Romawi segera menyeret dan menyalibnya. Kaisar Romawi berkata, memberi perintah, pada para eksekutor, "Panah dia tepat di tangannya!" Anak-anak panah berhamburan mengenai tangan laki-laki yang kokoh ini. Sang Kaisar menawarinya lagi, "Kau mau keluar dari agamamu dan masuk agamaku." Abdullah bin Hudzafah tetap menolak. Mereka pun menghujaninya lagi dengan anak panah tepat di kedua kakinya, namun lagi-lagi ia tetap menolak.

Karena terus bersikukuh menolak, Sang Kaisar pun memerintahkan, "Turunkan dia dan sediakan panci besar, lalu isi dengan air dan minyak dan nyalakan api di bawahnya. Kemudian seret dua orang temannya dan lemparkan mereka ke dalam air yang mendidih itu di depan matanya." Algojo-algojo Romawi pun menyeret dua orang sahabat dan melemparkannya ke dalam panci air yang sedang mendidih itu hingga langsung meninggal dunia. Sang Kaisar berseru lagi, "Kau tinggalkan agamamu atau aku lakukan padamu sebagaimana orang-orang ini?" Ia malah menantang, "Lakukan apa yang bisa kau lakukan." Sang Kaisar berseru, "Seret dia dan lemparkan!" Para algojo pun menyeretnya, namun saat berdiri di depan panci itu, ia menangis. Para algojo Romawi spontan berseru, "Berita baik, wahai Kaisar Romawi. Ia panik ketakutan." Sang Kaisar menjawab, "Bawa dia kembali." Lalu ia tawari lagi, "Kau mau keluar dari agamamu dan masuk agamaku?" Ia malah tetap menolak. Sang Kaisar pun geram, "Celaka kau, lalu apa gerangan yang membuatmu menangis?" Ia menjawab, "Aku berdiri di depan api dan di depan panci air yang mendidih, namun aku hanya memiliki satu nyawa. Aku pun berangan seandainya memiliki nyawa sebanyak bulu rambut di badanku, maka nyawa demi nyawaku bisa keluar di jalan Allah."

Betapa gigihnya Sayyidina Hudzafah mempertahankan agama dan betapa inginnya ia mati di jalan Allah, sementara kita malah terus-menerus membangkang kepadaNya dan terus-menerus menjelalatkkan pandangan kita. Kita terus-menerus berkata: "Kami tidak sanggup melawan hasrat kemaksiatan!" Kita terus-menerus bilang: "Kami tidak sanggup. Kami hanyalah orang-orang lemah!" Lihatlah laki-laki ini, betapa berani ia korbankan diri, demi cinta Allah. Ia tidak menangis karena ia akan mati. Ia menangis karena hanya memiliki satu nyawa, sehingga ia pun berangan-angan seandainya memiliki banyak nyawa yang bisa ia korbankan di jalan Alllah.

Urwah bin az-Zubair

Urwah bin az-Zubair adalah saudara perempuan Sayyidah A`isyah ra dan saudara laki-laki Abdullah bin az-Zubair. Suatu hari, ia pergi berkunjung ke istana Amirul mukminin di Damaskus bersama anaknya yang masih kecil. Sesampai di Damaskus, ketika anaknya sedang asyik bermain kuda, tiba-tiba kuda itu berontak dan memelantingkannya hingga ia meninggal dunia. Dua hari setelah itu, Urwah sendiri mengalami sakit yang sangat parah pada kakinya. Para dokter menyatakan kakinya musti diamputasi, sembari menenangkannya, "Kami akan meminumi arak agar kau tidak merasa sakit saat proses amputasi." Ia menjawab, "Aku tidak mau menggunakan bantuan kemaksiatan Allah untuk mengamputasi kakiku." Para dokter menukas, "Kalau begitu akan kami beri Anda narkotik." Ia menjawab, "Aku tidak ingin, bagian tubuhku dihilangkan sementara aku tidak mendapatkan pahalanya." Mereka memberi usul lagi, "Kalau begitu akan kami datangkan beberapa orang laki-laki untuk memegangimu." Ia menukas, "Biar aku saja yang mencari." Mereka pun bertanya, "Bagaimana?" Ia menjawab, "Biarkan aku shalat. Nanti, jika aku sudah konsentrasi dengan shalatku dan sudah khusyu' di hadapan Tuhanku sampai-sampai kalian temukan aku seperti keluar dari dunia, maka tunggulah sampai aku sujud, sebab ketika sujud aku tengah bersama Tuhanku, lalu lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan." Ia pun sujud dan datanglah para dokter menghampirinya dan memulai proses amputasi kaki tanpa terdengar sedikitpun jerit aduh dari Urwah bin az-Zubair selain hanya lantunan "Subhaanallaah wa al-hamdulillaah wa Allahu akbar" (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan Allah Mahabesar).

Semakin pedih ia rasakan sakit, semakin kuat ia bertakbir: Allaahu akbar laa ilaaha illaa Allah" (Allah Mahabesar tiada tuhan selain Allah). Darah mengucur deras dan dokter pun menyirami kakinya dengan air panas. Urwah langsung pingsan tak sadarkan diri dan tidak jeritan yang keluar darinya kecuali tasbih dan zikir. Ketika siuman, ia melihat keadaan kakinya dan berkata, "Berikan kepadaku potongan kaki yang kalian amputasi." Mereka pun memberikannya. Ia lantas berucap: Ya Allah, segala puji bagimu, sepotong bagian tubuhku telah mendahuluiku masuk surga." Selanjutnya, ia pandangi potongan kaki itu seraya berucap: "Ya Allah, Engkau sungguh Maha Tahu bahwa aku tidak pernah sekalipun berjalan menggunakan kaki ini menuju kemaksiatan." Ia melanjutkan: "Ya Allah, dulu aku memiliki empat ujung [dua tangan dan dua kaki], lalu Kau ambil satu sehingga tinggal tiga. Bagi-Mu segala puji. Dulu aku memiliki tujuh anak, lalu Kau ambil satu dan tersisalah enam untukku. Bagi-Mu segala puji. BagiMu segala puji atas apa yang telah Kau berikan, bagi-Mu segala puji atas apa yang telah Kau ambil, dan bagi-Mu puji atas apa yang telah Kau sisakan."

Wanita Generasi Tabi'in

Seorang wanita dari kalangan Tabi'in melantunkan satu syair berikut untuk mengungkapkan kecintaannya pada Allah SWT, seraya bermunajat kepadanya:

Kau manis dan hidup pahit Kau menyenangkan dan manusia menyebalkan antara kau dan aku terbentang kemakmuran sedang antara aku dan semesta terbentang kehancuran jika mendapat cinta-Mu segala hal menjadi nista semua yang ada di atas debu adalah debu

Al-Junaid Al-Baghdadi

Suatu hari ia duduk di tengah-tengah sejumlah Tabi'in sambil berbincang-bincang dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang paling besar kecintaannya pada Allah. Salah seorang mendefinisikan, "Orang yang paling besar cintanya pada Allah adalah orang yang rajin qiyamullail." Yang lain menimpal, "Orang yang paling besar cintanya pada Allah adalah orang yang berteman dengan orang-orang yang taat dan menyisihkan orang-orang yang fasik." Satu per satu mereka mengemukakan pendapat mereka mengenai jenis orang yang paling besar cintanya pada Allah, sampai akhirnya tiba giliran Al-Junaid. Mereka berseru, "Kemukakan pendapatmu, hai Iraqi." Al-Junaid menukas, "Pecinta Allah adalah hamba yang hengkang dari nafsu dirinya, selalu tersambung dengan zikir kepada Tuhannya, melaksanakan hak-hak-Nya, dan selalu memandang Allah dengan hatinya. Jika berbicara, ia berbicara dengan nama Allah. Jika mengucap, ia menyebut Allah. Jika bergerak, ia melaksanakan perintah Allah. Jika diam, ia bersama Allah. Ia untuk Allah, dengan Allah, dan bersama Allah!"

Abdullah bin 'Abbas

Teladan lain adalah Abdullah bin Abbas. Orang-orang mengatakan: Abdullah bin Abbas begitu mencintai Allah, sampai-sampai jika dikatakan kepadanya: hai Ibnu Abbas, besok kiamat! Maka ia pun tidak mampu menambah sedikitpun amalnya.

Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah menuturkan: "Sesungguhnya ada surga di dunia yang barangsiapa belum pernah memasukinya maka ia tidak akan bisa memasuki surga di akhirat." Orang-orang kontan bertanya, "Apa itu?" Ia menjawab, "Surga makrifat Allah, cinta Allah, kerinduan pada Allah, dan surga kemesraan dengan Allah SWT."

Ia melanjutkan: "Kasihan nian penghuni dunia yang keluar dari dunia tanpa merasakan sesuatu yang termanis di dalamnya." Ia pun ditanya, "Memangnya apa yang termanis di dunia?" Ia menjawab, "Kemanisan bermesraan dengan Allah."

Ia menegaskan, "Hati telah melampaui beragam dimensi waktu. Jikalau penghuni surga tengah merasakan kemanisan berdekatan dengan Allah sebagaimana yang saya rasakan, maka cukuplah ini bagi mereka."

📚 Bagaimana Cara Menggapai Cinta Allah?


Pertama, tinggalkan kebandelan berbuat maksiat. Jika kita ingin mencapai jalur cinta, maka jangan terus-terusan bermaksiat. Berusahalah hentikan kemaksiatan yang kita ketahui dapat membuat kita ketagihan melakukannya. Lawanlah nafsu diri kita untuk menghentikannya. Dan bertaubatlah begitu melakukan maksiat. Jika sudah kita lakukan langkah ini, maka berarti kita telah menempuh separuh jalan menuju cinta Allah, dan sisanya bisa kita sempurnakan dengan terapi:

Jangan pernah berpikir bahwa orang yang mencintai Allah bebas dari dosa. Jangan pernah berasumsi pula bahwa derajat cinta Allah adalah kesucian dari kesalahan dan ketergelinciran. Tingkatan cinta Allah adalah jika kita berbuat dosa, kita langsung bertaubat secepatnya. Taubat dan penyesalan berkait erat dengan tangga cinta. Namun perlu diingat, pernyataan ini tidak boleh dipahami sebagai seruan untuk berbuat maksiat, akan tetapi ia hanyalah seruan yang memberitahukan bahwa kita tidak makshum, sehingga jikalau kita bersalah, maka bertaubatlah secepatnya dan jangan sekali-kali bandel dan bersikeras melakukan kemaksiatan.

Para tabi'in menuturkan. Bagaimana ia bisa menerangi hati jika gambar-gambar dunia menutupinya? Bagaimana ia mau mengembara menuju Allah jikalau ia terbelenggu dengan syahwat-syahwatnya? Bagaimana pula ia mau masuk menghadap Allah jika belum suci dari najis-najis kelalaiannya?

Kedua, tinggalkanlah segera teman-teman buruk. Yang dimaksud teman-teman buruk bukanlah orang-orang yang melalaikan Tuhan mereka, akan tetapi teman-teman buruk adalah mereka yang selalu menyeret kita menuju kemaksiatan.

Ketiga, shalatlah tepat waktu dan pertahankanlah ketepatan waktu melaksanakan shalat ini selama sebulan.

Keempat, mulailah kerjakan shalat di masjid satu shalat, kemudian dua shalat, dan pertahankan hal itu selama sebulan, lalu tambah lagi menjadi tiga shalat, dan seterusnya. Jangan sekali-kali memulai langsung semuanya secara sekaligus, akan tetapi cobalah secara bertahap. Terapi ini cocok dan memang ditujukan untuk para pemula yang selama ini jauh dari kebiasaan ini dan ingin beralih menuju ketaatan pada Allah.

Kelima, perbanyaklah berzikir kepada Allah. Berzikirlah meski hanya sepertiga jam per hari. Perbanyak juga doa, khususnya doa agar diberi keteguhan iman dan terjaga dari kemaksiatan. Misalnya, doa: "Allaahumma arini al-haqq haqqan wa-rzuqni ittibaa'ahu. wa arini al-baathila baathilan wa-rzuqni ijtinaabahu" (Ya Allah, perlihatkanlah kepada hamba yang benar adalah benar dan karuniailah hamba kemampuan untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada hamba yang bathil adalah bathil dan karuniailah hamba kemampuan untuk menjauhinya).

Keenam, hafalkanlah juz 'amma. Setelah hafal, cobalah shalat qiyamullail dengan mengkhatamkannya, meski hanya satu hari dalam seminggu. Kemudian hadirilah halaqah- halaqah pengajian Alquran.

Ketujuh, bertemanlah dengan orang-orang saleh. Carilah teman-teman yang taat beragama, sembari berdoa dan datang memohon kepada Allah agar berkenan mengaruniai kita teman-teman yang taat beragama (mutadayyin).

Kedelapan, dialogkanlah masalah agama dengan teman- teman kita dan rangkullah tangan mereka.

Demi Allah, barangsiapa yang melaksanakan langkah- langkah ini, insyaAllah ia tidak akan tergelincir. Barangsiapa yang melakukan satu persatu terapi ini, maka ia akan sampai ke jalan cinta Allah.

Jadi, jalan cinta Allah sesungguhnya tidak sulit. Jangan berpikir bahwa kedekatan kita dengan Allah terkait dengan kerajinan menghadiri pengajian saja, atau membaca kitab. Masalahnya bukan masalah pengajian atau membaca kitab. Sebab orang yang memberi pengajian hari ini bisa saja ia mati besok. Islam tidak tergantung dengan seseorang dan tidak akan pernah demikian selamanya. Islam tidak terkait dengan andil seseorang.

Apakah kita tertarik dengan Islam dan memutuskan untuk mengembara di jalan Allah. Barangkali ada yang bilang ini susah, tapi apakah belajar juga bukan sesuatu yang susah. Dan sesusah-susahnya belajar, kita pun nyatanya kuat menjalaninya selama lima belas tahun. Lalu mengapa kita bilang susah? Bukankah kawin juga susah, mendidik anak susah, dan bekerja pun susah. Tapi nyatanya tetap saja banyak orang yang menjalaninya, bahkan memperebutkannya. Kesuksesan hidup pun susah, begitu pula menghasilkan sesuatu. Namun mengapa giliran menghadapi agama, kita lantas bilang: Langkah-langkahnya terlalu besar dan kami pasti akan terjatuh!

Memang, saat mengawali terapi –yang membutuhkan waktu enam bulan- ini, syaitan akan menghadang dan merintangi kita. Selama setahun terapi, syaitan akan mencurahkan segala kekuatannya untuk menghalang- halangi kita. Kita akan menghadapi nafsu siang dan malam.

Kita akan diolok-olok teman-teman. Kita akan ditentang orang-orang. Kita juga akan terperosok ke dalam kemaksiatan dan kesalahan berkali-kali.

Fitnah-fitnah akan bermunculan silih berganti menimpa kita berkali-kali. Dan kita akan terus-menerus diuji. Tapi jangan takut dan gentar, karena Allah selalu bersama kita. Pertahankanlah langkah-langkah terapi ini. Insya Allah, Allah akan meluruskan langkah kita selangkah demi selangkah dan Dia akan mengangkat kita tanpa kita tahu bagaimana kita terangkat, juga akan kita temukan bahwa Allah menyokong kita tanpa kita tahu bagaimana. Dia akan memuliakan kita, memahamkan kita, dan memasukkan kita ke posisi cinta. kita pun akan merasakan makna-makna yang kita bicarakan sebelumnya. Hati kita akan berkibar dalam rakaat dan kita pun merasakan puncak kekhusyukan di hadapan Allah.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam