Membangun Spirit Kemandirian



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Setiap manusia dibekali dengan potensi untuk mampu hidup mandiri.”

Hari itu di dekat Masjid Nabawi ada seorang tunanetra. Telinganya ditutup kapas, raut mukanya sederhana. Dia duduk di atas tikar yang lusuh. Di depannya ada beberapa botol minyak wangi.

Selang beberapa saat, beberapa orang warga negara Indonesia menghampiri orang tunanetra itu. Rupanya mereka tergerak untuk memberikan sedekah kepada si tunanetra. Namun, si tunanetra menolak pemberian itu. Ia tidak mau diberi uang sebagai sedekah. Ia hanya mau menerima uang jika orang-orang Indonesia itu membeli minyak wanginya. Itu pun setara dengan harga minyak wangi yang dibeli, tidak mau dilebihkan.

*****

Sahabat, dari cerita di atas kita dapat mengambil ibrah (pelajaran berharga). Sungguhpun orang itu memiliki keterbatasan fisik, ia pantang meminta-minta. Sejatinya, ini menjadi cambuk bagi orang-orang yang diberikan fisik sempurna, namun malah bermalas-malasan, menggantungkan hidup pada orang lain, dan menjadi benalu.

Kita juga bisa belajar kepada sahabat Rasulullah saw., Abdurrahman bin Auf ra. Ketika hijrah ke Madinah bersama Rasulullah saw., Abdurrahman bin Auf ra., meninggalkan seluruh harta kekayaannya di Mekah. Ia tidak membawa bekal materi yang memadai. Ketika tiba di Madinah, Abdurrahman bin Auf ditawari sebidang kebun kurma oleh Sa’ad bin Rabi’ Al-Anshari, seorang hartawan yang dermawan di Madinah.

Akan tetapi, Abdurrahman bin Auf menolaknya. Ia malah meminta ditunjukkan jalan menuju pasar. Abdurrahman bin Auf telah menunjukkan sifat mandirinya. Ia tidak mau bergantung kepada orang lain. Akhirnya, dengan kemampuan yang di milikinya, Abdurrahman bin Auf kembali menjadi seorang entrepreneur sukses dan kaya raya. Ia mendayagunakan ke kayaannya untuk menopang perjuangan dakwah Rasulullah saw.

Nilai kemuliaan seseorang diukur dari kemandiriannya. Kemandirian adalah potensi yang dikaruniakan Allah kepada setiap manusia untuk meraih sukses di dunia dan akhirat. Dalam hal ini, Rasulullah saw., telah memberikan teladan nyata bagi kita selaku umat beliau. Sejak kecil Rasulullah saw., telah menunjukkan jiwa kemandirian beliau. Beliau tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain. Beliau gigih berikhtiar menjemput jatah rezeki beliau.

Saat berusia delapan tahun, Rasulullah saw., bekerja menggembala kambing milik orang-orang kaya Mekah. Dari pekerjaan itu, beliau memperoleh upah untuk memenuhi kebutuhan hidup beliau. Pada usia 12 tahun Rasulullah saw., melakukan perjalanan pertama ke luar negeri, yaitu ke Syam (sekarang Suriah) untuk berdagang bersama paman beliau, Abu Thalib.

Dalam rentang 13 tahun atau saat Rasulullah berusia 25 tahun, beliau telah melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri sebanyak 18 kali dengan membawa keuntungan berlimpah. Pada usia yang masih sangat muda (25 tahun) Rasulullah telah menjadi seorang miliarder. Inilah nilai-nilai kegigihan dan kemandirian yang diajarkan oleh Rasulullah yang harus kita teladani.

Demikianlah semestinya sikap hidup seorang muslim. Pantang bagi seorang muslim bermalas-malasan dan mengharap belas kasihan orang lain. Seseorang yang makan dari hasil jerih payahnya―meski bekerja sebagai tukang sapu jalan―jauh lebih mulia daripada seorang pemuda yang menggantungkan hidup kepada orangtuanya yang kaya raya.

Sebuah hadis Rasulullah menegaskan, “Tidaklah makanan yang dimakan seseorang itu lebih baik dari apa yang diusahakannya dengan tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud as., makan dari hasil usahanya sendiri.”

Orang yang mandiri akan memiliki rasa percaya diri dalam menghadapi hidup ini. Orang yang terbiasa menghadapi dan menyelesaikan permasalahan sendiri akan berbeda semangatnya dalam menjalani kehidupan dengan orang yang terbiasa menggantungkan hidup kepada orang lain.

Lantas, bagaimana kita mengasah potensi kemandirian yang ada dalam diri kita? Mandiri itu merupakan sikap mental. Jadi, langkah pertama untuk menjadi manusia mandiri harus diawali dari sikap mental. Tanamkan tekad yang kuat dalam pikiran bawah sadar kita, “Saya harus menjadi manusia mandiri!”

Kedua, kita harus memiliki keberanian mencoba dan mengambil risiko. Kemandirian adalah milik para pemberani. Berani berbeda dengan nekat. Berani berarti melakukan tindakan dengan penuh perhitungan, ibarat seorang kesatria yang memasuki medan pertempuran dengan senjata lengkap. Sementara itu, nekat berarti melakukan sesuatu tanpa perhitungan, ibarat seorang prajurit yang memasuki gelanggang peperangan tanpa senjata di tangan.

Bagi orang yang berjiwa mandiri, kesulitan tidak dianggap sebagai halangan, melainkan sebagai tantangan dan peluang. Orang yang tidak berani mencoba itulah orang gagal. Kalau kita sudah mencoba, kemudian jatuh, itu hal biasa. Bukankah waktu kita kecil juga harus jatuh bangun ketika belajar berjalan? Kegagalan tidak pernah terjadi kepada orang yang berani mencoba. Orang gagal adalah orang yang tidak pernah mencoba. Jika kita berani mencoba, berarti kemungkinannya 50% berhasil dan 50% gagal. Sementara itu, jika kita tidak berani mencoba, berarti 0% berhasil dan 100% gagal.

Jangan takut dengan risiko karena sesungguhnya setiap sendi kehidupan mengandung risiko. Menyeberang jalan saja ada risikonya. Bisa tertabrak mobil, terserempet motor, atau tersandung batu. Jika tidak berani mengambil risiko, peluang-peluang sukses yang mungkin dapat diraih akan tertutup dan hilang. Oleh karena itu, yang semestinya dilakukan bukan menghindari risiko, melainkan mengelola risiko.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Wright bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright). Wright bersaudara menyadari betul bahwa percobaan mereka membuat pesawat terbang mengandung risiko besar. Mereka bisa terjatuh dan terluka jika percobaan itu tidak berhasil. Wright bersaudara mengelola risiko tersebut dengan mencari tempat yang aman untuk melakukan percobaan itu.

Mereka mencari padang rumput tebal agar seandainya percobaan mereka belum berhasil dan terjatuh, mereka tidak mengalami luka serius. Andai Wright bersaudara memilih menghindari risiko dengan tidak melakukan percobaan tersebut, mungkin mereka tidak akan pernah berhasil membuat pesawat terbang.

Ketiga, meningkatkan kualitas keimanan dan keyakinan kita kepada Allah. Kita harus yakin bahwa Allah yang menciptakan kita, maka Allah pula yang akan memberikan rezeki kepada kita. Jika kita sungguh-sungguh taat kepada Allah, Allah pasti memberikan jalan keluar dan rezeki bagi kita dari arah yang tidak disangka-sangka.

Ketika kita berjuang menjaga harga diri dengan tidak menjadi peminta-minta dan membebani orang lain, sementara ikhtiar yang dilakukan belum membuahkan hasil, berserah dirilah sepenuhnya kepada Allah. Biarlah Dia yang mengatur segalanya. Biarlah kita menjadi bagian dari rencana dan strategi Allah. Dengan demikian, insya Allah kita akan mampu meraih kesuksesan di dunia dan akhirat.

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sungguh, Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2–3).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam