Luruskan Niatmu



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Niatlah yang menentukan apa yang akan kita peroleh dari apa yang kita usahakan.”

Pada masa Bani Israil ada seorang pemuda yang taat beribadah. Namun, akhir-akhir ini ia terusik oleh kabar tentang sebuah pohon yang dijadikan sesembahan oleh penduduk kampung tempat dia tinggal. “Ini tidak bisa dibiarkan. Saya harus menebang pohon itu supaya orang kampung kembali menyembah kepada Allah,” tekad pemuda itu.

Pada hari yang telah ditentukan, pemuda itu berangkat untuk menebang pohon tersebut. Ia menyandang sebilah kapak tajam di pundaknya. Di tengah perjalanan ia diadang oleh seorang laki-laki paruh baya, yang tak lain adalah iblis yang sedang berubah wujud.

“Hai Anak Muda, hendak ke mana kamu membawa kapak yang tajam seperti itu?” tanya iblis.

“Saya hendak menebang pohon yang dijadikan sesembahan oleh orang kampung di sini,” terang pemuda itu.

“Apa untungnya kamu menebang pohon itu? Bukankah justru kamu akan dimusuhi oleh orang sekampung? Bisa jadi mereka akan membunuhmu. Kalaupun mereka tidak membunuhmu, mereka akan mencari pohon lain untuk mereka sembah. Apakah kamu akan menebang setiap pohon yang mereka jadikan sesembahan?” tanya iblis.

“Saya tak peduli. Tekad saya hanya satu, menebang pohon itu,” tegas si pemuda sambil berlalu.

Iblis menghadangnya lagi. Terjadilah perkelahian yang sengit. Pada akhirnya si pemuda dapat mengalahkan iblis dan menodongkan kapaknya ke leher iblis.

“Saya menyerah, Anak Muda. Silakan kamu teruskan niatmu untuk menebang pohon itu. Tapi saya punya penawaran menarik buatmu.”

“Apa itu?” tanya si pemuda.

Iblis memanfaatkan ketertarikan pemuda itu terhadap penawarannya. “Begini, Anak Muda. Kamu urungkan niatmu untuk menebang pohon itu. Sebagai gantinya, saya akan memberikanmu uang dua dinar setiap hari. Pada pagi hari kamu bisa membuka bantal tidurmu, di situ kamu akan mendapatkan uang dua dinar. Dengan demikian, kamu tidak perlu bersusah payah bekerja sebagai pencari kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Uang itu lebih dari cukup untuk biaya hidupmu sehari-hari. Bukankah ini menguntungkan bagimu?” bujuk iblis.

Pemuda itu termakan oleh bujuk rayu iblis. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya untuk menebang pohon itu.

Pada hari pertama dan kedua si pemuda itu memang mendapatkan uang dua dinar di balik bantalnya. Pada hari ketiga, ia tidak menemukan uang itu lagi. Pemuda itupun marah.

Ia mengasah kapaknya lebih tajam lagi dan berangkat untuk menebang pohon itu.

Di tengah perjalanan ia kembali dihadang oleh iblis.

“Hendak ke mana kamu dengan kapak di pundakmu itu?” tanya iblis.

“Keparat kau! Dasar pembohong! Hari ini saya tidak mendapatkan uang sebagaimana yang kaujanjikan itu. Karena itu, saya akan menebang pohon itu.”

“Lebih baik kamu urungkan niatmu jika tidak ingin celaka, Anak Muda.”

“Minggir kau, Keparat! Jangan menghalangi jalan saya atau kau akan saya tebas dengan kapak ini.”

Terjadilah perkelahian yang sengit antara pemuda itu dan iblis.

Akhirnya, iblis dapat mengalahkan pemuda itu dengan telak.

“Urungkan niatmu untuk menebang pohon itu atau sekarang kamu saya bunuh!” ancam iblis.

“Baiklah, saya tidak jadi menebang pohon itu tapi jelaskan dulu bagaimana kau bisa mengalahkan saya? Kemarin saya dapat mengalahkanmu dengan mudah, tapi kali ini saya yang dikalahkan dengan mudah olehmu.”

“Anak Muda, tiga hari yang lalu kamu berniat menebang pohon itu karena Allah. Karena itu kamu dapat mengalahkan saya dengan mudah. Tapi hari ini kamu berniat menebang pohon itu karena uang, maka saya dapat mengalahkan kamu dengan mudah. Tahukah kamu siapa saya? Saya adalah iblis,” ucap iblis lagi sambil berlalu dengan tawa kemenangan.

*****

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali gagal melakukan sesuatu atau hasil dari pekerjaan kita tidak sesuai yang diharapkan karena kita salah dalam menancapkan niat. Kita tergelincir oleh bujuk rayu iblis sehingga niat yang semula lurus dan bersih, beralih karena suatu hal, seperti karena pamrih, mengharapkan pujian, atau popularitas.

Niat adalah landasan moral dan spiritual dari suatu perbuatan. Niatlah yang akan menentukan “nilai” baik atau buruk dan diterima atau tidaknya suatu perbuatan. Dalam ilmu fiqih, niat didefinisikan sebagai qashdu syai muqtarinan bi fi’lihi, yaitu menyengaja melakukan suatu perbuatan dengan ke sadaran penuh. Artinya, niat merupakan pekerjaan yang penuh kesadaran antara pikiran, hati, dan perbuatan.

Rasulullah saw., bersabda, “Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung niatnya, dan akan memperoleh balasan sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju (diterima oleh) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya terhenti sampai apa yang diniatkannya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut mengajarkan suatu hal yang fundamental kepada kita. Siapa pun yang ingin berhasil harus bertanya apa niat di balik perbuatan yang dilakukannya. Jika ingin meraih kesuksesan dan kekayaan, bertanyalah apa niat yang tersembul di balik keinginan menjadi orang sukses dan kaya. Apakah supaya dapat menikmati hidup sesukanya, berfoya-foya, meraih popularitas, ataukah agar dapat berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa? Perbedaan niat itulah yang akan menentukan perbedaan hasilnya.

Ketika Umar bin Abdul Aziz dilantik menjadi khalifah, beberapa sahabat beliau, antara lain Salim dan Abdullah, seorang thabi’in yang wara’ dan takwa, mengirim surat kepadanya.

“Ketahuilah bahwa bantuan dan pertolongan Allah kepada hamba-Nya seimbang dengan niatnya. Barangsiapa yang sempurna niatnya, akan sempurna pula pertolongan Allah baginya. Sebaliknya, jika niatnya kurang sempurna, akan berkurang pula pertolongan Allah sesuai niatnya itu.”

Oleh karena itu, luruskanlah niat dalam setiap aktivitas kita. Niat yang bersih dan lurus akan melahirkan kesungguhan dan ketekunan dalam melakukan pekerjaan sehingga apa yang kita lakukan dapat berhasil optimal sesuai dengan yang diharapkan. Ini merupakan bentuk pertolongan Allah kepada kita.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga supaya mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam