Mahkota Kejujuran



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Jujur ibarat mata uang yang berlaku di mana pun dan kapan pun.”

Ingat pesan Ibu, Nak. Di mana pun dan dalam kondisi apa pun, berkatalah jujur. Jangan pernah berdusta,” pesan sang ibu kepada anaknya yang hendak pergi menuntut ilmu ke luar kota.

Si anak yang masih remaja mendengarkan nasihat ibunya dengan saksama dan menancapkannya ke dalam hati. Ia bertekad melaksanakan pesan ibunya.

“Baik, Ibunda. Saya akan melaksanakan pesan dan nasihat Ibunda,” ujar si anak. Kemudian, ia mengecup tangan ibundanya dengan takzim, mengucapkan salam, dan berpamitan.

Sebetulnya, ada rasa berat berpisah dengan ibunda yang dicintainya. Sejak ayahandanya meninggal, ia sangat dekat dengan ibunya. Ia bersyukur kepada Allah dikaruniai seorang ibu yang lembut, teguh imannya, dan penuh kasih sayang kepada anaknya. Namun, perasaan itu sebisa mungkin ia kelola.

Bagaimanapun, menuntut ilmu adalah perintah Allah yang harus ditunaikan. Remaja itu melangkah meninggalkan kampung halamannya untuk menuntut ilmu ke Bagdad, Irak.

Sang ibu tak bisa menyembunyikan perasaan harunya saat melepaskan kepergian putranya. Dalam hati ia sangat mendukung niat putranya untuk menuntut ilmu. Ia ingin putranya menjadi orang berilmu yang dapat memberikan pencerahan bagi umat. Sekuntum doa ia lantunkan, mengiringi langkah-langkah putranya pergi menuntut ilmu.

Remaja itu tak lain adalah Abdul Qadir. Kelak, ia tumbuh menjadi seorang waliyullah yang memberikan pencerahan bagi umat Islam. Ia dikenal dengan nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Karya-karyanya hingga kini banyak dibaca dan dipelajari oleh umat Islam di seluruh dunia.

Ada satu pelajaran yang bisa kita petik dari perjalanan Abdul Qadir menuntut ilmu.

Abdul Qadir pergi ke Irak bersama rombongan dagang yang akan berniaga ke Syam. Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh para perampok. Para perampok itu merampas semua barang dagangan milik kafilah. Hanya Abdul Qadir yang luput dari perhatian para perampok itu. Mungkin mereka berpikir Abdul Qadir yang masih remaja tidak memiliki harta apa-apa selain baju sangat sederhana yang dikenakannya.

Ketika para perampok lain tengah mengemasi harta rampokan, salah seorang perampok mendekati Abdul Qadir. Mungkin dia penasaran mengapa anak remaja itu mengikuti kafilah dagang.

“Hai Bocah Ingusan, ngapain kamu di sini?” tanya perampok itu kasar.

“Aku hendak menuntut ilmu ke Bagdad,” jawab Abdul Qadir tegas.

“Apakah kamu memiliki harta?” tanya perampok itu dengan mimik tidak yakin. Mungkin dia merasa penasaran juga, barangkali remaja itu memiliki barang berharga.

“Ya, aku memiliki uang empat puluh dinar,” ujar Abdul Qadir tegas. Sedikit pun tidak ada rasa takut dalam dirinya karena ia yakin Allah senantiasa melindunginya. Ia juga ingat pesan ibunya yang menasihati agar selalu berkata jujur.

“Apa? Empat puluh dinar? Yang benar saja. Aku tidak percaya! Mana mungkin kamu yang seperti gembel memiliki uang empat puluh dinar?”

“Ya sudah jika Tuan tidak percaya. Aku tidak rugi,” terang Abdul Qadir.

Perampok itu terlihat bimbang, antara percaya dan tidak. Akhirnya, ia memutuskan untuk melapor kepada pimpinannya yang tengah bersiap menaiki kudanya setelah mengemasi harta rampokan bersama anak buahnya yang lain.

“Hai Anak Muda, kata anak buahku kamu mengaku me miliki uang empat puluh dinar. Apa itu betul? Jangan coba-coba membohongi dan mempermainkan kami! Kamu bisa kami bunuh!” gertak kepala perampok.

“Aku mengatakan yang sebenarnya. Anak buahmu saja yang tidak percaya,” ujar Abdul Qadir tenang. Gertakan kepala perampok sama sekali tidak membuatnya ciut.

“Tunjukkan uangmu!” ujar kepala perampok memerintah.

Abdul Qadir merogoh saku bagian dalam jubahnya. Tangan kanannya menggenggam sebuah buntelan kain, lalu membukanya. “Ini uangku. Jumlahnya empat puluh dinar,” tegas Abdul Qadir sambil memperlihatkan uang miliknya kepada kepala perampok.

Mata kepala perampok itu terbelalak, antara percaya dan tidak dengan penglihatannya. Kepingan-kepingan uang emas (dinar) menari-nari di depan matanya. Aneh. Biasanya ia langsung merampas harta milik korbannya. Namun, kali ini kepala perampok itu hanya termangu sekian lama. Para anak buahnya pun heran melihat tingkah pemimpin mereka.

“Apa yang terjadi dengan pemimpin kita? Tidak biasanya ia bersikap seperti itu,” ujar seorang anak buah kepada kawannya.

“Entahlah, aku juga tidak mengerti. Kita lihat saja dulu. Sebagai anak buah, kita patuh saja kepada pemimpin,” terang anak buah lainnya.

“Mengapa kamu tidak berbohong kepada kami dengan berpura-pura tidak memiliki uang? Jika kamu berbuat demikian, kamu tidak akan kehilangan uangmu. Kami pun sama sekali tidak menaruh curiga kepadamu bahwa kamu berbohong. Akan tetapi, kamu justru mengatakan yang sejujurnya. Aku perhatikan kamu seperti tidak takut sama sekali berhadapan dengan kami, padahal kami sudah terkenal sebagai perampok kejam yang tidak sungkan untuk membunuh korban kami,” tanya kepala perampok panjang lebar kepada Abdul Qadir.

“Ibuku telah berpesan kepadaku agar aku selalu berkata jujur di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebenaran, dan kebenaran akan membawa ke surga. Aku juga tidak takut kepadamu karena memang tidak ada yang perlu ditakuti dari seorang manusia. Manusia, kok, takut kepada manusia? Hanya Allah yang berhak ditakuti,” terang Abdul Qadir lugas.

Seperti terkena sengatan kalajengking, kepala perampok itu seketika lunglai. Entah apa yang terjadi dengannya. Anak buahnya pun semakin terheran-heran dengan perilaku pemimpin mereka. Mungkin kata-kata Abdul Qadir menghunjam sampai ke dasar hatinya. Hati nuraninya tersentuh. Hati nurani yang selama ini diabaikannya, tidak pernah dihiraukan bisikannya, kini tersentuh dan menggelitik kesadaran kepala perampok.

Sebuah kesadaran akan fitrah manusia yang pada dasarnya cenderung kepada kebaikan. Ya, bagaimanapun hitam dan kelamnya kehidupan seseorang, tentulah masih menyisakan titik putih yang bukan tidak mungkin menjadi jalan hidayah dan titik balik kehidupan seseorang. Sepertinya, si kepala perampok mengalami hal ini.

“Selama ini aku belum pernah bertemu dengan orang yang begitu berani berhadapan denganku. Kebanyakan orang takut dan gemetar ketika berhadapan denganku. Akan tetapi, hari ini seorang remaja tidak takut sedikit pun padaku. Kamu berani berkata sejujurnya kepadaku. Aku tersadar ternyata aku ini bukan siapa-siapa. Aku ini makhluk lemah yang menganggap diri hebat. Aku ingin bertobat kepada Allah,” tutur kepala perampok.

“Alhamdulillah, itu jauh lebih baik bagimu. Pintu tobat terbuka setiap saat,” ujar Abdul Qadir.

“Hai, Anak Buahku, kalian sudah dengar kata-kataku tadi. Aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan hina ini. Aku ingin bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Aku tidak akan memaksa kalian. Silakan kalian pilih dan tentukan jalan masing-masing, apakah kalian mengikutiku bertobat kepada Allah atau tetap menjadi perampok,” ujar kepala perampok kepada anak buahnya.

Anak buahnya saling berpandangan dan berkata-kata. Akhirnya, salah seorang di antara mereka berkata, “Sejak awal kami memutuskan untuk mengikuti dan setia kepadamu. Jika Tuan memilih bertobat, kami juga memilih bertobat kepada Allah.”

Sebagai bukti tobat, para mantan perampok itu mengembalikan semua harta milik kafilah dagang. Tidak ada yang disembunyikan sedikit pun. Kemudian, mereka mengikuti Abdul Qadir menuju Bagdad untuk menuntut ilmu agama dan memulai kehidupan baru sebagai seorang muslim.

*****

Sahabat, kisah tersebut memberikan pelajaran tentang kejujuran kepada kita. Dalam konteks sekarang, di negeri kita kejujuran menjadi barang langka. Entah sudah berapa kali media massa memberitakan para pejabat yang tidak jujur alias melakukan korupsi. Bukan hanya pejabat di tingkat pusat, pejabat di daerah pun seperti sudah keranjingan dan kecanduan korupsi.

Mungkin banyak di antara kita yang beranggapan bahwa tidak mudah menjadi orang jujur di negeri kita. Terlebih bagi mereka yang berada di wilayah birokrasi. Terlalu banyak godaan dan tantangannya. Tidak ikut-ikutan, dimusuhi rekan-rekan sekantor, bahkan atasan.

Akhirnya, banyak di antara kita yang tidak mau ambil pusing. Masuk ke lingkaran dosa struktural yang sesungguhnya akan menghinakan kita. Kalau tidak di dunia, sudah pasti di akhirat. Mengapa kita tidak berpikir untuk mengubahnya? Jika kita sungguh-sungguh mau mengubah, insya Allah selalu ada jalan dan pertolongan.

Negeri ini memang aneh. Orang jujur malah dimusuhi dan dianggap berbahaya. Lihat saja kasus seorang ibu di Sidoarjo yang melaporkan kecurangan pelaksanaan UN (Ujian Nasional) kepada polisi. Ibu itu malah dijadikan musuh bersama oleh sekolah dan masyarakat setempat yang merasa kepentingan mereka terancam oleh kejujuran ibu tersebut. Ironis memang. Bukankah sejatinya pendidikan itu adalah proses internalisasi nilai-nilai pada diri siswa? Dan bukankah salah satu nilai penting yang harus ditanamkan pada diri siswa adalah kejujuran?

Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati dengan kenyataan di atas. Saya ingin mengajak Anda, Pembaca Budiman, untuk berada di garda terdepan menegakkan kejujuran. Biarlah orang lain berbuat tidak jujur, yang penting kita tetap konsisten berkata dan bersikap jujur di mana pun dan kapan pun. Mudah-mudahan ini menjadi jalan hidayah bagi orang-orang di sekitar kita.

Percayalah, jika kita konsisten untuk berkata dan bersikap jujur, energi kebaikan ini akan memancar ke lingkungan sekitar yang insya Allah akan menarik orang-orang di sekitar kita untuk berkata dan bersikap jujur. Sesungguhnya, kejujuran adalah fitrah manusia. Setiap manusia yang masih pada fitrahnya pasti mendambakan kejujuran. Bukankah seorang pembeli hanya akan membeli kepada penjual yang jujur? Seorang atasan menyukai karyawan yang jujur. Pengusaha menyukai partner bisnis yang jujur. Bahkan, perampok pun menginginkan rekan yang jujur.

Coba saja Anda bayangkan sekawanan perampok yang telah “sukses” menjarah harta korbannya. Kalau dalam proses pembagian hasil rampokan itu ada yang tidak jujur, mereka bisa saling membunuh. Ternyata orang jahat sekalipun menginginkan partner yang jujur. Lalu, mengapa kita tidak menjadi orang yang jujur? Sejatinya, banyak peluang yang menanti orang-orang jujur. Jujur adalah mata uang yang berlaku di manapun dan sampai kapan pun.

“Aku perintahkan kalian untuk jujur. Sungguh, kejujuran akan membawa kepada kebenaran, dan kebenaran akan membawa ke surga….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam