Bab 3. Melawan Hawa Nafsu



📚 Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)



📚 Melawan Hawa Nafsu 📚 Perbedaan Antara Godaan Syaitan Dan Dorongan Nafsu 📚 Jihad Melawan Nafsu 📚 Jihad Melawan Nafsu Diri 📚 Contoh-contoh Teladan Orang Yang Sungguh-sungguh Berjihad Di Jalan Allah

📚 Melawan Hawa Nafsu


Allah SWT telah memberitahukan kita dalam Alquran bahwa nafsu memiliki tiga jenis:

Jenis pertama: nafsu ammaarah, yaitu nafsu yang mengajak pada kejahatan. Pembicaraan ulama mengenai nafsu yang mengajak pada kejahatan sangat tragedik. Nafsu ini digambarkan sebagai kawah keburukan di dalam jasad dan sarang segala kebobrokan dan kebejatan. Sementara Allah SWT menggambarkan nafsu sebagai "Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku." (Qs. Yuusuf (12): 53).

Jenis kedua: nafsu lawwamaah, yaitu nafsu yang banyak mengecam pemiliknya. Ketika si pemilik nafsu ini terperosok ke dalam kenistaan, nafsu ini akan langsung bereaksi mengecam si pemilik sembari menyesali kekurangannya dalam menjalankan hak Allah. Menjelaskan sifat nafsu ini, Allah SWT berfirman, "Aku bersumpah dengan hari kiamat; dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 1-2).

Di sini kita bisa menemukan satu persoalan yang patut direnungi. Firman ini ternyata termasuk dalam surah Al-Qiyamah, sehingga ketika Allah SWT berbicara kepada kita mengenai kiamat, Dia seolah-olah berusaha mengaitkaitakan antara nafsu lawwaamah dengan hari kiamat. Sebab surah Al-Qiyaamah secara keseluruhan, dari awal hingga akhir, hanya membicarakan tentang hari kiamat, dan pada waktu yang bersamaan nafsu digambarkan terus bergolak dari dalam. Renungkan deretan ayat berikut: "Aku bersumpah dengan hari kiamat; dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri); Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 1-3). Perhatikan juga kelanjutan ayat: "Maka apabila mata terbelalak (ketakutan); dan apabila bulan telah hilang cahayanya; dan matahari dan bulan dikumpulkan." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 7-9) hingga firman "Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 36).

Sepanjang surah ini pembicaraan hanya terfokus pada kiamat dan nafsu lawwaamah, seolah-olah ada kaitan erat antara nafsu lawwaamah dan hari kiamat. Karenanya, banyak orang yang begitu terkesan dengan surah ini dan menghafalkannya. Dan karena kaitan erat antara keduanya, surah ini pun dimulai dengan menyinggung keduanya: "Aku bersumpah dengan hari kiamat; dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 1-2).

Di sini Allah SWT langsung bersumpah dengan dua hal sekaligus: hari kiamat dan nafsu lawwaamah. Seolah-olah nafsu lawwaamah ini selalu membutuhkan peringatan akan akhirat. Barangsiapa yang ingin agar nafsunya bertipe lawwaamah, maka hendaklah ia selalu mengingatkannya tentang hari akhir. Barangsiapa yang ingin nafsunya senantiasa takut dan siap menghadap Allah SWT di hari kiamat, maka pertahankanlah agar ia tetap bersifat lawwaamah. Jika ia kecam nafsunya karena sering melakukan dosa, maka ia berarti ingat hari kiamat. Dan jika ia sudah ingat hari kiamat, maka nafsunya menjadi lawwaamah. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain membentuk pola hubungan thardiyyah (langsung).

Prototipe nafsu yang berkebalikan dengan nafsu lawwaamah terdapat pada surah yang sama. Ketika membicarakan nafsu lawwaamah dalam surah Al-Qiyaamah, Allah membuat permisalan nafsu yang berkebalikan dengan nafsu lawwaamah. Allah SWT berfirman: "Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus menerus." (Qs. Al-Qiyaamah (75): 5). Pemilik nafsu yang berkebalikan dengan nafsu lawwaamah, yakni nafsu ammaarah, ini ingin selalu berbuat maksiat dalam kehidupan masa depannya. "Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus menerus; Ia bertanya: "Bilakah hari kiamat itu" (Qs. Al-Qiyaamah (75): 5-6). Pemilik nafsu ammaarah bertanya-tanya kapankah kiamat tiba, sebab ia ingin berbuat maksiat dalam kehidupan masa depannya. Ia tidak ingin mengingat-ingat hari kiamat, karena nafsunya tidak bertipe lawwaamah, mengecam keburukan. Dan saking kuatnya hubungan antara nafsu lawwaamah dan hari kiamat, keduanya pun disatukan dalam satu surah.

Jenis ketiga: nafsu muthma'innah (jiwa yang tenang). Jika nafsu ammarah menjadi sarang keburukan, maka sebaliknya, nafsu muthma'innah menjadi muara keimanan dan hunian cahaya. Nafsu ini lebih mulia dan lebih dicintai oleh Allah daripada Ka'bah, karena ia menjadi tempat menetap keimanan di bumi. Ia adalah nafsu yang khusyu', nafsu yang bertawakal kepada Allah, nafsu yang percaya penuh pada Allah, nafsu yang mencintai Allah, dekat denganNya, dan selalu merindukan-Nya. Allah pun memuliakannya sedemikian rupa pada hari kiamat, sebagaimana yang diberitahukan-Nya di dalam Alquran. Allah SWT berfirman: "Hai jiwa yang tenang; Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya; Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku; dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Qs. Al-Fajr (89): 27-30).

Allah SWT menyebutnya sebagai muthma`innah, bukan mu`minah karena semua manusia mengidap kebingungan namun nafsu ini tetap bisa tenang di tengah kebingungan ini. Sebab, barangsiapa yang telah mengenal Allah SWT, maka ia tidak akan pernah kebingungan. Bagaimana mungkin ia akan kebingungan jika ia telah mengenal Allah, akrab dan terbiasa dengan-Nya, dan ruhnya pun telah berbaur dengan cinta Allah SWT ? Bagaimana pula ia akan takut jika "Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (Qs. Ar-Ra'd (13): 28).

Jikalau hati seorang telah benar-benar merasa tenang, dan ketenangan ini pun sudah menjadi kebiasaannya, maka ini berarti nafsunya telah menjadi nafsu muthma`innah.

Dengan demikian, macam-macam nafsu ada tiga:

  1. Nafsu ammarah,
  2. Nafsu lawwaamah, dan
  3. Nafsu muthma`innah.

Lalu, manakah di antara ketiganya yang menjadi nafsu kita? Apakah kita termasuk pemilik nafsu ammarah, pemilik nafsu lawwaamah, ataukah pemilik nafsu muthma`innah?

Kadang kita dapati ada beberapa orang yang tidak termasuk salah satu dari ketiga jenis ini, sebab di sana jenis nafsu keempat yang belum disebutkan dan memang tidak layak disebutkan, yaitu nafsu ghaafilah (lalai). Pemilik nafsu jenis terakhir ini bukan pemaksiat namun juga bukan penaat. Ia tidak menjadi sarang kebejatan namun juga tidak menjadi pusat kebaikan. Ia tidak pernah melakukan kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana nafsu ammaarah lalu menyesal dan berkeinginan untuk kembali kepada Allah sebagaimana nafsu lawwaamah. Namun ia juga tidak pernah melakukan ketaatan sebagaimana nafsu muthma`innah. Pemilik nafsu ini bukan termasuk kategori pemilik ketiga nafsu ini. Ia tidak berharga. Ia adalah orang yang sekedar hidup tanpa tujuan maupun target.

Sayangnya, pemilik jenis nafsu seperti ini, nafsu ghafilah justru banyak sekali! Lalu, mengapa ia tidak disinggung oleh Allah SWT mendampingi ketiga jenis nafsu di atas? Ia memang tidak pantas disebut mengingat karena ia tidak serius dan bersungguh-sungguh. Ia hanya hidup dan sekedar hidup sebagaimana manusia-manusia yang lain sebagai diri yang lalai.

Kita bisa menjumpai komentar dan kebenaran ucapan ini pada firman Allah yang membicarakan jenis-jenis manusia. "Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir; Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu'min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik." (Qs. Al-Israa` (17): 18-19). Untuk mendapat imbalan yang baik (baca: surga) sebagai hadiah jiwa yang tenang, maka menginginkan kehidupan baik di akhirat (surga) saja belum cukup, akan tetapi kita juga dituntut untuk beriman dan berusaha menggapainya secara sungguh-sungguh. "...Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik; Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi." (Qs. Al-Israa` (17): 19-20).

Ayat ini hanya mengisyaratkan dua jenis manusia: jenis manusia yang menginginkan dunia dan jenis manusia yang menginginkan akhirat, tanpa menyinggung jenis ketiga yang berada di tengah-tengah keduanya, yaitu jenis manusia yang tidak menginginkan dunia maupun akhirat, melainkan hanya hidup mengikuti manusia lain. Jika teman-temannya kebetulan taat, maka ia akan pergi bersama mereka. Namun pada hari yang sama, ketika ia berjumpa lagi dengan teman-temannya yang berperilaku jelek, ia pun ikut berjalan bersama mereka dan ikut menumpang rombongan mereka. Ia tidak mengetahui, apa yang diinginkannya dan apa tujuannya dalam hidup.

Ibu-ibu rumah tangga yang seluruh pikirannya hanya terkonsentrasi pada mendidik anak-anak, makan, minum, dan hidup, adalah tipe diri yang tidak serius dan karenanya tidak pantas disebutkan.

Setelah semua pemaparan ini, termasuk jenis manakah diri kita? Tanyakanlah pada diri kita, termasuk jenis manakah kita dari keempat jenis ini; ammaarah, lawwamah, muthma'innah, atau ghaafilah dan jenis manusia manakah yang kita sukai? Namun apapun, kita tidak cukup sekedar menginginkan masuk jenis yang mana, akan tetapi yang terpenting adalah apa yang akan kita perbuat?

Marilah kita telanjangi dan posisikan diri kita di depan mata: apakah kita termasuk jenis diri yang ammaarah, lawwaamah, muthma`innah, ataukah ghaafilah.

Camkan, satu orang kadang bisa berpindah-pindah status menjadi ketiga diri (nafs) ini. Namun ada juga yang kadang bernafsu diri tetap dari lahir hingga mati. Na'udzubillah, jika saja nafsu yang permanen tersebut adalah nafsu ammaarah dari lahir hingga mati. Lebih disayangkan lagi, ada sebagian orang yang hidup dan mati dengan status nafsu ghaafilah yang lalai. Mereka sama seperti binatang. Renungkan penggambaran ayat berikut mengenai mereka, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergukan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi." (Qs. Al-A'raaf (7): 179).

Terkadang nafsu diri berstatus permanen (tidak berubah-ubah) dari lahir hingga mati. Akan naif jika status permanent tersebut berlabel nafsu ghaafilah. Tidak menutup kemungkinan pada suatu hari pemilik nafsu ghaafilah ini juga mendengarkan ceramah agama, namun pokok kehidupannya tetap saja lalai. Ritme kehidupannya hanya berkutat pada main sepak bola, kawan-kawan, jalan-jalan wisata, bekerja, kemudian kawin, melahirkan anak, dan mati. Ia benar-benar lalai untuk apa ia diciptakan. Padahal seharusnya pokok hidup manusia adalah untuk menaati Sang Pencipta dari lahir hingga mati. Barangkali setelah perjalanan waktu akan ada sesuatu yang menyadarkannya sehingga kemudian jiwanya menjadi nafsu muthma`innah yang tenang atau nafsu lawwaamah yang suka mengecam kesalahan. Keduanya sama-sama bagus. Dengan kata lain, setelah diri bisa mengetahui perannya dalam hidup, maka ia menjadi mukmin sekaligus menjadi pemilik nafsu muthma`innah atau lawwaamah.

Bisa jadi status manusia dari lahir hingga mati tetap pada satu nafsu saja di antara keempat nafsu yang telah disebutkan. Namun banyak pula yang menjalani kehidupannya dalam status yang sangat cair. Pada rentang tertentu ia menjadi jiwa yang tenang, menangis khusyu' di hadapan Kebesaran Allah. Rentang waktu berikutnya nafsunya mengecam dan menyesali perbuatan maksiatnya. Dan rentang selanjutnya ia menjadi nafsu yang ghaafilah (lalai). Kadangkala sebagian manusia melewati satu hari dengan keempat status ini. Saat bangun tidur di pagi hari nafsunya tenang, lalu saat turun ke jalan ia menjadi nafsu ammaarah yang mengajak pada kejahatan, kemudian di malam hari ia menjadi nafsu lawwaamah, lantas saat masuk kamar ia menjadi nafsu ghaafilah. Lalu, siapa gerangan kita dan di mana posisi kita di antara jenis-jenis manusia ini?

Nafsu memiliki dua kondisi, kondisi di dunia dan kondisi di akhirat. Di dunia nafsu bisa berbuat apa saja yang ia maui. Allah SWT berfirman, "Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan; sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu; dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (Qs. Asy-Syams (91): 7-10).

Sementara di akhirat, ia memiliki dua kemungkinan kondisi, sebagai orang yang taat atau sebagai orang yang naif. Jika ia menjadi jiwa yang taat pada Allah SWT, maka bersiaplah menyimak firman Allah SWT, "Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. As-Sajdah (32):17).

Namun jika selama di dunia ia bukan nafsu yang lawwaamah apalagi muthma`innah, maka bersiaplah ia melihat dirinya menyaksikan selaksa siksa. Allah menggambarkan keadaan nafsu ini saat berdiri menyaksikan siksa sebagai berikut: "Supaya jangan ada orang yang mengatakan: Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah); atau supaya jangan ada yang berkata: Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa; Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab: Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik." (Qs. Az-Zumar (39): 56-58)."

📚 Perbedaan Antara Godaan Syaitan Dan Dorongan Nafsu


Bagaimana kita mengetahui bahwa suatu dorongan kejelekan adalah godaan syaitan atau dorongan nafsu, sehingga kita bisa memperlakukan masing-masing sesuai dengan mekanisme yang harus kita lakukan?

Mula-mula syaitan akan menggoda dan mendorong kita untuk melakukan satu maksiat. Jika kita melawan atau menolaknya, ia akan langsung meninggalkan kita dan beralih menggoda kita dengan maksiat yang lain. Sebab ia memang tidak menginginkan satu maksiat saja dari kita, akan tetapi ia ingin kita terperosok ke dalam berbagai macam bentuk kemaksiatan.

Sementara nafsu cenderung bersikeras pada satu maksiat. Jika kita terus-menerus didesak untuk berbuat suatu kemaksiatan, maka jangan pikir ia godaan syetan, akan tetapi ini adalah nafsu kita sendiri. Sebab nafsu hanya merindukan satu jenis kemaksiatan dan akan terus-menerus mendesaknya.

Mula-mula yang menghadirkannya memang bukan nafsu. Syaitanlah yang mula-mula menggoda, lalu nafsu melakukannya sekali dan setelah berkali-kali ia pun terpesona, sehingga kemudian ia terus-menerus mendesak dan bersikeras melakukannya. Jadi, kebiasaan maksiat sesungguhnya disebabkan oleh kebiasaan diri yang berulangkali melakukannya, sampai-sampai syaitan pun sudah tidak perlu lagi menghias-hiasi kemaksiatan ini sedemikian rupa. Buktinya, sebagian orang yang terbiasa melakukan jenis kemaksiatan tertentu tidak lagi merasakan apa-apa lagi saat melakukan maksiat tersebut karena sudah terbiasa. Ia bahkan akan menderita jika meninggalkan maksiat tersebut. Ia sudah tidak ingin lagi melelahkan dirinya untuk melawan dorongan nafsunya. Inilah akibatnya jika ia meninggalkan mujahadah untuk melawan gejolak nafsunya.

Jadi, syaitanlah yang memancing kemaksiatan, dan inilah letak bahayanya. Ia bentangkan ratusan jalan di hadapan kita untuk melakukan beragam kemaksiatan. Dan nafsu kemudian memilih salah satunya dan memeganginya laiknya anak kecil. Jika kita kemudian melawannya, maka kita bertindak seperti orangtua yang sedang mencegah anaknya dari ketertarikan pada sesuatu yang membahayakannya.

Mujahadah melawan nafsu berarti menyapih nafsu dari hawa keinginannya. Perbedaan antara nafsu dan syaitan bisa kita ketahui pada waktu bulan Ramadhan. Pada bulan Ramadhan semua syaitan dibelenggu, lalu siapa gerangan pemicu kemaksiatan yang mericuhkan umat pada bulan Ramadhan? Pemicu kemaksiatan di bulan suci ini adalah nafsu yang busuk dan lemah. Dengan dibelenggunya syaitan selama bulan Ramadhan, asumsinya seseorang menjadi sangat kuat, lalu bagaimana ia bisa melakukan kemaksiatan? Kemaksiatan di bulan suci ini dilakukan oleh nafsu yang lemah, yang selama dua puluh tahun belum disapih, sehingga si pemilik nafsu ini pun tidak kuasa menolak permintaan nafsunya dan mengatakan tidak kepadanya. Ia benar-benar lemah di hadapan nafsu dirinya dan menjadi tawanan nafsunya.

📚 Jihad Melawan Nafsu


Mujahadah berarti bahu-membahu mencurahkan segala daya upaya. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang berjihad (bahu-membahu mencurahkan segala daya upaya) untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (Qs. Al-'Ankabuut (29): 69). Jika Kita ber-mujahadah di jalan Allah, maka Dia akan membimbing Kita. Sebagian orang berasumsi bahwa yang dimaksud mujahadah dan jihad dalam ayat ini adalah memanggul senjata di jalan Allah. Memang ini adalah bentuk jihad yang paling besar. Namun jihad memiliki makna lain. Jihad tidak saja berarti berperang melawan musuh-musuh Allah dengan pedang atau senjata, namun jihad memiliki makna yang lebih luas. Sebab menurut pengertian bahasa, jihad berarti mencurahkan segala daya upaya untuk Allah SWT. Dan inilah makna mendasar jihad.

Para ulama membagi jihad menjadi empat belas bagian. Salah satunya adalah jihaad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu). Karena itulah ketika sedang bersama-sama Nabi SAW dalam sebuah perjalanan, Mu'adz bin Jabal ra menghadap dan berkata, "Beritahukanlah kepadaku ihwal amalan yang bisa memasukkanku ke surga." Nabi SAW lalu balik bertanya kepadanya, "Belumkah aku tunjukkan kepadamu pangkal masalah, pilar, dan pucuknya?" Ia menjawab, "Belum, wahai Rasulullah." Nabi SAW menjelaskan, "Pangkal masalah adalah Islam, pilarnya adalah shalat, dan pucuknya adalah jihad."

Sebagian orang berasumsi bahwa pucuk Islam adalah berjihad melawan musuh-musuh Allah dengan jiwa dan raga kita. Namun sesungguhnya makna jihad lebih luas lagi. Sebab pucuk tertinggi Islam adalah menghimpun keempat-belas jenis jihad. Dan ini merupakan lontaran pernyataan para ulama.

Kelak, suatu ketika akan datang satu masa pada umat Islam di mana tidak ada lagi kebutuhan untuk berjihad, lalu apakah ini berarti jihad sudah tidak berlaku lagi dan tidak ada pula orang yang bisa disebut sebagai mujahid. Tentu saja tidak! Jenis-jenis jihad ada empat belas macam yang terbagi dalam empat kategori:

  1. Jihad melawan nafsu ada lima macam,
  2. Jihad melawan syaitan ada dua macam, 
  3. Jihad melawan para pemaksiat dan fasik ada tiga macam,
  4. Jihad melawan orang-orang kafir ada empat macam.

Pembagian ini dilakukan oleh ulama-ulama salaf terdahulu, dan ini adalah pemetaan versi Ibnu al-Qayyim rahimahullaah.

Jadi, kita bisa saja menjadi mujahid tanpa harus keluar dari masjid kita dan tanpa mengorbankan nyawa kita. Pemahaman seperti ini perlu didudukkan secara tepat. Pemahaman ini tidak dimaksudkan untuk mengecilkan jihad dengan jiwa dan raga (baca: nyawa), sebab jihad jenis ini adalah jenjang keislaman yang tertinggi dan gugur di jalan Allah merupakan puncak jihad yang tertinggi. Namun, kita tetap bisa menjadi mujahid tanpa harus keluar rumah.

Ketika mendengar kata jihad, sebagian orang berasumsi bahwa yang dimaksud adalah perjuangan dengan nyawa. Namun sesungguhnya, ia hanyalah amalan Islam yang paling afdhol. Nyatanya, sahabat menghabiskan waktu selama tiga belas tahun di Makkah tanpa berperang dengan kaum kafir, lalu apakah mereka tidak bisa disebut sebagai mujahad-mujahid? Apakah ada orang yang mengatakan bahwa Nabi SAW selama di Makkah tidak berjihad? Lalu, dengan apakah mereka disebut sebagai mujahid? Tentunya dengan jenis-jenis jihad lainnya yang akan kami sebutkan berikut.

Jihad melawan nafsu; ada empat macam dan tingkatan:

1. Jihad melawan nafsu dalam menolak syahwat-syahwat yang terus-menerus bergolak dan menuntut pemuasan kita.

2. Jihad melawan nafsu dalam belajar. Memalukan sekali jika ribuan kaum Muslimin ternyata tidak bisa membaca Alquran. Karena itu, setiap muslim sudah seyogianya mempelajari agamanya dan belajar demi Allah SWT.

3. Jihad melawan nafsu dalam mengamalkan apa yang telah dipelajari.

4. Jihad melawan nafsu dalam mengajak manusia untuk turut mengamalkan apa yang telah kita pelajari dan amalkan.

5. Bersabar menghadapi beban berat dakwah.

Jika kita berhasil melakukan secara sempurna fase-fase jihad melawan nafsu ini, maka kita berada pada posisi rabbaniyyin yang telah dijanjikan oleh Allah dengan sebaik-baik janji.

Jihad melawan syaitan, ada dua macam dan tingkatan:

1. Jihad melawan syaitan dalam menepis syahwat-syahwat yang ditawarkan syaitan pada kita dengan penuh kesabaran.

2. Jihad melawan syaitan dalam menepis syubhat-syubhat kita terima dengan keyakinan penuh pada Allah. Misalnya, ketika diri kita bertanya-tanya, siapa yang menciptakan Allah, atau ada yang bilang ketus pada kita, darimana kau tahu di sana ada surga dan neraka, maka jangan bilang bahwa diri kita busuk, namun syaitanlah yang melontarkan ini. Jika kita berlindung kepada Allah dan menepisnya dengan keyakinan penuh kepada Allah, maka syubhat-syubhat ini akan bisa kita tepis.

Jika kita bisa melewati kedua fase jihad melawan syaitan ini, maka kita akan menjadi imam kaum mukminin. Allah memilih dan menjadikan kita sebagai komandan kaum mukminin. Jika kita mampu bersabar menghadapi godaan-godaan syahwat dan menepis syubhat-syubhat yang dilancarkan syaitan dengan modal keyakinan penuh pada Allah, maka Allah akan menjadikan kita sebagai salah satu imam agama.

Jihad melawan kaum pemaksiat, ada tiga macam dan tingkatan:

1. Jihad melawan pemaksiat dengan tangan. Jihad jenis ini bisa kita lakukan jika kita memiliki otoritas dan tanggung jawab atas mereka, misalnya mereka adalah keluarga kita atau bawahan kita. Namun jika kita tidak memiliki otoritas apapun atas mereka, maka kita tidak layak berjihad dengan menggunakan kekuatan tangan.

2. Jihad melawan pemaksiat dengan lisan. Jika kita tidak mampu atau tidak memiliki kapasitas untuk melawan pemaksiat dengan kekuatan tangan, lakukanlah jihad atas mereka dengan lisan. Jangan diam saja jika melihat perbuatan haram dilakukan di depan kita. Tentanglah kemaksiatan tersebut, namun tetap harus dengan tatakrama. Jangan sekali-kali kita bersikap acuh tak acuh. Seorang muslim pantang acuh tak acuh jika melihat keharaman-keharaman Allah dilanggar.

3. Jihad melawan pemaksiat dengan hati. Dan ini merupakan aktualisasi keimanan yang paling lemah.

Jihad melawan orang-orang kafir, ada empat macam dan tingkatan:

1. Jihad melawan orang-orang kafir dengan hati, yakni dengan membenci mereka, tidak bermanja-manja menyayangi mereka, tidak macam-macam menyerupai mereka (dari segi penampilan atau apapun), dan tidak membangga-banggakan mereka.

2. Jihad melawan mereka dengan lisan.

3. Jihad melawan mereka dengan harta benda, dengan menginfakkannya di jalan Allah.

4. Jihad melawan mereka dengan jiwa dan raga (nyawa).

Lihat, jihad dengan jiwa dan raga (berkorban nyawa) hanyalah satu macam dari empat belas macam jihad. Memang benar ia adalah bagian yang terpenting, namun masih ada tingkatan-tingkatan jihad lainnya yang cukup penting juga.

Bisa-bisa saja kita menjadi seorang mujahid jika kita mampu melawan gejolak syahwat kita. Karena itu, kita harus bercita-cita menjadi seorang mujahid di jalan Allah, dengan bersabar dalam melaksanakan ketaatan pada Allah, dengan menepis syubhat dan syahwat yang dilancarkan syaitan, dengan berdakwah kepada Allah, dengan amar ma'ruf nahi munkar. Jika kita lakukan ini, maka kita sudah menjadi seorang mujahid.

Makhluk (baca: manusia) yang terbaik adalah orang yang mampu merampungkan jenjang-jenjang jihad secara sempurna. Rasulullah SAW didaulat sebagai makhluk terbaik karena beliaulah satu-satunya orang yang diberi kekuatan oleh Allah untuk menyempurnakan jenjang- jenjang jihad ini. Beliau merupakan teladan dan panutan dalam penyempurnaan jenjang demi jenjang jihad. Kemudian lihatlah beliau tatkala menyampaikan dakwah ke segala koridor dan amatilah apa yang difirmankan Allah SWT kepadanya, "Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling." (Qs. Al-Kahf (18): 6).

Lihatlah totalitas pencurahan energi Rasulullah dalam berdakwah. Ia berdiri tegas menyampaikan dakwah, berjihad, merogoh kantong mendanai dakwahnya, sambil berjuang melawan syaitan dan membimbing sahabat- sahabatnya. Hingga kemudian, para sahabatnya inipun menjadi mujahid-mujahid penerusnya yang berjuang di jalan Allah, mengusir dan menghalau syaitan, serta berjihad melawan dan menentang gejolak nafsu diri mereka sendiri, sampai-sampai ketika Umar bin al-Khaththab ra datang menghadap, Nabi SAW pun berkata kepadanya, "Demi Allah, hai Umar, syaitan tidak akan pernah menemuimu berjalan di jalan lebar antara dua bukit yang kau pijak! Ia tidak berjalan cepat selain di jalan lebar yang kau pijak" Umar telah mencapai tingkatan jihad melawan syaitannya yang sedemikian rupa sampai-sampai syaitan pun takut kepadanya dan tidak berani berjalan di jalan yang dilalui Umar.

Demikianlah macam-macam jihad. Pertanyaannya, sudah berapa jenjang jihad yang telah kita sempurnakan? Apakah kita telah mempelajari agama kita? Apakah kita hafal sedikit saja bagian Alquran? Apakah kita pernah membaca meski sedikit saja tafsir Alquran? Pernahkah kita membaca kitab Fiqh as-Sunnah (atau kitab himpunan hukum Islam sejenisnya)? Pernahkah kita membaca kitab Riyadhush-Shaliihin (atau sejenisnya)? Pernahkah kita membaca kitab mengenai sejarah Nabi SAW? Pernahkah kita belajar membaca Alquran? Pernahkah kita menghadiri majelis pengajian untuk belajar agama dan Alquran? Inilah tuntutan-tuntutan yang semestinya kita pelajari!

Selanjutnya, apakah kita mempraktekkan apa yang kita dengar dari pengajian dan apa saja yang telah kita pelajari? Pernahkah kita raih dan bimbing tangan salah seorang teman kita? Pernahkah kita berbicara pada orang-orang mengenai agama? Apakah kita antusias melaksanakan hadits Nabi SAW : "Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat". Apakah kita lawan dan tentang gejolak syahwat nafsu kita? Pernahkah kita bilang pada diri kita: aku tidak akan melakukan kemaksiatan ini. Demikianlah macam- macam jihad, Pertanyaannya, sudah berapa jenjang jihad yang telah kita sempurnakan?

Ingat, perbedaan manusia di sisi Allah lebih dikarenakan perbedaan tingkatan mereka dalam berjihad. Apakah kita ingin menyempurnakan jenjang-jenjang jihad ini? Apa gerangan yang menghalangi kita? Ini hanyalah jihad melawan nafsu kita sendiri.

📚 Jihad Melawan Nafsu Diri


Salah seorang tabi'in mengatakan: "Hal pertama yang layak kita jihadi dan lawan adalah nafsu diri Kita sendiri. Jika kita mampu mengalahkan nafsu diri kita sendiri, maka yang lain akan lebih mudah kita tundukkan. Namun jika kita takluk di hadapan nafsu kita sendiri, maka kita tidak akan mampu melawan yang lain." Hal senada diungkapkan salah seorang tabi'in yang lain: "Tidak ada kendaraan liar yang lebih membutuhkan tali kekangan daripada nafsu diri kita sendiri." Dengan kata lain, yang paling membutuhkan kekangan laiknya hewan tunggangan adalah nafsu manusia, sebab ia berjalan di belakang syahwat. Alangkah naif jika seseorang melihat nafsu dirinya justru malah menyetir dan mengendalikannya sekehendak nafsunya.

Salah seorang tabi'in lainnya juga mengatakan: "Musuh diri ada tiga: dunia, syaitan, dan nafsu. Perangilah dunia dengan hidup asketis mengzuhudinya! Perangilah syaitan dengan mengusirnya! Dan perangilah nafsu diri kita dengan berjihad melawannya!"

Yang lain melanjutkan: "Orang yang tidak berjihad melawan nafsu dirinya adalah budak yang hina dina dan tertawan." Bukti nyata adalah firman Allah SWT, "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilahnya." (Qs. Al-Furqaan (25):43). Pada hari kiamat, Allah SWT berseru, "Barangsiapa yang menyembah sesuatu, maka datanglah ia di belakangnya." Bayangkanlah seandainya salah seorang dari kalian harus berdiri di belakang hawa nafsunya. Bukankah menjadi hamba hawa nafsu berarti kita bertekuk lutut dan sujud di hadapannya? Bukankah ini berarti orang yang demikian bukan seorang Muslim, sebab ia digerakkan oleh hawa nafsunya? Bayangkan perbedaan mencolok antara hamba Allah SWT dengan hamba uang, hamba perempuan, maupun hamba syahwat. Lalu mengapa tidak kita lawan nafsu kita dan bagaimana kita biarkan begitu saja nafsu diri kita?

Ibnu al-Qayyim menuturkan: Saat Ibnu Taimiyyah dipenjara, saya sempat membesuknya. Dan begitu melihat keadaan beliau di penjara saya sontak menangis. Ibnu Taimiyyah malah berkata kepada saya, "Apakah kau menangisi keadaanku?" Saya jawab, "Ya." Beliau menukas, "Jangan! demi Allah, nak, aku bukan tahanan. Aku juga bukan tawanan. Tahanan adalah orang yang terkurung hatinya dari Tuhannya sementara tawanan adalah orang yang tertawan oleh hawa nafsunya.

Abdullah bin 'Umar ra juga pernah berwasiat, memberi nasihat pada salah seorang sahabatnya. Ia berkata kepadanya, "Mulailah dari dirimu sendiri, lalu lawanlah ia. Mulailah dari dirimu sendiri, lalu perangilah ia." Barangsiapa yang ingin berperang, maka mulailah dengan memerangi nafsunya sendiri. Lalu, bagaimana cara memeranginya? Mudah! Mula-mula tinggalkan kebiasaan merokok, bagaimana bisa kita menjadi budak rokok dan bagaimana kita bisa tertawan oleh rokok? Bukankah kita sudah tahu bahwa merokok adalah perilaku yang salah dan akan menyeret kita pada kematian, lalu mengapa kita tetap menghisapnya? Tidak seharusnya rokok menjadi kebiasaan yang menguasai hidup kita.

Mulailah dari diri kita dan perangilah nafsu kita. Mulailah untuk tidak memasukkan ke dalam mulut kita apapun yang berbau haram. Jika kita kenal perempuan-perempuan dan suka bergaul dengan mereka dengan model pergaulan yang dimurkai Allah SWT, maka mulailah untuk memerangi nafsu kita. Mulailah menundukkan pandangan dan berusahalah semaksimal mungkin. Bukankah ini yang disebut mujahadah melawan nafsu diri. Mulailah bergaul dengan orang-orang saleh dan berusahalah sabar bersama mereka. "Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja." (Qs. Al-Kahf (18): 28). Jika kita orang yang bertipe gampang marah, maka mulailah mengekang nafsu diri kita dan hentikanlah kebiasaan marah kita. Nabi SAW bersabda, "Orang kuat bukanlah orang yang ahli gulat, akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah."

Lontarkanlah pertanyaan berikut pada diri kita. Siapakah yang menguasai diri kita? Nafsu Kita yang menguasai kita atau kitakah yang menguasai nafsu kita? Jangan katakan: Saya marah karena memang sudah tabiat saya. Atau, saya sudah berusaha dan saya tidak mampu meninggalkan perbuatan dosa ini. Mana gerangan mujahadah yang seharusnya kita lakukan? Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami." (Qs. Al-'Ankabuut (29): 69). Tidak mungkin jika kita telah berjihad mati-matian di jalan Allah, lalu Dia akan meninggalkan kita begitu saja. Bukankah Allah sendiri telah menyatakan: "Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal saja, maka Aku akan mendekat kepada-Nya selengan."

📚 Contoh-contoh Teladan Orang Yang Sungguh-sungguh Berjihad Di Jalan Allah


1. Rabi'ah bin Ka'ab al-Aslumi ra.

Ia menuturkan: Saya pernah bermalam bersama Nabi SAW. Saya layani beliau dan saya persiapkan air wudhu untuk beliau. Malam-malam, saya datang menghadap beliau. Beliau berseru, "Hai Rabi'ah, mintalah pada saya." Saya jawab, "Wahai Rasulullah, perkenankan saya untuk berpikir sejenak." Saya lantas duduk mengingat-ingat dunia dan kebinasaannya, maka saya bilang dalam hati, "Saya tidak minta apa-apa kecuali akhirat." Saya pun kembali menghadap beliau dan saya katakan, "Saya memohon Anda berkenan saya dampingi kelak di surga." Nabi SAW menukas, "Wahai Rabi'ah, adakah yang lain?" Saya jawab, "Itu saja." Nabi SAW pun berkata pada saya, "Bantulah saya mengatasi nafsumu dengan banyak-banyak sujud."

Barangsiapa yang ingin mendampingi Nabi SAW di surga, maka ia musti memperbanyak sujud kepada Allah. Saran Nabi ini tentu saja tidak berlaku khusus pada Rabi'ah, melainkan bagi siapapun yang berkeinginan seperti dirinya. Ada satu contoh nyata. Ternyata, selama seratus tahun pertama usia umat Islam, sejak diutusnya Nabi SAW hingga seratus tahun masa dakwah, tepatnya setelah separuh masa kekuasaan Dinasti Umayyah, praktek penerapan hukuman zina dalam negara Islam hanya berlangsung enam kali. Bayangkan, dalam rentang waktu seratus tahun negara Islam, eksekusi hukuman zina hanya dilaksanakan enam kali saja! Bagaimana bisa demikian? Ini semua karena umat ini telah belajar ber-mujahadah, melawan nafsu diri mereka. Setahun sebelum diutusnya Nabi SAW, praktek prostitusi dan pelacuran begitu merajalela sampai-sampai ada beberapa rumah di Makkah yang dipasang umbul-umbul merah di depan pintunya untuk menandai bahwa tempat tersebut adalah rumah bordir sekaligus berfungsi sebagai tanda bagi orang-orang yang ingin datang ke sana. Di Makkah sendiri praktek pelacuran memenuhi segala tempat. Namun sejak hari diutusnya Nabi SAW, beliau berhasil menggembleng manusia-manusia yang telah beliau ajari untuk ber-mujahadah melawan nafsu mereka. Lalu mereka pun belajar dan bersiteguh memegangnya selama seratus tahun, dibuktikan dengan jumlah eksekusi hukuman zina yang hanya berlangsung enam kali saja dalam rentang waktu seratus tahun pertama kehidupan umat Islam.

Umar bin al-Khaththab konon pernah menghadap Abu Bakar yang kala itu menjabat Khalifah untuk mencopot jabatannya sebagai qadhi karena selama dua tahun menjalani tugasnya ia tidak pernah mendapat aduan persengketaan dari seorang pun. Bagaimana mereka bisa sampai sedemikian? Padahal beberapa bilangan tahun saja sebelum Islam mereka adalah pemaksiat-pemaksiat tulen yang tega mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka. Namun sosok-sosok ini pulalah yang kemudian berubah menjadi manusia-manusia baru yang menghasilkan kehormatan berkat mujahadah mereka melawan nafsu diri mereka.

Kita juga bisa ber-mujahadah melawan nafsu diri kita, sebab kita adalah orang Muslim yang hidup di negara Muslim dengan ritual-ritual yang masih terjaga dan masjid-masjid yang masih terpelihara, juga teman-teman yang saleh. Kita bisa menjadi orang saleh jika memang kita menginginkan hal itu, jikalau kita mau ber-mujahadah melawan nafsu diri kita.

2. Ketika Abu Bakar menyerahkan tongkat kekhilafahan pada Umar bin al-Khaththab, ia berpesan kepadanya, "Hai Umar, hal yang pertama yang ingin aku peringatkan kepadamu adalah nafsu dirimu sendiri!" Apakah Umar menyimak pesan ini? Tentu. Ia menyimak baik-baik ujaran ini hingga mati.

Anas bin Malik bercerita: Aku pernah lewat di pinggir sebuah dinding di Madinah. Sayup-sayup aku dengar suara Umar sedang menangis. Aku dekatkan telinga ke dinding sembari mendengarkan dan ia rupanya tidak mengetahui keberadaanku. Aku dengar ia berkata sambil menangis, "Umar bin al-Khaththab jadi Amirul mukminin! Bagus, bagus! Kemarin aku hanyalah Umair [Umair kecil], namun sekarang aku telah benar-benar menjadi Umar. Hendaklah kau sungguh-sungguh bertakwa kepada Allah, hai putra al-Khaththab, atau Dia akan sungguh-sungguh menyiksamu!"

Suatu hari, Umar naik ke atas mimbar dan berpidato: "Wahai manusia, dulu saya menggembala domba di Makkah. Saya mandi di bawah domba dan memerah susu domba dengan upah beberapa butir kurma." Kemudian ia turun dari mimbar. Ali bin Abu Thalib berseru kepadanya, "Hai Amirul mukminin, aku lihat kau hanya mencela diri sendiri." Umar menjawab, "Inilah yang justru aku inginkan. Aku ingin mendisiplinkan nafsu diriku dan aku katakan tegas kepadanya: Ingat-ingatlah. Aku ingin mengumumkan hal itu pada khalayak."

3. Ali bin Abu Thalib ra shalat dan shalat sepanjang malam. Di penghujung malam ia terdengar berkata sambil memegang jenggotnya dan menangis tersedu, "Hai dunia, godalah yang lain saja. Apakah kau masih berias untuk menarikku. Aku cerai kau talak tiga langsung. Bahayamu sangat besar padahal masa perjalananmu pendek. Oh, Oh, betapa minimnya perbekalan dan betapa jauhnya perjalanan."

4. Abdullah bin Rawwahah. Pada waktu Perang Mu`tah berlangsung didapati bahwa setiap orang yang memegang bendera pasti terbunuh sampai akhirnya tibalah giliran Abdullah bin Rawwahah untuk memegang bendera. Sejenak ia bimbang mengambilnya. Namun sejurus

kemudian ia mulai menyenandungkan bait-bait ini:

Aku bersumpah, hai nafsu kau harus menurunkannya entah mau atau enggan ketika orang-orang gaduh dan berteriak-teriak mengapa kulihat kau membenci surga hai nafsu, jika tak terbunuh kau pun akan mati ini adalah kolam kematian dan kau telah dishalati apa yang kauminta telah diberi jika kaulakukan ini maka kau beroleh hadiah

Tanpa ragu-ragu lagi ia ambil bendera. Di tengah kecamuk perang, ia disambangi saudara sepupunya yang membawa sepaha daging panggang. Ia berkata kepadanya, "Hai Ibnu Rawwahah, kau telah berperang sejak enam hari. Ambil dan makanlah ini untuk menguatkan tubuhmu." Ia ambil daging itu dan langsung ia makan dengan sangat lahap. Tiba-tiba ia pandangi daging itu sembari berkata (pada dirinya sendiri), "Hai Ibnu Rawwahah, apa-apaan ini, kau masih di dunia. Demi Allah, tidak seyogianya kau berada di dunia. Ambil ini, hai sepupuku!" Ia pun masuk ke medan perang dan terlibat pertarungan hingga akhirnya gugur. Nabi SAW mengatakan, "Terlihat olehku dari kejauhan mereka tengah di surga, berbaring di atas ranjang-ranjang dari emas".

Lihat, jarak antara mujahadah memerangi nafsu dan surga hanya terpaut satu detik saja!

5. Malik bin Dinar. Suatu hari ia masuk pasar dan menemukan makanan yang disukainya, maka serta-merta ia pun membelinya. Ia temukan lagi jenis makanan lain yang disukainya juga dan ia pun langsung membelinya. Dan ketika ia temukan jenis yang ketiga, tiba-tiba ia berhenti dan berkata, "Tidak! Demi Allah, aku tidak akan membelinya." Ia lantas berseru (pada dirinya sendiri), "Hai nafsu, sabarlah. Demi Allah, aku tidak mencegahmu darinya kecuali karena kehormatan dirimu atas diriku."

6. Suatu hari, Umar bin al-Khaththab menjumpai seseorang yang berjalan di pasar dan berhutang uang untuk membeli buah-buahan yang disukainya. Umar pun menegurnya, "Mengapa kau lakukan demikian?" Ia jawab, "Aku suka buah-buahan itu." Umar menimpal, "Apakah setiap kali menyukai sesuatu kau langsung membelinya?" Ia jawab, "Ya." Melihat kelakuan ini, Umar ra geram dan langsung memukulnya dengan jagung yang dipegangnya.

Saudara-saudara sekalian, kita harus melawan gejolak syahwat keinginan kita. Kita harus bersikap dewasa layaknya laki-laki sejati dalam berinteraksi dengan Allah SWT. Dan jikalau kita mau ber-mujahadah melawan nafsu kita, maka kita akan menjadi orang-orang besar.

Bebaskanlah diri kalian dari syahwat hedonik kalian agar kelak kalian menjadi tokoh-tokoh teladan yang diridhai Allah dan memiliki nilai bagi agama ini. Lawanlah syahwat kita sehari, niscaya Allah akan mengangkat kita dua derajat lebih tinggi. Lawanlah syahwat kita dua hari, lalu tiga hari, kemudian sebulan, lantas setahun, niscaya Allah akan menjadikanmu sebagai salah satu hamba khusus-Nya. Apakah kalian pikir para ulama dan para pendakwah menjadi tokoh-tokoh besar begitu saja sejak dilahirkan atau dalam waktu sekejap? Tidak! Akan tetapi mereka berjuang terlebih dahulu memerangi nafsu diri mereka sehingga Allah SWT pun berkenan membesarkan nama mereka.

Dalam usia dua puluh tahun Ali bin Abu Thalib ra berani mempertaruhkan nyawa, tidur di ranjang Nabi SAW yang sedang diincar untuk dibunuh kaum Quraisy. Apa yang telah kita lakukan saat kita berusia dua puluh tahun ? Konon, ketika ditanya mengenai malam itu, Ali menjawab, "Itu adalah malam paling tenang yang pernah aku lalui dalam hidupku." Mengapa? Karena ia sudah menjadi laki- laki dewasa meski usianya masih kecil.

Bagi kaum wanita yang terus-menerus mengeluh tidak bisa menahan maksiat maupun berkonsentrasi ibadah dengan alasan suami mereka menzalimi mereka, lihatlah keteladanan Asma` binti Abu Bakar. Sewaktu Nabi SAW hijrah bersama ayahnya, setiap hari ia bawa ransum makanan dari Makkah ke goa Tsur yang berjarak sekitar lima kilometer dengan hanya berjalan kaki. Padahal kala itu ia sedang mengandung tujuh bulan dan usianya baru dua puluh tiga tahun. Dan dialah orang pertama yang melahirkan di Madinah setelah hijrah.

Lihat siapa gerangan yang membantu Nabi SAW dalam berhijrah? Mereka adalah anak-anak muda yang berusia belia. Lalu, di manakah gerangan pemuda-pemuda zaman sekarang? Mana aktualisasi perlawanan kita terhadap nafsu kita? Apakah kesenangan kita di dunia hanya pada makanan yang lezat, hiburan yang asyik, dan musik yang indah saja? Inikah masalah kita di dunia?

Saya sempat terkesima dengan sebuah film kartun yang ditayangkan untuk anak-anak, berjudul "Alice in The Wonderland". Saya ingin mengutipnya karena ia merupakan kisah reflektif yang penuh ’Ibrah meski dalam format kekanak-kanakan. Alkisah, saat Alice sedang jalan-jalan, seekor kucing muncul di hadapannya. Ia pun berkata kepadanya sambil berdiri terpaku di persimpangan jalan, "Hai kucing, aku harus pergi lewat jalan mana?" Si kucing balik bertanya, "Memangnya kamu mau pergi ke mana?" Alice menjawab, "Tidak tahu." Si kucing menukas, "Kalau begitu jalan saja lewat jalan mana saja. Selama kau tidak tahu hendak pergi ke mana, maka semua jalan menjadi tidak ada bedanya!"

Bagaimana halnya kita ? Ke mana gerangan tujuan kita dan apa yang kita inginkan? Tentukanlah tujuan kita. Apakah kita menginginkan Allah? Jalan menuju Allah sangat jelas. Kita sesungguhnya tidak membutuhkan ceramah-ceramah panjang. Yang kita butuhkan adalah peringatan dari waktu ke waktu. Tentukan tujuan hidup kita dan tempuhlah jalan Allah. Jika kita tidak tahu apa yang kita inginkan dalam hidup, maka kita akan terperosok ke dalam kubang dunia dan kita akan mati tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup, dan di hari kiamat kelak kita akan berdiri terpaku tanpa mengetahui di mana harus berdiri dan kemana kita menuju. Karena itu, tentukanlah tujuan hidup kita!

Muhammad Al-Fatih konon membuka (baca: menaklukkan) kota Konstanstinopel, atau Istanbul, karena terdorong oleh sebuah hadits Nabi SAW (rentang waktu antara Muhammad Al-Fatih dan Nabi Muhammad SAW adalah enam ratus tahun). Hadits tersebut menuturkan bahwasanya para sahabat bertanya pada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, kota mana yang lebih dahulu ditaklukkan, Konstatinopel atau Roma?" Beliau menjawab, "Kota Heraklius dulu (Konstanstinopel)." Muhamamad Al-Fatih juga terdorong oleh hadits yang konon memberkati bala tentara penakluk kota ini. Nabi SAW bersabda, "Sungguh Konstanstinopel benar-benar akan ditaklukkan. Maka, sebaik-baik emir adalah emir penguasanya dan sebaik-baik bala tentara adalah bala tentara yang menaklukkannya."

Bayangkan jika seorang pemuda mendengar hadits ini di majelis ilmu, ditambah ia hapal Alquran, menjauhi kemaksiatan, aktif mempelajari ilmu pengetahuan, mengabdikan diri untuk Islam, menaklukkan Konstanstinopel dan bertahta menjadi emir penguasanya, maka tentu saja ia akan menjadi "sebaik-baik emir".

Simpul kata, ada dua langkah yang musti kita tempuh untuk meraih segala kebaikan ini.

Langkah pertama, perangi nafsu diri Kita. Katakan pada diri kita sendiri: Tidak! Saya tidak akan berbohong! Saya tidak akan menggunjing! Saya akan berbakti pada kedua orangtua!

Langkah kedua, pisahlah dengan nafsu kita selangkah saja, niscaya akan kita raih apa yang menjadi tujuan kita. Ibnu al-Qayyim mengatakan: "Hai orang yang bertekad lemah, jalan menuju Allah sangatlah berat. Di jalan itu Nuh menjadi renta, Yahya digorok, Zakariyya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke dalam api, dan Muhammad SAW disiksa. Lalu Kita –dengan malasnya- menginginkan Islam serba mudah yang datang sendiri ke hadapanmu?"

Tentukanlah tujuan hidup kita. Jika telah kita tentukan tujuan, maka kita pasti akan puas menjalaninya. Tetaplah tegar dan lawanlah terus hawa nafsu kita.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam