Mukadimah



๐Ÿ“š Buku Mendaki Tanjakan Ilmu Dan Tobat


Segala puji tetap bagi Allah Swt. Raja Yang Penuh Hikmat. Pemurah. Mulia. Kuasa. Penyayang. Tuhan yang menjadikan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Yang menciptakan langit dan bumi dengan kodrat-Nya. Dan tidaklah Dia ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya.

Jadi, jalan kepada-Nya jelas bagi siapa yang ingin menujuNya. Begitu pula bukti yang menunjukkan jalan kepadaNya, terang bagi siapa yang berpikir. Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki. Karena Dia lebih tahu perihal orang-orang yang beroleh hidayah.

Semoga shalawat melimpah untuk Rasulullah beserta keluarganya yang baik-baik lagi suci. Semoga Allah Swt. menyelamatkan dan memuliakan mereka hingga Hari Pembalasan.

Ketahuilah, saudara-saudaraku, semoga Allah membahagiakan Anda dan aku dengan keridhaan-Nya—bahwa ibadah itu adalah buah ilmu. Faedah umur. Hasil usaha hamba- hamba Allah yang kuat-kuat. Barang berharga para aulia. Jalan yang ditempuh oleh mereka yang bertakwa. Bagian untuk mereka yang mulia. Tujuan orang yang ber-himmah. Syiar dari golongan terhormat. Pekerjaan orang-orang yang berani berkata jujur. Pilihan mereka yang waspada. Dan, jalan kebahagiaan menuju surga.

Allah Swt. berfirman:

Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku. (QS Al-Anbiyรข’: 92)

Dalam firman-Nya yang lain:

Inilah balasan untukmu, dan segala usahamu diterima dan diakui (Allah). (QS Al-Insรขn: 22)

Jalan ibadah telah kami pikirkan dan kami teliti, dari awal hingga tujuan akhir yang jadi idaman para penempuhnya. Ternyata, ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan- tanjakan atau pendakian-pendakiannya. Perjalanannya sangat melelahkan dan jauh. Besar bahayanya. Tidak sedikit halangan dan rintangannya. Samar di mana tempat celaka dan binasa nya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.

Memang, sudah seharusnya begitu. Sebab, ibadah adalah jalan ke surga. Semua ini sesuai sabda Rasulullah Saw.:

“Perhatikan, surga itu dikepung oleh segala macam kesukaran. Sementara neraka, dikelilingi oleh segala hal yang menarik.”

Rasulullah Saw. bersabda pula:

“Perhatikan, jalan ke surga itu penuh rintangan dan menanjak. Sementara jalan ke neraka, itu mudah dan rata.”

Semua itu ditambah dengan kenyataan bahwa manusia itu lemah. Sementara, zaman sudah payah. Urusan agama mundur. Kesempatan kurang. Tugas banyak. Umur pendek dan kita lalai dalam beramal. Sementara Sang Penguji amat teliti. Ajal dekat. Perjalanan masih jauh. Maka, taat pun menjadi satu-satunya bekal. Karena itu harus taat. Tidak boleh tidak!

Namun, waktu telah berlalu, tak dapat dipanggil kembali. Siapa sigap, dialah yang beruntung. Bahagia selama-lamanya. Dan sekekal-kekalnya. Siapa yang terlewat, rugi dan celakalah dia. Kalau begitu, demi Allah, perkara ini sulit dan bahayanya besar. Karena itu, makin jarang orang memilih jalan ini.

Yang memilihnya pun jarang sekali benar-benar menempuh nya. Yang menempuhnya makin jarang sampai pada tujuan. Jarang berhasil mencapai apa yang dikejarnya. Yang berhasil adalah orang-orang mulia yang dipilih Allah Azza wa Jalla untuk makrifat dan mahabbah kepada-Nya. Mereka diberi taufik dan dipelihara. Disampaikan-Nya dengan penuh karunia pada keridhaan dan surga-Nya. Kita mohon semoga Allah Swt. memasukkan kita ke dalam golongan yang beruntung memperoleh rahmat-Nya itu.

Tatkala kami lihat jalan ke arah ini, memang begitu adanya. Kami pun berpikir, dan merenungkan, bagaimana cara menempuhnya. Perbekalan, persiapan, alat perlengkapan, dan kiat apa saja yang diperlukan oleh si penempuh. Baik berupa ilmu maupun amal. Mudah- mudahan saja dia dapat menempuhnya dengan taufik Ilahi dalam keadaan selamat. Jika terhenti pada tanjakan-tanjakan yang membinasakannya, patah di situ maka akan masuk golongan yang celaka binasa. Naudzubillah.

Itulah sebabnya kami berusaha menyusun beberapa kitab tentang jalan ke arah itu dan cara menempuhnya. Seperti, antara lain, kitab Ihyรข ‘Ulรปm Al-Dรฎn, Al-Qurbah, dan sebagainya. Akan tetapi, kitab-kitab tersebut banyak mengandung soal-soal yang halus. Mendalam sekali. Sukar dimengerti kebanyakan orang. Akhirnya, mereka benci dan mencela. Mengecam apa saja yang belum mereka pahami dalam kitab-kitab tersebut.

Namun, tidak usah heran. Karena, kitab mana yang lebih mulia dan lebih baik dari Al-Quran kalam Ilahi. Toh, kitab sesuci ini pun masih saja dicela orang-orang yang tidak mau menerima. Mereka bilang hanya dongengan kuno belaka.

Pernah mendengar apa kata Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a.? Beliau pernah berkata dalam bentuk syair sebagai berikut:

Di antara ilmu-ilmuku, johar mutu manikamnya sungguh kusembunyi kan. Agar tiada terlihat oleh orang yang tak mampu, supaya dia tidak tersesat.

Hal ini pernah dipesankan oleh Abu Hasan (Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.) kepada Husain, dan sebelumnya kepada Hasan.

Karena, terkadang ada johar ilmu, yang jika tabirnya dibuka, niscaya akan ada orang yang menuduhku musyrik atau menyembah berhala. Dan kaum Muslimin ada yang menghalalkan darahku untuk dibunuh. Disangkanya perbuatan keji yang mereka lakukan itu amalan baik.

Keadaan seperti ini menuntut para ulama untuk memandang mereka dengan rasa belas kasih. Tidak perlu berbantah- bantahan. Karena itu, aku memohon kepada Allah Swt. untuk diberi taufik, agar dapat menyusun sebuah kitab yang cocok bagi mereka dan bermanfaat bila dibaca.

Permohonanku pun dikabulkan-Nya. Dia memberiku ilham untuk mengarang kitab dengan susunan yang indah. Belum pernah kutemui dalam karangan-karanganku sebelumnya. Kitab itu adalah kitab Minhรขj Al-‘ร‚bidรฎn yang kusajikan kini.

Aku pun berkata dengan taufik Allah ….

Hamba Allah yang mulai sadar dan ingat ibadah, lantas ber-tajarrud dengan membulatkan hati menempuh jalan ibadah. Awal mulanya karena ada suatu lintasan samawi di hatinya yang suci, dan karena taufik khusus dari Allah Swt. inilah yang dimaksud dengan firman Allah Swt., Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui” (QS Al-Zumar: 39).

Hal ini telah diisyaratkan pula oleh Rasulullah Saw. lewat sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya cahaya tersebut apabila sudah masuk di hati manusia menjadi lapang dan legalah hatinya.”

Di sini ada yang bertanya kepada Rasulullah Saw.:

“Wahai Rasulullah, apakah yang semacam itu ada tandanya yang dapat dikenal?”

Jawab beliau:

“Ada tandanya. Yaitu, menjauhkan diri dari Negeri Kepalsuan (dunia) dan kembali ke Negeri Kelanggengan serta bersiap untuk mati sebelum datangnya mati.”

Apabila hal ini terlintas di hati seseorang, pertama-tama dia akan berkata pada dirinya sendiri, “Oh! Aku kini sadar bahwa diriku ini dikarunia Allah bermacam-macam kenikmatan. Seperti nikmat hidup. Nikmat kodrat (kemampuan untuk bisa berbuat apa-apa). Bisa berpikir. Bisa bicara. Dan hal- hal mulia lainnya. Ada padaku kenikmatan, kesenangan, di samping selamatnya aku dari macam-macam ujian dan musibah. Banyak musibah yang terhindar dariku. Aku tahu, bahwa di balik semua nikmat ini ada Pemberinya yang menuntutku untuk bersyukur dan berbakti kepadaNya. Apabila aku lalai dan lupa tidak bersyukur, dan tidak khidmat, pasti nikmat-Nya akan hilang dari tanganku, dan aku diberi hukuman dan balasan.

“Dan Dia telah mengutus kepadaku seorang Rasul (bernama Muhammad Saw.), yang didukung mukjizat- mukjizat luar biasa di luar kemampuan manusia. Rasul itu memberitakan kepadaku bahwa aku hanya mempunyai satu Tuhan yang Mahamulia, Mahakuasa, Maha Mengetahui, Maha hidup, Maha Berkehendak, Maha Berbicara. Menyuruh dan Melarang. Dia Kuasa menghukum apabila aku durhaka kepada-Nya. Dan Dia akan memberi ganjaran apabila aku taat kepada-Nya. Dia tahu segala rahasiaku dan tahu apa saja yang terlintas di pikiranku. Dia telah memberi janji dan ancaman, dan Dia memerintahkan agar aku taat pada hukum-hukum syariat.”

Apabila seseorang sudah berkata begitu dalam hatinya, dia pun sadar. Yang seperti ini mungkin saja terjadi. Sebab, dengan selintas berpikir saja, akalnya tidak memustahilkan hal tersebut. Di sini, dia merasa khawatir dan takut akan nasib dirinya. Ini namanya lintasan hati pembawa takut, yang membuat seseorang terjaga dan mengikatkan hujjah kepadanya.

Untuk memutuskan diri dari rasa takut, tidak ada alasan lain, apalagi menunda-nunda, orang tersebut berpikir keras mencari dalil dan bukti. Dia bergerak seketika itu. Tidak lagi diam atau bimbang. Dia berusaha mencari jalan keselamatan, supaya bisa merasa aman dari apa yang menyelinapi hatinya. Atau, dari apa yang didengar telinganya sendiri.

Tidak ada jalan lain selain berpikir sendiri dengan akal sehatnya. Memikirkan dan mencari bukti. Mula-mula mencari bukti adanya buatan yang menunjukkan adanya Si Pembuat. Alam semesta ini ada. Ini buatan yang menunjukkan adanya Si Pembuat, yaitu Allah Swt. Cara ini dia lakukan agar muncul ilmu yakin dan tak ada lagi syak wasangka tentang hal-hal gaib baginya. Benar, Allah itu tidak dapat dilihat, tetapi bukti perbuatan-Nya, yaitu alam semesta yang indah dan unik, menunjukkan keberadaan Allah.

Di sini, dia yakin jika dia mempunyai Tuhan yang memerintah dan melarangnya. Inilah tanjakan pertama yang menghadangnya dalam ibadah. Inilah TANJAKAN ILMU DAN MAKRIFAT. Harap diketahui, ibadah tanpa ilmu dan makrifat itu tidak ada artinya. Dalam urusan ilmu dan makrifat, kita harus tahu betul apa yang harus kita lakukan.

Dia pun menempuh tanjakan ini. Tidak boleh tidak. Harus ditempuh. Kalau tidak, celaka. Dia harus belajar (mengaji) agar bisa beribadah. Dia menempuh jalan ini sebaik-baiknya. Memikirkan bukti-buktinya. Merenungkan sepenuhnya dengan belajar (mengaji). Bertanya tentang akhirat kepada para ulama. Bertanya kepada penunjuk- penunjuk jalan, kepada lampu-lampu umat. Pemimpin- pemimpin umat. Para imam. Dia meminta faedah dan doa dari beliau-beliau ini. Mudah-mudahan Allah Swt. memberinya petunjuk.

Setelah dia cukup mengaji, dia berhasil mencapai ilmu yakin. Dia tahu hal-hal gaib. Tahu adanya Allah, ada nya Rasulullah, adanya surga, adanya neraka, adanya hisab, adanya nusyur, adanya wuquf fil Makhsyar, dan lain sebagai nya. Dia yakin, bahwa dia mempunyai satu Tuhan yang tiada sekutu bagi-Nya. Yang telah menciptakannya, kemudian menyuruhnya bersyukur, khidmat, dan taat lahir-batin kepada-Nya. Tuhan menyuruhnya berhati-hati. Jangan sampai kufur. Jangan melakukan macam-macam maksiat. Dan Dia Swt. telah menetapkan adanya ganjaran yang kekal dan langgeng kalau dia taat kepada-Nya. Sebaliknya, akan ada hukuman yang kekal kalau dia durhaka dan berpaling dari-Nya.

Saat terdorong oleh pengetahuan itu, dan oleh keyakinan nya akan hal gaib tadi, dia pun menyingsingkan lengan baju untuk berkhidmat dan beribadah sepenuh hati. Memperhambakan diri kepada Dia yang memberi nikmat ini, yaitu Allah Swt.

Yang dia cari telah dia temukan. Tapi, dia belum tahu bagaimana caranya beribadah. Dia telah mengenal Tuhannya, tetapi bagaimana cara menyembah-Nya? Apa saja yang diperlukan untuk khidmat kepada-Nya secara lahir-batin?

Setelah dia tahu dan makrifat kepada Allah Swt., dia mulai sungguh-sungguh belajar cara-cara ibadah. Dia bangkit, benar-benar mulai beribadah dan berjuang untuk itu. Akan tetapi kemudian dia berpikir dan melihat, dan tiba-tiba insaf, bahwa dia banyak dosa. Banyak kesalahan dan mak siat. “Wah! Aku ini orang yang berdosa di kehidupan masa lalu!”

Manusia biasanya insaf jika akan ibadah, dan berpikir: “Bagaimana aku beribadah, sedang aku masih melakukan dosa? Bagaimana aku beribadah sambil durhaka? Dan betapa berat aku ini berlumur durhaka? Karena itu, aku harus tobat dulu. Membersihkan diri dari maksiat dan menyesal. Agar diampuni dosaku oleh Allah dan dibebaskan diriku dari belenggu dosa-dosa itu. Agar aku dibersihkan dari kotoran-kotoran dosa. Setelah itu, barulah aku layak dan baik untuk berkhidmat dan mendekat ke hamparan Allah Swt.”

Di sinilah, dia berhadapan dengan TANJAKAN TOBAT. Susah juga menempuhnya. Namun, tak dapat tidak, dia harus menempuh tanjakan ini, agar sampai pada apa yang dimaksud ibadah. Dia mulai tobat sebagaimana mesti nya, menurut syarat-syaratnya, sampai akhirnya dia dapat menempuhnya.

Setelah berhasil tobat dengan benar, selesai pada tanjakan ini, dia rindu ibadah. Tetapi, dia berpikir lagi. Merenungkan lagi. Tiba-tiba di sekitarnya muncul penghalang-penghalang yang mengepung. Menghalanginya dari apa yang dimaksudnya, yaitu ibadah. Dia melihat dan merenungkan. Macam apa halangan-halangan itu?

Halangan-halangan itu ada empat macam:

1. Dunia.
2. Makhluk.
3. Setan.
4. Nafsu.

Tak dapat tidak, dia harus menolak halangan-halangan itu dan menjauhkannya. Menyingkirkannya. Kalau tidak, tujuan ibadahnya tak akan tercapai.

Di sini, dia dihadapkan pada tanjakan baru. Namanya: TANJAKAN PENGHALANG. Dia harus menempuh tanjakan ini dengan empat jalan:

1. Tajarrud ‘anidd-dunya—membulatkan hati agar tidak bisa ditipu oleh dunia.
2. Memelihara diri supaya tidak bisa disesatkan oleh makhluk—sebab makhluk itu suka menyesatkan.
3. Memaklumkan perang terhadap setan—sebab kalau tidak diperangi, setan akan terus menghalangi.
4. Menaklukkan nafsu diri sendiri.

Menaklukkan nafsu ini paling susah. Nafsu tidak bisa dikikis habis sama sekali, sampai manusia terpisah sama sekali dari nafsu itu. Tidak bisa! Nafsu itu ada gunanya. Hanya saja, jangan sampai ia mengalahkan kita. Seseorang itu tidak bisa menundukkan nafsunya sama sekali. Malah ini berbahaya. Kita jangan menekan nafsu sampai mati. Ini yang paling susah. Mati jangan, tetapi sampai menguasai kita pun jangan. Nafsu tidak bisa dikikis habis sama sekali. Tidak bisa! Kalau orang mengikis hawa nafsunya sama sekali, celakalah dia. Dia bukan manusia lagi.

Kalau setan bisa dikalahkan sama sekali. Bahkan setan Rasulullah Saw. sudah mutlak kalah sampai masuk Islam. Kita juga harus mampu mengalahkan setan itu. Tapi, hawa nafsu atau diri kita tidak bisa ditumpas sama sekali. Sebab, diri kita adalah kendaraan kita (alat kita).

Namun, hawa nafsu tidak akan mendorong kita pada kebaikan. Kalau dibiarkan, nafsu hanya akan mendorong pada kejahatan. Karena itu, menyiasati diri kita sendiri paling susah. Jangan harap hawa nafsu akan mufakat dengan kita untuk beribadah dan menghadap sebulat hati pada ibadah.

Tabiat nafsu memang tidak baik. Selalu hanya ingin berbuat apa-apa yang membuat kita lupa kepada Allah Swt.

Menuruti nafsu semata hanya akan membawa kita pada apa yang membuat kita lupa kepada Allah Swt. Kalau begitu, dia—si hamba Allah ini—perlu mengendalikan nafsunya dengan alat kendali yang namanya takwa. Supaya nafsu itu tetap hidup baginya. Tidak mati, tetapi tunduk. Harus dengan kendali, seperti mengendalikan kuda binal. Jadi, seseorang bisa menggunakan nafsunya untuk kebaikan, kemaslahatan, dan kebenaran. Dikendalikan, jangan sampai jatuh ke tempat-tempat celaka. Tempat-tempat yang merusak. Kalau sudah begitu, artinya dia harus mulai menempuh tanjakan ini, dan meminta tolong kepada Allah Swt. supaya dapat menempuhnya.

Setelah dia selesai menempuh tanjakan atau penghalang ini, dia kembali pada ibadah. Tetapi, tiba-tiba muncul lagi rintangan-rintangan yang lain. Kalau tadinya penghalang tetap, sekarang dia menghadapi rintangan-rintangan yang terkadang datang, kadang menghilang. Hal ini tentu saja akan membimbangkan hatinya untuk membulatkan hati pada ibadah sebagaimana mestinya. Dia merenungkan, macam apakah halangan-halangan itu? Setelah lama merenungkannya, oh kini dia tahu ada empat rintangan, yaitu:

1. Rezeki. Dirinya sendiri menagih dengan pertanyaan: “Bagaimana makanku? Pakaianku? Mana untuk anak- anakku? Mana untuk keluargaku? Mana? Inilah rintangannya.”

Dan dia juga berkata, “Harus ada bagiku! Harus ada apa-apa yang menguatkan diriku! Aku sudah tajarrud ‘anid-dunya. Aku sudah membulatkan hati tidak dapat digoda lagi oleh dunia. Tapi, mana rezekiku? Aku sudah menjaga diri supaya jangan ditipu oleh makhluk. Aku harus berhati-hati terhadap makhluk. Tapi, dari mana tenaga dan bekalku itu?” Itu tagihan nafsunya sendiri.

2. Bahaya-bahaya. Inilah rintangan kedua. Macam- macam lah bahaya yang dia takutkan. Dia takut ini dan meng harapkan itu. Takut kalau-kalau tidak jadi. Dia ingin anu dan anu. Takut kalau-kalau tidak ada. Takut anu dan anu. Takut kalau-kalau ada.

Dia tidak tahu apa yang baik dan apa yang jelek baginya dalam hal ini. Dia hanya meraba-raba. Akibat- akibat dari segala sesuatu itu samar sifatnya. Apa sebenarnya akibat-akibatnya? Hatinya bimbang. Mungkin, dia jatuh dalam kebinasaan atau ke dalam tempat celaka.

3. Macam-macam kesusahan dan kepayahan. Inilah rintangan ketiga. Musibah-musibah yang datang padanya bermacam-macam, dari tiap sudut. Apalagi, dia sudah bertekad menjadi seseorang yang lain daripada yang lain. Tidak sama dengan makhluk lain. Dia mau beribadah, sedang orang lain tidak. Apalagi, dia sudah bertekad pula untuk berperang melawan setan. Tapi, setan tidak akan tinggal diam. Setan berusaha melawannya. Dan, dia bertekad melawan nafsu. Tapi, nafsu juga siap untuk merobohkannya.

Banyak kepayahan yang dihadapinya. Banyak kebingungan dan kesedihan yang melintang di jalannya. Banyak pula musibah yang menyambutnya. Ini juga harus dipikirkannya.

4. Macam-macam takdir dari Allah Swt. Rintangan yang terakhir adalah aneka takdir Allah Swt. Ada yang manis, ada yang pahit. Tapi, nafsu mudah berkeluh kesah. “Wah ..., bagaimana ini?” Cepatnya nafsu itu tergoda.

Maka, di sini dia menghadapi sebuah tanjakan lagi: TANJAKAN RINTANGAN EMPAT atau TANJAKAN GODAAN.

Dia harus menempuhnya dengan empat macam alat:

1. Tawakal kepada Allah Swt.

Dalam hal rezeki, harus tawakal dan berserah diri kepada Allah Swt.

2. Berserah diri.

Di tempat bahaya, kita serahkan kepada Allah Swt. Seperti kata seorang beriman di antara penghuni keraton Fir‘aun, “Aku serahkan urusanku kepada Allah,” sewaktu dia diancam akan dibunuh oleh Fir‘aun.

3. Sabar.

Ketika ujian menimpa dirinya, dia menerimanya dengan penuh kesabaran.

4. Ridha.

Dia tetap tahan dan ridha saat datang takdir dari Allah Swt.

“Takdir ini saya terima dengan ikhtiar dan berjuang. Saya terima takdir.”

Dia mulai menempuh tanjakan ini dengan izin Allah Swt. Dengan kebaikan bimbingan Allah Swt.

Setelah dia selesai menempuh tanjakan baru ini, dia kembali beribadah. Dia berpikir lagi. Tiba-tiba dia lesu. Lemah. Malas. Tidak giat dan tidak terdorong pada kebaikan sebagaimana mestinya. Nafsu mendorongnya pada lalai dan senang-senang saja. Istirahat. Menganggur. Maunya tidak bekerja. Cenderung pada kejahatan, pada hal-hal yang tidak ada gunanya. Ke arah bencana dan kebodohan.

Dalam situasi ini dia perlu pendamping yang bisa membawanya pada kebaikan. Pada taat. Yang membuatnya giat kembali pada kebaikan setelah ada yang menegur nafsunya. Supaya jangan berbuat jahat dan durhaka. Penahan atau penegur itu ialah harapan dan takut.

Harapan itu ialah mengharapkan ganjaran besar dari Allah Swt. Ini adalah pengiring yang dapat membangkitkan pada taat, menggerakkan dirinya untuk benar-benar giat. Adapun takut ialah: Takut pada hukum Allah yang pedih. Ancaman itu adalah penegur. Penolak segala maksiat.

Menjauhkannya dari perbuatan tersebut. Mencegahnya dari berbuat maksiat. Inilah TANJAKAN PENDORONG, yang menyambutnya di sini. Dia perlu menempuhnya dengan dua alat: Harapan dan takut.

Maka, dia mulai menempuh tanjakan ini. Dengan taufik dari Allah Swt., dia menempuhnya dengan selamat. Setelah selesai menempuh tanjakan pendorong ini, dia kembali pada ibadah. Dia sudah tidak lagi melihat penghalang dan perintang. Bahkan, menemukan pendorong dan pengajak. Karena itu, giatlah dia beribadah. Dilakukannya benar-benar dengan penuh rindu dan gemar. Dan dia terus beribadah.

Tetapi, kemudian dia melihat lagi. Berpikir lagi. Tiba- tiba terlihat olehnya ada dua hama yang hendak merusak ibadah yang susah payah dia lakukan itu, yaitu hama riya dan ujub.

Sewaktu-waktu dia berpura-pura taat agar dilihat oleh manusia. Ini berarti riya. Namun kadang-kadang, dia tidak berbuat demikian. Bahkan, mencerca dirinya supaya jangan riya. Tetapi, kemudian, dia terkena penyakit kagum diri (ujub). Ujubnya itu merusak ibadahnya. Merugikan dan merugikannya. Maka, di sini dia dihadapkan pada suatu tan jakan baru. Namanya TANJAKAN PENCACAT atau PEMBUAT CACAT.

Dia terpaksa menempuhnya dengan ikhlas dan dzikrul minnah. Ikhlas itu lawannya riya. Dzikrul minnah lawannya ujub. Ikhlas artinya memurnikan ibadah. Dzikrul minnah ialah ingat jasa Allah. Jadi, tidak sombong atau takabur. Dia mulai menempuh tanjakan ini dengan izin Allah. Dengan kesungguhan hati. Dengan hati-hati dan waspada. Dengan peliharaan dari Allah Swt. serta bimbingan-Nya. Setelah dia selesai melalui tanjakan baru ini, berhasillah dia beribadah sebagaimana mestinya. Sebagaimana patutnya. Sehat, selamat dari gangguan wabah.

Akan tetapi, dia berpikir lagi. Tiba-tiba dia melihat dirinya tenggelam dalam lautan kenikmatan dan jasa Allah Swt. Tenggelam dalam kebaikan dari yang dikaruniakan Allah kepadanya. Diberi taufik dan peliharaan, serta macam-macam penguat dan pendukung. Dihormati dan dimuliakan. Akhirnya, dia khawatir kalau-kalau dia lupa berterima kasih. Akibatnya, dia bisa jatuh ke dalam kufrun, lupa bersyukur.

Kalau jatuh ke jurang “lupa syukur”, berarti dia jatuh dari martabat yang tinggi, yaitu martabat khadam yang khusus untuk Allah Swt. Hilang nikmat-nikmat mulia itu darinya. Di sini, dia dihadapkan pada tanjakan terakhir, namanya TANJAKAN PUJI dan SYUKUR. Dia sadar harus menempuh tanjakan ini sedapat mungkin, dengan memperbanyak puji dan syukur atas nikmat-nikmat daripadanya yang banyak itu.

Setelah selesai menempuh tanjakan terakhir, dia turun ke dataran. Tiba-tiba dia bertemu maksud dan keinginan yang terhampar di depannya. Dia melangkah sedikit ke depan. Tibalah dia ke tanah dataran karunia dan padang rindu, serta halaman mahabbah. Dia masuk ke dalam taman keridhaan. Kebun-kebun kecintaan dan kehangatan hati.

Sampai di hamparan kegembiraan dekat martabat. Tempat munajat. Beroleh pakaian kehormatan dan kemuliaan. Dia merasa nikmat dalam keadaan seperti ini. Selama hidupnya, dan di sisa umurnya. Badannya masih di dunia, tetapi hatinya sudah di akhirat. Dia menunggu dari hari ke hari sang pembawa surat. Sampai dia bosan terhadap makhluk. Benci terhadap dunia. Rindu, ingin cepat pulang. Rindunya penuh terhadap Al-Malaul A‘la (masyarakat tertinggi).

Tiba-tiba, datanglah kepadanya utusan-utusan pembawa amanat dari Rabbul ‘ร‚lamรฎn. Datang kepadanya segala yang menyenangkan, dengan wewangian dan berita yang menggembirakan dari Tuhan yang ridha dan tidak murka. Mereka itu, para malaikat, memindahkan dia ke dalam senang dan gembira. Penuh kehangatan. Dipindahkan dari negeri yang fana dan menggoda, ke hadirat Tuhan dan Taman Firdaus.

Dia yang lemah dan fakir itu memperoleh kenikmatan kekal dan kerajaan besar. Di sana dia menemukan nikmat karunia dari Tuhannya, Allah Swt. yang rahim, yang pemurah, yaitu kelemahlembutan. Kasih sayang. Sambutan hangat. Pemberian nikmat. Pemberian kemuliaan. Sesuatu yang tak terkatakan lagi. Tidak pernah dilihat. Tidak bisa digambarkan. Tiap hari terus bertambah sampai selama- lamanya.

Besar nian kebahagiaan ini. Tinggi nian kerajaan ini. Bahagia hamba Allah ini. Manusia yang mahmud (terpuji) ini. Baik sekali tempat kembalinya. Kita mohon kepada Allah yang baik dan rahim agar Dia memberi kita semua kenikmatan yang besar. Karunia yang agung. Tidak sukar bagi Allah berbuat demikian.

Kita mohon supaya tidak dijadikan orang yang termasuk golongan yang tidak ada nasib untuk yang demikian itu. Tidak dijadikan golongan yang hanya mendengar. Hanya memiliki pengetahuan dan melamun tanpa mendapat manfaat. Kita mohon supaya Dia jangan membuat ilmu yang kita kaji sekarang ini hanya jadi hujjah yang merugikan kita kelak di Yaumil Qiyรขmah. Kita mohon Dia memberi taufik kepada kita sekalian, untuk mengamalkannya dan melakukannya sebagaimana mestinya, sebagaimana yang diridhai oleNya. Sesungguhnya Dia juga memberi rahmat dan Dia juga pemurah.

Inilah isi kitab yang diilhamkan Allah Swt. kepadaku, agar aku menerangkan jalan ibadah ini. Semuanya ada tujuh tanjakan:

1. Tanjakan ilmu dan makrifat.
2. Tanjakan tobat.
3. Tanjakan penghalang.
4. Tanjakan godaan.
5. Tanjakan pendorong.
6. Tanjakan pencacat.
7. Tanjakan puji dan syukur.

Dengan tamatnya tanjakan-tanjakan ini, dengan keterangan-keterangan singkat yang mengandung makna-makna penting, masing-masing akan diterangkan dalam babnya tersendiri. Insya Allah.

Allah juga yang memberi taufik dan membimbing kita dengan karunia-Nya.

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam