Rumah Sesungguhnya



📚 Buku Allah Dekat Dan Bersamamu



“Tidak peduli seberapa jauh kita salah melangkah, selalu ada jalan pulang untuk kembali kepada Allah. Allah selalu merindukan hamba-hamba-Nya untuk kembali dan bertobat kepada-Nya.”

Suatu senja, seorang arif nan bijak tengah berjalan di sebuah pasar. Tiba-tiba langkahnya terhenti oleh seorang pemuda yang menubruk tubuhnya dari belakang. Orang arif nan bijak itu membalikkan tubuhnya. Tubuh pemuda itu limbung dan hampir saja terjerembap ke tanah. Beruntung orang arif nan bijak itu siap menyambutnya. Dari mulut pemuda itu tercium bau minuman keras. Rupanya pemuda itu dalam kondisi mabuk berat. Mulutnya menceracau tidak keruan. Sekilas pemuda itu menatap si orang arif nan bijak. Matanya merah dan layu.

“Antarkan aku pulang,” kata pemuda itu. Orang arif nan bijak itu merangkulkan tangan si pemuda ke pundaknya, lalu berjalan. Anehnya, orang arif nan bijak itu tidak bertanya ke mana ia harus mengantarkan pemuda itu pulang. Ia terus berjalan sambil memapah pemuda itu. Si pemuda menurut saja ke mana orang arif nan bijak itu melangkah. Kaki orang arif nan bijak itu berhenti di sebuah tanah lapang. Di sana terdapat batu-batu nisan. Ternyata si orang arif nan bijak membawa pemuda itu ke area kuburan.

“Bangunlah. Kita sudah sampai di rumahmu,” ujar orang arif nan bijak sambil menepuk-nepuk bahu pemuda itu.

Si pemuda mencoba membuka matanya yang terasa berat. Perlahan matanya dapat melihat keadaan sekeliling. Matanya menyapu pemandangan sekitar tempatnya berdiri. Ia mengumpulkan segenap kesadarannya yang tersisa. Tiba-tiba raut mukanya memerah dan matanya menyalak tajam.

“Apa maksudmu membawaku ke sini, Orang Tua?” gertak pemuda itu.

“Kamu memintaku mengantarkanmu pulang ke rumahmu. Inilah rumahmu yang sesungguhnya. Rumahmu di dunia ini hanya sementara. Rumah di akhiratlah rumah yang sesungguhnya,” jawab orang arif nan bijak itu tenang.

Pemuda itu tersentak. Kata-kata orang arif nan bijak itu seperti sebilah pedang yang menusuk jantungnya dan membangunkan kesadarannya. Secercah cahaya menelusup ke kalbunya. Pemuda itu tersadar. Ia telah terlena oleh pesona dunia, padahal dunia bukan rumah sesungguhnya. Akhiratlah rumah sebenarnya. Pemuda itu pun bertobat dan menggunakan waktu hidupnya untuk beribadah dan beramal saleh.

*****

Sahabat, jangan meremehkan orang lain, apalagi menganggapnya hina hanya karena ia gemar berbuat maksiat. Belum tentu ia terus-menerus berada dalam keburukan. Bisa jadi suatu ketika ia tersadarkan oleh suatu hal, kemudian bertobat dengan sungguh-sungguh dan memperbanyak amal saleh.

Sementara itu, kita sendiri belum tentu bisa istiqamah dalam ketaatan kepada Allah. Lagi pula, menganggap remeh atau hina orang lain adalah cerminan sifat takabur (sombong). Secara tidak langsung kita beranggapan bahwa diri kita lebih baik daripada orang tersebut, padahal belum tentu yang sebenarnya demikian. Belum tentu ibadah kita diterima Allah karena mungkin masih bercampur riya (ingin dipuji). Mungkin juga kita sering melakukan dosa-dosa yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, tidak patut bagi kita bersikap takabur dengan merendahkan orang lain.

Orang takabur adalah orang yang bodoh dan bohong. Bodoh karena dia tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfi rman, “Kemuliaan adalah pakaian-Ku, kebesaran adalah selendang-Ku. Siapa yang mencoba mengenakannya, akan Aku siksa.” (HR. Muslim)

Orang takabur juga berbohong karena sesungguhnya dirinya itu lemah, namun merasa diri hebat. Jangankan ditimpa musibah yang besar, digigit nyamuk malaria saja bisa sakit. Jadi, orang yang takabur adalah orang yang membohongi diri sendiri.

Mari kita jauhi sikap takabur. Jangan menganggap hina orang yang berbuat maksiat, apalagi disertai sumpah serapah. Lebih baik kita doakan agar orang tersebut diberi hidayah oleh Allah. Inilah yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya dan kita semua.

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maaanlah mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 159).

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam