73. Ulama dan Pemimpin
📚 Terjemah Kitab At-thariq Ilal Quluub (Perjalanan Ke Hati)
Bila para ulama dan para pemimpin adalah orang yang shalih maka akan
baiklah seluruh umat. Sebaliknya, biia mereka rusak maka rusaklah
seluruh umat, walaupun di tengah mereka ada ribuan orang shalih. Mengapa?
Karena mereka adalah panutan. Bila mereka baik, semua orang berlomba
untuk menirunya. Dan bila mereka rusak, orang-orang pun akan berbuat
maksiat dan tidak ada yang menghentikannya.
Ulama adalah pemegang kendali kata-kata, sedangkan pemimpin adalah
pemegang kendali tindakan. Yang penting, hendaknya kata-kata ulama
dibarengi dengan tindakan nyata. Jika tidak demikian, ia menjadi ulama
suu'
(jahat). Ulama
suu'
menyeru manusia ke surga dengan kata-katanya, namun mengajak ke neraka
dengan tindakannya. Ketika kata-kata mereka berseru, "Mari menuju
petunjuk!" tindakannya menyahut, "Jangan dengarkan!" Secara lahiriah
mereka adalah penunjuk jalan, tetapi secara hakikat mereka adalah
penyamun. Bayangkan, betapa kacaunya bila suatu kafilah dipandu oleh
penunjuk jalan, namun ia hakikatnya adalah seorang penyamun?
Beberapa budak datang kepada Hasan Al-Bashri, mengadukan praktek
perbudakan yang telah membuat mereka menderita. Mereka meminta agar
Hasan Al-Bashn memberi nasihat dan menghimbau orang-orang kaya supaya
memerdekakan budak-budaknya. Dengan begitu mereka berharap mendapatkan
kebebasan. Hasan Al-Bashri pun berjanji untuk memenuhi permintaan mereka.
Pada khotbah Jum'at pertama setelah itu, Hasan Al-Bashri tidak
berkhotbah tentang perbudakan. Jum'at kedua dan ketiga pun berlalu tanpa
menyinggung tema ini dalam khotbahnya sebagaimana yang ia janjikan
kepada mereka. Pada Jum'at keempat, barulah Hasan Al-Bashri berbicara
dalam khotbahnya tentang pahala orang yang memerdekakan budaknya. Belum
sampai waktu sore datang, majoriti budak telah dibebaskan.
Tidak berapa lama kemudian, para budak mengunjunginya untuk mengucapkan
terima kasih atas khotbahnya, namun mempersoalkan keterlambatannya
menyampaikan tema ini hingga sebulan penuh. Hasan Al-Bashri meminta maaf
atas keterlambatan tersebut seraya mengatakan, "Yang membuat saya
menunda pembicaraan mi adalah karena saya tidak memiliki budak dan tidak
juga memiliki wang. Saya menunggu sampai Allah mengaruniakan harta
kepadaku, sehingga saya dapat membeli budak, lalu budak itu kubebaskan.
Kemudian barulah saya berbicara dalam khotbah, mengajak orang untuk
membebaskan budak. Allah pun memberkati ucapanku karena perbuatanku
membenarkan ucapanku itu."
Inilah profil salah seorang ulama kita zaman dahulu, dan kita meminta
kepada Allah untuk memberi hidayah kepada para ulama kita agar mereka
mengerti posisi dan pengaruhnya di tengah umat.
Ada unsur pokok bagi keberhasilan seorang da'i dalam berdakwah. la
adalah sifat
ash-shidiq
(jujur, tulus). Ingatlah perkataan sahabat yang mulia, As'ad bin Zurarah,
ketika Mush'ab bin Umair keluar untuk menemui Sa'ad bin Ubadah. As'ad
berkata kepada Mush'ab, "Jujurlah pada Allah dalam urusan itu!" Sifat
shidiq
yang keluar dari jiwa ketika berdakwah dapat menghimpun hati sehingga
dakwahnya didengar dan diterima oleh khalayak yang berinteraksi
dengannya. Hendaklah ia tulus dan jujur kepada diri sendiri, sebagai
aplikasi dari berbagai hal yang diserukannya, menyangkut akhlak dan
umumnya etika.
"Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian perbuat?
Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang
tidak kalian kerjakan."
(Ash-Shaf: 2-3)
Bagikan ini :
Comments
Post a Comment
Silakan berkomentar secara bijak dan sesuai dengan pembahasan