1. Kesehatan Holistik



๐Ÿ“š Buku Fiqh Kesehatan (Inspirasi Meraih Hidup Sehat Secara Kaffah)


๐Ÿ“š Segitiga Emas Mind, Body, dan Soul


Manusia terdiri atas tiga unsur penting yang saling terkait; ruh, badan dan jiwa. Ibarat piano, sang pemain adalah ruh, piano adalah badan, sedang lagu yang dimainkan adalah jiwa. Piano yang dimainkan oleh pianis ahli bisa memunculkan lagu yang sangat indah dan merdu, lagu yang menggembirakan atau menyedihkan, bahkan lagu yang menyeramkan. Ruh adalah penggerak semua aktivitas kehidupan manusia. Ia butuh media, yaitu tubuh (Agus Mustafa)

Manusia terdiri atas unsur-unsur berikut: Pertama, pikiran (mind), nalar (intelectual quotient). Kedua, Badan/tubuh (body), emosi (emosional quotient). Dan ketiga, jiwa/ruh (soul), spiritual (spiritual quotient). Idealnya manusia memiliki level kecerdasan yang baik pada tiga jenis intelegensia di atas. Tetapi manusia diciptakan tidak sempurna, yang sempurna hanya Allah.

Mind, body dan soul merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (holistik). Spiritual Quotient (hati dan jiwa) adalah pusat intelegensia (locus of intellegence), berfungsi sebagai fasilitator dalam dialog antara intelektual quotient (IQ) dan emosional quotient (EQ). SQ juga sekaligus menjadi pusat diri yang menggerakkan dan mengendalikan emosi dan pikiran. Jika SQ sanggup menjadi fasilitator bagi IQ dan EQ, seseorang akan sukses dalam hidupnya, akan meraih keseimbangan hidup dan kelimpahan makna. Tetapi jika yang diandalkan hanya IQ atau EQ saja, orang bisa terjerumus dalam nafsu mengejar kepuasan material-duniawi, seperti harta, jabatan, sehingga ia menjadi manusia yang tidak punya hati, serakah, egois dan suka menindas orang lain.

Banyak orang kaya dan sukses tetapi menderita secara spiritual, mengalami krisis spiritual (soul pam/ existential ilness). Tidak sedikit juga orang yang gamang dan tidak mengenali diri sendiri setelah memperoleh harta melimpah, jabatan dan status sosial terhormat di masyarakat. Ada yang kemudian mencoba berbagai terapi, ada juga yang terjerumus menenggak zat adiktif (shabu/narkotik) untuk mengobati dan mengisi kehampaan jiwa.

Kecerdasan spiritual memberikan harmoni dan tuntunan dalam hidup. Melalui SQ manusia mendapat tuntunan tentang mana yang benar dan tidak benar dalam hidup ini, sehingga ia dapat meraih keseimbangan hidup. Melalui SQ pula manusia dapat mengenal dirinya dengan baik. Orang yang mengenal diri sendiri dengan baik adalah orang yang arif dan bijaksana, yang pada akhirnya ia dapat mengenal tuhannya dengan baik (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu).

Setiap orang beragama sudah semestinya memiliki SQ yang tinggi, karena pondasi SQ berasal dari nilai-nilai keagamaan. Adapun orang yang tampak religius, taat beribadah, tetapi memiliki SQ yang rendah, adalah anomali dalam sikap beragama. Anomali ini disebabkan oleh kegagalan dalam memahami makna dan hikmah dari setiap ritual simbolik yang dilakukan, atau dalam kata lain, cerminan dari laku keagamaan yang belum selesai.

Allah menganugerahkan segumpal daging (hati/ kalbu) kepada setiap manusia. Apabila baik segumpal daging itu, menjadi baiklah seluruhnya, tapi jika jelek, jelek pulalah semuanya. Kedudukan hati di hadapan organ tubuh lainnya ibarat seorang raja dengan seluruh bala tentara dan rakyatnya. Semuanya tunduk di bawah kekuasaan dan perintahnya serta bekerja sesuai dengan apa yang dikehendakinya.

Sachiko Murata dalam buku The Chinese Gleams of Sufi Light, dengan bagus menguraikan peran hati (spiritual quotien) sebagai muara perubahan, yang intinya; jika Anda ingin mengubah negara (menjadi lebih baik), aturlah terlebih dulu keluarga Anda dengan benar, karena keluarga adalah elemen terkecil dari negara. Agar keluarga menjadi benar, aturlah terlebih dulu diri Anda, sebab sebuah keluarga akan menjadi benar jika tiap pribadi dalam keluarga itu benar dan jujur. Agar diri Anda benar dan jujur, aturlah hati Anda, sebab diri akan menjadi benar jika hati sudah benar.

๐Ÿ“š Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual


Nabi Saw bersabda:

“Orang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati, sedang orang lemah adalah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah Swt.” (HR. Ahmad).

Dari hadits itu dapat disimpulkan bahwa orang yang cerdas secara emosi dan spiritual adalah ia yang yakin bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dengan sendirinya, ia akan memperhatikan setiap laku kesehariannya serta berbagai konsekuensi yang ditimbulkannya. Ia juga akan menimbang setiap perbuatannya, besar ataupun kecil, dan mewaspadai gerak-gerik hati dan pikirannya. Orang yang cerdas yakin benar dengan kepastian firman Allah:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan, betapapun hanya seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, biar sebesar dzarrah saja, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).

Kehidupan di dunia, di mata orang cerdas, hanya merupakan tempat menanam, sedangkan hasilnya akan dituai di akhirat (ad-dunyรข mazra’atul รขkhirat). Karena pandangan itulah ia bersemangat, lebih optimis, percaya diri dan lebih berhati-hati dalam menjalani hidupnya. Ia selalu membuat perencanaan yang matang, melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan mengevaluasi seluruh kinerjanya. Ia sadar bahwa perbuatan-perbuatannya di dunia akan dibalas di akhirat kelak.

Orang yang cerdas selalu enak diajak bergaul, tidak berprasangka buruk (su’uzhan) dan iri dengki (hasad) kepada orang lain, tidak pula bersikap sombong (takabbur). Kehidupannya diabdikan untuk harmonisnya kepentingan dua dimensi alam yang akan dia jalani. Dan dalam menjalaninya dia tidak merasa terbebani, sebab dia sadar bahwa hal itu merupakan kebutuhannya sebagai makhluk yang akan mengalami kehidupan sesudah mati. “Manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat,” demikian ungkap Dr. Ali Syariati.

Dari berbagai hasil penelitian diketahui bahwa kecerdasan emosi (EQ) memiliki peran yang jauh lebih penting dibandingkan kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan Emosi lah yang sesunguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi; adapun kecerdasan intelektual hanya merupakan syarat minimal dalam meraih keberhasilan.

Banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual, tetapi terpuruk di tengah persaingan. Mereka bukan tidak memiliki prestasi, sebaliknya, bahkan mereka sarat prestasi. Namun kekosongan batin muncul di sela-sela puncak prestasi yang sudah mereka raih. Setelah uang terkumpul, berbagai kemudahan dimiliki, mereka justru terpuruk ke dalam kekosongan batin yang amat sangat, merasa tidak bermakna, tidak tahu ke mana harus melangkah.

Dr. Beverly La Haye, Presiden Christian Heritage College, Michigan, USA, dalam The Act of Marriage, menyatakan bahwa semua luapan emosi, apakah itu suka senang, riang gembira, susah dan duka, benci dan cemburu, marah dan jengkel, semuanya bertahta dalam hati. Jika luapan emosi seseorang dapat berfungsi sebagaimana mestinya, ia tidak akan mengalami kesulitan untuk beraktivitas secara fisik.

Carlos G. Valles dalam I Love You, I Hate You, The Double Edged Nature of Human Relationship, mengatakan bahwa pertentangan perasaan yang paling ekstrem sekalipun bisa damai “berdampingan” dengan suasana gembira. Hati manusia adalah muara teka-teki, dan karena itu penuh misteri. Seseorang bisa sekonyong-konyong sedih di tengah suasana gembira. Bisa marah di tengah rasa syukur. Perasaan paling suci bisa bergandengan dengan keinginan paling jahat. Dan begitulah hati. Siapa pun yang bisa menjaga hatinya, mengendalikan luapan-luapan emosinya, akan dapat melewati hal-hal yang bahkan secara logika tidak dapat terlewati.

๐Ÿ“š Akal, Otak, Jiwa, Indra, Hati, Emosi, Intuisi, Perasaan, Kecerdasan, Dan Otot


Dalam buku Beragama dengan Akal Sehat, Agus Mustafa menulis bahwa ruh adalah sumber dari segala sifat yang ada di dalam diri—badan kasar dan badan halus—manusia. Badan kasar terbuat dari benda atau materi, pusat kendalinya berada di otak fisik. Badan halus terbuat dari energi, pusat kendalinya berada di otak batin.

Otak fisik mengendalikan seluruh aktivitas badan fisik lewat sistem saraf dan hormon yang ujung-ujungnya, di antaranya, terletak di panca indera: mata, telinga, hidung, lidah, dan peraba. Otak batin mengendalikan seluruh akivitas badan halus, yang ujung-ujungnya berada di pancaindera batin: mata batin, telinga batin, penciuman batin, perasa-peraba batin. Kelima indera tersebut berkumpul menjadi satu di dalam dada, di balik organ jantung yang disebut hati atau qalbu.

Qalbu disebut juga indera keenam, bekerja berdasarkan impuls getaran. Seluruh getaran energi, entah itu dalam bentuk cahaya, suara, aroma, rasa, ataupun kelembutan, bisa dideteksi dengan menggunakan indera keenam itu.

Getaran adalah mekanisme utama indera batin yang berada di balik jantung. Ketika jiwa sedang emosi, jantung akan bergetar. Ketika sedih, bergetar. Ketika sabar juga bergetar. Hanya saja kualitas getarannya berbeda. Emosi yang jelek menghasilkan getaran kasar, sedangkan emosi baik menghasilkan getaran lembut.

Dalam kondisi normal, indera fisik dan indera batin berjalan beriringan. Fungsi indera fisik seseorang akan lebih dominan ketika indera batinnya kurang terlatih. Tetapi jika indera batin sudah terlatih dengan baik, ketajamannya akan jauh melampaui fungsi indera fisik, seperti yang dialami Nabi Ya’kub as.:

Tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)” (QS. Yusuf : 94).

Perpaduan mekanisme indera fisik dan indera batin akan mengasilkan kualitas pemahaman yang maksimal. Indera fisik bermuara di otak fisik, sedangkan indera batin bermuara di otak batin yang dikenal sebagai fuad.

Qalb adalah sensor yang berfungsi menangkap getaran. Fuad adalah kecerdasan yang menangkap getaran tersebut sehingga menjadi sebuah pemahaman. Mirip dengan pola hubungan panca indera dan otak. Mata berfungsi menangkap getaran cahaya yang dipantulkan suatu benda, sedangkan otak mengolah tangkapan itu menjadi sebuah informasi. Otaklah yang memahami bayangan yang tertangkap oleh mata itu, dan itulah yang disebut “melihat”. Yang melihat bukan mata melainkan otak.

Sebagaimana mata, qalb bisa terkena penyakit, mengeras, membatu, bahkan tertutup atau mati. Hati/qalb disebut baik jika ia lembut dan jernih, hingga ia dapat mendengar, melihat dan merasa. Tentang hati yang terkena penyakit, dijelaskan Allah Swt:

“Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” (QS. Al-Baqarah: 10).

“Agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh setan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu benar-benar dalam permusuhan yang sangat” (QS. Al-Hajj: 53).

“Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras, dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan” ( QS. Al-An’am: 43).

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (QS. Az-Zumar: 22).

“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Quran ini segala macam perumpamaan untuk manusia. Dan sesungguhnya jika kamu membawa kepada mereka suatu ayat, pastilah orang-orang kafir itu akan berkata: ‘Kamu tidak lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka.’ Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami” (QS. Ar-Ruum: 58-59).

“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti?” (QS. Al-‘Araf: 169).

Allah Swt menyatakan bahwa setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban untuk setiap amal perbuatannya:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al-Isra’ (17): 36).

Yang dimintai pertanggungjawaban adalah penglihatan, pendengaran dan fuad, bukan mata, telinga dan qalb. Substansi pancaindera, karenanya, bukan di alat inderanya (mata, telinga, hidung, lidah, peraba) tetapi berada di pusat penginderaan; otak dan fuad.

Akal adalah perpaduan antara fungsi otak fisik dan otak batin. Seluruh fungsi pancaindera yang bermuara pada otak dan seluruh fungsi hati (jantung hati) yang bermuara pada fuad, berpadu membentuk potensi kecerdasan sempurna yang disebut akal.

Islam menjujung tinggi akal sebab ia menunjukkan suatu kualitas utuh seorang manusia. Jika akalnya rendah, kualitas jiwanya juga rendah. Jika akalnya tinggi, kualitas jiwanya juga tinggi.

Bertafakkur (berpikir) adalah aktivitas otak, sedang merasakan dan memahami adalah kerja hati. Yang disebut berakal adalah gabungan antara berpikir dan merasakan (tafakkur dan memahami).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran: 190-191).

Ayat di atas mengajarkan kita untuk menggunakan akal secara utuh, yaitu dengan ingat Allah dalam hati (yadzkurรปnallรขh) dan berpikir dengan otak (yatafakkarรปn). Berzikir mengaktifkan qalb dan fuad, sedangkan bertafakkur mengaktifkan indera dan kerja otak.

Ali bin Abi Thalib berkata bahwa tubuh manusia selalu melewati enam keadaan: sehat, sakit, mati, hidup, tidur dan bangun. Begitu pula dengan ruh. Hidupnya hati adalah berkat bertambahnya ilmu, dan matinya adalah akibat ketiadaan ilmu. Sehat hati adalah berkat keyakinan, sakitnya adalah keragu-raguan. Tidurnya hati adalah kelalaian, dan bangunnya berasal dari zikir yang dilakukan.

Tahun 1815, Spurzheim mengamati bahwa ukuran organ tubuh akan berubah melalui latihan. Otot-otot akan membesar jika dikembangkan dengan olah raga atau terus dipergunakan. Tubuh akan menguat jika terus dipergunakan. Lihat saja, makin sering pundak dipakai untuk memikul, ototnya makin menggelembung. (Jalaludin Rahmat, Belajar Cerdas, Mizan, Bandung, 2006).

Tahun 1874, Charles Darwin melaporkan bahwa otak kelinci jinak lebih kecil bila dibandingkan dengan otak kelinci liar. Ia menyimpulkan bahwa pengecilan otak ini disebabkan karena kelinci peliharaan tidak lagi menggunakan pikiran, naluri dan penginderaaannya sebegaimana kelinci hutan.

Sel-sel otak terus tumbuh dan berkembang. Jean Carper menjelaskan hasil penelitian Tim riset yang dipimpin William T. Greenough dari Universitas Illionis Urbana, Champaign, yang menempatkan tikus-tikus dalam tiga lingkungan berbeda; sendirian dalam sangkar, berdua dalam sangkar, dan bersama banyak tikus muda di dalam sangkar yang luas dan dipenuhi berbagai permainan dan alat-alat jentera (disney) untuk tikus.

Setelah dibandingkan, dalam waktu empat hari saja telah terlihat keajaiban. Tikus yang ditempatkan di disney wonderland of fun and games dapat menumbuhkan sel-sel otak baru secara luar biasa. Kepadatan sinapsis dan panjang dendrit di otak tikus-tikus itu bertambah dengan cepat dan berlimpah.

Sebagian sistem otak menjadi kurang teratur sehubungan dengan perkembangan usia. Susunan otak yang disebut “jalur masalah putih” yang membawa keterangan antar wilayah otak yang berbeda, hanya merosot pada kelompok orang berusia tua. Pada orang dewasa yang berusia muda, bagian depan otak tersusun rapi dengan bagian belakang otak. Sementara pada orang dewasa yang lebih tua wilayah tersebut menjadi tidak harmonis satu sama lain. Kemerosotan kemampuan kognitif pada orang berusia lanjut, menurut Jurnal Neuron dari Harvard University, berhubungan dengan masalah komunikasi antar wilayah otak.

Manusia yang dianugerahi otak, hati dan perasaan serta bersedia menerima informasi illahiyah, akan mendapatkan posisi sebagai kekasih Allah. Allah berfirman, yang artinya:

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (QS. Al-Furqan: 63).

Adapun manusia yang tidak mau menggunakan tiga perangkat tersebut (otak, hati dan perasaan) untuk menerima informasi illahiyah, adalah manusia yang telah menempatkan hawa nafsu dan petunjuk setan sebagai pedoman hidupnya. Jenis manusia seperti ini tak ubahnya binatang yang berpakaian dan berbicara seperti manusia. Secara tampilan ia masih manusia, tetapi tindak tanduknya seperti hewan, bahkan lebih rendah dari hewan itu sendiri.

Allah berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-‘Araf: 178).

๐Ÿ“š Zikir, Doa, Dan Syukur


- Menjelajah (Browsing) Lewat Zikir

Segala yang kita inginkan sudah ada di Lauh Mahfuzh dalam bentuk file-file takdir (Agus Mustafa; Membongkar Tiga Rahasia). Di sana kita bisa “jalan-jalan dan melihat-lihat” takdir apa saja yang telah disiapkan oleh Allah; ada takdir yang menyenangkan, ada juga yang tidak menyenangkan. Silakan memilih, persis seperti kita memilih barang di etalase atau mal atau di internet.

Bagaimana cara memasuki jejaring Lauh Mahfuzh?Agar bisa terhubung ke jaringan Lauh Mahfuzh, kita harus menggunakan frekuensi diri— pikiran dan perasaan—yang sama dengan Lauh Mahfuzh. Tak ubahnya kita mencari stasiun radio atau TV, harus menggeser-geser atau mencari-cari gelombang agar nyambung (match) dengan stasiun pemancar. Radio atau TV bisa menangkap sinyal dengan jernih karena ditunjang oleh kualitas faktor- faktor pendukungnya. Ketika kualitas radio atau TV baik, sinyal pemancar kuat, tidak terhalang gedung-gedung tinggi, cuaca bagus, sinyal yang diterima bisa dipastikan akan bagus dan jernih.

Banyak cara dilakukan untuk menyelaraskan diri dengan frekuensi alam semesta. Ada yang melalui meditasi (mengosongkan pikiran dan menajamkan rasa), ada juga yang dengan mengosongkan otak sambil membaca mantera-mantera tertentu. Adapun Al-Quran dengan terang mengajarkan:

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya di waktu pagi dan petang” (QS. Al-Ahzab: 41-42).

Zikrullah adalah teknik sederhana yang dapat menghubungkan seseorang dengan frekuensi alam semesta atau dengan Arsy Allah. Karena untuk bisa masuk ke jaringan informasi tersebut kita harus menggunakan password (kunci) berupa “cahaya” yang dapat menyingkirkan sisi gelap jiwa kita. Dengan cahaya yang terpancar dari jiwa itulah kita akan bisa match (nyambung) dengan frekuensi di Lauh Mahfuzh.

- Copy Data dengan Doa

Doa ibarat proses memilih barang belanjaan dari etalase. Dengan doa kita dapat memegang dan memilih barang belanjaan yang kualitasnya paling baik. Berdoa adalah memilih dan menyebut apa yang menjadi kebutuhan kita. Berdoa adalah meminta sesuatu yang sudah ada di Lauh Mahfuzh. Saat berbelanja di sebuah toko, misalnya, kita bisa memilih apa saja, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan—bukan keinginan—dan budget uang kita.

Berdoa sama dengan memilih dan menyebut apa yang kita butuhkan, sambil menyadari dengan penuh keyakinan bahwa sesuatu itu akan terjadi pada kita (Sunnatullah).

- Download Lewat Syukur

Setelah menjelajah (browsing) dengan zikir, memilih file (menu) dan copy data dengan doa, kita bisa mengunduh file-file itu dengan “syukur”. Syukur bukan hanya ungkapan Alhamdulillah. Makna syukur adalah ungkapan terima kasih dari dalam jiwa, terucap melalui kata-kata dan terwujud dalam perbuatan. Rasa syukur adalah magnet yang dapat menarik peristiwa sejenis dengan skala yang lebih besar. Allah berfirman:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

Orang yang hatinya bergetar saat mensyukuri kesehatannya, seluruh faktor yang terkait dengan kesehatannya itu akan ikut bergetar dan semakin menyehatkan dirinya. Demikian juga dengan rezeki.

Syukur terkait erat dengan rasa, yaitu totalitas pikiran, ucapan dan perbuatan. Emosi yang dihasilkan dari ketiganya akan menghasilkan rasa syukur. Perasaan adalah pemancar sekaligus radar yang sangat sensitif terhadap berbagai getaran yang bakal terjadi, bagaikan sebuah kesimpulan tanpa melalui proses mengetahui dan mengikuti segala hal yang terjadi di baliknya (feeling). Jika kita merasa nyaman terhadap suatu proses yang sedang terjadi, hasil akhir proses itu pasti menyenangkan, demikian juga sebaliknya.

Perasaan ibarat program atau informasi yang disampaikan penyiar. Pikiran, pembicaraan dan perbuatan hanyalah gelombang yang ditumpangi oleh makna yang terkandung di dalamnya. Yang penting bukan pikiran, ucapan dan perbuatan, melainkan makna yang ada di balik pikiran, ucapan dan perbuatan itu.

Hadits Rasul “Innamal a’mรขlu bin niyรขt” (Sesungguhnya substansi amalan terletak pada niatnya) menegaskan hal ini. Rasa yang ada di balik perbuatan, kalau positif, isinya berarti rasa syukur. Jika negatif berarti rasa ingkar atau penolakan atau keterpaksaan.

Rasa syukur akan menghasilkan takdir baik, sedang rasa ingkar akan menghasilkan takdir buruk, firman Allah:

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Luqman: 12).

Akses manusia kepada Tuhannya dapat dicapai dengan cara-cara berikut ini:

Pertama, rida dengan takdir yang ada pada dirinya. Kedua, mampu bersyukur atas nikmat yang terulur atau tertunda. Ketiga, mampu berserah diri (tawakkal) dan menjaga niat.

Ibnu Qayyim berkata: “Jika hati seseorang telah diberi makanan berupa zikir, dan diberi minuman berupa tafakkur, serta bersih dari penyakit duniawi, akan tampak kepadanya berbagai keajaiban. Ia akan memperoleh hikmah.”

Makanan hati tidak lain adalah zikir. Allah Swt. berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’du : 28).

“Sesungguhnya, orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Al-Anfal: 2-3).

Minuman hati adalah tafakkur. Dalam QS Ali Imran ayat 190-191, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

๐Ÿ“š Sabar: Kunci EQ


Jalaluddin Rahmat, dalam buku Meraih Cinta illahi, mengatakan bahwa manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, al-bu’du al-malakรปti (dimensi kemalaikatan) yang berasal dari alam malakut dan membawa kita ke arah kesucian untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, al-bu’du al-bahรฎmi (dimensi kebinatangan) yang mendorong manusia berbuat buruk, keras hati, iri dengki, mudah marah dan dendam kepada sesama manusia. Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya (madรขkhil al-syaithรขn—menurut Al-Ghazali), setan dapat dengan mudah masuk dan melakukan provokasi, hingga bagian kebinatangan itu menjadi pasukan setan yang mengarahkan manusia untuk terus berbuat buruk.

Dimensi malakรปti dan bahรฎmi terus bertempur dalam suatu peperangan besar (al-jihรขd al-akbar) yang terus menerus. Agar peperangan besar itu bisa kita menangkan, dimensi kemalaikatan yang ada dalam diri kita harus diperkuat. Caranya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, adalah dengan shalat dan sabar. Firman Allah:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu” (QS. Al-Baqarah: 45).

Daniel Goleman, dalam buku Emotional Intelligence, mengatakan bahwa emosi sangat berpengaruh dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukan manusia. Satu pun tidak ada keputusan yang murni dari pemikiran rasio, karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional.

Dari hasil penelitiannya, Goleman menemukan situasi yang disebut when smart is dumb (ketika orang cerdas jadi bodoh). Orang Amerika yang memiliki kecerdasan (IQ) di atas 125, umumnya bekerja pada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas secara intelektual justru menjadi karyawan orang yang tidak begitu cerdas secara intelektual.

Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri (sabar). Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Ia akan tabah dalam menghadapi kesulitan, tekun ketika belajar dan berhasil mengatasi setiap gangguan serta tidak tunduk pada dorongan emosinya.

Dalam buku itu pula, Goleman menceritakan sebuah kisah nyata tentang tindakan fatal yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional:

Pada suatu hari, ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat kawannya. Sementara anak itu pergi, orang tuanya juga pergi untuk menonton opera. Rupanya si anak merasa bosan di rumah temannya, dan ia pulang ke rumah tanpa memberitahu orang tuanya. Sesampainya di rumah, anak nakal itu berencana membuat kejutan untuk orang tuanya.

Ia akan tinggal diam di toilet, dan jika orang tuanya datang ia akan meloncat sambil teriak.

Beberapa saat kemudian, menjelang tengah malam, orang tuanya pulang dan melihat lampu toilet yang menyala. Mereka menyangka ada pencuri yang masuk. Mereka masuk ke rumah dengan perlahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol. Sang ayah lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam toilet. Tanpa pikir panjang, ditembakanlah pistol itu ke arah orang yang berteriak hingga lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.

Betapa menyesalnya sang ayah ketika tahu bahwa yang ditembaknya itu adalah anaknya sendiri, ia bertindak terlalu cepat. Ia mengikuti emosi takut dan khawatir, sehingga ia buru-buru menembak sekalipun panca inderanya belum sempat menyampaikan informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Si ayah tak bisa mengendalikan emosinya, kecerdasan emosionalnya rendah.

Orang yang cerdas secara emosi adalah orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan. Orang seperti ini dijanjikan pahala berlipat ganda di dunia dan akhirat oleh Allah Swt. Allah befirman: “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah: 157).

๐Ÿ“š Filter Kehidupan: Menerima Diri Apa Adanya


Socrates mengatakan bahwa manusia harus berani melihat diri sebagaimana adanya. Menerima diri sebagaimana adanya, dalam bahasa agama disebut rida, sabar, tawakkal dan qana’ah. Ketika orang mau menerima, ia akan bersyukur. Kekurangan pada dirinya tidak dilemparkan kepada orang lain, tetapi diterima sebagai qada dan qadar Tuhan. Manusia seperti ini akan terhindar dari penyakit modern; stress dan psychomatik, juga terhindar dari sikap munafik, sombong, sok pintar, berlagak paham dan gengsi-gengsian.

Manusia seperti ini disenangi banyak orang, karena ia arif dan bijaksana serta lentur dalam segala situasi, sehingga patut diteladani. Harga dirinya lebih mahal dari pada tumpukan harta. Ia teguh dalam prinsip, sebab baginya prinsip hidup manusia adalah yang paling bernilai.

Sementara Al-Maraghi berpendapat bahwa setiap manusia sudah dibekali perangkat, berupa ilham (fitrah/ naluriah/ insting/ sunnatullah), untuk menentukan nilai (baik-buruk). Manusia pun diberikan hawasy (indera/perasaan/feeling), meski feeling (insting) hewan kadang lebih tajam dari manusia. Sebagai makhluk istimewa, manusia, dengan perasaannya, bahkan dapat mengetahui amar ma’ruf nahi munkar, sah-bathil, halal-haram, wajib-sunnah, fardlu ‘ain-fardlu kifayah dan lain-lain.

Manusia diberi akal untuk berpikir. Dengan pertimbangan akal, manusia menentukan apa yang patut dan tidak patut, yang mungkin dan mustahil, yang layak dan tidak, yang terjangkau dan tidak dan lain-lain, untuk dirinya. Jika manusia lepas kontrol, dengan akalnya ia bisa menjadi mahluk haus darah dan lapar daging seperti harimau. Menjadi perusak bagai tikus, serakah bagai monyet, egois bagai merak, individual bagai unta, bahkan dengan akalnya manusia bisa lebih bebal dari keledai.

Manusia mempunyai perangkat untuk memilih dan memilah (al-furqรขn), yakni ilmu. Manusia bisa meneliti segala sesuatu secara cermat berdasarkan fakta dan landasan teoretik untuk mendapatkan postulat dan hypotesa, tetapi hanya dengan dukungan wahyu manusia bisa mendapatkan kebenaran hakiki.

Manusia membutuhkan iman (sebagai filter), karena ilham/hawsy, akal dan ilmu sering tidak mampu mengendalikan nafsu—bahkan ilmu acap menjadikan manusia menentang Tuhan. Konsepsi iman menurut hadits qudsi adalah: “Barangsiapa yang tidak rida dengan taqdir-Ku, dan tidak sabar dengan cobaan-Ku, silakan ke luar dari kolong langit-Ku, dan carilah tuhan selain Aku.”

Bagikan ini :

Comments

Popular posts from this blog

Terjemahan Kitab Kifayatul Awam (Tauhid)

Terjemahan Kitab Qami' Ath-Thughyan (77 Cabang Iman)

Buku Islahul Qulub (Jernihkan Hati)

Terjemahan Kitab Mukasyafah Al-Qulub (Bening Hati Dengan Ilmu Tasawuf)

Terjemahan Kitab Nashoihul Ibad

Terjemahan Kitab Syarah Al-Hikam